Anda di halaman 1dari 16

Alat Musik Tradisional Sulawesi Selatan

1. Alat Musik Tolindo atau Popondi Alat musik tradisional Sulawesi Selatan yang pertama
adalah sebuah alat musik petik yang memiliki bentuk unik. Alat musik ini dibuat dari kayu
berbentuk busur yang bertumpu pada tempurung kelapa utuh. Pada bagian busur, terdapat
senar panjang yang akan menghasilkan suara bila dipetik. Masyarakat Bugis menamai alat
musik ini dengan sebutan Tolindo, sementara masyarakat Makassar menamai alat musik ini
dengan sebutan Popundi.

2. Alat Musik Idiokardo atau Gendang Bulo Alat musik ini sama seperti gendang pada
umumnya yang tidak memiliki membran. Ia akan mengeluarkan suara bila ditepuk atau
dipukul bagian kulitnya menggunakan telapak tangan. Masyarakat Bugis menyebut alat
musik ini dengan nama Idiokardo, sementara masyarakat makassar menyebutnya Gendang
Bulo.

3. Alat Musik Alosu Alat musik ini berupa sebuah kotak anyaman yang di dalamnya diisikan
banyak biji-bijian atau batu kecil. Alat musik Sulawesi Selatan yang dimainkan dengan cara
digoyang-goyangkan ini bernama aluso. Anda bisa melihat bentuk alat musik ini pada
gambar di bawah. 4. Alat Musik Ana’ Becing Ana’ Becing adalah sebuah alat musik yang
terbuat dari logam dan dimainkan dengan cara dipukulkan satu sama lain. Bentuknya yang
unik, yakni menyerupai sepasang dayung membuat alat musik ini cukup dikenal, terlebih
karena sering dimainkan dalam karnaval atau parade pesta dan upacara adat.

4. Alat Musik Ana’ Becing Ana’ Becing adalah sebuah alat musik yang terbuat dari logam
dan dimainkan dengan cara dipukulkan satu sama lain. Bentuknya yang unik, yakni
menyerupai sepasang dayung membuat alat musik ini cukup dikenal, terlebih karena sering
dimainkan dalam karnaval atau parade pesta dan upacara adat

5. Alat Musik Keso-Keso Alat musik Keso-keso sebetulnya dari bentuk dan cara
memainkannya memiliki kesamaan dengan alat musik rebab, akan tetapi jika rebab bisa
memiliki 3-4 dawai, keso hanya memiliki 2 dawai saja. Alat musik ini dimainkan dengan cara
digesek

6. Alat Musik Suling Lembang Alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini adalah sebuah
alat musik tiup yang dimaikan dengan cara sama seperti suling pada umumnya. Yang unik,
alat musik bernama Suling Lembang ini berukuran sangat besar, dengan panjang 50 sampai
100 cm dan diameter 2 cm. Untuk mengatur bunyi suling lembang dilengkapi dengan lebih
dari 8 lubang nada.
7. Alat Musik Puwi-Puwi Puwi-puwi atau juga disebut puik-puik adalah sebuah alat
musik berupa terompet khas dari Sulawesi Selatan. Bentuk dan cara memainkan alat musik
ini sama persis dengan beberapa alat musik dari daerah lain di Indonesia, seperti serunai di
Sumatera, Sronen di Jawa Timur, dan Tarompet di Jawa Barat.

8. Alat Musik Rebana atau Terbang Rebana dan Terbang adalah dua alat musik yang
sama. Rebana adalah sebutan bagi masyarakat Bugis, sementara Terbang adalah sebutan bagi
masyarakat Makassar. Meski bukan asli berasal dari Sulawesi Selatan, alat musik pukul ini
sering kali dimainkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar.

9. Alat Musik Basi – Basi atau Klarinet Masyarakat Bugis menyebutnya Basi-basi,
sementara masyarakat Makassar menyebutnya Klarinet. Alat musik tradisional Sulawesi
Selatan ini adalah sebuah alat musik tiup yang didalamnya terdapat membran rangkap.

10. Alat Musik Kecapi atau Kacaping Kacaping adalah alat musik tradisional yang
dimainkan dengan cara dipetik. Kacaping memiliki 2 dawai yang dikaitkan pada kayu
berbentuk seperti perahu. Diyakini alat musik Sulawesi Selatan ini pertama kali ditemukan
oleh seorang pelaut Bugis. Alat musik ini sangat dikenal dan sering dimainkan terutama pada
acara-acara adat seperti upacara pernikahan, penjemputan tamu, atau saat bersenda gurau
dengan keluarga.
Alat Musik Tradisional Sulawesi Barat

1. Alat Musik Kecapi Mandar Kecapi Mandar adalah sebuah alat musik petik yang berasal
dari budaya suku Mandar di Sulawesi Barat. Alat musik ini terbilang unik dan berbeda
dengan jenis kecapi yang berasal dari budaya Tionghoa. Ia dimainkan dengan cara direngkuh
oleh pemainnya seperti dalam permainan gitar. Jumlah senar dalam kecapi ini terbilang
cukup banyak, yakni sekitar 20 buah. Oleh karenanya sangat jarang orang Mandar yang bisa
memainkan instrumen ini. Biasanya mereka yang lanjut usialah yang bisa, itu pun dalam
jumlah yang terbatas.

2. Alat Musik Calong Selanjutnya adalah calong. Alat musik ini terbuat dari bahan buah
kelapa dan bambu dan dimainkan dengan cara dipukul. Awalnya instrumen yang tergolong
ke dalam jenis perkusi ini dimainkan secara tunggal, namun pada perkembangannya ia
kemudian dikolaborasikan dengan alat musik tradisional Sulawesi Tenggara lainnya. Pada
pembukaan Pekan Olahraga Sulawesi Barat yang pertama, tepatnya di tahun 2007, calong
sempat dimainkan secara masal sebagai musik pembukanya.

3. Alat Musik Gongga Gongga sebetulnya mirip seperti kelintang. Alat musik tradisional
Sulawesi Barat ini terbuat dari susunan bilah-bilah bambu dengan ukuran beragam. Bilah
bambu yang berjumlah 7 buah tersebut diuntai dalam sebuah ikatan tali dan akan
menghasilkan nada-nada melodis saat dipukul. Untuk resonatornya, di bagian untaian bilah
bambu tersebut diletakan bambu bulat yang dilubangi di bagian tengahnya.

4. Alat Musik Keke Keke adalah alat musik tiup (aerophone) yang terbuat dari bambu khas
suku Mandar. Instrumen ini selama bertahun-tahun dianggap telah mati suri. Saat ini hanya
beberapa orang tua saja yang bisa memainkannya. Bentuknya sendiri seperti alat musik
genggong dengan ornamen khusus di beberapa bagiannya.

5. Alat Musik Rebana Budaya Melayu juga mengambil andil besar dalam kehidupan
masyarakat Mandar dan Toraja di Sulawesi Barat. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya alat
musik rebana dalam daftar alat musik tradisionalnya. Rebana khas Suku Mandar memiliki
keunikan tersendiri. Di bagian samping rangkanya tidak terdapat logam-logam yang
menghasilkan suara gemerincing saat bagian membrannya ditepuk.
Alat Musik Tradisional Sulawesi Utara

1. Alat Musik Kolintang Yang pertama adalah kolintang. Anda tentu pernah mendengar
nama alat musik ini bukan? Ya, alat musik tradisional ini memang akrab dengan kebudayaan
masyarakat Melayu di Nusantara. Akan tetapi, kolintang khas Sulawesi Utara ternyata
memiliki beberapa perbedaan.

2. Alat Musik Sasesahang Selanjutnya adalah Sasesahang. Sasesahang merupakan alat


musik tradisional Sulawesi Utara yang dibuat dari bambu dengan bentuk ujung meruncing
menyerupai bentuk garputala. Instrumen ini dimainkan dengan cara dipukul-pukul
menggunakan kayu pemukul berlapis karet. Nada yang dihasilkan alat ini termasuk nada
melodis jika dibuat secara tersusun dengan panjang bambu yang saling berbeda.

3. Alat Musik Salude Salude termasuk jenis alat musik tradisional Sulawesi Utara yang
terbilang sangat unik dan tidak ditemukan dalam budaya masyarakat Melayu lainnya.
Instrumen ini terbuat dari satu ruas bambu besar yang dilubangi di salah satu sisinya dan
dilengkapi dengan dawai yang terbuat dari kulit ari bambu. Bambu besar berfungsi sebagai
resonator yang memperbesar dan memperbaiki kualitas suara yang dihasilkan sementara
dawainya dipetik menggunakan pelepah pinang.

4. Alat Musik Oli Sama seperti Salude, alat musik Oli juga dibuat dari bambu. Bedanya,
instrumen ini justru dimainkan dengan cara ditiup dan yang menjadi resonator adalah rongga
mulut pemainnya. Model Oli dapat kita temukan di kebudayaan masyarakat sub suku Melayu
lainnya di nusantara, kendati dengan nama yang berbeda.

5. Alat Musik Arababu Arababu adalah instrumen sejenis rebab yang dibuat dari
tempurung kelapa dan kulit binatang sebagai resonatornya. Hanya ada 1 dawai yang terdapat
pada alat musik ini. Dawai tersebut dimainkan dengan cara digesek menggunakan tangkai
gesek dari bambu. Dawainya sendiri dibuat dari serat pisang Hote, jenis tanaman pisang yang
cukup banyak tumbuh di Sulawesi Utara.

6. Alat Musik Bansi Bansi dalam bahasa Minahasa berarti suling. Sama seperti suling pada
umumnya, bansi dibuat dari bambu dengan beberapa lubang nada di bagian sisinya. Bansi
dimainkan dengan cara ditiup di bagian ujungnya. Bansi dimainkan bersama alat musik lain
sebagai pelengkap.
.
Alat musik Sulawesi Tengah
1.Tutuba adalah merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Sulawesi Tengah yang
merupakan alat musik berdawai yang terbuat dari bambu. Tutuba adalah alat musik khas suku
To Wana.
Suku Wana (To Wana), adalah penduduk asli di kawasan Wana Bulang yang berada di
wilayah kabupaten Morowali, pemukiman berada di kecamatan Mamosolato, Petasia, dan
Soyojaya, dan tedapat juga di wilayah pedalaman di kabupaten Luwuk Banggai - Sulawesi
Tengah. Suku Wana disebut juga sebagai Tau Taa Wana yang berarti "orang yang tinggal di
hutan". Sedangkan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Tau Taa, atau "orang
Taa".

2. tatali adalah alat musik tiup (suling) yang merupakan alat musik tradisional khas suku To
Wana di Sulawesi Tengah. Talali adalah alat musik tiup yang terbuat dari bambu berukuran
sekitar 50 cm dengan diameter 2 cm dan memiliki 3 lubang untuk resolusi udara tempat
meletakan jari dan hanya memiliki 3 nada. Dengan teknik meniup menggunakan perasaan
untuk menemukan sound yang baik dan enak ditelinga.

3.Geso-geso adalah alat musik gesek yang berasal dari Sulawesi Tengah. Sama halnya
dengan tutuba dan tatali, geso-geso merupakan alat musik khas suku To Wana. Akan tetapi
ada pula alat musik serupa yang dipergunakan oleh masyarakat toraja atau tepanya di
Kecamatan Saluputti.

4.pare'e merupakan alat musik tradisional dari Sulawesi Tengah, berbentuk seperti garpu tala
dan berfungsi sebagai alat hiburan diwaktu senggang dan dapat pula digunakan sebagai alat
perkenalan atau pergaulan antar anggota kelompok masyarakat.

5.Lalove adalah alat musik tradisional dari Sulawesi Tengah yang terbuat dari bambu. Alat
musik ini biasa kita kenal dengan seruling/suling bambu. Pada mulanya alat musik Lalove ini
tidak sembarangan boleh ditiup karena bagi sebagian orang yang sering kerasukan roh akan
spontan kerasukan jika mendengar suara alat musik ini. Lalove berfungsi sebagai salah satu
alat pengiring Tarian Tradisional Balia. Tari tradisional yang di sebut Balia, merupakan ritual
penyembuhan pada suku Kaili di Sulawesi Tengah.

6.Satu lagi alat musik tradisional dari Sulawesi Tengah bernama Santu. Santu merupakan alat
musik tradisional jenis sitar tabung yang termasuk dalam kelompok idio-kodofon. Kulit ari
pada bagian badan bambu dibentuk empat dan di tengah badan dibuat lubang sebagai
resonator. Alat musik Santu dimainkan dengan cara dipetik setelah para petani merayakan
pesta panen dan saat mengisi waktu senggang bagi para remaja.
Tari Tradisional Sulawesi
1.Tari Pontanu adalah tari tradisional Sulawesi Tengah yang menggambarkan kegiatan para
penenun di daerah Donggala, Sulawesi Tengah. Tarian ini biasanya ditarikan oleh para penari
wanita dan gerakan dalam tarian ini menggambarkan aktivitas para wanita yang sedang
menenun Sarung Donggala, yaitu jenis sarung yang khas dari daerah Donggala. Tarian ini
sering ditampilkan di berbagai acara seperti penyambutan tamu penting, festival budaya,
bahkan promosi wisata
Tari Pontanu dari Sulawesi Selatan ini biasanya dimainkan oleh 4 orang penari wanita atau
lebih.

2.Tari Bamba Manurung adalah tarian tradisional dari daerah Mamuju yang merupakan
Ibukota Provinsi Sulawesi Barat. Tari Manurung ini biasanya dilakukan pada acara pesta adat
di Mamuju, dihadapan para tokoh adat dan penghulu.
Para penari Bamba adalah wanita dengan mengenakan pakaian adat khas Sulawesi Barat
yaitu Baju Badu, dengan aksesoris bunga beru-beru (bunga melati) menghiasi bagian kepala.
Para penari Bamba membawa kipas seperti halnya tarian Patuddu.

3.Tari Molulo atau Tari Lulo adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari Sulawesi
Tenggara. Tarian ini merupakan tarian masyarakat Suku Tolaki yang dilakukan secara masal
dan bisa dilakukan oleh semua kalangan baik pria maupun wanita, tua maupun muda. Tari
Molulo juga merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Sulawesi
Tenggara, terutama di daerah Kendari dan sering ditampilkan di berbagai acara seperti
pernikahan adat, panen raya, dan berbagai perayaan adat lainnya.
UPACARA ADAT TRADISIONAL DI SULAWESI SELATAN

1.Accera Kalompoang: merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka


peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini
adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) yang
dibuat pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga,
yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya. Adapun benda-
benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya: tombak rotan berambut ekor kuda
(panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang memakai permata
(tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas
berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni
(bangkarak ta‘roe), dan kancing emas (kancing gaukang). Selain benda-benda pusaka
tersebut, juga ada beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla Lompoa turut
dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI; tiga tombak emas;
parang panjang (berang manurung); penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada
tahun 1814 M.; dan medali emas pemberian Belanda.
Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan
pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang dipimpin
oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris,
parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan
minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya
disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan
syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.
Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang
pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung
Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September 1605. Meskipun
Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi.
Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan
Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10
Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha.
2.Mappalili adalah upacara mengawali musim tanam padi di sawah. Ritual ini dijalankan
oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan bissu. Selain di Pangkep,
komunitas bissu ada di Bone, Soppeng, dan Wajo. Ritual dipimpin langsung Seorang Bissu
Puang.
Puang Matoa terlihat begitu berwibawa di antara bissu yang berkumpul di rumah arajang,
yakni tempat pusaka berupa bajak sawah disemayamkan. Mengenakan kemeja bergaris
dengan warna dominan putih, dipadu sarung putih polos dan songkok. Suara santun dan tegas
selalu keluar dari mulutnya. Tak ada teriakan sedikit pun. Sebagai pengganti teriakannya,
Puang Matoa menggunakan katto-katto, sejenis pentungan yang khusus untuk memanggil
anak laki-laki, dan kalung-kalung, nama alat untuk memanggil anak perempuan.
Cukup memukul katto-katto tiga kali dan memberi kode. Meski hanya memanfaatkan
pelita, para bissu tetap mempersiapkan perlengkapan ritual. Saidi, misalnya, membentuk
simbol-simbol di atas daun sirih menggunakan beras empat warna : masing-masing hitam
simbol tanah, merah simbol api, kuning simbol angin, dan putih simbol air. Ahmad Sompo,
43 tahun, Bissu Salassa Mangaji, terlihat membuat pelita dari buah kemiri dan kapas yang
dibalutkan pada potongan bamboo. Setelah semua persiapan rampung, upacara pun digelar
esok hari.
Mappalili dimulai dengan upacara membangunkan arajang. “Teddu’ka denra
maningo. Gonjengnga’ denra mallettung. Mallettungnge ri Ale Luwu. Maningo ri Watang
Mpare. (Kubangunkan Dewa yang tidur. Kuguncang Dewa yang terbaring. Yang berbaring di
Luwu. Yang tertidur di Watampare),” kata Puang Matoa, melagukan nyanyian untuk
membangunkan arajang.

Nyanyian Puang Matoa kemudian disambung suara semua bissu yang terlibat dalam upacara
Mappalili. “Tokkoko matule-tule. Matule-tule tinaju. Musisae-sae kenneng. Masilanre-lanre
kenning. Musinoreng musiotereng. Musiassaro lellangeng. Mupakalepu lolangeng.
Lolangeng mucokkongngie. Lipu muranrusie. (Bangkitlah dan muncul. Tampakkan wajah
berseri. Menari-nari bersama kami. Bersama turun, bersama bangun. Bersama saling
mengunjungi. Menyatukan tujuan. Negeri yang engkau tempati. Tanah tumpah darahmu).”
Nyanyian membangunkan arajang ada 10 lagu. Secara berurutan, Puang Matoa
menyanyikannya, setiap tembangnya diikuti sembilan bissu yang terlibat dalam upacara.
Bagian acara ini disebut matteddu arajang atau membangunkan pusaka berupa bajak sawah.
Konon, bajak ini ditemukan secara gaib melalui mimpi. Puang Matoa mengatakan bajak dari
kayu ini sudah ada sejak tahun 1330. Arajang tiap-tiap daerah ini berbeda. Di Pangkep berupa
bajak sawah. Di Soppeng berupa sepasang ponto atau gelang berkepala naga yang terbuat
dari emas murni. Sedangkan Bone dan Wajo, arajang-nya berupa keris.

3.Tudung ade:Upacara Tukang Ade berarti upacara duduk secara adat dengan anggota 110
orang. Maksud pengadaan upacara ini adalah: A. Memusyawarakan hal-hal pentingnya
menyangkut pemerintahan atau permasalahan yang dihadapkan kerajaan untuk mencapai
kesepakatan dan mufakat. Hal ini menunjukan bahwa Raja Bone bukan seorang monarki
absolut melainkan praktisi demokrasi, karena Raja senantiasa melibatkan seluruh Dewan
Kerajaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kerajaan dan kepentingan rakyat.
Upacara ini juga menunjukan bahwa Raja Bone adalah seorang Raja yang murah hati dan
ramah terhadap bawahan, berkenan menjamu mereka dengan makanan ringan khas kerajaan,
serta mau menerima mereka secara adat B. Apabila kerajaan kedatangan tamu resmi dari
kerajaan lain dan dianggap layak untuk diterima secara adat.

4.Upacara adat manene:Dibilang unik dan khas, mengingat ritual Ma'nene dilakukan
khusus oleh masyarakat Baruppu, di pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'nene dilakukan
setiap 3 tahun sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus.
Mengapa pada bulan tersebut? Karena upacara Ma'nene hanya boleh dilaksanakan setelah
panen. Musim panen yakni jatuh pada bulan Agustus.
Masyarakat adat Toraja percaya jika ritual Ma'nene tidak dilakukan sebelum masa panen,
maka akan sawah-sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya
tikus dan ulat yang datang tiba-tiba.
Sejarah ritual Ma'nene ini berawal dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek,
yang datang ke hutan pegunungan Balla. Saat itu, Pong menemukan sebuah jasad manusia
yang telah meninggal dunia dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Oleh Pong, jasad
itu dibawanya dan dikenakan pakaian yang layak untuk dikuburkan di tempat aman.
Semenjak dari itu, Pong berturut-turut mendapatkan berkah. Tanaman pertanian miliknya
panen lebih cepat dari waktu biasanya. Saat dia berburu pun, Pong kerap kali mendapatkan
perburuannya dengan mudah. Dan saat berburu di hutan, Pong sering bertemu dengan arwah
yang dirawatnya yang kemudian arwah tersebut ikut membantu dalam perburuan Pong
sebagai petunjuk jalannya.
Dengan adanya peristiwa tersebut, Pong beranggapan bahwa jasad orang yang telah
meninggal sekalipun harus tetap harus dirawat dan dihormati, meskipun jasad tersebut sudah
tidak berbentuk lagi.
Pong lalu mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu. Dan oleh penduduk Baruppu,
amanah Pong tetap terjaga dengan terus dilaksanakannya ritual Ma'nene tersebut.

Prosesi Ma'nene itu sendiri diawali dengan mengunjungi lokasi tempat dimakamkan para
leluhur masyarakat setempat yakni di pekuburan Patane di Lembang Paton, Kecamatan
Sariale, ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Para mayat leluhur mereka disimpan di dalam peti
yang telah diberi pengawet.

Sebelum dibuka dan di angkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal dengan nama Ne'
Tomina Lumba, membacakan doa dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah itu, mayat tersebut
diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas
atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian
kembali dibaringkan di dalam peti tadi.
Selama prosesi tersebut, sebagian kaum lelaki membentuk lingkaran menyanyikan lagu dan
tarian yang melambangkan kesedihan. Lagu dan gerak tarian tersebut guna untuk
menyemangati para keluarga yang ditinggalkan.
1.umah Adat Pewaris | Rumah Adat Provinsi Sulawesi utara

Rumah Adat Sulawesi Utara – Pewaris (ketikgusyuda.wordpress.com)

Rumah adat Pewaris merupakan rumah adat suku Minahasa yang merupakan suku asli dari
Provinsi Sulawesi Utara. Rumah pewaris atau rumah walewangkoa berwujud rumah
panggung dengan tiang balok kayu dan dua buah tangga kanan-kiri di bagian depan. Hampir
seluruh bagian dari rumah adat di Indonesia ini terbuat dari bahan kayu asli. Selain itu,
keunikan lainnya juga terdapat pada pembagian ruangannya. Ada ruangan berama Setup
Emperan yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Ruang Pores sebagai ruangan untuk
tidur. Serta ruang sangkor untuk tempat menyimpan persediaan makanan/lumbung padi.
2. Rumah Adat Tambi | Rumah Adat Provinsi Sulawesi Tengah

Rumah Adat Sulawesi Tengah – Tambi (wisatadirektori.com)

Rumah adat tambi merupakan rumah adat tradisional dari Sulawesi Tengah. Rumah ini
memiliki bentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur rumah panggung. Bahan material
yang digunakan kebanyakan adalah kayu asli dan juga batu alam. Dalam rumah adat ini juga
dikenal adanya pembagian ruang. Dimana terdapat ruang ruang utama, dapur dan ruang tamu,
semuanya ruangan berkumpul menjadi satu dengan sekat. Ada mitos yang mengatakan,
rumah adat tambi hanya boleh dibangun menghadap ke utara atau selatan. Untuk
membedakan status sosial, maka dibuatlah embeda menurut jumlah anak tangga. Rumah
orang besar beranak tangga genap, sedangkan rumah orang biasa beranak tangga ganjil.
3. Rumah Adat Buton | Rumah Adat Provinsi Sulawesi Tenggara

Rumah Adat Sulawesi Tenggara – Buton (beritadaerah.co.id)

Rumah adat buton merupakan rumah adat di Indonesia yang berasal dari provinsi Sulawesi
Tenggara. Dari segi karakteristik arsitektur banguannya cuku unik. Dimana rumah adat ini
dibangaun dalam 4 lantai dengan teknik kontruksi kayu kait tanpa pasak dan paku. Itu
tandanya masyarakat Sulawesi tenggara memiliki ketrampilan bangunan yang luar biasa.
Keterampilan ini sudah turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Namun dewasa
ini cukup sedikit anak muda yang mau belajar dan mewarisi kemahiran dalam mebuat
bangunan.
4. Rumah Adat Tongkonan | Rumah Adat Provinsi Sulawesi Selatan

Rumah Adat Sulawesi Selatan – Tongkonan (houhousetraditional.blogspot.com)

Rumah Tongkonan merupakan rumah adat suku Toraja, Sulawesi Selatan. Rumah adat ini
memiliki ciri khas yang mencolok di bagian atanya. Ya, atap rumah ini berbentuk lengkung
seperti perahu. Selain itu dibagian tersebut juga terdaat deretan tanduk kerbau yang berda di
bagian depan rumah. Nah, uniknya lagi, rumah adat ini memiliki dua fungsi. Yakni sebagai
tempat tinggal dan juga tempat penyimpanan mayat. Tetapi keduanya terpisah, tidak
dijadikan satu.
5. Rumah Adat Mandar | Rumah Adat Provinsi Sulawesi Barat

Rumah Adat Sulawesi Barat – Mandar (houhousetraditional.blogspot.com)

Rumah adat mandar merupakan rumah adat yang berasal dari Sulawesi Barat. Rumah adat di
Indonesia ini menggunakan teknik bangunan yang mirip dengan bangunan suku Bugis dan
Toraja. Bedanya hanya pada teras yang luas dan jumlah anak tangga yang selalu dibuat
ganjil. Selain itu sebagian besar dari stuktur material banguan dipergunakan bahan alam.
Bahan tersebut berupa kayu asli, rumbia, ilalang, ijuk dan bambu. Didirikan berbentuk rumah
panggung yang cukup tinggi. Karena semakin tinggi rumah yang dibangun, semakin tinggi
pula status sosial orang tersebut.
Pakaian Adat Sulawesi

Anda mungkin juga menyukai