Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN ELIMINASI URINE

Oleh:
AGIETA SUNDARI
113063C114001

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Kebutuhan Eliminasi


1.1 Definisi kebutuhan eliminasi
Eliminasi adalah produk sisa pencernaan yang teratur merupakan
aspek yang penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi
dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan sistem
tubuh lainya (Potter dan Perry, 2006).
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme
tubuh baik yan berupa urin maupun fekal. Eliminasi urin normalnya
adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi dari plasma darah di
glomerolus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal untuk di
filterisasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin sebagian besar
hasil filterisasi akan di serap kembali di tubulus ginjal untuk di
manfaatkan oleh tubuh (Tarwoto & Wartonah, 2010).
Menurut Abraham Maslow kebutuhan fisiologi sangat mendasar,
paling kuat dan paling jelas dari antara sekian kebutuhan adalah untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik. Manusia akan menekan
kebutuhannya sedemikian rupa agar kebutuhan fisiologis (dasar)nya
tercukupi. Sebagai conroh yakni pengeluaran zat sisa (eliminasi), di
mana seseorang harus mengeluarkan zat-zat sisa yang sudah tidak
terpakai oleh tubuh. Karena jika tidak di kelurkan akan
mengakibatkan penyakit/pembentukan penyakit (Potter dan Patricia,
1997).
1.2 Fisiologi sistem kebutuhan eliminasi
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme
tubuh.
1.2.1 Eliminasi urin
a. Miksi (Berkemih) Miksi adalah proses pengosongan kandung
kemih bila kandung kemih terisi. Proses ini terjadi dari dua
langkah utama yaitu :
1) Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan
di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua.
2) Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks
berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih
atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan
kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun
refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis,
refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh
pusat korteks serebri atau batang otak.
b. Refleks Berkemih
Kita dapat mengetahui selama kandung kemih terisi,
banyak yang menyertai kontraksi berkemih mulai tampak,
seperti diperlihatkan oleh gelombang tajam dengan garis
putus-putus. Keadaan ini disebabkan oleh refleks
peregangan yang dimulai oleh reseptor regang sensorik
pada dinding kandung kemih, khususnya oleh reseptor pada
uretra posterior ketika daerah ini mulai terisi urin pada
tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik
dari reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen
sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan
kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih
melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama ini.
Ketika kandung kemih hanya terisi sebagian, kontraksi
berkemih ini biasanya secara spontan berelaksasi setelah
beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi, dan
tekanan turun kembali ke garis basal. Karena kandung
kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah
sering dan menyebabkan kontraksi otot detrusor lebih kuat.
Sekali refleks berkemih mulai timbul, refleks ini akan
“menghilang sendiri. “ Artinya, kontraksi awal kandung
kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regang untuk
menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik
ke kandung kemih dan uretra posterior, yang menimbulkan
peningkatan refleks kontraksi kandung kemih lebih lanjut,
jadi siklus ini berulang dan berulang lagi sampai kandung
kemih mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian, setelah
beberapa detik sampai lebih dari semenit, refleks yang
menghilang sendiri ini mulai melemah dan siklus
regeneratif dari refleks miksi ini berhenti, menyebabkan
kandung kemih berelaksasi. Jadi refleks berkemih adalah
suatu siklus tunggal lengkap dari:
1) Peningkatan tekanan yang cepat dan progresif
2) Periode tekanan dipertahankan
3) Kembalinya tekanan ke tonus basal kandung kemih.
Sekali refleks berkemih terjadi tetapi tidak berhasil
mengosongkan kandung kemih, elemen saraf dari refleks ini
biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa
menit sampai satu jam atau lebih sebelum refleks berkemih
lainnya terjadi. Karena kandung kemih menjadi semakin
terisi, refleks berkemih menjadi semakin sering dan
semakin kuat. Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat,
hal ini juga menimbulkan refleks lain, yang berjalan melalui
nervus pudendal ke sfingter eksternus untuk
menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak
daripada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna,
berkemih pun akan terjadi. Jika tidak, berkemih tidak akan
terjadi sampai kandung kemih terisi lagi dan refleks
berkemih menjadi makin kuat.
1.2.2 Mekanisme Eliminasi
Eliminasi urin biasa kita sebut dengan berkemih
merupakan proses pengosongan vesika urinaria
(kandung kemih). Vesika urinaria dapat menimbulkan
rangsangan saraf bila urinaria berisi ±250 - 450 cc (pada
dewasa) dan 200 - 250 cc (pada anak-anak). (A.Aziz, 2008).
Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi
urine yang dapat menimbulkan rangsangan pada saraf-saraf
di dinding vesika urinaria. Kemudian rangsangan tersebut
diteruskan melali medulla spinalis ke pusat pengontrol
berkemih yang terdapat di korterks serebral. Selanjutnya otak
memberikan impuls/ragsangan melalui medulla spinalis
neuromotoris di daerah sakral, kemudian terjadi koneksi otot
detrusor dan relaksasi otot sphincter internal (A.Aziz, 2008).
Urine dilepaskan dari vesika urinaria tetapi masih tertahan
sphincter eksternal. Jika waktu dan tempat memungkinkan
akan menyebabkan relaksasi sphincter eksternal dan urine
kemungkinan dikeluarkan (berkemih). (A.Aziz, 2008 : 64)
a. Proses Filtrasi
Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian
cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring
ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa,
air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke
tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrate
glomerulus.
b. Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian
besar dari glukosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion
bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator
reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan pada tubulus
distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion
bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara
aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada
papilla renalis.
c. Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus
distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke
luar.
1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
1.3.1 Diet dan Asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang
memengaruhi output urine (jumlah urine). Protein dapat
menentukan jumlah urine yang dibentuk. Selain itu, juga
dapat meningkatkan pembentukan urine.
1.3.2 Respons Keinginan Awal untuk Berkemih
1.3.3 Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat
menyebabkan urine banyak tertahan di dalam urinaria sehingga
memengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah urine.
1.3.4 Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan
kebutuhan eliminasi dalam kaitannya terhadap tersedianva
fasilitas toilet.
1.3.5 Stres Psikologis
Stres dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi
keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas
untuk keinginan berkemih dan jumlah urine yang diproduksi.
1.3.6 Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria
yang baik untuk fungsi sfingter. Hilangnya tonus otot vesika
urinaria menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih
menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan
beraktivitas.
1.3.7 Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat
memengaruhi pola berkemih. Hal tersebut dapat ditemukan
pada anak, yang lebih memiliki mengalami kesulitan untuk
mengontrol buang air kecil. Namun dengan usia kemampuan
dalam mengontrol buang air kecil.
1.3.8 Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit dapat memengaruhi produksi urine,
seperti diabetes melitus.
1.3.9 Sosiokultural
Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan
eliminasi urine, seperti adanya kultur pada masyarakat tertentu
yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu.
1.3.10 Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di
mengalamikesulitan untuk berkemih dengan melalui
urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit.
1.3.11 Tonus Otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu
proses berkemih adalah otot kandung kemih, otot abdomen dan
pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi
pengontirolan pengeluaran urine.
1.3.12 Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada
terjadinya peningkatan atau penurunan proses perkemihan.
Misalnya pemberian diure;tik dapat meningkatkan jumlah
urine, sedangkan pemberian obat antikolinergik dan
antihipertensi dapat menyebabkan retensi urine.
1.3.13 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini juga dap'at memengaruhi
kebutuhan eliminasi urine, khususnya prosedur-prosedur
yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran
kemih seperti IVY (intra venus yelogram), yang dapat
membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi produksi
urine. Selain itu tindakan sistoskopi dapat menimbulkan
edema lokal pada uretra yang dapat mengganggu
pengeluaran urine.
1.4 Macam-macam gangguan yang mungkin terjadi pada system
kebutuhan eliminasi
Gangguan eleminasi urine adalah keadaan ketika seorang
individu mengalami atau berisiko mengalami disfungsi
eleminasi urine (Lynda Juall Carpenitro-Moyet, 2010).
Gangguan eleminasi urine merupakan suatu kehilangan urine
involunter yang dikaitkan dengan distensi berlebih pada kandung
kemih (Nandal, 2011).
1.4.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran
prostat jinak adalah suatu kondisi
yang menyebabkan kelenjar prostat mengalami
pembengkakan, namun tidak bersifat kanker. Kelenjar prostat
memiliki fungsi untuk memproduksi air mani dan terletak pada
rongga pinggul antara kandung kemih dan penis. Karena
kelenjar prostat hanya dimiliki oleh pria, maka tentu saja
seluruh penderita BPH adalah pria. Umumnya pria yang
terkena kondisi ini berusia di atas 50 tahun.
1.4.2 Sistitis
Sistitis dalah inflamasi kandung kemih. Inflamasi ini dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri(biasanya Eacherichia Colf)
yang menyebar dari uretra atau karena respon alergi atau
akibat iritasi mekais pada kandung kemih. Gejalanya adalah
sering berkemih dan nyeri yang disertai darah dalam urine
(hematuria).
1.4.3 Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada
glomerulus
1.4.4 Pielonefritis
Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal
akibat infeksi bakteri. Infalamasi dapat berawal ditraktus
urinaria bawah (kanduung kemih) dan menyebar ke ureter,
atau karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal.
Obstruksi traktus urinari terjadi akibat pembesaran kelenjar
prosfat atau batu ginjal.
1.4.5 Batu Ginjal
Batu ginjal atau kalkuli Urinari terbentuk dari
pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau
sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersam dengan urine,
batu yang lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan
menyebabkan raa nyeri yang tajam (kolik ginjal) yang
menyebar dari ginjal ke selangkangan.
1.4.6 Gagal Ginjal
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Hal ini
mengakibatkan terjadinya retensi garam, air, zat buangan
nitrogen (urea dan kreatinin) dan penurunan drastis volume
urine (oliguria).
1.4.7 Retensi
Retensi Urine ialah penumpukan urine acuan kandung
kemih dan ketidaksanggupan kandung kemih untuk
mengosongkan sendiri.
1.4.8 Eniorisis
Ialah keluarnya kencing yang sering terjadi pada anak-
anak umumnya malam hari.
1.4.9 Inkontinensia
a. Inkontinensia Fungsional/urgensi
Inkotinensia Fungsional ialah keadaan dimana individu
mengalami inkontine karena kesulitan dalam mencapai atau
ketidak mampuan untuk mencapai toilet sebelum beerkemih
b. Inkontinensia Stress
Inkotinensia stress ialah keadaan dimana individu
mengalami pengeluaran urine segera pada peningkatan
dalam tekanan intra abdomen.
c. Inkontinensia Total
Inkotinensia total ialah keadaan dimana individu
mengalami kehilangan urine terus menerus yang tidak
dapat diperkirakan.
II. Rencana Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Kebutuhan Eliminasi
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Riwayat keperawatan mencakup tinjauan ulang pola
eleminasi dan gejala-gejala perubahan urinarius serta mengkaji
faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi klien untuk
berkemih secara normal.
a. Pola perkemihan
Perawat menanyakan pada klien mengenai pola
berkemih hariannya, teRmasuk frekuensi dan waktunya,
volume normal urine yang dikeluarkan setiap kali berkemih,
dan adanya perubahan yang terjadi baru-baru ini. Frekuensi
berkemih bervariasi pada setiap individu dan sesuai dengan
asupan serta jenis-jenis haluaran cairan dari jalur
yang lain. Waktu berkemih yang umum ialah saat bangun
tidur, setelah makan, dan sebelum tidur. Kebanyakna orang
berkemih rata-rata sebanyak lima kali atau lebih dalam satu
hari. Klien yang sering berkemih padamalam hari
kemungkinan mengalami penyakit ginjal atau
pembesaran prostat. Informasi tentang pola berkemih
merupakan dasar yang tidak dapat dipungkiri
untukmembuat suatu perbandingan. Dibawah merupakan
gejala umum pada perubahan perkemihan:
1) Urgensi: merasakan kebutuhan untuk segera berkemih
2) Disuria: merasa nyeri atau sudut berkemih
3) Frekuensi: berkemih dengan sering
4) Keraguan: sulit memulai berkemih
5) Poliuria: mengeluarkan sejumlah besar urine Nukturia :
berkemih berlebihan atau sering pada malam hari
6) Dribling (urine yang menetes) : kebocoran atau rembesan
urine walaupun ada kontrol terhadap pengeluaran urine.
7) Hematuria: terdapat darah dalam urine
8) Retensi: akumulasi urine di dalam kandung
kemih disertai ketidakmampuan kandung kemih
untuk benar-benar mengosongkan dirI.
9) Oliguria: haluaran urine menurun dibandingkan cairan
yang masuk Perawat menanyakan pada klien
mengenai pola berkemih hariannya,
10) Residu urine: volume urine yang tersisa setalah berkemih
(volume 100 ml atau lebih)
b. Tanda dan gejala

1) Gangguan Pencernaan
2) Tidak Nafsu Makan
3) Mual-mual dan Muntah
4) Berat badan turun dan lesu
5) Gatal-gatal
6) Gangguan tidur
7) Hipertensi dan Vena di leher melebar
8) Cairan di selaput jantung dan paru-paru
9) Otot-otot mengecil
10) Gerakan-gerakan tak terkendali, kram
11) Kulit kasar
12) Sesak napas dan confusion
2.1.2 Pemeriksaan fisik
Pengkajian fisik memungkinkan perawat untuk
menentukan keberadaan dan tingkat keparahan masalah
eleminasi urine.organ utama yang ditinjau kembali meliputi
kulit, ginjal, kandung kemih, dan uretra.
a. Pengkajian urine
Pengkajian urine dilakukan dengan mengukur
asupan cairan dan haluaran urine serta mengobservasi
karakteristik urine klien.
1) Asupan dan haluaran
2) Karatekristik urine
3) Pemeriksaan urine
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
Tes diagnostik pada inkontinensia urin (Menurut
Ouslander) perlu dilakukan untuk mengetahui faktor yang
potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi
kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
a. Mengukur sisa urine setelah berkemih
Dilakukan dengan cara: Setelah buang air kecil,
pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur
atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa
urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak
adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine
yang bersih untuk mendeteksi adanya factor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri,
piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes
diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal
didiagnosis belum jelas.
b. Tes lanjutan tersebut adalah:
1) Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood
urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes
urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan
fungsi saluran kemih bagian bawah.
2) Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di
dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis
c. Imaging
Merupakan tes terhadap saluran perkemihan bagian
atas dan bawah. Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik
sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat
mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu diperkirakan
pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine.
Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat
juga dilakukan.
Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika
kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk
berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa
dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin
sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh
antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau
tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan
kapasitas kandung kemih.
d. Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan
kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan
kondisi yang menyebabkan poliuri.
e. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan
jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak
inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan
inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat
digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat
dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat
menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya
inkontinensia urin pada dirinya.
f. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri,
darah dan glukosa dalam urine.
g. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih
dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
h. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular
kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot
destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi
kandung kemih terhadap rangsangan panas.
i. Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan
mengukur laju aliran ketika pasien berkemih :
1) Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan
kandung kemih.
2) Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam
kandung kemih setelah pasien berkemih.
j. Sistometrogram dan elektromiogram. Dilakukan untuk
mengevaluasi otot detrusor, spingter dan otot perineum.
k. USG kandung kemih, sistoskopi dan IVP. Dilakukan untuk
mengkaji struktur dan fungsi saluran kemih.
2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1: Retensi urine
2.2.1 Definisi
Yakni pengosongan kandung kemih tidak komplet.
2.2.2 Batasan karakteristik
a. Tidak ada haluaran urine
b. Distensi kandung kemih
c. Menetes
d. Disuria
e. Sering berkemih
f. Inkotinensia aliran berlebih
g. Residu urine
h. Sensasi kandung kemih penuh
i. Berkemih sedikit
2.2.3 Faktor yang berhubungan
a. Sumbatan
b. Tekanan ureter tinggi
c. Inhibisi arkus refleks
d. Sfingter kuat
Kemungkinan data yang ditemukan :

a. Gangguan neuromuskuler
b. Spasme bladder
c. Trauma pelvic
d. Infeksi saluran kemih
e. Trauma medulla spinalis
Diagnosa 2: Inkonteninsia urin stress
2.2.4 Definisi
Rembesan urine tiba-tiba karena aktivtas yang
meningkatkan tekanan intra abdomen
2.2.5 Batasan karakteristik
a. Rembesan involunter sedikit urine (mis. Pada saat batuk ,
tertawa, bersin, atau olahraga)
b. Rembesan involunter sedikit urine pada tidak adanya
kontraksi detrusor
c. Rembesan involunter sedikit urine pada tidak adanya
overdistensi kandung kemih
2.2.6 Faktor yang berhubungan
a. Difisiensi sfingter uretra intrinsik
b. Kelemahan otot pelvik
c. Peningkatan tekanan intraabdomen
d. Perubahan degeneratif pada otot-otot pelvik
2.3 Perencanaan
NO Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
Keperawatan hasil (NOC) (NIC)
1 Retensi urin Selama perawatan a. Urinary
berhubungan klien menunjukkan Retention Care
dengan: eliminasi urin b. Monitor intake
Tekanan uretra dengan kriteria dan output
tinggi, blockage, hasil: c. Monitor
hambatan reflek, a. Kandung kemih penggunaan
spingter kuat kosong secara obat
penuh antikolinergik
DS: b. Tidak ada d. Monitor derajat
a. Disuria residu urine distensi bladder
b. Bladder >100-200 cc e. Instruksikan
terasa c. Intake cairan pada pasien dan
penuh dalam rentang keluarga untuk
DO : normal mencatat output
a. Distensi d. Bebas dari ISK urine
bladder e. Tidak ada f. Sediakan
b. Terdapat spasme bladder privacy untuk
urine f. Balance cairan eliminasi
residu seimbang g. Stimulasi reflek
c. Inkontin bladder dengan
ensia tip kompres dingin
e luapan pada abdomen.
d. Urin h. Kateterisaai jika
output perlu
sedikit/ti i. Monitor tanda
dak ada dan gejala ISK
(panas,
hematuria,
perubahan bau
dan konsistensi
urine)

2 Inkonteninsia Selama masa a. Kaji kebiasaan


berhubungan perawata pola berkemih
dengan diharapkan dan gunakan
kelemahan otot inkontinensia catatan
pelvis dan teratasi dengan berkemih
struktur dasar kriteria hasil: sehari,
penyokongnya. a. Klien akan bisa b. Pertahankan
melaporkan catatan harian
suatu untuk mengkaji
pengurangan / efektifitas
penghilangan program yang
inkonteninsia direncanakan.
b. Klien dapat c. Intruksikan
menjelaskan klien batuk
penyebab dalam posisi
inkonteninsia litotomi, jika
dan rasional tidak ada
penatalaksanaan kebocoran,
ulangi dengan
posisiklien
membentuk
sudut 45,
lanjutkan
dengan klien
berdiri jika
tidak ada
kebocoran yang
lebih dulu.
d. Pantau masukan
dan
pengeluaran,
pastikan klien
mendapat
masukan cairan
2000 ml,
kecuali harus
dibatasi
e. Kolaborasi
dengan dokter
dalam mengkaji
efek medikasi
dan tentukan
kemungkinan
perubahan obat,
dosis / jadwal
pemberian obat
untuk
menurunkan
frekuensi
inkonteninsia.
III. Daftar Pustaka

Doenges, Moorhouse, Geissler. (2005), Rencana Asuhan keperawatan.


Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. EGC.

Mubarak, Wahid.I & Chayatin, NS.Nurul. (2008). ”Kebutuhan Dasar


Manusia”. Jakarta : EGC.

Nanda. (2015-2017). Panduan Diagnosa Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi. Jakarta: EGC

Perry dan Potter. (2005). Fundamental Of Nursing. USA:C.V Moasby


Company St.Louis

Rahayu, Sunarsih & Harnanto, A.M. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia


II. Jakarta.

Wilkinson dkk. (2011). Buku Saku Diagnosa Keperawatan: dengan


diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Dan Kriteria Hasil NOC. Edisi
9. Jakarta : EGC.

Amin Huda Nuratif, Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai