LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH:
Anis Fitri Nurul Anggraeni, S.Kep
NIM 132311101023
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Cidera Otak Berat (COB) dan
Epidural Hematoma (EDH) di Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember telah
disetujui dan di sahkan pada :
Hari, Tanggal :
Mahasiswa
NIM 132311101023
Jember
NIP NIP
3
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK
BERAT (COB) DAN EPIDURAL HEMATOMA (EDH) DI RUANG
GARDENA RSD Dr. SOEBANDI JEMBER
Oleh : Anis Fitri Nurul A, S.Kep
1) Tengkorak
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk
yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan
pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura
mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
b) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
6
2. Otak
Menurut Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a) Cerebrum
7
Cerebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus
memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap
aktivitas motoric tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil,
jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan
perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis
menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang
berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
8
b) Cerebellum
Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah
9
c) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak
tengah midbrain/ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan
hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai
pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum
antara otak tengah dan sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian
sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak
sensorik dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari
batang otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital
seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek
batuk dan bersin.
3. Syaraf-Syaraf Otak
Smeltzer (2001) mengatakan bahwa nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan
otak. Kerusakan nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
10
Gb 1. Perdarahan Intrakranial
B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian cidera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan sebanyak
296.678 orang (59,3%) , cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang
(20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%).
Dari sejumlah kasus tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba
di Rumah Sakit. Angka kejadian cidera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari
bulan Januari-Oktober 2012 sebanyak 453 kasus., sedangkan di IGD sendiri
berdasarkan kenyataan yang dilihat penulis selama praktek dari tanggal 2 Juli-
29 Juli 2012 (1 bulan) di RSUD Dr.Moewardi Surakarta terdapat 43 pasien
cidera kepala yang terdiri dari 29 ( 68,4%) laki-laki dan 14 (31,5%) perempuan
yang mengalami cedera kepala ringan sampai berat. Pasien dengan cidera
kepala ringan (CKR) sebanyak 21 (48,8%), cidera kepala sedang (CKS) 8
(18,6%) dan cidera kepala berat (CKB) 14 (32,5%). Cedera ini mayoritas
disebabkan oleh kecelakaan lalulintas.
C. ETIOLOGI
Cedera otak dapat disebabkan oleh trauma pada kepala akibat benda
tumpul dan benda tajam. Adapun mekanisme terjadinya cedera kepala
berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut Nurarif dan
Kusuma (2013), yaitu:
14
a. Cedera akselerasi
Jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (seperti kepala
tertembak peluru)
b. Cedera deselerasi
Kepala yang membentur objek diam (seperti kepala yang membentur kaca
mobil saat kecelakaan lalu lintas)
c. Cedera akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kecelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Cedera coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang
intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan
yang terbentur dan area yang pertama terbentur
e. Cedera rotasional
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak.
a. Hilangnya kesadaran.
b. Perdarahan dibelakang membrane timpani
c. Ekimosis pada periorbital
d. Mual dan muntah.
e. Pusing kepala.
f. Terdapat hematom.
Bila fraktur mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorhea) bila fraktur tulang temporal.
E. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi
2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma
dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala
terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang
16
kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala
intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan
otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah:
a. Perluasan hematoma intracranial
b. Edema serebral dan herniasi, edema serebral adalah penyebab paling
umum dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat
cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi pada cedera kepala
kurang lebih 72 jam pasaca cedera. Tekanan intrkranial meningkat akibat
ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan
volume oleh pembengkakan otak akibat trauma. Tekanan intrakranial
dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg. Akibat dari
peningkatan TIK dan edema adalah penyebaran tekanan pada jaringan otak
dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada area
pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau lateral otak (herniasi)
melalui atau terhadap struktur kakau akan mengakibatkan iskemia, infark,
kerusakan otak ireversibel dan kematian.
Sedangkan komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut
(Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi :
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah
masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya
memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar
dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state
lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
17
G. PENATALAKSANAAN
a) Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1. Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2. Berikan O2 dan monitor
3. Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak
kurang dari 90 mmHg.
4. Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5. Stop makanan dan minuman
6. Imobilisasi
7. Kirim kerumah sakit.
b) Perawatan di bagian Emergensi
1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
18
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada
jaringan mati.
2) Foto tengkorak atau cranium
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
3) MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang
elektomagnetik.
4) Laboratorium Kimia darah
Mengetahui ketidakseimbangan elektrolit
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
5) Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
6) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
7) X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
8) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
22
I. Konsep EDH
a) Pengertian
Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah
traumakepala (Andrews, 2000). Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang
terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial,
namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada 1/3 kasus (Agamanolis,
2003). Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena,
terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior (Vacca 2007, dalam
Smeltzer & Bare, 2010) . Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang
terletak antara durameterdan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan
sering terjadi pada lobustemporal dan paretal (Smeltzer & Bare, 2010).
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan (Japardi, 2004).
b) Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi atau robekan pembuluh darah yang
ada diantara durameter dan tulang tengkorak akibat benturan yang menyebabkan
fraktur tengkorak seperti kecelakaan kendaraan dan trauma (Japardi,
2004). Perdarahan biasanya bersumber dari robeknya arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (karena fraktur kalvaria), vena emmisaria,
dan sinus venosus duralis.
Selain itu tanda gejala epidural hematome menurut Evans (2006) antara lain:
keluarnya darah yang bercampur CSS dari hidung (rinorea) dan telinga
(othorea), refleks patologis Babinski positif kontralateral terjadi terlambat pada
sisi yang mengalami lesi, susah bicara, mual, pernafasan dangkal dan cepat
kemudian irregular, suhu meningkat, funduskopi dapat memperlihatkan papil
edema (setelah 6 jam kejadian), dan foto rontgen menunjukan garis fraktur yang
jalannya melintang dengan jalan arteri meningeamedia atau salah satu cabangnya.
Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah
intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung. (Andrews, 2000
dalam Soertidewi, 2012).
d) Patofisiologi
Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau
trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan laserasi pada pembuluh darah
arteri, khususnya arteri meningea media dimana arteri ini berada diantara
durameter dan tengkorak daerah temporal. Rusaknya arteri menyebabkan
perdarahan yang memenuhi epidural. Apabila perdarahan terus mendesak
durameter, maka darah akan memotong atau menjauhkan daerah durameter
dengan tengkorak, hal ini akan memperluas hematoma. Perluasan hematom
akan menekan hemisfer otak dibawahnya yaitu lobus temporal ke dalam dan
ke bawah. Seiring terbentuknya hematom maka akan memberikan efek yang
cukup berat yakni isi otak akan mengalami herniasi. Herniasi menyebabkan
penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti medulla oblongata yang
menyebabkan terjadinya penurunan hingga hilangnya kesadaran. Pada bagian
ini terdapat nervus okulomotor yang menekan saraf sehingga menyebabkan
peningkatan TIK, akibatnya terjadi penekanan saraf yang ada diotak (Japardi,
2004).
25
e) Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut pada cedera
kepala meliputi :
f. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelahmasa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
g. Kejang
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
h. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system
saraf yang lain.
26
f) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.
27
J. CLINICAL PATHWAY
Non Trauma Trauma
K. ASUHAN KEPERAWATAN
Ekstra kranial Post pembedahan Intra kranial
Tulang kranial
a. Pengkajian
Pelepasan mediator nyeri
Data dasarTerputusnya
pengkajian kontinuitas
pasien tergantung
jaringan tipe,
kulit,lokasi dan keparahan cedera meliputi
otot, dan : prostaglandin,
(histamine, Jaringan otak rusak
vaskuler bradikinin, serotonin, dll) (kontusio laserasi)
Data yang perlu dikaji
1. Identitas klien meliputi:
Perdarahan Gangguan suplai Port the entry - Perubahann autoregulasi
Ditangkap reseptor nyeri
a) Nama darah - Oedem serebral
perifer
Risiko Perubah
b) Umur: EDH biasanya sering terjadiRisiko infeksi
pada usia produktif dihubungkan enganangka kejadian kecelakaan yang rata-rata
syok an Iskemia Kejang
sering dialami oleh usia produktif
sirkulasi Impuls ke otak
Kerusakan memori
c) CSS
Jenis kelamin: Hipoksia
EDH dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan
Presepsi Gangguan neurologis Gangguan jalan nafas
d) Agama ketidakefektifan
nyeri vokal
Peningkatan TIK - Mual perfusi jaringan
e) Pendidikan- Papilodema Obstruksi jalan nafas
otak
- Pandangan Defisit neurologis
f) lobus
Gilus medialis Alamat Nyeri
kabur Ketidakefektifan bersihan
temporalis tergeser Risiko kekurangan akut jalan nafas
g) Pekerjaan - Penurunan Gangguan persepsi
fungsi volume cairan
h) Status perkawinan
pendengaran sensori
Herniasi unkus - Nyeri kepala
2. Riwayat kesehatan:
a) Diagnosa medis,
Mesenfalon tertekan Risiko cidera Tonsil cerebrum bergeser Kompresi medula oblongata
Gangguan kesadaran Imobilisasi Hambatan mobilitas fisik Supine terlalu lama Kerusakan
integritas kulit
Tirah baring lama
28
b) Keluhan utama: keluhan utama biasanya nyeri kepala setelah kecelakaan, dapat menjadi lucid interval (kehilangan
kesadaran secara mendadak) ketika EDH tidak ditangani dengan segera.
c) Riwayat penyakit sekarang berisi tentang kejadian yang mencetuskan EDH, kondisi paseien saat ini serta uapaya yang
sudah dilakukan pada pasien.
d) Riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami seperti DM atau hipertensi, alergi, imunisasi,
kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan, riwayat penyakit keluarga
3. Genogram
4. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
5. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan head to toe, pemeriksaan GCS
b) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,
kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor,
ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
c) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan
meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang
diselingi dengan bradikardia, disritmia).
29
d) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka
dapat terjadi :
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik
diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga
kesulitan menelan.
Pengkajian saraf kranial :
Pengkajian saraf kranial yang ditemui pada Epidural Hematom :
1) Saraf I : klien akan mengalami gangguan penciuman/anosmia unilateral dan bilateral
2) Saraf II : klien yang mengalami hematom palpebra akan mengalami penurunan lapang pandang dan mengganggu
fungsi saraf optikus
30
b. Diagnosa Keperwatan
31
Pre op
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak
2. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, penekanan reseptor nyeri
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret
4. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
Post op
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
3. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, penekanan reseptor nyeri
4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi secret
5. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubuingan dengan imobilisasi dalam waktu yang lama
c. Implementasi
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
.
1. Gangguan NOC: Tissue Perfusion: NIC: 1. Mengetahui status sirkulasi
perfusi jaringan Cerebral Circulatory Precaution perifer dan adanya kondisi
serebral Kriteria hasil: 1. Kaji sirkulasi perifer secara abnormal pada tubuh
berhubungan 1. Menunjukkan perfusi komprehensif (nadi perifer, edema, 2. Mengetahui adanya
dengan jaringan membaik TD CRT, warna, dan suhu ekstremitas) perubahan akibat gangguan
penurunan dalam batas normal, 2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi sirkulasi perifer
aliran darah ke tidak ada keluhan sakit kemerahan, nyeri, atau pembengkakan 3. Menghindari cedera untuk
otak kepala. 3. Hindarkan cedera pada area dengan meminimalkan luka
2. Tanda-tanda vital stabil perfusi yang minimal 4. Posisi trendelenberg akan
3. Tidak menunjukkan 4. Hindarkan klien dari posisi meningkatkan TIK sehingga
adanya gangguan trendelenberg yang meningkatkan memperparah kondisi klien
perfusi meliputi TIK 5. Mengurangi penekanan agar
disorientasi, 5. Hindarkan adanya penekanan pada perfusi tidak terganggu
kebingungan, maupun area cedera 6. Obat-obatan untuk
nyeri kepala 6. Pertahankan cairan dan obat-obatan meningkatkan sattus perfusi
sesuai program 7. Mengurangi kecemasan
7. Health education tentang keadaan dan keluarga
kondisi pasien kepada keluarga 8. Membantu mempercepat
8. Kolaborasi pemberian terapi kesembuhan klien
medikamentosa
2. Ketidakefektifa Respiratory status : Respiratory monitoring 1. Mengetahui kondisi
n pola nafas Ventilation 1. Monitor kecepatan, frekuensi, pernapasan pasien
berhubungan Status sistem pernapasan : kedalaman dan kekuataan ketika 2. Mengetahui keadaaan paru dan
dengan ventilasi pasien bernapas jantung pasien
kerusakan Pola napas pasien adekuat 2. Monitor hasil pemeriksaan rontgen 3. Mengetahui suara napas pasien
neuromuskuler ditandai dengan: dada 4. Mengetahui kondisi pasien
1. Pasien bernapas tanpa 3. Monitor suara napas pasien untuk menentukan intervensi
kesulitan 4. Kaji dan pantau adanya perubahan selanjutnya sesuai indikasi
2. Menunjukkan perbaikan dalam pernapasan 5. Untuk memantau kondisi
pernapasan 5. Monitor sekret yang dikeluarkan oleh pasien (suara napas pasien)
3. Paru-paru bersih pada pasien untuk menentukan intervensi
pemeriksaan auskultasi 6. Health education tentang keadaan sesuai indikasi
4. Kadar PO2 dan PCO2 dan kondisi pasien kepada keluarga 6. Mengurangi kecemasan
dalam batas normal 7. Kolaborasi pemberian terapi keluarga
medikamentosa 7. Membantu penyembuhan klien
3 Ketidakefektifa NOC : NIC :
n bersihan jalan 1. Respiratory status : Airway suction
napas Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal 1. Menjaga kebersihan oral
berhubungan 2. Respiratory status : suctioning mencegah penumpukan
dengan Airway patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sputum
akumulasi 3. Aspiration Control sesudah suctioning. 2. Mengetahui ada tidaknya
sekret Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan keluarga sputum
1. Mendemonstrasikan tentang suctioning 3. Informed consent tindakan
batuk efektif dan suara 4. Minta klien nafas dalam sebelum 4. Menampung O2 sebagai
nafas yang bersih, tidak suction dilakukan. cadangan
ada sianosis dan dyspneu 5. Berikan O2 dengan menggunakan 5. O2 masih ada untuk
(mampu mengeluarkan nasal untuk memfasilitasi suksion pernapasan
sputum, mampu bernafas nasotrakeal 6. Mencegah infeksi
dengan mudah, tidak ada 6. Gunakan alat yang steril setiap 7. Memberikan waktu pasien
pursed lips) melakukan tindakan untuk istirahat
2. Menunjukkan jalan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan 8. Mengetahui status oksigen
nafas yang paten (klien napas dalam setelah kateter pasien
tidak merasa tercekik, dikeluarkan dari nasotrakeal 9. Mencegah hipoksia yang
irama nafas, frekuensi 8. Monitor status oksigen pasien berlebihan
pernafasan dalam 9. Hentikan suction dan berikan oksigen
rentang normal, tidak apabila pasien menunjukkan
ada suara nafas bradikardi, peningkatan saturasi O2,
abnormal) dll.
3. Mampu Airway Management
mengidentifikasikan dan 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik 1. Membuat jalan napas paten
mencegah factor yang chin lift atau jaw thrust bila perlu 2. Memposisikan yang nyaman
dapat menghambat jalan 2. Posisikan pasien untuk untuk ventilasi
nafas memaksimalkan ventilasi 3. Mengetahui status respirasi
3. Identifikasi pasien perlunya pasien adekuat atau tidak
pemasangan alat jalan nafas buatan 4. Membantu jalan napas supaya
4. Pasang mayo bila perlu paten
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 5. Membantu mengeluarkan
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau sputum
suction 6. Mencegah penumpukan
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya sputum didalam paru
suara tambahan 7. Mengetahui adanya suara
8. Lakukan suction pada mayo tambahan
9. Berikan bronkodilator bila perlu 8. Mencegah jalan napas tidak
10. Berikan pelembab udara kassa basah buntu
NaCl lembab 9. Vasodilatasi paru
11. Atur intake untuk cairan 10. Mencegah gesekan yang
mengoptimalkan keseimbangan. berlebihan
12. Monitor respirasi dan status O2 11. Menjaga balance cairan
12. Mengetahui status oksigen
pasien
4 Ketidakseimba NOC : NIC :
ngan 1. Nutritional Status : Nutrition Management
pemenuhan Food and Fluid Intake 1. Pasang pipa lambung sesuai indikasi, 1. Memenuhi kebuthan nutrisi
kebutuhan Kriteria Hasil : periksa posisi pipa lambung setiap pasien
nutrisi kurang 1. Adanya peningkatan akan memberikan makanan 2. Untuk mencegah terjadinya
dari kebutuhan berat badan sesuai 2. Tinggikan bagian kepala tempat tidur regurgitasi dan aspirasi
tubuh dengan tujuan setinggi 30 derajat 3. Mengetahui jumlah intake
berhubungan 2. Berat badan ideal sesuai 3. Catat makanan yang masuk harian pasien
dengan dengan tinggi badan 4. Kaji cairan gaster, muntahan 4. Mengetahui adanya tidaknya
penurunan 3. Mampu mengidentifikasi 5. Health education tentang diet dengan perdarahan gastrointestinal
kesadaran kebutuhan nutrisi keluarga 5. Meningkatkan pengetahuan
4. Tidak ada tanda tanda 6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam keluarga
malnutrisi pemberian diet yang sesuai dengan 6. Memenuhi kebutuhan nutrisi
5. Tidak terjadi penurunan kondisi pasien harian pasien
berat badan yang berarti
5. Nyeri akut NOC : NIC : a. Membantu dalam menentukan
berhubungan - Pain level Pain Management status nyeri pasien dan
dengan - Pain control a. Kaji karakteristik pasien secara menjadi data dasar untuk
terputusnya - Comfort level PQRST intervensi dan monitoring
kontinuitas Kriteria hasil: b. Lakukan manajemen nyeri sesuai skala keberhasilan intervensi
jaringan a. Mampu mengontrol nyeri misalnya pengaturan posisi b. Meningkatkan rasa nyaman
nyeri (tahu penyebab fisiologis dengan mengurangi sensasi
nyeri, mampu c. Ajarkan teknik relaksasi seperti nafas tekan pada area yang sakit
menggunakan teknik dalam dan distraksi pada saat rasa c. Hipoksemia lokal dapat
nonfarmakologi untuk nyeri datang (jika pasien sadar dan menyebabkan rasa nyeri dan
mengurangi nyeri) kooperatif) peningkatan suplai oksigen
b. Melaporkan bahwa nyeri d. Beri manajemen sentuhan berupa pada area nyeri dapat
berkurang dengan pemijatan ringat pada area sekitar membantu menurunkan rasa
menggunakan nyeri nyeri
manajemen nyeri e. Kolaborasi dengan pemberian d. Meningkatkan respon aliran
c. Mampu mengenali nyeri analgesik secara periodik darah pada area nyeri dan
(skala, intensitas, merupakan salah satu metode
frekuensi dan tanda pengalihan perhatian
nyeri) e. Mempertahankan kadar obat
d. Menyatakan rasa dan menghindari puncak
nyaman setelah nyeri periode nyeri
berkurang
DAFTAR PUSTAKA
Bruner & Sudart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC.