Anda di halaman 1dari 16

Etiologi Paresis Nervus Facialis

Penyebab kelumpuhan saraf fasialis (N. VII) bisa disebabkan oleh kelainan
kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu (Sjarifuddin et al, 2007).
1. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (congenital) bersifat irreversible dan
terdapat bersamaan dengan anomali pada telinga dan tulang pendengaran
(Dhingra et al, 2014). Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi
karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali
bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus) (K.J.Lee, 2006).
2. Infeksi
Proses infeksi di intracranial atau infeksi telinga tengah dapat
menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang
menyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes
otikus (Sjarifuddin et al, 2007).

Gambar 1. Sindrom Ramsay-Hunt

Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan kelumpuhan saraf


fasialis adalah otitis media supuratif kronik ( OMSK ) yang telah merusak
Kanal Fallopi. Otitis media akut dan kronik dapat menyebabkan terjadinya
paresis nervus fasialis. Terdapat dua mekanisme yang dapat menyebabkan
terjadinya paralisis nervus fasialis yaitu :
1. Hasil toksin bakteri di daerah tersebut
2. Dari tekanan langsung terhadap saraf oleh kolesteatoma atau
jaringan granulasi

Pada otitis media akut, penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis


khususnya pada anak terjadi ketika kanalis nervus fasialis pada telinga tengah
mengalami congenital dehiscent atau saraf terkena akibat kontak langsung
dengan materi purulen sehingga dapat menimbulkan inflamasi dan edema
pada saraf dan menyebabkan paresis.
Pada otitis media kronik bisa mengikis kanal nervus fasialis atau
sarafnya dapat dilibatkan dengan osteitis, kolesteatom dan jaringan granulasi,
disusul oleh infeksi ke dalam kanalis fasialis. Manifestasi klinik yang tampak
yaitu paralisis nervus fasialis bagian bawah, ipsilateral terhadap telinga yang
sakit (Sjarifuddin et al, 2007).
3. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab
yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-
paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor
regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar
parotis bisa menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak
sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat
jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi
motorik saraf fasialis secara ipsilateral (Maisel R dan Levine S, 1997).
Parese nervus fasialis juga dapat terjadi pada karsinoma nasofaring,
mekanisme tidak langsung dari pembesaran tumor yakni oklusi tuba
eustachius karena letaknya di fossa rosenmuller berdekatan sehingga
mengakibatkan tekanan negatif dalam kavum timpani, yang jika berlangsung
lama dapat terjadi otitis media dan jika tidak tertangani menjadi mastoiditis.
Namun, dikatakan bahwa perluasan tumor ini jarang langsung mengenai
nucleus nervus VII dan VIII karena letaknya yang tinggi (K.J Lee, 2006).
Tumor-tumor sudut serebelopontin, terutama neuroma akustik dan
meningioma, merupakan neoplasma tersering yang menyebabkan paralisis
fasialis. Neuroma saraf fasialis jelas amat jarang. Neoplasma telinga tengah
lainnya juga dapat menyebabkan paralisis fasialis. Antara lain penyebab jinak
seperti glomus jugulare, atau penyebab yang lebih ganas seperti histiosis,
rabdomiosarkoma, dan karsinoma sel skuamosa (K.J Lee, 2006).
4. Trauma
Trauma pada tulang temporal merupakan suatu penyebab lazim dari
paralisis fasialis. Fraktur dapat transversal atau longitudinal. Sementara fraktur
longitudinal lebih umum terjadi. Fraktur transversal lebih sering mencederai
saraf, pada paralisis fasial lebih sering terjadi (50%). Energi yang dibutuhkan
untuk fraktur tulang temporal harus cukup besar, paralisis seperti ini seringkali
tidak diketahui sebelum pasien sadar dari koma setelah suatu kecelakaaan
kendaraan bermotor (K.J Lee, 2006).
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama
jika terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal.
Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa
menjadi penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid,
operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis
(Maisel R dan Levine S, 1997).
Kapasitas kembalinya fungsi dari paralisis nervus karena manipulasi
bedah adalah hal yang sangat penting. Contoh nyata paralisis nervus fasialis
disebabkan oleh pembedahan yang mengakibatkan perpindahan posisi nervus.
Sebagai contoh setelah operasi fossa infratemporal yang memerlukan ekstensi
transposisi dari nervus fasialis ekstratemporal, dalam 4- 6 minggu paralisis
fasial sering terlihat. Hal ini merupakan manifestasi adanya iskemia nervus
dan manipulasi nervus secara mekanik. Penyembuhan yang memerlukan
waktu lama dapat disertai dengan asimmetri dan sinkinesis. Komplikasi
pembedahan mastoid juga dapat menjadi salah satu penyebab (Dhingra et al,
2014).
5. Gangguan Pembuluh Darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan
saraf fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri
serebri media (Sjarifuddin et al, 2007).
6. Idiopatik ( Bell’s Palsy )
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya
atau tidak menyertai penyakit lain. Sekitar 60-75% parese fasialis terjadi
karena Bell’s Palsy. Pada parese Bell terjadi edema nervus fasialis. Karena
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe
LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy (Peter Duus, 1996).

Gambar. Bell’s Palsy

7. Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya DM, hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi
telinga tengah, sindrom Guillian Barre (Peter Duus, 1996).
Uji Diagnostik
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi nervus
fasialis. Tujuan pemeriksaan fungsi nervus fasialis adalah untuk menentukan
letak lesi dan menentukan derajat kelumpuhannya (Sjarifuddin et al, 2007).
Derajat kelumpuhan ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi
motorik yang dihitung dalam persen (Soepardi et al, 2007).

1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik


A. Pada saat diam perhatikan : (Juwono, 1996)
a. Asimetris muka (lipatan nasolabial)
Bila asimetris (dari) muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh
kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal ini kerutan dahi menghilang, mata
kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut
menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral (supranuklir)
muka dapat simetris saat istirahat, kelumpuhan baru nyata bila
penderita disuruh melakukan gerakan seperti menyeringai.
b. Gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang
tetanus/rhesus sardonicus, tremor, dsb)
c. Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng)

Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot


menentukan terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss
menganggap penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian
pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot.
Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran
prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas
(15) yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap
tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-
1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya
(Sjarifuddin et al, 2007).
Area HIPOTONUS HIPERTONUS
Wajah •1  Kerutan di dahi hilang  Kerutan di dahi
diam  Alis mata jatuh meningkat
 Alis mata naik

•2  Fisura palpebra melebar  Fisura palpebra
menyempit
•3  Lipatan nasolabial  Lipatan nasolabial
mendatar/hilang makin dalam
 Hidung deviasi ke arah
sisi sehat
 Nasal ala mendatar
•4  Pipi jatuh  Pipi menonjol/tertarik
ke dalam
•5  Sudut mulut jatuh  Bibir terangkat
 Bibir jatuh dan/tertarik ke lateral
Wajah  Menimbulkan gerakan  Gerakan pada sudut
gerak asimetrik pada sisi bibir saat mata berkedip
sehat.  Mata menutup di saat
 Fenomena Bell’s mengunyah, bicara atau
dengan sklera terlihat. tersenyum.
 Bibir dan filtrum  Kontraksi beberapa otot
deviasi ke sisi sehat. yang menimbulkan
akinesia

B. Atas perintah : (Soepardi et al, 2007).


Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10
otot-otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :
a. M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas
b. M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan
mengerutkan hidung ke atas
d. M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan memejamkan kedua mata
dengan kuat-kuat
e. M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar dan
memperlihatkan gigi
f. M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
kedepan sambil memperlihatkan gigi
g. M. Buccinator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua
pipi
h. M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan menyuruh penderita bersiul
i. M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut
bibir ke bawah
j. M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
yang tertutup rapat ke depan

Gambar. Pemeriksaan nervus fasialis.


a) dan b) pemeriksaan cabang bawah, c) pemeriksaan cabang atas.

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, dibandingkan antara kanan


dan kiri : (Soepardi et al, 2007).
a. Gerakan normal dan simetris dinilai angka tiga (3)
b. Sedikit ada gerakan dinilai angka satu (1)
c. Diantaranya dinilai angka dua (2)
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai angka nol (0)
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai tiga puluh (30) (Sjarifuddin et al, 2007).
Gambar 12. Pemeriksaan kekuatan penutupan kelopak mata. a) respon normal
b) pemeriksaan pada pasien yang mengenai nukleus nervus fasialis.

C. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari parese nervus
fasialis yang sering kita jumpai (Dhingra et al, 2014). Dalam hal ini otot-
otot tidak dapat digerakkan satu persatu atau tersendiri, selalu timbul
gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot
orbikularis oris pun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia
disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat. Nilai
maksimal dari sinkinesis adalah lima (5) (Sjarifuddin et al, 2007). Cara
mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut :
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2).
Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan
sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya. 

b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a). 

c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut.
Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan
tidak simetris. 

D. Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai
pada penyembuhan parese fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara
penderita diminta untuk melakukan gerakan-gerakan berulang seperti
mengedip-ngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak
gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada
penderita yang berat kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher
juga ikut bergerak. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan
angka (-1). Nilai normal dari hemispasme adalah nol (0) (Sjarifuddin et al,
2007).
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya
berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Skor Freyss dihitung dengan
gradasi paresis fasialis dibandingkan dengan nilai tersebut (50) dikalikan
100 untuk persentasenya (Sjarifuddin et al, 2007).

E. Gejala Chvostek
Gejala Chvostek dibangkitkan dengan jalan mengetok N. VII.
Ketokan dilakukan dibagian depan telinga. Bila positif, ketokan ini
menyebabkan kontraksi otot yang disarafinya. Pada tetani didapatkan
gelaja Chvostek positif, tetapi ia dapat juga positif pada orang normal.
Dasar gejala Chvostek ialah bertambah pekanya nervus fasialis terhadap
rangsang mekanik (Juwono, 1996).

Gambar. Tanda Chvostek’s positif.


2. Gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda
timpani, salah satu cabang nervus fasialis. Kerusakan pada N VII setelah
percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan (Maisel dan Levine, 1997).
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan
lidah, kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam
pada lidah penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi
istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam
mulut, sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke
bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita
disuruh untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat,
misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk
rasa asam (Maisel dan Levine, 1997).
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara
kedua sisi adalah patologis (Sjarifuddin et al, 2007).

3. Salivasi
Kelenjar saliva mayor terdiri atas kelenjar parotis, submandibula, dan
sublingual. Kelenjar parotid merupakan sepasang kelenjar saliva terbesar yang
berada di sekitar ramus mandibula kanan dan kiri. Kelenjar submandibular
berada di bawah mandibula dengan ukuran sedang. Duktusnya dinamakan
duktus Wharton yang keluar dari sisi-sisi frenulum lidah.
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no
50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam
jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah
pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya
aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat
terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh
saraf korda timpani (Maisel dan Levine, 1997).
4. Schirmer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi
serabut-serabut pada simpatis dari nervus fasialis yang disalurkan melalui
nervus petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan
pada atau di atas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya
produksi air mata.
Tes Schirmer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm
panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari
bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys
menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50%
dianggap patologis (Dhingra et al, 2014).

5. Refleks Stapedius
Pemeriksa menempatkan ujung kedua stetoskop masing-masing pada
telinga kanan dan kiri, kemudian dengan perlahan-lahan diafragma stetoskop
diketuk dengan ujung jari. Bila ada kelumpuhan otot stapedius, maka
penderita akan berusaha dengan cepat untuk melepaskan ujung stetoskop pada
telinga yang terganggu (karena mendengar suara yang keras sekali) (Juwono,
1996).

Gambar. Stapedial reflex.


6. Uji audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis nervus fasialis perlu menjalani
pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan
hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf kranial ke
delapan dapat dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang
dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi
kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu
kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang nervus fasialis yang
terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika
terjadi parese saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, maka mungkin
gangguan saraf pada telinga tengah.
Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau
kontralateral dengan menggunakan suatu nada yang keras, yang akan
membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot stapedius. Gerakan ini
mengubah tegangan membran timpani dan menyebabkan perubahan
impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan
telinga yang normal, dan reflek ini pada perangsangan kedua telinga
mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen saraf kranialis (Maisel dan
Levine, 1997).

Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui


parese nervus fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi
saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG),
dan uji stimulasi maksimal (Dhingra et al, 2014).
1. Uji Eksitasi Minimal

Saraf distimulasi dengan intensitas terus meningkat sampai terlihat

kedutan pada wajah. Hal ini dibandingkan dengan sisi yang normal. Tidak ada

perbedaan antara sisi normal dan lumpuh pada blok konduksi. Pada cedera

lain, dimana terjadi degenerasi, rangsangan saraf secara bertahap hilang.

Ketika perbedaan antara dua sisi melebihi 3,5 m amp, tes positif untuk
degenerasi. Degenerasi pada saraf tidak dapat dideteksi lebih awal dari 48-72

jam dari permulaannya.

2. Uji Stimulasi Maksimal (MST)

Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde


ditekankan pada wajah di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan
perlahan-lahan hingga 5 ma, atau sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi,
alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi, dan bibir bawah diuji dengan
menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan di daerah-daerah ini
menunjukkan suatu respons normal. Perbedaan respons yang kecil antara sisi
yang normal dengan sisi yang lumpuh dianggap sebagai suatu tanda
kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi kedutan pada sisi
yang lumpuh dengan 
besar arus hanya 25 persen dari arus yang digunakan
pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari, 92 persen penderita
Bell’s Palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris
hilang, maka 100 persen akan mengalami pemulihan fungsi yang tidak
lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bentuk pengujian yang paling dapat
diandalkan adalah uji fungsi saraf secara langsung.
3. Elektromiografi (EMG)

EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini
bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola
EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola
fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau
neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah
paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan
memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda
positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat
sebelum 21 hari.
4. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG.
ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu
titik yang lebih distal dari saraf. Nervus fasialis dirangsang pada foramen
stylomastoid dan potensial aksi komponen otot diangkat oleh elektroda
permukaan. Stimulasi supra maksimal digunakan untuk mendapatkan potensi
aksi maksimal.
Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi
lainnya dalam empat belas hari pertama, maka kemungkinan sembuh juga
berkurang secara bermakna. ENOG akan berguna secara maksimal antara 4
sampai 21 hari dari awal onset tegaknya diagnosis paralisis sempurna.
BAB III
PENUTUP

Nervus Fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi untuk
motorik, sensorik, somatik, dan aferen eferen visceral. Nervus fasialis memiliki dua
subdivisi, yang pertama adalah yang mempersarafi otot ekspresi wajah kemudian
yang kedua memiliki serat yang jauh lebih tipis yaitu intermediate yang membawa
aferen otonom, somatik, dan eferen otonom. Nervus fasialis memiliki 4 macam
serabut yaitu: serabut somato-motorik, serabut visero-motorik, serabut visero-sensorik
dan serabut somato-sensorik.
Kelumpuhan nervus fasialis (N VII) merupakan kelumpuhan otot-otot wajah,
tidak atau kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga wajah pasien tidak
simetris. Penyebab kelumpuhan nervus fasialis bisa disebabkan oleh kelainan
kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu. Di bidang THT, Infeksi Telinga tengah yang dapat
menimbulkan parese nervus fasialis adalah otitis media supuratif kronik (OMSK)
yang telah merusak Kanal Fallopi. Otitis media akut dan kronik dapat menyebabkan
terjadinya paresis nervus fasialis.
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu,
terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada
gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi, tidak
lumpuh ; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII jenis
perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah
lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan
sekresi ludah yang berjalan bersama N. Fasialis.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi nervus fasialis
untuk menentukan letak lesi dan derajat kelumpuhannya. Seperti, pemeriksaan
motorik otot-otot wajah, tonus, gustometri, salivasi Schimer test, reflex stapedius,
audiologik, sinkinesis, dan hemispasme. Penatalaksanaannya, dapat dimulai dari
fisioterapi, farmakologik, hingga operasi tergantung dari letak, derajat, dan penyebab
kelumpuhan nervus fasialis.
DAFTAR PUSTAKA

Dhingra PL, Dhingra S. 2014. Diseases of ear, nose and throat & head and neck
surgery. 6 th ed, India: Elsevier, pp: 90-99.
Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. 2007. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-
UI.
Soepardi, E.A., et al., eds. 2007. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 ed.
Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer, ed. Sjarifuddin, J. Bashiruddin, and B.
Bramantyo. FKUI: jakarta. 114-117.
K.J.Lee. 2006. Essential Otolaryngology and Head and Neck Surgery. III
Edition, Chapter 10 : Facial Nerve Paralysis.
Peter Duus. 1996. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Jakarta: Balai Pustaka.
Maisel R, Levine S, 1997. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boeis Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC
Juwono. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: FK UI.
34-36.
Swartz, M.H., 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. 1 ed. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai