Penyebab kelumpuhan saraf fasialis (N. VII) bisa disebabkan oleh kelainan
kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu (Sjarifuddin et al, 2007).
1. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (congenital) bersifat irreversible dan
terdapat bersamaan dengan anomali pada telinga dan tulang pendengaran
(Dhingra et al, 2014). Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi
karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali
bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus) (K.J.Lee, 2006).
2. Infeksi
Proses infeksi di intracranial atau infeksi telinga tengah dapat
menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang
menyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes
otikus (Sjarifuddin et al, 2007).
7. Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya DM, hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi
telinga tengah, sindrom Guillian Barre (Peter Duus, 1996).
Uji Diagnostik
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi nervus
fasialis. Tujuan pemeriksaan fungsi nervus fasialis adalah untuk menentukan
letak lesi dan menentukan derajat kelumpuhannya (Sjarifuddin et al, 2007).
Derajat kelumpuhan ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi
motorik yang dihitung dalam persen (Soepardi et al, 2007).
C. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari parese nervus
fasialis yang sering kita jumpai (Dhingra et al, 2014). Dalam hal ini otot-
otot tidak dapat digerakkan satu persatu atau tersendiri, selalu timbul
gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot
orbikularis oris pun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia
disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat. Nilai
maksimal dari sinkinesis adalah lima (5) (Sjarifuddin et al, 2007). Cara
mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut :
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2).
Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan
sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut.
Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan
tidak simetris.
D. Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai
pada penyembuhan parese fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara
penderita diminta untuk melakukan gerakan-gerakan berulang seperti
mengedip-ngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak
gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada
penderita yang berat kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher
juga ikut bergerak. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan
angka (-1). Nilai normal dari hemispasme adalah nol (0) (Sjarifuddin et al,
2007).
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya
berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Skor Freyss dihitung dengan
gradasi paresis fasialis dibandingkan dengan nilai tersebut (50) dikalikan
100 untuk persentasenya (Sjarifuddin et al, 2007).
E. Gejala Chvostek
Gejala Chvostek dibangkitkan dengan jalan mengetok N. VII.
Ketokan dilakukan dibagian depan telinga. Bila positif, ketokan ini
menyebabkan kontraksi otot yang disarafinya. Pada tetani didapatkan
gelaja Chvostek positif, tetapi ia dapat juga positif pada orang normal.
Dasar gejala Chvostek ialah bertambah pekanya nervus fasialis terhadap
rangsang mekanik (Juwono, 1996).
3. Salivasi
Kelenjar saliva mayor terdiri atas kelenjar parotis, submandibula, dan
sublingual. Kelenjar parotid merupakan sepasang kelenjar saliva terbesar yang
berada di sekitar ramus mandibula kanan dan kiri. Kelenjar submandibular
berada di bawah mandibula dengan ukuran sedang. Duktusnya dinamakan
duktus Wharton yang keluar dari sisi-sisi frenulum lidah.
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no
50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam
jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah
pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya
aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat
terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh
saraf korda timpani (Maisel dan Levine, 1997).
4. Schirmer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi
serabut-serabut pada simpatis dari nervus fasialis yang disalurkan melalui
nervus petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan
pada atau di atas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya
produksi air mata.
Tes Schirmer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm
panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari
bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys
menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50%
dianggap patologis (Dhingra et al, 2014).
5. Refleks Stapedius
Pemeriksa menempatkan ujung kedua stetoskop masing-masing pada
telinga kanan dan kiri, kemudian dengan perlahan-lahan diafragma stetoskop
diketuk dengan ujung jari. Bila ada kelumpuhan otot stapedius, maka
penderita akan berusaha dengan cepat untuk melepaskan ujung stetoskop pada
telinga yang terganggu (karena mendengar suara yang keras sekali) (Juwono,
1996).
Pemeriksaan Penunjang
kedutan pada wajah. Hal ini dibandingkan dengan sisi yang normal. Tidak ada
perbedaan antara sisi normal dan lumpuh pada blok konduksi. Pada cedera
Ketika perbedaan antara dua sisi melebihi 3,5 m amp, tes positif untuk
degenerasi. Degenerasi pada saraf tidak dapat dideteksi lebih awal dari 48-72
Nervus Fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi untuk
motorik, sensorik, somatik, dan aferen eferen visceral. Nervus fasialis memiliki dua
subdivisi, yang pertama adalah yang mempersarafi otot ekspresi wajah kemudian
yang kedua memiliki serat yang jauh lebih tipis yaitu intermediate yang membawa
aferen otonom, somatik, dan eferen otonom. Nervus fasialis memiliki 4 macam
serabut yaitu: serabut somato-motorik, serabut visero-motorik, serabut visero-sensorik
dan serabut somato-sensorik.
Kelumpuhan nervus fasialis (N VII) merupakan kelumpuhan otot-otot wajah,
tidak atau kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga wajah pasien tidak
simetris. Penyebab kelumpuhan nervus fasialis bisa disebabkan oleh kelainan
kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu. Di bidang THT, Infeksi Telinga tengah yang dapat
menimbulkan parese nervus fasialis adalah otitis media supuratif kronik (OMSK)
yang telah merusak Kanal Fallopi. Otitis media akut dan kronik dapat menyebabkan
terjadinya paresis nervus fasialis.
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu,
terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada
gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi, tidak
lumpuh ; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII jenis
perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah
lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan
sekresi ludah yang berjalan bersama N. Fasialis.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi nervus fasialis
untuk menentukan letak lesi dan derajat kelumpuhannya. Seperti, pemeriksaan
motorik otot-otot wajah, tonus, gustometri, salivasi Schimer test, reflex stapedius,
audiologik, sinkinesis, dan hemispasme. Penatalaksanaannya, dapat dimulai dari
fisioterapi, farmakologik, hingga operasi tergantung dari letak, derajat, dan penyebab
kelumpuhan nervus fasialis.
DAFTAR PUSTAKA
Dhingra PL, Dhingra S. 2014. Diseases of ear, nose and throat & head and neck
surgery. 6 th ed, India: Elsevier, pp: 90-99.
Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. 2007. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-
UI.
Soepardi, E.A., et al., eds. 2007. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 ed.
Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer, ed. Sjarifuddin, J. Bashiruddin, and B.
Bramantyo. FKUI: jakarta. 114-117.
K.J.Lee. 2006. Essential Otolaryngology and Head and Neck Surgery. III
Edition, Chapter 10 : Facial Nerve Paralysis.
Peter Duus. 1996. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Jakarta: Balai Pustaka.
Maisel R, Levine S, 1997. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boeis Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC
Juwono. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: FK UI.
34-36.
Swartz, M.H., 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. 1 ed. Jakarta: EGC.