Anda di halaman 1dari 33

Responsi Kasus

TINEA KORPORIS, KRURIS ET MANUM

Oleh :
Nadira Rachmianti Hartanto
G99181046

Pembimbing:
Dr. dr. Indah Julianto, Sp.KK (K), FINS DV, FAA DV

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI

Kasus responsi yang berhudul : Tinea Korporis, Kruris, et Manum

Nadira Rachmianti Hartanto, NIM G99181046, Periode koass: 21 Januari – 17


Februari 2019

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
Kelamin RSUD Dr. Moewardi – Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Yang bertanda tangan dibawah ini :

Surakarta, 11 Februari 2019

Chief Residen Koass Residen Pemeriksa

dr. Adni dr. Devi

Staff Pembimbing

Dr. dr. Indah Julianto, Sp.KK (K), FINS DV, FAADV

2
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : Dr. dr. Indah Julianto, Sp.KK (K), FINS DV, FAA DV
Nama Mahasiswa : Nadira Rachmianti Hartanto
NIM : G99181046

TINEA KORPORIS
A. PENDAHULUAN

Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit glabrosa kecuali pada


telapak tangan, telapak kaki, dan selangkangan. Dermatofitosis adalah salah satu
kelompok dermatomikosis superfisialis yang disebabkan oleh jamur dermatofit,
terjadi sebagai reaksi pejamu terhadap produk metabolit jamur dan akibat invasi
oleh suatu organisme pada jaringan hidup. Dermatofitosis disebabkan oleh
kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin
seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan.
Dermatofit sebagai suatu kelompok jamur memiliki kemampuan membentuk
molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber
nutrisi untuk membentuk kolonisasi. Golongan jamur ini mempunyai sifat
mencerna keratin, yang terbagi dalam 3 genus yaitu : microsporum, trichophyton,
dan epidermophyton.1
Ada beberapa klasifikasi yang dibuat untuk membagi dermatofitosis, berikut
merupakan pembagian yang lebih praktis berdasarkan lokasi, yaitu1 :
1. Tinea Kapitis : dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
2. Tinea Barbae : dermatofitosis pada dagu dan jenggot
3. Tinea Kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah
4. Tinea pedis et manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan
5. Tinea unguium : dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki

3
6. Tinea korporis : dermatofitosis pada bagian lain selain bentuk diatas
Adapun selain bentuk diatas, ada beberapa tinea yang masih dikenal, yaitu
tinea imbrikata, tinea favosa, tinea fasialis, tinea sirsinata. Bentuk istilah tersebut
dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis.1 Tinea korporis umumnya tersebar
pada seluruh masyarakat tetapi lebih banyak didapatkan di daerah tropis dan
subtropis. 2
B. SINONIM
Tinea sirsinata, tinea glabrosa, ringworm of the body, kurap.1,2
C. EPIDEMIOLOGI
Infeksi jamur yang tersering pada anak-anak sebelum pubertas adalah tinea
korporis dan tinea capitis, sedangkan pada remaja dan dewasa lebih sering terkena
tinea cruris, tinea pedis dan tinea unguinum. Tricophyton rubrum merupakan
infeksi yang paling umum diseluruh dunia dan dapat menyebabkan tinea korporis
dan tinea cruris.3,4
Tinea korporis dapat ditularkan langsung dari manusia atau hewan yang
terinfeksi, melalui fomit, atau dapat terjadi melalui autoinokulasi dari reservoir
kolonisasi dermatofit di kaki. Anak-anak lebih cenderung terkontaminasi oleh
patogen zoofilik, terutama M. canis, dari anjing atau kucing. Pakaian ketat dan
iklim lembab dikaitkan dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi.
Mengenakan pakaian ketat, sering berhubungan dengan kulit ke kulit, dan trauma
ringan dapat menciptakan lingkungan di mana dermatofit berkembang.1
Tinea korporis memiliki prevalensi yang sama antara pria dan wanita. Tinea
korporis mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tetapi prevalensinya
lebih tinggi pada dewasa muda. Tinea korporis yang berasal dari binatang
umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak.5 Secara geografi sering terjadi pada
daerah tropis dan subtropis.6
D. ETIOLOGI
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai dermatofit seperti
Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Dari ketiga genus tersebut
telah ditemukan 42 spesies, terdiri dari 16 spesies Microsporum, 24 spesies
Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton.6 Microsporum menginfeksi kulit dan

4
rambut, Trichophyton menginfeksi kulit, rambut dan kuku, Epidermophyton
menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku.1 Namun demikian yang
lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum, T.mentagrophytes,
dan M.canis.2 Cara penularan infeksi pada tinea korporis melalui kontak
langsung dengan manusia (antropophilic), tanah (geophilic) dan melalui hewan
(zoophilic).3 Sumber penularan dermatofita zoophilic umumnya melalui hewan
peliharaan, hewan ternak dan kuda. 2
E. PATOGENESIS
Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang luka,
jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya
artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu
pada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi
reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan
patogen dari tempat infeksi sehingga patogen akan mencari tempat yang baru di
bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis
yang khas berupa central healing.6
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan
untuk pertumbuhan miselia jamur.1,6 Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga tahap:
adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.1
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini
harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik. 1,2
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.

5
Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor
yang penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada
dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.
Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam, termasuk
kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat menghambat
pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron. 3,5
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel
yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan
juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari
komplemen. 1,3
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat
namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan dermatofita.
Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ yang diatur oleh
sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita
sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan dan
tes trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang negatif. Infeksi akan tampak
sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan
tumbuhnya keratinosit. Ada yang mengungkapkan hipothesis bahwa antigen
dari dermatofita lalu diproses oleh sel Langerhans dan dipresentasikan di
nodus limfatikus kepada sel limfosit T. Sel limfosit T berproliferasi klonal
dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk melawan jamur. Saat itu lesi kulit
menunjukkan reaksi inflamasi dan barier epidermal menjadi permeable
untuk migrasi dan perindahan sel. Sebagai akibat dari reaksi ini jamur
dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan. Dalam hal ini tes trikopitin

6
menunjukkan hasil yang positif dan penyembuhan terhadap infeksi yang
kedua kalinya menjadi lebih cepat.3
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1).2 Mekanisme imun
yang terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih
jauh lagi. Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun
berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat (tipe IV)
terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi
produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat,
terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya, antigen
dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian
menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya
degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta mediator proinflamasi
lainnya.2,3
F. GEJALA KLINIS
Tinea Korporis merupakan dermatofitosis yang menyerang seluruh tubuh
kecuali telapak tangan, telapak kaki dan selangkangan. Awalnya tampak lesi
eritema, yang dapat dengan cepat membesar dan meluas, dengan batas tegas dan
konfigurasi anular karena resolusi sentral. Pada pasien yang terinfeksi HIV atau
pasien dengan imunocompromised biasanya timbul abses atau infeksi kulit yang
luas. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan lain.
Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir polisiklik,
karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang
lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapatkan infeksi baru pertama kali.1
Penderita yang terinfeksi memiliki variasi gejala klinis, namun ada juga
penderita tanpa keluhan. Penderita umumnya mengeluh gatal, dan terkadang bisa
mengeluh merasakan seperti terbakar. Rasa gatal terutama dirasakan saat
penderita berkeringat. Adapun selain keluhan, hal-hal penting yang perlu digali
adalah mengenai riwayat kontak dengan penderita ataupun dengan hewan
peliharaan, karena tinea korporis dapat juga ditularkan melalui hewan peliharaan.

7
Selain itu perlu juga digali tentang pekerjaan atau kegiatan yang mungkin
merupakan faktor risiko penularan tinea korporis.5
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul
berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini, setelah beberapa waktu
mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama
yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari bagian tengah ke arah
luar, akan terasa jelas skuama yang menghadap ke dalam. Lingkaran-lingkaran
skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran-lingkaran
di sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada permulaan
infeksi penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan yang menahun
tidak menimbulkan keluhan pada penderita.5
Granuloma majocchi, merupakan bentuk lain dari tinea korporis yang lebih
berat, yang menyerang rambut, folikel rambut dan sekitar dermis, serta
melibatkan reaksi granulomatosa. Penyakit ini umumnya terjadi pada wanita yang
mencukur bulu kaki. Tinea korporis gladiatorum adalah infeksi dermatofita yang
ditularkan melalui kontak langsung dari kulit ke kulit, yang terjadi pada pegulat.
Penyakit ini umumnya menyerang kepala, leher dan lengan (anggota tubuh yang
biasanya kontak saat bergulat).5 Tinea incognito merupakan penyakit dengan
gejala tidak khas karena dipengaruhi pengobatan kortikosteroid.8

Gambar 1. Gambaran klinis tinea korporis2

8
Gambar 2. Gambaran klinis tinea korporis et kruris2
G. DIAGNOSIS BANDING
Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan
dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, ptiriasis rosea, dan psoriasis.1 Untuk
alasan ini, tes laboratorium sebaiknya dilakukan pada kasus dengan lesi kulit yang
tidak jelas penyebabnya.5
Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea
korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya dikulit
kepala, lipatan-lipatan kulit, misanya belakang telinga, daerah nasolabial dan
sebagainya. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari tempat predileksi,
yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut
juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan lekukan pada kuku dapat
pula menolong untuk menentukan diagnosis. 1
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas, tubuh
dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa
herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis.
Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. 1
1. Erythema annulare centrifugum
Ditandai dengan lesi eritematosa berbentuk anular dan polisiklis. Bukan
merupakan penyakit tunggal, tetapi biasanya ditemukan bersama dengan

9
penyakit lain. Penyebab belum diketahui, diduga paling banyak disebabkan
oleh infeksi bakteri atau Candida, penyakit autoimun dan perubahan
hormonal. 2
2. Dermatitis numularis
Lesi berbentuk plakat papulopustular yang cenderung simetris di kedua
tungkai. 2,7
3. Granuloma annulare
Lesi berbentuk cincin berupa deretan papul yang berbentuk manik – manik
di ekstremitas, bersifat swasima, kebanyakan hilang dalam 2 tahun. Banyak
ditemukan pada anak – anak dan dewasa muda. Penyebab belum diketahui,
biasanya didahului oleh riwayat trauma. 2,7
4. Psoriasis vulgaris
Lesi psoriasis vulgaris pada fase penyembuhan mirip dengan tinea korporis.
Psoriasis vulgaris banyak ditemukan di lutut, siku, kulit kepala. Temuan
pitting nail pada kuku dapat membantu penegakan diagnosis. 2,7
5. Liken simpleks kronikus/neurodermatitis sirkumskripta
Bila lesi tinea korporis mengalami likenifikasi gambarannya dapat mirip
liken simpleks. 2
6. Dermatitis seboroik
Biasanya lesi simetris, sering dihubungkan dengan dermatitis seboroik pada
kulit kepala dan area intertrigo. 2
7. Pitriasis rosea
Lesi biasanya simetris pada badan dan bagian proksimal tungkai. Lesi yang
disebut herald patch agak sukar dibedakan dengan tinea korporis dan
membutuhkan pemeriksaan laboratorium mikroskopis dari skuamanya. 2,7
8. Kusta
a. Pausibasiler tipe TT : terdapat central healing disertai anestesi dan
pembesaran saraf tepid an BTA negative. 2
b. Multibasiler tipe BB : terdapat punched out lesion dan cental healing
disertai anestesi, serta pembesaran saraf tepi dan pemeriksaan
bakterioskopik positif. 2

10
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
tinea corporis antara lain1:
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%.
Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang
mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan skalpel
steril dan jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril pula atau
ditempel pada selotip. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa langsung
dengan KOH 10% yang diberi tinta Parker biru hitam atau biru laktofenol,
dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah
mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur, maka kelihatan garis yang
memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarak-jarak tertentu dipisahkan
oleh sekat-sekat yang dikenal dengan hifa.

Gambar 3. Preparat KOH2


2. Pemeriksaan dengan sinar wood
Dapat memberikan perubahan warna pada seluruh daerah lesi sehingga
batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan
memperlihatkan fluoresensi warna kuning keemasan sampai orange.
Pemeriksaan ini memungkinkan untuk melihat dengan lebih jelas perubahan
pigmentasi yang menyertai kelainan ini.
3. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan dengan biakan jamur tidak terlalu bernilai secara diagnostik
karena memerlukan waktu yang lama. Pemeriksaan ini mengunakan media
biakan agar malt atau saboraud’s agar. Koloni yang tumbuh berbentuk

11
soliter, sedikit meninggi, bulat mengkilap dan lama kelamaan akan kering
dan dibawah mikroskop terlihat yeast cell bentuk oval dengan hifa pendek.

12
I. DIAGNOSIS
1) Anamnesis
Lakukan anamnesis kepada pasien untuk mengetahui sejak kapan
timbulnya gejala, durasi gejala, pengobatan sebelumnya dan kontak yang
kemungkinan menjadi penyebab timbulnya keluhan. Tanyakan kepada
pasien riwayat kontak dengan hewan peliharaan (seperti kucing, anjing,
hamster) yang memiliki lesi. 2
2) Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan pada kulit yang terkena lesi (status lokalis).
Distribusi lesi pada infeksi tinea biasanya asimetris. Morfologi lesi berupa
makula/plak eritem yang disertai skuama. 2
3) Pemeriksaan penunjang

J. TERAPI
Pada tinea korporis dengan lesi terbatas, cukup diberikan obat topical.7 Lama
pengobatan bervariasi antara 2 sampai dengan 4 minggu tergantung jenis obat..9
1. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal
dipengaruhi oleh mekanisme kerja obat tersebut. Cara pemakaian terapi
topikal ini dengan dioleskan 1-2 kali sehari pada area yang terkena infeksi
jamur (affected area) sampai 2 cm pada kulit sehat di sekitarnya. Pilihan
obat diantaranya adalah8,9,11:
a. Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoate (6-12%) dalam
bentuk salep (salep whitfield).8
b. Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep
(salep 2-4)
c. Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol dan yang
terbaru sertaconazole nitrate. Klotrimazol merupakan salah satu
golongan azol yang memiliki efektivitas yang baik terhadap
dermatofitosis dibandingkan dengan golongan azol lainnya

13
(mikonazol dan ketokonazol). Sedangkan golongan antifungal baru
seperti sertaconazole telah terbukti memiliki efektivitas dan toleransi
yang lebih baik dibandingkan dengan mikonazol.11
d. Derivat alilamin : terbinafine 1% selama 4-6 minggu.9
e. Kortikosteroid potensi rendah sampai sedang, namun penggunaannya
tidak boleh dalam jangka waktu yang panjang karena pemakaian
kortikosteroid dapat menyebabkan infeksi rekuren, durasi terapi
menjadi lebih lama, dan efek samping pada kulit seperti atrofi,
teleangiektasis, striae. 3
2. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus tinea korporis dengan infeksi
kulit yang luas, pasien imunocompromise, pasien resisten dengan
pengobatan topical, dan komorbid dengan tinea kapitis atau tinea
unguium.7,12 Pilihan obat diantaranya adalah12:
a. Griseofulvin 0,5-1 gr atau 10mg/kgBB/hari untuk dewasa, sedangkan
untuk anak-anak 0,25-0,5 gr sehari dalam dosis tunggal atau terbagi.
Sediaan mikrosize 500 mg. Lama pemberian sampai gejala klinis
membaik, dan umumnya 3-4 minggu
b. Derivat azol : ketokonazol 200-400 mg per hari selama 3-4 minggu,
namun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan kelainan hati.
Itrakonazol 100 mg per hari selama 2 minggu atau 200 mg per hari
selama 1 minggu. Flukonazol 150-300 mg/ minggu selama 2-4 minggu.
c. Derivat Alilamin : terbinafin 250 mg per hari selama 2-4 minggu

K. PROGNOSIS
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau
allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik.5

14
TINEA KRURIS
A. SINONIM
Jock itch, Eczema marginatum, Dhobie itch, Ringworm of the the
groin.2
B. DEFINISI
Tinea kruris merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang gatal
pada daerah lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus, merupakan kasus
terbanyak kedua pada dermatofitosis.3,14
C. EPIDEMIOLOGI
Onset terjadinya tinea kruris banyak terjadi pada orang dewasa.
Kejadian pada laki-laki lebih sering dibandingkan perempuan. Faktor
predisposisi terjadinya tinea kruris antara lain: lingkungan yang lembab dan
hangat, obesitas, pemakaian pakaian yang ketat, penggunaan glukokortikoid
topical dalam waktu lama. Di Indonesia sendiri kasus tinea kruris banyak
terjadi mengingat iklim di Indonesia merupakan iklim tropis sehingga lebih
mudah untuk terjadi infeksi dermatofita, terbukti dengan tinea kruris
menduduki peringkat pertama infeksi jamur superficial dari lima rumah
sakit Indonesia pada tahun 1997-2000. 1
D. ETIOLOGI
Tinea kruris sering disebabkan oleh dermatofit genus Trichophyton
dan Epidermophyton. Spesies yang sering ditemukan adalah T. rubrum dan
E. floccosum yang kemudian diketahui sebagai penyebab tersering dalam
wabah. T.interdigitale dan T. verrucosum lebih jarang menginfeksi. Genus
microsporum juga dapat menyebabkan tinea kruris tetapi sangat jarang.
Kekambuhan pada tinea kruris terutama disebabkan oleh T. rubrum.3
E. PATOGENESIS
Kulit pejamu diinokulasi pada kondisi yang sesuai, timbul beberapa
tingkatan dimana infeksi berlanjut yaitu periode inkubasi, periode refrakter
dan periode involusi. Selama fase awal (inkubasi), terdapat organisme-
tetapi secara klinis tenang. Dimana periode inkubasi berlangsung 1-3
minggu.2,3

15
Infeksi diawali dengan adanya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya
di dalam jaringan keratin yang mati. Hifa menghasilkan enzim keratolitik
yang kemudian berdifusi ke epidermis yang kemudian menimbulkan reaksi
inflamasi akibat kerusakan keratinosit. Pertumbuhan jamur dengan pola
radial dalam stratum korneum mengakibatkan lesi sirsinar dengan
memberikan batas tegas dan meninggi, yang disebut ringworm. Reaksi kulit
semula bercak atau papul sisik yang kemudian berkembang menjadi reaksi
peradangan.3,15
Jamur golongan dermatofita dapat memberikan efek infeksi ringan
sampai berat tergantung pada respon imun penderita. Kekebalan terhadap
infeksi ini dapat melibatkan mekanisme imunologis maupun non imunologi.
Mekanisme imunologis yang penting adalah adanya aktivitas imunitas
seluler, melalui hipersensitivitas tipe lambat. Dimulai dengan penangkapan
antigen oleh sel Langerhans yang bekerja sebagai APC (Antigen Presenting
Cell) yang mampu melakukan fungsi fagosit, produksi IL-1,
mengekspresikan antigen, reseptor Fc dan reseptor C3. Sel Langerhan
membawa antigen ke saluran getah bening dan mempertemukan dengan
limfosit spesifik, yang kemudian aktif dan menginfiltrasi tempat infeksi dan
melepaskan limfokin yang mengaktifkan makrofag sehingga mampu
membunuh jamur patogen.15
F. GEJALA KLINIS
Tinea kruris umumnya terasa gatal sampai nyeri karena iritasi akibat
digaruk. Tinea kruris terjadi pada pangkal paha, genital, area pubis, area
perineum dan perianal. Bisa terjadi bersamaan dengan tinea korporis.3,8,15
Lesi sering terjadi unilateral dan dimulai pada lipatan paha. Gejala
yang timbul biasanya berupa patch eritem yang gatal dengan tepi yang aktif
dengan skuama serta berbatas tegas dan meninggi bias dijumpai pustule atau
vesikel. Infeksi menyebar secara sentrifugal dan menghasilkan bentukan
patch annular berbagai ukuran dengan distribusi asimetrik. Bagian tengah
menyembuh berupa daerah coklat kehitaman berskuama. Garukan kronis
dapat menimbulkan gambaran likenifikasi. Pada infeksi E. floccosum, lesi

16
jarang meluas melewati region genitokrural dan paha atas bagian dalam.
Sedangkan pada T. rubrum sering bersatu dan menyebar meliputi daerah
yang lebih luas yaitu pubis, abdomen bagian bawah, gluteus dan daerah
perianal, biasanya selain rasa gatal juga kadang timbul rasa panas.8,10

Gambar 4. Tinea kruris. Lesi tampak patch eritema dengan lesi berbatas tegas
tepi aktif, dengan central healing (+)2
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Tes Laboratorium
Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan
usapan lesi kulit. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada gelas objek
steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10-20%. Sediaan
dibiarkan pada temperatur kamar selama 15-20 menit, dan dilihat di
bawah mikroskop. Adanya hifa menunjukkan infeksi disebabkan oleh
jamur.3,5,8

2) Histopatologi
Biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin dari tinea
korporis menunjukkan infiltrat superfisial. Neutrofil dapat dilihat dalam
stratum korneum yang merupakan petunjuk diagnostik signifikan. Septa
percabangan hifa terkadang dapat terlihat dalam stratum korneum
dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin.3,8
H. DIAGNOSIS BANDING3,12
 Eritrasma

17
 Candidiasis intertriginosa
 Dermatitis intertriginosa
 Annular lupus vulgaris

I. TERAPI
1) Medikamentosa
Pemberian terapi topikal pada tinea kruris maupun tinea korporis
dianggap sudah cukup jika tidak ditemukan adanya papul folikuler
ataupun tinea kapitis dan jamur pada kuku atau rambut.11 Dua jenis obat
anti jamur yang paling sering digunakan untuk mengobati tinea fasialis
adalah golongan azol dan alilamin. Golongan azol bekerja menghambat
lanosterol 14-alpha-demethylase, yaitu enzim yang mengubah lanosterol
ke ergosterol, sebuah komponen penting dari dinding sel jamur.
Kerusakan membran menyebabkan gangguan permeabilitas dan
mengakibatkan jamur mudah bereproduksi. Terapi dengan golongan azol
topikal penggunaan pada daerah lesi dua kali sehari selama kurang lebih
3-4 minggu.10,11
Golongan alilamin menghambat squalene epoxidase, enzim yang
mengubah squalene untuk ergosterol; penghambatan ini juga
menyebabkan akumulasi racun dari squalene dalam sel sehingga menuju
kematian sel. Beberapa produk anti jamur dari kedua golongan tersebut
tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik.7 Penggunaan topikal
golongan alilamin seperti terbinafin, biasanya efektif untuk penggunaan
jangka panjang. Kelebihan dari penggunaan terbinafin adalah memiliki
efek anti inflamasi.3,8,10
Pada multiple lesi dan tinea fasialis yang berbentuk atipikal,
beberapa penelitian menyarankan untuk penggunaan terapi oral
griseofulvin ataupun terbinafin. Spesies Trychophyton diteliti sangat
responsif terhadap terapi oral terbinafin. Namun secara keseluruhan,
sebagai obat pilihan utama tinea fasialis meupun tinea korporis
berdasarkan segi cost-effective dapat digunakan mikonazol.15,16

18
Lama pengobatan obat topikal umumnya sampai 1-2 minggu
sesudah klinis sembuh atau hasil pemeriksaan KOH negatif untuk
mencegah kekambuhan oleh karena obat antijamur umumnya bersifat
fungistatik, sehingga lama pengobatan perlu 3-4 minggu. Untuk obat
fungisidal golongan alilamin, cukup dioleskan selama 1-2 minggu.15,16
Obat sistemik diberikan untuk lesi yang luas atau lebih meradang,
sering kambuh dan tidak sembuh dengan obat topikal yang sudah
adekuat.11,15,16
 Griseofulvin (fungistatik) 500mg per hari atau 10 mg/kgBB/hari
untuk semua umur selama 2-6 minggu
 Terbinafin (fungisidal) 250mg per hari sampai 2 minggu
 Itrakonazol (fungistatik) 100 mg per hari sampai 15 hari
2) Non Medikamentosa
Diperlukan perawatan diri di rumah (home care), seperti: menghindari
menggaruk daerah lesi karena hal tersebut dapat membuat infeksi
bertambah parah. Menjaga kulit tetap kering dan bersih dengan
menghindari aktivitas yang dapat mengeluarkan keringat berlebihan.
Mandi minimal dua kali sehari dan ingat untuk mengeringkan tubuh
seluruhnya. Aplikasi krim topikal anti jamur sesuai dengan instruksi yang
diberikan. Mengingatkan penderita untuk memperhatikan bila ada efek
samping yang terjadi maupun tanda-tanda makin parahnya lesi setelah
berobat (muncul pus, nyeri, demam, tidak adanya perbaikan sama sekali
setelah 2 minggu terapi).2, 16

J. PROGNOSIS
Biasanya prognosis berbeda-beda, tergantung dari kondisi pasien.
Dengan pengobatan teratur, tinea korporis maupun kruris dapat sembuh dalam
waktu tiga sampai enam minggu. Prognosis dikatakan baik jika:
 Faktor predisposisi dapat dihindarkan atau dihilangkan
 Dapat menghindari sumber penularan
 Pengobatan teratur dan tuntas

19
TINEA MANUM

A. DEFINISI
Tinea manum adalah infeksi jamur yang mengenai daerah sela jari –
jari tangan, telapak tangan, dan punggung tangan. Tinea manum adalah
dermatofitosis pada tangan yang sering terjadi unilateral pada tangan yang
dominan digunakan dan sering berhubungan dengan Tinea pedis. Tinea
manum biasanya asimptomatis, dengan perjalanan penyakit dalam hitungan
bulan sampai tahun. Pada kebanyakan kasus tinea manum lebih sering
terjadi unilateral dan terjadi pada usia dewasa. Predileksi tinea manus ini
terutama di daerah kulit telapak tangan, punggung tangan, jari – jari tangan,
serta daerah interdigital.1,2

B. EPIDEMIOLOGI
Tinea manus di temukan tersebar diseluruh dunia, lebih sering
dijumpai di daerah tropik dan subtropik. Dapat menyerang semua kelompok
umur lebih sering menyerang dewasa terutama pada orang yang bekerja di
tempat basah seperti tukang cuci, atau pekerja di sawah.1,2,17

C. ETIOLOGI
Penyebab yang paling sering adalah T. rubrum, T. mentagrophytes,
dan E. flaccosum. Penyakit ini ditemukan hampir disemua penjuru dunia
dan dapat mengenai anak – anak, dewasa muda, maupun orang tua.(2,5,6)
Tinea manuum adalah salah satu jenis jamur yang penyebarannya terjadi
secara cepat. Penyebaran jamur ini terjadi saat kontak langsung dengan
orang yang terinfeksi baik dengan cara bersalaman maupun hubungan
seksual.1,2,18

D. GEJALA KLINIS
Kebanyakan infeksi dermatofit pada tangan mengarah ke infeksi
dorsal, seperti tinea korporis. Tinea manum mengarah ke infeksi dimana

20
area interdigital dan permukaan-permukaan tangan menunjukkan
karakteristik patologi yang khas. Temuan yang khas dari infeksi tinea adalah
lesi berbentuk “ringworm” dengan bagian tengah yang bersih dan batasnya
bersisik, eritem, dan meninggi. Reaksi inflamasi yang muncul menandakan
adanya kolonisasi (1,2,4)
Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai
mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan
peradangan. Keluhan biasanya terjadi pada kedua tangan dan gambaran
erupsi tampak simetris, namun dalam beberapa kasus bisa terjadi hanya satu
tangan yang terinfeksi. Variasi lain dapat berupa hiperkeratosis difusa yang
dapat terjadi unilateral pada sebagian kasus. Variasi lesi lain dapat berupa
sisik berbentuk bulan sabit yang dikelilingi patch vesikuler, papul diskret
eritem, dan patch folikular. Lapisan bersisik yang eritem juga sering
dijumpai pada permukaan bagian dorsal manus. Bentuk-bentuk lain lesi
dapat berupa infeksi zoofilik. (1,2,3)
Dikenal 3 bentuk klinis yang sering kita jumpai yakni :
1. Bentuk intertriginosa

Manifestasi klinisnya berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela


jari terutama jari IV dan V. Tampak warna keputihan basah dan dapat
terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat
menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit
jari. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun – tahun tanpa keluhan
sama sekali. Dalam keadaan menahun dapat terjadi fisura yang nyeri jika
disentuh. Bila disertai infeksi sekunder oleh bakteri dapat menimbulkan
limfangitis, limfadenitis, selulitis, dan erysipelas yang disertai gejala –
gejala umum. (1,2)
2. Bentuk vesikular akut

Pada bentuk ini terlihat vesikel, vesiko-pustule dan kadang-kadang bula.


Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke
punggung tangan atau telapak tangan. Isi vesikel berupa cairan jernih yang

21
kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk
lingkaran yang disebut koleret. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada
bentuk ini, sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan
kadang2 menyerupai erisipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel
untuk menemukanya sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk
diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak.(1,2)

Gambar 5. Tinea manus infeksi Trichophyton rubrum, terlihat vesiko pustule


pada dorsum manus (9)

3. Bentuk moccasin foot

Pada bentuk ini seluruh tangan dari telapak, tepi sampai punggung tangan
terlihat kulit menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan terutama
pada bagian tepi lesi.(9)

Gambar 6. Pasien yang terinfeksi Trichophyton rubrum pada penderita tinea


pedis et manus tipe moccasin (9)

22
E. DIAGNOSIS BANDING
 Dermatitis
 Hiperhidrosis
 Akrodermatitis Kontinua
 Kandidosis
 Sifilis II

F. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
1. Anamnesa
Didapatkan rasa gatal yang sangat menggangu dan gatal akan semakin
bertambah apabila lesi terkena air atau basah.1
2. Pemeriksaan fisik
Dilihat dimana terjadinya infeksi dan jenis lesinya. Lesi tergantung dari
jenis tinea. Secara umum lesi sering ditemukan di jari IV dan V berbentuk
fisura yang nyeri bila disentuh serta gambaran warna keputihan yang
tampak basah. Pada tahap awal lesi ditemukan di sela jari yang kemudian
meluas ke punggung tangan dan telapak tangan. Lesi berbentuk vesikel
sampai bula yang berisi cairan jernih. Gambaran koleret bisa terjadi akibat
pecahnya vesikel atau bula yang berisi cairan. 1,2,3
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan mikroskopis adalah pemeriksaan utama dalam kasus tinea.
Material yang diperiksa diambil dari area lesi yang aktif yang diletakkan
pada gelas objek yang diberi KOH 10% lalu diperiksa dibawah mikroskop.
Hasil pemeriksaan positif bila pada gambaran dibawah mikroskop terlihat
hifa atau spora yang menandakan infeksi jamur aktif. 2,3
4. Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan kultur memiliki beberapa hambatan berupa biaya yang mahal
serta waktu yang lama sehingga tidak secara rutin dilakukan. Namun
pemeriksaan kultur dibutuhkan ketika terapi oral jangka panjang diberikan

23
dan bila diagnosis meragukan. Kultur sediaan yang biasa dilakukan pada
media Sabourod’s Dextrose Agar (SDA). 3, 5

G. TERAPI
1. Umum
 Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya
mengusahakan daerah lesi selalu kering
 Meningkatkan kebersihan dan menghindari pemakaian sepatu
ataupun kaos kaki yang lembap.
 Jangan memakai peralatan pribadi secara bersama – sama.1,2
2. Khusus
 Topikal
Bila lesi basah, maka sebaiknya direndam dalam larutan kalium
permanganate 1/5.000 atau larutan asam asetat 0.25% selama 15-30
menit, 2 – 4 kali sehari. Atap vesikel dan bula dipecahkan untuk
mengurangi keluhan. Bila peradangan hebat dikombinasikan
dengan obat antibiotik sitemik misalnya penisilin prokain, penisilin
V, fluklosasilin, eritromisin atau spiramisin dengan dosis yang
adekuat. Kalau peradangan sudah berkurang, diberikan obat topical
anti jamur berspektrum luas antara lain, haloprogin, klotrimazol,
mikonazol atau ketokonazol. 1,2,3,17
 Sistemik
Biasanya tidak digunakan. Namun bila digunakan harus
dikombinasi dengan obat – obat anti jamur topikal. Obat – obat
sistemik tersebut antara lain griseofulvin 500-1000mg/hari selama
2-6 minggu, ketokonazol 200mg/hari selama 4 minggu, itrakonazol
100mg/hari selama 2minggu dan terbinafin 250mg/hari selama 1-
2minggu. Pemberian obat secara sistemik ini harus memperhatikan
efek samping dan interaksi dari masing-masing obat, misalnya
ketokonazol tidak boleh dikombinasikan dengan terfenadine dan
eritromisin. 1,3

24
H. PROGNOSIS
Biasanya prognosis berbeda-beda, tergantung dari kondisi pasien.
Infeksi kronik tidak jarang terjadi jika penyebabnya adalah Trichophyton
rubrum yang tidak diobati atau ditangangi dengan baik.17 Dengan pengobatan
teratur, tinea manum dapat sembuh dalam waktu tiga sampai enam minggu.
Prognosis dikatakan baik jika1,3:
 Faktor predisposisi dapat dihindarkan atau dihilangkan
 Dapat menghindari sumber penularan
 Pengobatan teratur dan tuntas

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, et al (2009) Mikosis. Dalam : Djuanda A (ed). Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin. Ed 5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. pp 90-99.
2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus
involvement. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s: Dermatology in general medicine.
8th ed. New York: Mc graw hill, 2012.p:1908-2001.
3. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Colour atlas and
synopsis of clinical dermatology. 6th ed. New York: Mc graw hill. 2009.
4. Ely JW, Rosenfeld S, Stone MS. Diagnosis and Management of Tinea
Infections. American Family Physician. 2014; 10; 702-711
5. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and
tinea pedis: A Comprehensive review. Indian Dermatology Journal. 2016;
7(2) ; 77-86.
6. N Jack L Lesher. Tinea Corporis. Online journal. 2016 Aug; available
from; http://emedicine.medscape.com/article/1091473-overview
7. Laksmipathy DT, Kannabiran K. Review on dermatomycosis:
pathogenesis and treatment. Journal of Natural Science. 2010; 7; 726 – 31.
8. Yazdanpanah MJ, Shamsian AK, Shafiee M, Moghadam MR, Ghazvini K,
Moghaddas E. Comparison between Fluconazole and Terbinafine in the
Treatment of Tinea corporis and Tinea cruris. Journal of Mycology. 2015;
2(2); 105-109
9. I. Rotta, A. Sanchez, P.R. Gonçalves, M.F. Otuki, C.J. Correr. Evidence-
based topical treatments for tinea cruris and tinea corporis: a summary of a
Cochrane systematic review. BJD. 2015; 172: 616-641.
10. Aditya K, Gupta AE, Cooper. Update in Antifungal Therapy of
Dermatophytosis. Mycopathologia. 2008; 166:353–367.

26
11. El-Gohary M, van Zuuren EJ, Fedorowicz Z, Burgess H, Doney L, Stuart
B, Moore M, Little P. Topical antifungal treatments for tinea cruris and
tinea corporis. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2014: Issue 8.
12. A Sharma, DG Saple, A Surjushe, M Kura, S Ghosh, C Bolmall et al.
Efficacy and tolerability of sertaconazole nitrate 2% cream vs. miconazole
in patients with cutaneous dermatophytosis. Mycoses. 2011: 54(3); 217-
222.
13. Blaithin M, Roderick H, Rachael MJ. The diagnosis and management of
tinea. BMJ. 2012. 345:e4380.
14. Hamideh Herizchi Qadim, Farideh Golforoushan, Hamideh Azimi,
Mohamad Goldust. Factor leading to dermatophytosis. Annals of
Parasitology. 2013; 59(2): 102-99

15. Sri Mulyaningsih. 2004. Tingkat Kekambuhan Tinea Kruris dengan


Pengobatan Krim Ketokonasol 2% Sesuai Lesi Klinis Dibandingkan
dengan Sampai 3 cm Di Luar Batas Lesi Klinis. SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin FK UNDIP: Semarang.

16. Tanti Yossela. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. Journal Majority.
2015; 4: 128-122.

17. Harahap Marwali. Tinea Pedis et Manus, Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates.
Jakarta, 2000, Hal : 19-20
18. Andrianto P. Kapita Selekta Dermato–Venerologi. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2005, Hal : 52-63

27
LAPORAN KASUS
Tinea Korporis, Kruris, et Manum

A. ANAMNESIS
1. IDENTITAS
Nama : Tn. A H
Tanggal Lahir/Umur : 08-11-1974 / 44 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jebres, Surakarta
Pekerjaan : Buruh pabrik
Tanggal Periksa : 28 Januari 2019
No. RM : 0135XXXX
2. KELUHAN UTAMA
Ruam kecoklatan di lipat paha kanan dan kiri, serta perut dan ruam
kemerahan di tangan kanan

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien merupakan konsulan dari bagian Penyakit Dalam yang saat ini
dirawat dengan diagnosis Hematoskezia et causa IBD dd IBS dd
keganasan Colorectal dalam perawatan hari ke-3. Pasien dikonsulkan ke
bagian kulit dan kelamin karena ditemukan ruam kecoklatan dan kulit
bersisik di bagian perut, lipat paha kanan dan kiri, dan ruam merah di
bagian tangan kanan yang terasa gatal.
Pasien mengeluh ruam disertai sisik yang ada di tubuh pasien yaitu lipat
paha kanan dan kiri, perut, dan tangan kanan sejak 3 bulan yang lalu.
Awalnya keluhan ruam pertama kali muncul 3 tahun yang lalu di bagian
lipat paha kanan. Ruam awalnya berukuran kecil namun semakin meluas.
Keluhan dirasa hilang timbul. Ruam kemudian menyebar ke lipat paha
kiri, perut bawah, dan pergelangan tangan kanan pasien. Pasien
mengeluhkan gatal saat awal keluhan muncul dan semakin memberat jika

28
pasien berkeringat. Pasien mengaku belum minum obat, menggunakan
salep, atau talk untuk mengurangi keluhannya.

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat keluhan serupa sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Asma : disangkal
Hipertensi : (+) diakui sejak 4 tahun yang lalu,
tidak rutin kontrol
Diabetes melitus : (+) diakui sejak 2 tahun yang lalu,
tidak rutin kontrol

5. RIWAYAT KELUARGA
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertensi : (+) diakui pada ibu pasien
Riwayat diabetes melitus : (+) diakui pada ibu pasien

6. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien merupakan seorang buruh pabrik makaroni yang sehari-hari
memakai pakaian tertutup dan sering basah dikarenakan keringat. Pasien
tinggal satu rumah dengan istri dan 4 orang anaknya. Pasien tinggal di
rumah susun. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.

7. RIWAYAT GIZI DAN KEBIASAAN


Pasien mengaku mandi 2 kali sehari menggunakan air biasa dan sabun
padat. Setiap kali mandi pasien selalu mengganti pakaian. Pasien
menggunakan handuk sendiri, tidak bergantian dengan anggota keluarga
lain. Pasien dengan gizi kesan cukup.

29
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : Compos mentis, GCS E4V5M6, gizi kesan cukup.
Vital Sign : Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Respiration rate : 18 x/menit
Suhu : 36.3°C
Antropometri : Berat badan : 74 kg
Tinggi badan : 164 cm
IMT : 27,51 (kg/m2)
Kepala : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : lihat status dermatologis
Ekstremitas Atas : lihat status dermatologis
Ekstremitas Bawah : lihat status dermatologis
Genitalia : dalam batas normal
2. Status Dermatologis
Regio Abdomen et Inguinal dextra et sinistra :
Tampak patch hiperpigmentasi dengan tepi meninggi, berbatas tegas,
disertai skuama halus diatasnya.
Regio tangan dextra :
Tampak patch eritem dengan central healing (+) disertai skuama halus
diatasnya.

30
Gambar 1. Regio Abdomen

Gambar 2. Regio inguinal dextra et sinistra

31
Gambar 3. Regio tangan dextra

C. DIAGNOSIS BANDING
1. Tinea korporis, kruris, et manum
2. Pityriasis Versicolor
3. Candidiasis

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan KOH 10% : tampak gambaran hifa (+) panjang dan bersekat

Gambar 4. Hasil pemeriksaan KOH 10%

32
E. DIAGNOSIS
Tinea korporis, kruris, et manum

F. TERAPI
1. Medikamentosa
 Ketokonazol krim 2% dioles 2x sehari setelah mandi
 Cetirizine tablet 1x10 mg per oral (jika gatal)
2. Non medikamentosa
 Jaga kebersihan badan dengan mandi teratur minimal 2x sehari dengan
air bersih
 Mengurangi kelembapan dari tubuh pasien dengan menghindari pakaian
yang panas (karet, nylon) serta memakai pakaian dari bahan yang dapat
menyerap keringat dan longgar
 Mengganti pakaian secara teratur minimal 2x sehari terutama apabila
terasa lembab dan kotor
 Mengoleskan krim yang diberikan dari arah luar ke dalam pada daerah
yang gatal dan menggunakan obat dengan teratur
 Menghindari pemakaian handuk dan pakaian bersama-sama
 Makan secara teratur dan menjaga daya tahan tubuh agar tidak menurun

G. PLAN
- Lampu Wood

H. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad cosmeticum : dubia ad bonam

33

Anda mungkin juga menyukai