Anda di halaman 1dari 84

PRESENTASI KASUS

EDEMA PARU, PEB, HELLP SYNDROME, POST PARTUS SPONTAN,


IUFD + POST KURETASE EMERGENSI A.I RETENSI SISA PLASENTA
PADA PRIMIPARA HAMIL IMATUR

Disusun oleh :
Dzulfiar Nasir Umam G99142091
Christian Adi D G0003069
Bani Zakiyah G99141152
Ivonny Rembulan Z G99142095
Dyonisa Nasirochmi P G99142079
Rizqy Qurrota A G99142084

Pembimbing :
Eriana Melinawati, dr., Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan


mortalitas maternal dan perinatal. Preeklampsia diperkirakan menjadi komplikasi
sekitar 7% sampai 10% dari seluruh kehamilan. Besarnya masalah ini bukan hanya
karena berdampak pada ibu saat hamil, melahirkan, hingga pascapersalinan, namun
juga pada bayi, seperti berat badan lahir rendah serta turut menyumbangkan besarnya
angka morbiditas dan mortalitas perinatal (POGI, 2011).
Pre eklampsia sendiri merupakan suatu kondisi spesifik pada kehamilan
maupun persalinan, di mana hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang
sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Pre eklampsia diperkirakan secara luas
menyerang 3 - 5% kehamilan atau satu dari sepuluh kehamilan dan menyumbang
sekitar 15% dari semua kelahiran prematur. Kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada
kehamilan pertama. Insiden pre eklampsia berat sendiri mencapai 4% (Cunningham,
2003). Wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7 sampai 10 persen) jika
dibandingkan dengan wanita multipara. Pre eklampsia seringkali terjadi pada
kehamilan pertama, terutama pada ibu yang berusia belasan tahun. Catatan statistik
menunjukkan dari seluruh insidensi dunia, dari 5%-8% pre-eklampsia dari semua
kehamilan, terdapat 12% lebih dikarenakan oleh primigravida.
WHO menyatakan bahwa penyebab kematian ibu terbanyak adalah pre-
eklamsia dan eklamsia (28.76%), baru kemudian perdarahan (22.42%) dan infeksi
(3.54%). Frekuensi eklamsia di negara-negara berkembang berkisar antara 0,3%
sampai 0,7% lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju dimana frekuensi
eklamsia hanya berkisar antara 0,05% sampai 0,1%. WHO juga mencatat angka
kejadian pre eklamsia berat berkisar antara 0,51% sampai 38,4% dan angka kejadian
pre eklamsia berat di Indonesia berkisar antara 3-10%. Sebagai contoh, selama periode
1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2007 di RSUP DR. M. Djamil Padang didapatkan

2
pre eklamsia berat sebanyak 220 kasus (4,99%) dan eklamsia sebanyak 47 orang
(1,07%) dari 4407 persalinan.
Mortalitas maternal pada pre eklampsia disebabkan oleh karena akibat
komplikasi dari pre eklampsia dan eklampsianya seperti: HELLP syndrome (hemolisis,
elevated liver enzyme, low platelets), solusio plasenta, trombositopenia,
hipofibrigonemia, hemolisis, perdarahan otak, gagal ginjal, dekompensasi kordis
dengan oedema pulmo dan nekrosis hati. Oedema paru yang dapat disebabkan oleh
payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar, dan
menurunnya diuresis. Edema paru merupakan sebab utama kematian penderita
preeklampsia dan eklampsia. Mortalitas perinatal pada pre eklampsia dan eklampsia
disebabkan asfiksia intra uterin, prematuritas, dismaturitas, dan pertumbuhan janin
yang terhambat (Intrauterine Growth Restriction / IUGR), foetal distress serta
kematian janin intrauterin atau IUFD. Kasus IUFD disebabkan karena insufisiensi
plasenta, sehingga suplai darah ke janin berkurang, dan terjadi hipoksia yang lama
sebagaimana pada ibu yang mengalami pre-eklamsi berat dan hipertensi kronis. Di
Indonesia pre eklampsia dan eklampsia merupakan penyebab dari 30-40% kematian
perinatal, oleh karena itu perlu dilakukan penilaian kesejahteraan janin
(kardiotokografi).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. EDEMA PARU
1. Definisi
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat
disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau
karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar
edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab
sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan
tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya.Walaupun demikian penting
sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme
tersebut sebagai pedoman pengobatan.

2. Insiden dan Epidemiologi


Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4
juta penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema
paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika
serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita Edema. Di Jerman 6 juta
penduduk.
Penyakit Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun
1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga
sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali
ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam
jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada 1998,
dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada
tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya

4
IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24
(tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).

3. Etiologi
Edema paru yang bukan karena penyakit jantung atau edema non
kardiogenik disebabkan oleh:
a. Obat dan racun: heroin dan narkotik, salisilat, hidrokarbon dan
nitrofurantoin
b. Gas racun: asap toksik, oksida dan nitrogen, klor, ozon, fosgen, teflon.
c. Lain-lain: trauma kepala, tenggelam, tempat ketinggian, kontusi paru,
uremia, shock, sepsis, emboli lemak, dan pancreatitis.
Edema paru kardiogenik merupakan manifestasi yang lazim pada
kegagalan ventrikel kiri, dimana edemanya akibat dari kenaikan tekanan vena
pulmonalis, atau edema dapat disebabkan oleh hipervolemi karena infus
intravena yang terlalu cepat atau terlalu banyak. Edema paru merupakan
penyulit dari kegagalan jantung kongestif. Keduanya dapat dibedakan dengan
mengukur tekanan di atrial kiri atau pulmonary artery wegde pressure.
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus:
a. Ketidak-seimbangan Starling Forces
1) Peningkatan tekanan kapiler paru.
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari
tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan
batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari
keadaan ini antara lain :
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral).

5
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri.
c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan
tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal,
hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit
nutrisi. Tetapi hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru,
diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan
yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural, contoh yangs erring menjadi etiologi adalah :
a) Pengambilan terlalu cepat pneumotoraks atau efusi pleura (unilateral).
b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran
napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory
volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
4) Aspirasi asam lambung.
5) Pneumonitis radiasi akut.
6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7) Disseminated Intravascular Coagulation.

6
8) Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
9) Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
10) Pankreatitis Perdarahan Akut.
c. Insufisiensi Limfatik:
1) Post Lung Transplant.
2) Lymphangitic Carcinomatosis.
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema.
2) Neurogenic Pulmonary Edema.
3) Narcotic overdose.
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post cardioversion
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass
Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak
penyakit.Untuk pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit
dasamya.

4. Patofisiologi
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di
atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
a. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke

7
dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe.Dalam
keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh
darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum
Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan
cairan balik dari pembuluh darah.Akibat tekanan yang lebih negative di
daerah interstisial peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan
kemampuan dari interstisium non alveolar ini, cairan lebih sering meningkat
jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik
tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal
jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan
berat badan 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira
20ml/jam.Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai
200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi
peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami
hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrate kapiler
dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema.
Sehingga sebagai konsekuensinya terjadi edema interstisial, saluran nafas
yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.

5. Diagnosis
a. Anamnesis
1) Batuk-batuk seperti seorang yang akan tenggelam
2) Batuk disertai dahak berbusa dan berwarna merah muda
3) Sesak nafas ringan-berat
4) Sering keringat dingin
5) Gelisah, kesadaran menurun.

8
b. Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, retraksi inspirasi pada
sela intercostal dan fossa supraklavikula. Pemeriksaan pada paru akan
terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering
disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik
gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat
meningkat.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Foto thorax
Secara radiologi edema paru dapat dibagi atas:
a) Edema paru interstisial pada dekompensasi jantung kiri atau
kelainan katup mitral
b) Proses intra-alveolaris yang banyak berhubungan dengan kegagalan
jantung akut atau uremia
c) Baik bentuk interstisial maupun bentuk intra-alveolaris dapat terjadi
bersamaan
d) Bentuk milier banyak dihubungkan dengan infeksi akut
Gambaran radiologi yang terjadi dibagi atas :
a) Garis Kerley A
Garis panjang yang menyebar dari hilus ke perifer. Penyebabnya
belum diketahui apakah disebabkan oleh edema interlobaris dimana
terdapat cairan akibat bendungan pembuluh limfe. Garis Kerley A
yang panjangnya beberapa sentimeter terdapat pada edema paru
interstisial.
b) Garis Kerley B
Berbeda dengan Kerley A, garis ini berasal dari perifer paru,
multipel, dan berjalan sejajar. Garis ini berkumpul di septa
interlobaris kemudian mengalami penebalan, dimana mungkin

9
disebabkan oleh proses fibrosis, berkumpulnya cairan, atau
berkumpulnya debris. Pigmen Kerley B berkumpul di bagian
anterolateral dari lobus medialis
c) Garis Kerley C
Berbentuk seperti sarang laba-laba yang disebabkan oleh dilatasi
dari pembuluh limfe paru. Jaringan ikat yang terletak di sentral paru
akan bertumpuk dan menebal sehingga memberikan gambaran
Kerley C ini.
d) Kabut Perihilus
Hilangnya kejelasan batas hilus diakibatkan oleh karena cairan atau
pembengkakan kelenjer
e) Edema subpleura
f) Tampak sebagai penebalan fisura interlobaris
Edema paru interstisial maupun intraalveolaris adalah bentuk
radiologi yang klasik dari edema paru. Perbedaan dari keduanya adalah
edema paru interstisial selalu terjadi lebih dahulu sebelum edema paru
intra alveolaris terjadi dan edema paru interstisial lebih lambat
hilangnya dibanding yang intraalveolaris. Edema paru intra alveolaris
mudah hilang berasarkan gravitasi tubuh dan pengobatannya adalah
dengan diuretik. Pada edema paru interstisial terdapat garis Kerley A
dimana sering akut akibat kenaikan tekanan vena yang mendadak
tinggi. Walaupun secara teoritis edema paru interstisial dan
intraalveolaris dapat dibedakan, namun pada serangan akut dari
kegagalan ventrikel kiri kedua bentuk ini sulit untuk dibedakan.
Beberapa tanda yang dapat digunakan sebagai penyebab terjadinya
edema paru antara lain adalah pelebaran dari vena di lobus superior
yang tidak tampak dalam keadaan normal, tampak dua pembuluh vena
yang lebarnya beberapa sentimeter, kabut perihilus, garis Kerley A,

10
garis Kerley B, dan garis Kerley C, vaskuler hazy line, kemudian pada
stadium dekompensasi barulah terjadi tanda-tanda buffer pattern.
2) CT-Scan
CT-Scan resolusi tinggi dapat menunjukkan konsolidasi wilayah udara
luas, yang mungkin memiliki distribusi yang dominan di daerah paru-
paru. Sebuah pola retikuler dengan distribusi anterior mencolok sering
ditemuin pada CT-Scan pada penderita ARDS, hal ini terkait dengan
durasi tekanan-dikendalikan ventilasi, invers-rasio.
3) Pemeriksaan laboratorium
Kelainan pemeriksan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar. Uji
diagnostik yang dapat dipergunakan untuk membedakan dengan
penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP
(brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspnea lain seperti
asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau
sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik, harus dipikirkan
penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung
tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup mitral yang harus
dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi.
4) EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien
dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya
menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema
paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang
khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan
menghiland dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini
belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat

11
menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan
akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat
perubahan metabolik atau katekolamin.
5) Echocardiografi
Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi ventrikel
(hipertensi), segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung
Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium
kiri. Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab
yang mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari
plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini
adalah penanda protein (hormon) yangakan timbul dalam darah yang
disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.Peningkatan
dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari
beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan
cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari
100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai
penyebabnya. Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan
untuk membedakanantara cardiac dan noncardiac pulmonary edema
pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis. Pulmonary artery
catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter)
yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan
dimajukan melalui kamar-kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan
kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-
cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru).Alat
ini mempunyai kemampuan secara langsung dalam pembuluh-
pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.Wedge
pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan
cardiogenic pulmonary edema. Sementara wedge pressure yang kurang

12
dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of
pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data
dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU) setting.

6. Komplikasi
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul
dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang
mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan
pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru.
Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada
pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda,
seperti otak.

7. Terapi
a. Mendudukkan pasien dalam posisi 600-900 untuk memperbaiki ventilasi
walaupun terjadi hipotensi
b. Memberikan oksigen 6-8 liter/menit atau 100% 02 dengan masker
c. Memberikan morfin 4-6 mg intravena secara perlahan-lahan untuk
mengurangi asma kardiak
d. Memberikan digitalisasi yang cepat dengan 1,6 mg lanatosid C atau 1,2 mg
digitoksin dan dengan dosis yang lebih rendah pada pasien yang telah
mendapat digitalisasi sebelumnya
e. Memberikan nifedipin pada pasien dengan tekanan darah normal atau
hipertensi dengan dosis 0,4-0,8mg. Bila nitrogliserin memberikan hasil
yang baik, maka dapat diulang setiap 3-4 jam.
Pada edema paru yang disebabkan oleh infark miokardium dapat
diberikan nitroprusid, akan tetapi pada saat ini masih dalam perdebatan akibat
pengaruh inotropik yang ditimbulkan oleh obat ini. Dosis yang dianjurkan
adalah 15mikrogram/menit sampai terlihat adanya perbaikan atau sampai

13
timbul hipotensi. Dosis dapat ditingkatkan setiap 5 menit sampai maksimal 400
mikrogram/menit.

B. PRE EKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu (POGI, 2005). Dulu,
preeklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini terjadi pada
triwulan ke 3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada
mola hidatidosa (Sarwono, 2010).

Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya


perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Proteinuria adalah tanda
penting preeklampsia, dan apabila tidak terdapat proteinuria maka diagnosisnya
dipertanyakan. Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300mg atau lebih
protein dalam urin per 24 jam atau +1 pada dipstick secara menetap pada sampel
urin secara acak. Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklamsi adalah
hipertensi plus proteinuri minimal. Semakin parah hipertensi atau proteinuri
maka semakin pasti diagnosis preeklamsi. Memburuknya hipertensi terutama
apabila disertai proteinuri merupakan pertanda buruk, sebaliknya proteinuri
tanpa hipertensi hanyamenimbulkan efek keseluruhan yang kecil angka
kematian pada bayi. Proteinuri +2 atau lebih yang menetap atau eksresi
proteinuri 24 jam sebesar 2g atau lebih adalah preeklamsi berat. Apabila
kelainan ginjal parah, filtrasi glomerulus dapat terganggu dan kreatinin plasma
dapat meningkatPada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada
kasus hipertensi karena kehamilan apapun dapat terjadi eklampsia. Bentuk
serangan kejangnya ada kejang ‘grand mal’ dan dapat timbul pertama kali
sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul lebih dari 48 jam

14
setelah persalinan lebih besar kemungkinannya disebabkan lesi lain yang bukan
terdapat pada susunan saraf pusat (Cunningham et al., 1995).

Eklampsia dalam bahasa Yunani bearti “halilintar” karena serangan


kejang timbul tiba-tiba seperti petir. Eklampsia yang terjadi dalam kehamilan
menyebabkan kelainan pada susunan saraf. Penyebab eklampsia adalah
kurangnya cairan darah ke otak, hipoksia otak atau edema otak (Sofian, 2011).

2. Etiologi
Penyebab pre eklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan jelas.
Banyak teori telah dikemukakan tentang hipertensi dalam kehamilan, tetapi
tidak ada satu punteori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang
sekarang banyak dianut adalah sebagai berikut:
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Tidak terjadinya invasi trofoblas pada arteri spiralis dan jaringan matriks
di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis tidak mengalami distensi dan
vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis. Hal ini
menyebabkan aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta.
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas atau
oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut toxaemia. Radikal
bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi peroksida lemak yang
akan merusak endotel pembuluh darah.Kerusakan endotel pembuluh darah
menyebabkan disfungsi endotel dan berakibat sebagai berikut:
 Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin sebagai
vasodilator kuat menurun
 Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi tromboksan
sebagai vasokonstriktor kuat

15
 Perubahan endotel glomerolus ginjal
 Peningkatan permeabilitas kapiler
 Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit oksida
(NO)
 Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori intoleransi imunologis antara ibu dan janin
Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi penolakan karena
adanya HLA-G pada plasenta sehingga melindungi trofoblas dari lisis oleh
sel NK ibu. HLA-G juga akan membantu invasi trofoblas pada jaringan
desidua ibu. Pada penurunan HLA-G, invasi trofoblas terhambat sehingga
tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.
4. Teori adaptasi kardiovaskuler genetik
Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah terhadap bahan
vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi untuk menyebabkan
vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanya perlindungan protasiklin.
Pada keadaan menurunnya protasiklin maka kepekaan terhadap
vasokonstriktor meningkat sehingga mudah terjadi vasokonstriksi.
5. Teori Genetik
Adanya faktor keturunan dan familial dengan gen tunggal. Ibu dengan
preeklampsi memungkinkan 26% anak perempuannya juga mengalami
preeklampsi.
6. Teori defisiensi gizi
Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya preeklampsi
adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan menghambat
terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan vasokonstriksi pembuluh
darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian juga menurunkan insidensi
preeklampsi.

16
7. Teori inflamasi
Lepasnya debris trofoblas sebagai sisa proses apoptosis dan nekrotik akibat
stres oksidatif dalam peredaran darah akan mencetuskan terjadinya reaksi
inflamasi. Pada kehamilan normal jumlahnya dalam batas wajar.
Sedangkan pada kehamilan dengan plasenta yang besar, kehamilan ganda,
dan mola maka debrisnya juga semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik
inflamasi pada ibu.(Sarwono, 2010)

8. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya Preeklampsia dapat dijelaskan sebagai berikut
(Hariadi, 2004):
a. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamspia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan
vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit
saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang
menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II
cukup tinggi. Pada preeklampsia terjadi penurunan kadar prostacyclin
dengan akibat meningkatnya tromboksan yang mengakibatkan menurunnya
sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif
dan akhirnya terjadi hipertensi.
b. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga
mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume
plasma hingga mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume
plasma menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah.
Akibatnya perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun
(hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan
metabolik dan oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan

17
utero-plasenta mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering
terjadi pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation
/IUGR), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.
c. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun
cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer.
Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan-bahan vasoaktif
dalam tubuh dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya
vasokonstriksi menyeluruh pada sistem pembuluh darah artiole dan pra
kapiler pada hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi terhadap
terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil
dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik.
Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif
bahwa preeklampsia disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah
yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya
membuat nekrosis berbagai organ.
Pada preeklampsia berat dan eklamsi dijumpai perburukan patologis
fungsi sejumlah organ dan sistem mungkin akibat vasospasme dan iskemia.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa pada preeklamsia terjadi gangguan
perfusi dari uteroplacenta. Bila hal ini terjadi maka akan mengaktivasi sistem
renin-angiotensin. Aktivasi dari sistem ini akan melepaskan angiotensin II yang
dapat mengakibatkan vasokonstriksi secara general sehingga terjadi hipertensi.
Selain itu, terjadi hipovolemia dan hipoksia jaringan. Ternyata, hipovolemia
dan hipoksia jaringan dapat pula disebabkan oleh DIC yang dapat terjadi akibat
pelepasan tromboplastin karena terdapat injury pada sel endotel pembuluh
darah uterus.
Bila hipoksia dan hipovolemi terjadi pada kapiler-kapiler yang
membentuk glomerulus, maka dapat terjadi glomerular endotheliosis yang

18
menyebabkan peningkatan perfusi glomerular dan filtrasinya sehingga dari
gambaran klinis dapat ditemukan proteinuria. Vasokonstriksi kapiler-kapiler
dapat pula menyebabkan oedem. Selain itu, dari jalur adrenal akan
memproduksi aldosteron yang juga dapat menyebabkan retensi dari Na dan air
sehingga pada pasien preeklamsia terjadi oedem.
Kelainan trombositopenia kadang sangat parah sehingga dapat
mengancam nyawa. Kadar sebagian faktor pembekuan dalam plasma mungkin
menurun dan eritrosit dapat mengalami trauma hebat sehingga bentuknya aneh
dan mengalami hemolisis dengan cepat (Sarwono, 2010).

9. Prevalensi
Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang
mempengaruhinya; jumlah primigravida, kedaan sosial ekonomi, perbedaan
dalam penentuan diagnosa. Ada yang melaporkan 6% dari seluruh kehamilan,
dan 12% pada primigravida, frekuensi di lapangan berkisar antara 3-10%
(Sofian, 2011)

10. Faktor Risiko


Faktor risiko Preeklampsia meliputi kondisi-kondisi medis yang
berpotensi menyebabkan penyakit mikrovaskuler (misal, Diabetes Melitus,
Hipertensi kronik, kelainan vaskuler dan jaringan ikat), antifosfolipid antibody
syndrome, dan nefropati. Faktor-faktor resiko lain dihubungkan dengan
kehamilan itu sendiri atau lebih spesifik terhadap ibu dan ayah janin (Neville,
2001):
Faktor Resiko Preeklampsia
Faktor yang Faktor yang Faktor yang
berhubungan dengan berhubungan dengan berhubungan dengan
kehamilan kondisi maternal pasangan

19
 Abnormalitas  Usia > 35 tahun atau  Partner lelaki yang
kromosom <20 tahun pernah menikahi
 Mola hidatidosa  Ras kulit hitam wanita yang
 Hidrops fetalis  Riwayat kemudian hamil dan
 Kehamilan ganda Preeklampsia pada mengalami
 Donor oosit atau keluarga preeklampsia
inseminasi donor  Nullipara  Pemaparan terbatas
 Anomali struktur  Preeklampsia pada terhadap sperma
kongenital kehamilan  Primipaternity
 ISK sebelumnya
 Kondisi medis
khusus : DM, HT
Kronik, Obesitas,
Penyakit Ginjal,
trombofilia
 Stress
 Antibody
antifosfolipid
syndrome

11. Klasifikasi
Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam kehamilan.
Penggolongan kelainan hipertensi dalam kehamilan antara lain : hipertensi
kronis, Preeklampsia, superimposed eklampsia pada hipertensi kronis dan
hipertensi gestasional. Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah
yang timbul sebelum kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu,
atau menetap setelah 12 minggu post partum. Sebaliknya, Preeklampsia

20
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan proteinuria yang muncul
setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia, komplikasi berat preeklampsia
adalah munculnya kejang pada wanita dengan preeklampsia. Kejang eklampsia
relatif jarang dan muncul <1% wanita dengan eklampsia.
Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik ditandai dengan
proteinuria (atau dengan peningkatan tiba-tiba level protein jika sebelumnya
sudah ada proteinuria), peningkatan mendadak hipertensi ( dengan asumsi telah
ada proteinuria) atau terjadi HELLP Syndroma.
Hipertensi gestasional didiagnosa jika terjadi kenaikan tekanan darah
tanpa proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dan tekanan darah kembali
normal dalam 12 minggu post partum. Seperempat wanita dengan hipertensi
gestasional mengalami proteinuria dan belakangan berkembang menjadi
preeklampsia (Bari, 2000).

Wanita hamil dengan tekanan darah


>140/90 mmHg

Sebelum usia kehamilan 20 minggu Setelah usia kehamilan 20 minggu

Proteinuria (-) / Proteinuria (+) / Proteinuria (+) / Proteinuria (-) /


stabil meningkat, TD
meningkat,
HELLP Syndroma
Preeklampsia /

Hipertensi Preeklampsia Hipertensi


kronik superimposed Gestasional
pada Hipertensi
kronik

21
Pre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Pre eklampsia ringan
- Tekanan darah  140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang; atau
kenaikan sistolik  30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik  15
mmHg.
- Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
- Oedem umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan 
1 kg per minggu.
- Proteinuria kuantitatif  0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada urin
kateter atau mid stream.
b. Pre eklampsia berat
- Tekanan darah  160/110 mmHg.
- Proteinuria  5 gram/liter.
- Oligouria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc/24 jam.
- Adanya gangguan serebral, gangguan visus dan nyeri epigastrium.
- Terdapat oedem paru dan sianosis.
- Thrombosytopenia berat
- Kerusakan hepatoseluler
- Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
Klasifikasi pre-eklampsia lain , yaitu :
a. Genuine pre-eklampsia
Gejala pre-eklampsia yang timbul setelah kehamilan 20 minggu
disertai dengan oedem (pitting) dan kenaikan tekanan darah  140/90
mmHg sampai 160/90. Juga terdapat proteinuria  300 mg/24 jam (Esbach)

22
b. Superimposed pre-eklampsia
Gejala pre-eklampsia yang terjadi kurang dari 20 minggu disertai
proteinuria  300 mg/24 jam (Esbach), dan bisa disertai oedem. Biasanya
disertai hipertensi kronis sebelumnya (Basri, 2002).

12. Diagnosis Banding


- Hipertensi kronik
- Hipertensi kronik dengan superimpose preeklamsi
- Hipertensi gestasional
- Eklamsi
- Epilepsi

13. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan pre eklampsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta
kerusakan dari organ-organ vital, pengelolaan cairan dan saat yang tepat untuk
melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono, 2010). Pada pre eklampsia,
penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu pengeluaran trofoblast. Pada pre
eklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah. Karena pre eklampsia
sendiri bisa membunuh janin (Cunningham, et al., 1995). PEB dirawat segera
bersama dengan bagian Interna dan Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis
perawatan / tindakannya. Perawatannya dapat meliputi :
a. Sikap terhadap penyakit berupa pemberian terapi medikamentosa
b. Sikap terhadap kehamilan yaitu: (Sastrawinata, 2003)
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Indikasi bila
didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini:
a) Ibu :

23
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
i. Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan darah yang persisten.
ii. Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan desakan darah yang persisten
iii. Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
iv. Gangguan fungsi hepar
v. Gangguan fungsi ginjal
vi. Dicurigai terjadi solutio plasenta
vii. Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
b) Janin :
i. Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
ii. Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST
nonreaktif dan profil biofisik abnormal)
iii. Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat
(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG
iv. Timbulnya oligohidramnion
c) Laboratorium :
Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP
syndrome (POGI, 2005).
Pengobatan Medisinal :
1). Segera masuk rumah sakit
2). Tirah baring ke kiri secara intermiten
3). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
5). Anti hipertensi diberikan bila tensi ≥ 180/110

24
6). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung
kongestif, edema anasarka
7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam (POGI,
2005).

a. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap dipertahankan


sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan, meningkatkan
kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan
ibu.Indikasinya pada kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa
disertai tanda-tanda impending eklamsi dengan keadaan janin baik.
Pengobatan Medisinal :
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif. Hanya
dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO4 40% 8
gr i.m.). Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang
dapat diberikan:
a) Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada
bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang
4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas magnesikus
hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella positif, dan
kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit
b) klorpromazin 50 mg IM
c) diazepam 20 mg IM
Penggunaan obat hipotensif pada pre eklampsia berat diperlukan
karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan
apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oligouria,
sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara intravena. Obat
diuretika tidak diberikan secara rutin.
Untuk penderita pre eklampsia diperlukan anestesi dan sedativa
lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita dengan

25
hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih besar, sehingga apabila
syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya persalinan diakhiri dengan
cunam atau vakum. Pada gawat janin, dalam kala I, dilakukan segera
seksio sesarea; pada kala II dilakukan ekstraksi dengan cunam atau
ekstraktor vakum (Budiono, 1999).

14. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat PEB diantaranya adalah:
a. HELLP syndrom
b. Perdarahan otak
c. Gagal ginjal
d. Hipoalbuminemia
e. Ablatio retina
f. Edema paru
g. Solusio plasenta
h. Hipofibrinogenemia
i. Hemolisis
j. Prematuritas, IUGR dan kematian janin intrauterin (Sarwono, 2010)

C. HELLP SYNDROME
1. Definisi
Sindroma HELLP adalah singakatan dari Hemolysis, Elevated Liver
Enzyme, Low Platelets Count yang artinya adalah hemolisis dan peningkatan
fungsi hepar dan trombositopenia. Ini merupakan komplikasi dari pre-eklamsia
dan eklamsia yang terdiri dari:
- Hemolisis (penghancuran sel darah merah)
- Peningkatan enzim hati (yang menunjukkan adanya kerusakan hati)
- Penurunan jumlah trombosit (Sarwono, 2010; Angsar, 2003).

26
2. Etiologi dan Patogenesis
Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari preeklampsia,
maka etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia. Sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti patogenesis preeklampsia atau sindroma HELLP. Ada
perbedaan yang nyata antara kehamilan normal dan preeklampsia, yaitu pada
tekanan darah pada trimester II (kehamilan normal) menurun, sedangkan kadar
plasma renin, angiotensin II, prostasiklin, dan volume darah meningkat.
Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan tromboksan dan serotonin
sehingga menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi, agregasi platelet,
serta kerusakan endothelial lebih lanjut.
Sel-sel darah merah yang, mengalami hemolisis akan keluar dari
pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya
timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar.
Akibatnya enzim hepar akan meningkat. Destruksi sel darah merah akan
meningkatkan LDH sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin.
Hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat ditemukan pada 10% wanita.
Hemoglobin bebas dikonversi menjadi bilirubin tidak berkonjugasi di lien atau
dapat terikat di darah menjadi haptoglobin. Hemoglobin-haptoglobin
dibersihkan oleh hepar, yang membuat haptoglobin bernilai rendah di darah
sebagai tanda terjadinya hemolisis. Selanjutnya diagnosis hemolisis ditemukan
melalui ditemukannya kadar LDH tinggi dan adanya bilirubin tidak
berkonjugasi.
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi
aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan
nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan
intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan
perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering ditemukan.
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi
trombosit (Sarwono, 2010; Angsar, 2003, Jayakusuma, 2005).

27
Lain halnya pada preeklampsia, tekanan darah pada trimester II
meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II, dan prostasiklin
menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan fungsi endotel atau
trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori kerusakan endotel (Sarwono, 2010).

3. Faktor Risiko
Faktor risiko sindroma HELLP berbeda dengan preeklampsia. pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur
19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.
Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien
muncul pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69%
pasien dan pada masa postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat
terjadinya khas,dalam waktu 48 jam pertama post partum (Angsar, 2003, Jayakusuma,
2005).

4. Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, Martin mengelompokkan
penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu:
 Kelas I : jumlah platelet  50.000/mm3.
 Kelas II : jumlah platelet 50.000–100.000/mm3.
 Kelas III : jumlah platelet 100.000–150.000/mm3
Sindroma HELLP partial ditegakkan apabila hanya dijumpai satu atau
lebih perubahan parameter sindroma HELLP seperti hemolisis (H), elevate
liver enzymes (EL) dan low platelets (LP); dan dikatakan sindroma HELLP
murni jika dijumpai perubahan pada ketiga parameter tersebut (Sarwono,
2010).

28
5. Gambaran Klinis
Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya vasospasme
pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar. Oleh karena itu, gejala
sindroma HELLP memberi gambaran gangguan fungsi hepar yang dapat berupa:
malaise, nausea, kadang-kadang disertai vomitus, dan keluhan nyeri di epigastrium
kanan atas (Jayakusuma, 2005).
Menurut kriteria Mississippi, sindroma HELLP merupakan suatu
kondisi progresif dan dapat mengarah pada komplikasi serius. Karena gejala
dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah diagnosis, sehingga ada
peneliti yang merekomendasikan bahwa semua ibu hamil yang memiliki salah
satu dari gejala tersebut hendaknya dilakukan pemeriksaan apusan darah,
jumlah trombosit, dan enzim hepar serta tekanan darah ibu (Jayakusuma, 2005).

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat diperlukan
karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium, walaupun sampai
saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai batas untuk masing-masing
parameter.
a. Hemolisis
Gambaran ini merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP.
Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan berubah menjadi
bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis.
Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan
mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya eritrosit
imatur.
b. Peningkatan kadar enzim hepar
Serum aminotransferase yaitu aspartat aminotransferase (SGOT) dan
glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar.

29
Pada preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat 1/5 kasus, dimana 50% di
antaranya adalah peningkatan SGOT. Pada sindroma HELLP peningkatan
SGOT lebih tinggi dari SGPT terutama pada fase akut dan progresivitas
sindroma ini. Peningkatan SGOT dan SGPT dapat juga merupakan tanda
terjadinya ruptur hepar. Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase
yang bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat.
LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.
Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT
menunjukkan terjadinya hemolisis.
c. Jumlah platelet yang rendah. (Angsar, 2003, Jayakusuma, 2005).

7. Diagnosis
Kriteria diagnosis sindroma HELLP berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium antara lain klasifikasi Mississippi dan Tennessee. Bila
dikombinasikan kedua klasifikasi ini maka klas 1 termasuk kelompok sindroma
HELLP komplit sedangkan klas 2 dan 3 merupakan sindroma HELLP parsial
(Jayakusuma, 2005).
Sistem Mississippi Sistem Tennessee

- Grade 1 Trombosit ≤ 50 K/mm3 Sindrom Komplit:


- Grade 2 Trombosit > 50 - ≤100 - Hemolisis (gambaran sel
K/mm3 abnormal)
- Grade 3 Trombosit >100 - ≤ 150 - AST ≥ 70 IU/L
K/mm3 - Platelet < 100 K/mm3
- LDH ≥ 600 IU/L
- AST dan atau ALT ≥ 40IU/L Sindroma Parsial:
- Hemolisis (gambaran sel
Terdapat satu atau dua tanda diatas
abnormal)

30
- LDH ≥ 600 IU/L

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Sindroma HELLP

8. Diagnosis Banding (Preeklampsia-Sindroma HELLP)


a. Trombotik angiopati
b. Kelainan konsumtif fibrinogen, misalnya:
- acute fatty liver of pregnancy
- hipovolemia berat/perdarahan berat
- sepsis
c. Kelainan jaringan ikat: SLE
d. Penyakit ginjal primer (Sarwono, 2010).

9. Penatalaksanaan
Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka terdapat
kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Prioritas utama adalah
menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi gangguan pembekuan darah. Tahap
berikutnya adalah melihat kesejahteraan janin, kemudian keputusan segera apakah
ada indikasi untuk dilahirkan atau tidak.
Tatalaksana konservatif kehamilan (≥ 48 jam) masih kontroversial
namun dapat dipertimbangkan pada kasus usia kehamilan <34 minggu.
Persalinan diindikasikan pada HELLP syndrome setelah usia kehamilan lebih
dari 34 minggu atau adanya kegawatdaruratan janin atau ibu, dapat berupa
persalinan pervaginam. Pada usia kehamilan antara 24-34 minggu disarankan
pemberian terapi kortikosteroid 1 seri untuk maturasi paru janin, baik dengan
2 dosis 12 mg betametason selama 24 jam, atau 6 mg dexametason per 12 jam
sebelum persalinan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang harus dihindari
karena efek samping pada otak janin. Sebelum usia kehamilan 34 minggu,
persalinan harus dilakukan bila kondisi ibu memburuk atau terjadi fetal distress.

31
Tekanan darah harus dipertahankan dibawah 155/105 mmHg. Pengawasan
terhadap ibu harus dilakukan sampai 48 jam setelah persalinan.
Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif sampai
kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan kualitas bayi yang
dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan agresif untuk melakukan terminasi
secepatnya apabila gangguan fungsi hati dan koagulasi diketahui. Beberapa peneliti
menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia
kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta jeleknya luaran perinatal
apabila kehamilan diteruskan. Namun, semua peneliti sepakat bahwa terminasi
kehamilan merupakan satu-satunya terapi yang definitif. Penanganan pertama sesuai
dengan penanganan PEB. Kemudian dilakukan evaluasi dan koreksi kelainan faktor-
faktor pembekuan (Jayakusuma, 2005).
Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan infus
plasma albumin 5–25%. Tujuannya untuk menurunkan hemokonsentrasi,
peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan beberapa gejala toksemia. Jika
cervix memadai dapat dilakukan induksi oksitosin drip pada usia kehamilan  32
minggu. Apabila keadaan cervix kurang memadai, dilakukan elektif seksio sesaria.
Apabila jumlah trombosit  50.000/mm3 dilakukan tranfusi trombosit
(Jayakusuma, 2005; Haram et al. 2009).
Perawatan konservatif pada pasien sindroma HELLP dapat
dipertimbangkan pada usia kehamilan preterm. Pada usia kehamilan 27-34 minggu
maksimal konservatif adalah 48 jam. Sedangkan pada usia kehamilan 34 atau lebih
kehamilan harus segera diterminasi.

10. Prognosis
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk
mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan mempunyai risiko
sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Angka

32
morbiditas dan mortalitas pada bayi tergantung dari keparahan penyakit ibu.
Anak yang menderita sindroma HELLP mengalami perkembangan yang
terhambat (IUGR) dan sindroma kegagalan napas (Jayakusuma, 2005).

D. Intra Uterine Fetal Death (IUFD)


1. Definisi
Intra Uterine fetal death (IUFD) merupakan kematian yang terjadi saat
usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan janin sudah mencapai ukuran 500
gram atau lebih. Umumnya, IUFD terjadi menjelang persalinan saat kehamilan
sudah memasuki usia 32 minggu dan istilah lahir mati (stillbirth) yang
merupakan kelahiran hasil konsepsi dalam keadaan mati yang telah mencapai
usia kehamilan 28 minggu, sering digunakan bersamaan dengan IUFD
(Nasdaldy, 2007). Winkjosastro (2008) menggolongkan IUFD ke dalam empat
golongan, yaitu:
1. golongan I: kematian janin sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu
2. golongan II: kematian janin sesudah masa kehamilan mencapai 20 hingga 28
minggu
3. golongan III: kematian janin sesudah masa kehamilan lebih dari 28 minggu
4. golongan IV: kematian janin yang tidak dapat digolongkan pada ketiga
golongan di atas.

2. Epidemiologi
Janin saat ini dipandang sebagai pasien yang menghadapi resiko
mortalitas dan morbiditas yang cukup serius. Secara epidemiologi, angka
insidensi kematian janin di seluruh dunia diperkirakan mencapai rentang 2,14
– 3,82 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2009, yaitu
sejumlah 14,5%. Kisaran angka tersebut adalah 18,9 lahir mati per 1000
kelahiran. Pada tahun 2013, data dari Laporan Statistik Vital Nasional AS
menunjukkan tingkat kelahiran mati rata-rata 6,14 per 1000 kelahiran pada

33
tahun 2010 dan 4 %lebih rendah dibanding tahun 2009; 6,39 per 1000 kelahiran
(MacDorman and Mathews, 2013).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intra Uterine Fetal Death (IUFD)


IUFD dapat disebabkan oleh banyak hal, pada umumnya penyebab
tersebut dikelompokkan menjadi; 1) Kausa janin (berkonstribusi sebesar 25-40
% kematian janin), terdiri dari anomali atau malformasi kongenital mayor
(Neural tube defects, hidrops fetalis, hidrosefalus, kelainan jantung kongenital)
dan infeksi janin oleh bakteri dan virus. 2) Kausa plasenta (berkonstribusi
sebesar 15-25 % kematian bayi), terdiri dari solusio plasenta, infeksi plasenta
dan selaput ketuban, infark plasenta dan perdarahan di belakang plasenta. 3)
Kausa ibu, berupa penyakit hipertensi dan diabetes yang diderita ibu hamil
merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan 5-8% bayi lahir mati. 4)
Kematian yang tidak dapat dijelaskan, sekitar 10 % kematian janin tetap tidak
dapat dijelaskan. Kesulitan dalam memperkirakan kausa kematian janin paling
besar adalah pada janin preterm.
a. Faktor ibu
1) Umur
Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan perkembangan
dari organ-organ tubuh terutama organ reproduksi dan perubahan emosi
atau kejiwaan seorang ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan yang
tidak secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan janin dalam
rahim. Usia reproduksi yang baik untuk seorang ibu hamil adalah usia
20-30 tahun (Wiknjosastro, 2008).
Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi dan emosi
belum cukup matang, hal ini disebabkan adanya kemunduran organ
reproduksi secara umum (Wiknjosastro, 2008).

34
2) Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman
terhadap ancaman mortalitas dan morbiditas baik pada ibu maupun pada
janin. Ibu hamil yang telah melahirkan lebih dari 5 kali atau
grandemultipara, mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan seperti
hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat
mengakibatkan kematian janin (Saifuddin, 2009).
3) Pemeriksaan antenatal
Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang
mengancam jiwa, oleh karena itu, setiap wanita hamil memerlukan
sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal.
a) Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 1-3
bulan)
b) Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6
bulan).
c) Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9
bulan).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada
seorang wanita hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang
mungkin terdapat pada ibu hamil dapat diobati dan ditangani dengan
segera. Pemeriksaan antenatal yang baik minimal 4 kali selama
kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam kandungan
berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dalam
rahim, hal ini dapat dilihat melalui tinggi fungus uteri dan terdengar atau
tidaknya denyut jantung janin (Saifuddin, 2009).
4) Penyulit/penyakit
a) Anemia
Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan
zat besi dalam jumlah besar untuk pembuatan butir-butir darah

35
pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat besi. Jumlah ini
merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya
anemia dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi
dalam hati, limpa dan sumsum tulang (Mochtar, 2004).
Selama masih mempunyai cukup persediaan zat besi, Hb tidak
akan turun dan bila persediaan ini habis, Hb akan turun. Ini terjadi
pada bulan kelima sampai bulan keenam kehamilan, pada waktu
janin membutuhkan banyak zat besi. Bila terjadi anemia,
pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah satunya adalah kematian
janin dalam kandungan (Manuaba, 2010).
Pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan
menggunakan alat sahli, dapat digolongkan sebagai berikut
(Manuaba, 2010):

- Normal : 11 gr%

- Anemia ringan : 9-10 gr%

- Anemia sedang : 7-8 gr%

- Anemia berat : <7 gr%.

b) Pre-eklampsi dan eklampsi


Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai
dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh
mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha
untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan
dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan
oksigen terjadi gawat janin (Mochtar, 2004).

36
c) Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang
letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir.
Solusio plasenta dapat terjadi akibat turunnya darah secara tiba-tiba
oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruang intervirale maka
terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini
terjadi nekrotis, spasme hilang darah kembali mengalir ke dalam
intervilli, namun pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuh,
mudah pecah terjadinya hematoma yang lambat laun melepaskan
plasenta dari rahim. Sehingga aliran darah ke janin melalui plasenta
tidak ada dan terjadilah kematian janin (Wiknjosastro, 2008).
d) Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan
dengan ciri-ciri kekurangan atau tidak terbentuknya insulin, akibat
kadar gula dalam darah yang tinggi dan mempengaruhi metabolisme
tubuh secara menyeluruh dan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janin. Umumnya wanita penderita diabetes
melarikan bayi yang besar (makrosomia). Makrosomia dapat terjadi
karena glukosa dalam aliran darahnya, pancreas yang menghasilkan
lebih banyak insulin untuk menanggulangi kadar gula yang tinggi.
Glukosa berubah menjadi lemak dan bayi menjadi besar. Bayi besar
atau makrosomia menimbulkan masalah sewaktu melahirkan dan
kadang-kadang mati sebelum lahir (Stridje, 2000).
e) Rhesus Iso-Imunisasi
Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus positif,
maka antigen rhesus akan membuat penerima darah membentuk
antibodi antirhesus. Jika transfusi darah rhesus positif yang kedua
diberikan, maka antibodi mencari dan menempel pada sel darah
rhesus negatif dan memecahnya sehingga terjadi anemia ini disebut

37
rhesus iso-imunisasi. Hal ini dapat terjadi begitu saja di awal
kehamilan, tetapi perlahan- lahan sesuai perkembangan kehamilan.
Jika banyak sel darah merah yang hancur maka bayi menjadi anemia
sampai akhirnya mati (Llewelyn, 2005).
f) Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu
terhadap infeksi, namun keparahan setiap infeksi berhubungan
dengan efeknya terhadap janin. Infeksi mempunyai efek langsung
dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul karena
mengurangi oksigen darah ke plasenta. Efek langsung tergantung
pada kemampuan organisme penyebab menembus plasenta dan
menginfeksi janin, sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in
utero (Llewellyn, 2001).
g) Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan
prematur dan kematian janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini
adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan
ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan. Kejadian
ketuban pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur
kehamilan kurang dari 34 mninggu, kejadiannya sekitar 4%.
Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara
dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan
terjadinya infeksi. Makin lama periode laten, makin besar
kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas dan
selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan
janin dalam rahim (Manuaba, 2010).
h) Letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di
dalam uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong

38
berada pada sisi yang lain. Pada letak lintang dengan ukuran
panggul normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan
spontan. Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan
menyebabkan kematian janin. Bahu masuk ke dalam panggul
sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu dan bagian-bagian
tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan terjepit dalam
rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen
bawah uterus melebar serta menipis, sehingga batas antara dua
bagian ini makin lama makin tinggi dan terjadi lingkaran retraksi
patologik sehingga dapat mengakibatkan kematian janin
(Wiknjosastro, 2008).
b. Faktor janin
1) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan
struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur.
Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya
kematian janin dalam kandungan, atau lahir mati. Bayi dengan kelainan
kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah
bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya.
Dilihat dari bentuk morfologik, kelainan kongenital dapat
berbentuk suatu deformitas atau bentuk malformitas. Suatu kelainan
kongenital yang berbentuk deformitas secara anatomik mungkin
susunannya masih sama tetapi bentuknya yang akan tidak normal.
Kejadian ini umumnya erat hubungannya dengan faktor penyebab
mekanik atau pada kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk
kelainan kongenital malformitas, susunan anatomik maupun bentuknya
akan berubah. Kelainan kongenital dapat dikenali melalui pemeriksaan
ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin (Kadri, 2005).

39
2) Infeksi intranatal
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang
lain. Kuman dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion
setelah ketuban pecah. Ketuban pecah dini mempunyai peranan penting
dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi
walaupun ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama dan seringkali
dilakukan pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena menginhalasi
likuor yang septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena
kuman-kuman yang memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan
septicemia. Infeksi intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak
langsung dengan kuman yang terdapat dalam vagina, misalnya blenorea
dan oral thrush (Monintja, 2006).
c. Kelainan tali pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam
cairan amnion, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan
dengan baik. Pada umumnya tali pusat mempunyai panjang sekitar 55 cm.
Tali pusat yang terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan pada leher,
sehingga mengganggu aliran darah ke janin dan menimbulkan asfiksia
sampai kematian janin dalam kandungan.
1) Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam
keadaan tertentu terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi
velamentosa. Bahaya insersi velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu
pembuluh darahnya melintasi kanalis servikalis, sehingga saat ketuban
pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut pecah. Kematian
janin akibat pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila
pembukaan masih kecil karena kesempatan seksio sesaria terbatas
dengan waktu (Wiknjosastro, 2008).

40
2) Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi
peluntiran pembuluh darah umblikalis, karena jelli Whartonnya sangat
tipis. Peluntiran pembuluh darah tersebut menghentikan aliran darah ke
janin sehingga terjadi kematian janin dalam rahim. Gerakan janin yang
begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai
(Manuaba, 2010).
3) Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang
besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada
leher sangat berbahaya, apalagi bila terjadi lilitan beberapa kali. Tali
pusat yang panjang berbahaya karena dapat menyebabkan tali pusat
menumbung, atau tali pusat terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa
makin masuk kepala janin ke dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat
dan makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin sehingga dapat
menyebabkan kematian janin dalam kandungan (Wiknjosastro, 2008).

4. Diagnosis
Diagnosis IUFD ditegakkan dengan melakukan pengkajian berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi
Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun gerakan janin,
seringkali tulang-tulang letaknya tidak teratur, khususnya tulang tengkorak
sering dijumpai overlapping cairan ketuban berkurang.
b. Rontgen foto abdomen
1) Tanda Spalding
Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling

41
tumpang tindih (overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair,
hal ini terjadi setelah bayi meninggal beberapa hari dalam kandungan.
2) Tanda Nanjouk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling melenting
(hiperpleksi).
3) Tanda Robert
Tampak gelembung-gelembung gas pada pembuluh darah besar, tanda
ini ditemui setelah janin mati paling kurang 12 jam.
4) Tampak udema di sekitar tulang kepala
c. Pemeriksaan darah lengkap, termasuk kadar fibrinogen (Achadiat 2004).
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan reaksi biologis negatif
setelah 10 hari janin mati dan hipofibrinogenemia setelah 4-5 minggu
janin mati (Winkjosastro, 2008)

6. Patologi
Janin yang meninggal intra uterin biasanya lahir dalam kondisi
maserasi. Kulitnya mengelupas dan terdapat bintik-bintik merah kecoklatan
oleh karena absorbsi pigmen darah. Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan
tidak bertekstur. Tulang kranialnya sudah longgar dan dapat digerakkan dengan
sangat mudah satu dengn yang lainnya. Cairan amnion dan cairan yang ada
dalam rongga mengandung pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan
meningkat dalam waktu 24 jam dari kematian janin. Dengan kata lain, patologi
yang terjadi pada IUFD dapat terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:
a. Rigor mortis (tegang mati)
Berlangsung 2 ½ jam setelah mati, kemudian janin menjadi lemas sekali.
b. Stadium maserasi I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini mula-mula berisi cairan
jernih kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah janin
mati.

42
c. Stadium maserasi II
Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat.
Terjadi setelah 48 jam janin mati.
d. Stadium maserasi III
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati. Badan janin sangat lemas dan
hubungan antar tulang sangat longgar. Terdapat edema di bawah kulit.

7. Manifestasi Klinis
IUFD dapat menimbulkan berbagai komplikasi berupa kerusakan pada
desidua plasenta, menghasilkan tromboplastin yang kemudain masuk kedalam
peredaran darah ibu, terjadi pembekuan intravaskuler yang dimulai dari endotel
pembuluh darah oleh trombosit, lalu pembekuan darah semakin meluas
(Disseminated Intravascular Coagulation) dan hipofibrinogenemia (kadar
fibrinogen < 100 mg%), Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah
300-700 mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik
postpartum.

8. Terapi
Penanganan terhadap IUFD dilakukan berdasarkan usia kehamilan, jika
uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan, maka penggosongan uterus
dilakukan dengan tindakan kuret, jika ukuran uterus antara 12-28 minggu, dapat
digunakam prostaglandin E2 vaginal supositoria dimulai dengan dosis 10 mg.
Jika kehamilan >28 minggu dapat dilakukan dengan induksi dengan oksitosin.
a. Penanganan Pasif
1) Menunggu persalinan spontan dalam waktu 2-4 minggu
2) Pemeriksaan kadar fibrinogen setiap minggu
Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan maka
dilakukan penangganan aktif
b. Penanganan Aktif

43
1) Untuk rahim yang usianya 12 minggu atau kurang dapat dilakukan
dilatasi atau kuretase.
2) Untuk rahim yang usia lebih dari 12 minggu, dilakukan induksi
persalinan dengan oksitosin. Untuk oksitosin diperlukan pembukaan
serviks dengan pemasangan kateter foley intra uterus selama 24 jam
(Achdiat, 2004).
3) Persalinan dengan seksio sesaria merupakan alternatif terakhir seperti
pada kondisi bayi dengan posisi melintang atau ibu mengalami
preeklamsia.
Janin yang sudah meninggal harus segera dikeluarkan karena dapat
membahayakan ibu, jika lebih dari dua minggu bersemayam dalam rahim maka
akan menggangu proses pembekuan darah dan menurukan kadar fibrinogen ibu
sehingga pada saat persalinan, perdarahan akan sulit dihentikan dan jika terlalu
lama dapat mengalami pengerasan atau membatu di dalam rahim sehingga
dapat menyebabkan ruptur uterus dan laserasi jalan lahir.

9. Prognosis
Ibu hamil dengan riwayat IUFD masih mempunyai kesempatan untuk
hamil kembali dan bisa memulai program tersebut kapan saja, namun sebaiknya
penyebab IUFD terdahulu sudah diketahui sebelum menjalani kehamilan
berikutnya sehingga hal- hal yang menjadi permaslahan pada kasus sebelumnya
dapat dicegah. Riwayat kehamilan dengan IUFD sebelumnya dapat
menyebabkan gangguan hasil konsepsi pada kehamilan berikutnya, sehingga
perlu dilakukan evaluasi prenatal untuk memastikan penyebab sebelumnya.
Tindakan pengambilan sampel villus khorionik atau amniocentesis dapat
mempermudah deteksi dini dan memungkinkan dipertimbangkannya terminasi
kehamilan jika penyebab lahir mati terdahulu diketahui sebagai kelainan
karyotipe atau kausa poligenik. Pada kasus ibu hamil dengan diabetes, cukup
banyak terjadi kematian perinatal berkaitan dengan kongenital. Pengendalian

44
kadar glukosa yang intensif pada periode prekonsepsi dan perinatal dilaporkan
menurunkan insiden malformasi dan secara umum dapat memperbaiki hasil
(Saifuddin, 2009).

E. RETENSI SISA PLASENTA


1. Definisi
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest
placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang
dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum
hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late postpartum
hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan. Menurut
Sarwono Prawirohardjo, retensio plasenta adalah tertahannya atau belum
lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir
(Martohusodo, 2005).

2. Epidemiologi
Di Inggris, separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan
disebabkan oleh proses pasca persalinan. Frekuensi perdarahan pasca
persalinan 4/5-15% dari seluruh persalinan. Berdasarkan penyebabnya,
perdarahan pasca persalinan berturut-turut dari yang paling banyak disebabkan
oleh atonia uteri (50-60%), sisa plasenta (23-24%), retensio plasenta (16-
17%), laserasi jalan lahir (4-5%) dan kelainan darah (0,3-0,8%). Di Indonesia
perdarahan merupakan penyebab pertama kematian ibu melahirkan (40-
60%). Insiden perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta dilaporkan
berkisar 16-17% (Cunningham, 2006).

45
3. Jenis-jenis Retensi Plasenta
a. Plasenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta Akreta adalah implantasi jonjot korion plasetita hingga
memasuki sebagian lapisan miornetrium.
c. Plasenta Inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai / memasuki miornetrium.
d. Plasenta Perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta Inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri
disebabkan oleh kontriksi osteuni uteri.

4. Etilogi
a. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
Apabila plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan. Jika
lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus dapat karena:
1) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesive)
2) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis
menembus desidua sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum
(plasenta akreta – perkreta).
b. Plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang mengahalangi keluarnya plasenta (inkarserasio
plasenta) (Cunningham, 2006).

46
5. Diagnosis
Diagnosis retensi plasenta dibuat apabila plasenta yang tidak lepas
secara spontan setelah setengah jam bayi lahir atau timbul perdarahan
aktif setelah bayi dilahirkan. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak
ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap
menempel di dalam uterus (Saifuddin, 2002).

6. Diagnosis Banding
Plasenta akreta, yaitu suatu plasenta abnormal dimana vili khorialis tumbuh
menembus miometrium sampai ke serosa (Taber, 1994).

7. Terapi
Retensio plasenta tanpa perdarahan masih dapat menunggu. Sementara
itu kandung kemih dikosongkan, masase uterus dan suntikan oksitosin (i.v.
atau i.m. atau melalui infus). Apabila plasenta belum lahir setengah jam
setelah anak lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Dapat dicoba
dulu perasat menurut Crede. Tetapi tindakan ini tidak dianjurkan karena
menyebabkan terjadinya inversio uteri. Tekanan yang keras pada uterus dapat
pula menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri yang hebat dan
kemungkinan dapat terjadi syok. Akan tetapi dengan tekhnik yang sempurna
hal-hal itu dapat dihindarkan. Cara yang lain adalah cara Brandt
(Martohusodo, 2005).

47
Gambar 1. Brandt-AndrewsManeuver

Dengan salah satu tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva.
Tangan yang lain diletakkan di atas simfisis sehingga permukaan palmar
jari-jari tangan terletak di permukaan depan rahim, kira-kira perbatasan
segmen bawah dan badan rahim. Denagan melakukan tekanan ke arah atas
belakang, maka badan rahim akan terangkat. Apabila plasenta telah terlepas
maka tali pusat tidak tertarik kearah atas. Kemudian tekanan di atas simfisis
diarahkan ke bawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan
ringan untuk membantu mengeluarkan plasenta.
Yang selalu tidak dapat dicegah ialah bahwa plasenta tidak dapat
dilahirkan seluruhnya, ada bagian yang masih tertinggal yang harus
dikeluarkan dengan cara plasenta manual. Cara ini dianggap paling baik
(Martohusodo, 2005).
Penatalaksanaan manual plasenta:
a. Kaji ulang indikasi, prinsip dasar perawatan dan pasang infus.
b. Kosongkan kandung kemih atau lakukan kateterisasi
c. Berikan sedatif dan analgetika atau ketamin

48
d. Beri antibiotik dosis tunggal (profilaksis): ampisilin 2 g IV
ditambah metronidazol 500 mg IV
e. Pasang sarung tangan DTT
f. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian menegangkan sejajar lantai.
g. Secara obstetrik memasukkan tangan dengan menelusuri bagian bawah
tali pusat.
h. Setelah tangan mencapai serviks minta asisten untuk memegang
kocher kemudian tangan yang lainnya menahan fundus uteri, sekaligus
mencegah inversio uteri.
i. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri
hingga mencapai tempat implantasi plasenta.
j. Buka tangan obstetrik menjadi seperti memberi salam, jari-jari dirapatkan.
k. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
l. Gerakkan tangan ke kiri dan ke kanan sambil menggeser ke kranial
sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
m. Sementara satu tangan masih didalam kavum uteri, lakukan eksplorasi
ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat
pada dinding uterus.
n. Pindahkan tangan luar ke supra simpisis untuk menahan uterus pada
saat plasenta dikeluarkan.
o. Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat
sambil tangan dalam menarik plasenta keluar.
p. Lakukan sedikit dorongan ke arah dorsocranial setelah plasenta lahir.
q. Beri oksitosin 10 IU dalam 500 cc cairan IV 60 tetes/menit dan masase
uterus untuk merangsang kontraksi.
r. Periksa apakah plasenta lengkap atau tidak. Jika tidak lengkap,
lakukan eksplorasi ke dalam kavum uteri.
s. Periksa dan perbaiki robekan serviks, vagina atau episiotomi.

49
Plasenta manual harus segera dilakukan jika:
 Perdarahan kala-III lebih dari 200 ml
 Penderita dalam narkosa
 Riwayat PPH habitualis
 Plasenta akreta, inkreta dan perkreta ditolong dengan histerektomi.
 Sisa plasenta dikeluarkan dengan kerokan.
 Penderita diberikan uterotonika, analgetika, roboransia dan antibiotika
Pada pelepasan plasenta akreta, pelepasan plasenta lebih banyak
mengalami kesulitan. Pada plasenta akreta, plasenta hanya dapat dikeluarkan
sepotong demi sepotong dan bahaya perforasi dan perdarahan mengancam.
Apabila ditemui kesulitan- kesulitan seperti diatas, plasenta inkreta dapat
dibuat dan plasenta manual dihentikan, lalu dilakukan histerektomi
(Martohusodo, 2005).
Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk
dilahirkan karena lingkaran kontriksi (inkarserasio plasenta) tangan kiri
penolong dimasukkan ke dalam vagina dan ke bagian bawah uterus dengan
dibantu oleh anastesia umum untuk melonggarkan kontriksi. Dengan tangan
tersebut sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum melalui lingkaran
kontriksi untuk memegang plasenta dan perlahan–lahan plasenta sedikit demi
sedikit ditarik kebawah melalui tempat sempit tersebut (Martohusodo, 2005).

8. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menajemen aktif kala III, yaitu:
a. Memberikan oksitosin
b. Klem dan potong tali pusat
c. Traksi terkendali tali pusat

50
51
BAB III

STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. G
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 55 kg
TB : 160 cm
Alamat : Bulukerto Wonogiri Jawa Tengah
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 23 Maret 2016
Tanggal Pemeriksaan : 28 Maret 2016
No RM : 01337294
2. Keluhan Utama
Sesak nafas yang semakin memberat
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G1P0A0, 27 tahun, UK: 27 minggu, datang rujukan RS Marga
Husada Wonogiri dengan keterangan PER suspek decomp cordis. Pasien
merasa sesak nafas yang semakin memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Sesak dirasakan terus-menerus hingga pasien hanya dapat duduk di
tempat tidur. Pasien tampak lemas dan gelisah. Pasien merasa hamil 7 bulan,
gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng belum dirasakan, air ketuban
belum dirasakan keluar. Lendir darah (-).

52
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
5. Riwayat Haid
Menarche : 13 tahun
Lama menstruasi : 6-10 hari
Siklus menstruasi : 28 hari
6. Riwayat Obstetri
Belum ada riwayat obstetri.
7. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, telah menikah sejak berumur 26 tahun, usia pernikahan 1 tahun.
8. Riwayat KB
Belum pernah melakukan KB

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Buruk, somnolen, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 170/110 mmHg
Nadi : 140 x/menit
Respiratory Rate : 30 x/menit dengan NRM SpO2: 95%
Suhu : 36,60 C
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

53
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorax :
1) Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal,reguler, meningkat, bising(-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor // sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+),
wheezing (-)
h. Abdomen :
Inspeksi : dalam batas normal
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat,
balotement (+), DJJ (+) 100x/menit ireguler, His (-)
Perkusi : timpani
i. Genital : Inspekulo : v/u tenang, dinding vagina dbn, portio
utuh tertutup, darah (-), discharge (-)
VT : v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio licin, lunak OUE tertutup, pembukaan -, eff: 10
%, darah (-), discharge (-)
j. Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
+ + - -

54
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. USG (23/4/2016)
Tampak janin tunggal intrauterin, memanjang, DJJ (+)
FB: BPD 7,46 cm, AC 19,15 cm, FL 4,16 cm  EFBW: 708 gr
Plasenta insersi di corpus grade I
Air ketuban kesan cukup
Tak tampak kelainan kongenital mayor
Kesan janin saat ini dalam keadaan fetal distress
2. Laboratorium Darah (23/4/2016)
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 8.5 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 31 % 33-45
Leukosit 16.1 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 367 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 5.15 Ribu/ul 4.10-5.10
Golongan Darah B
Hemostatis
PT 14.3 Detik 10.0-15.0
APTT 23.0 Detik 20.0-40.0
INR 1.180 -
Kimia Klinik
Elektrolit
Natrium Darah 141 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.9 Mmol/L 3.3-5.1
Klorida darah 114 Mmol/l 98-106
SGOT 18 u/l <31
SGPT 13 u/l <34
Albumin 3.2 g/dl 3.5-5.2
Creatinin 0.7 Mg/dl 0.6-1.1
Ureum 16 Mg/dl <50
LDH 587 u/l 140-300
Analisa Gas Darah
pH 7.160 7.350-7.450
BE -19.4 Mmol/L -2-+3
pCO2 26.0 mmHg 27.0-41.0
pO2 87.0 mmHg 83.0-108.0

55
HCO3 10.9 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 10.1 Mmol/L 19.0-24.0
Saturasi O2 93 % 94.0-98.0
Laktat arteri 7.80 Mmol/L 0.36-0.75
Serologi
HbsAg Rapid Nonreactive
Protein ++++/ Negatif
Kualitatif Positif 4

D. SIMPULAN
Seorang G1P0A0, 27 tahun, UK: 27 minggu, datang rujukan RS Marga
Husada Wonogiri dengan keterangan PER suspek decomp cordis. Saat ini pasien
mengeluhkan sesak nafas yang semakin memberat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan terus-menerus hingga pasien hanya dapat duduk di
tempat tidur. Pasien tampak lemas dan gelisah. Pasien merasa hamil 7 bulan,
gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng belum dirasakan, air ketuban
belum dirasakan keluar. Lendir darah (-).
Riwayat fertilitas dan obstetri belum dapat dinilai. Pemeriksaan tanda vital
didapatkan TD 170/110 mmHg, HR: 140x/menit, RR: 30x/menit, t: 36,6oC. Dari
pemeriksaan fisik thorax didapatkan bunyi jantung I-II intensitas meningkat
reguler dan didapatkan ronki basah halus (+/+) pada pulmo. Pada abdomen
didapatkan supel, nyeri tekan (-), tinggi fundus uteri 2 jari di bawah pusat,
ballotement (+), DJJ (+) 100x/menit, ireguler, His (-).
Dari pemeriksaan fisik genital Inspekulo: v/u tenang, dinding vagina dbn,
portio utuh tertutup, darah (-), discharge (-). VT : v/u tenang, dinding vagina dalam
batas normal, portio licin, lunak OUE tertutup, pembukaan -, eff: 10 %, darah (-),
discharge (-)
Hasil pemeriksaan USG: Tampak janin tunggal intrauterin, memanjang,
DJJ (+), FB: BPD 7,46 cm, AC 19,15 cm, FL 4,16 cm  EFBW: 708 gr, plasenta

56
insersi di corpus grade I, air ketuban kesan cukup, dan tak tampak kelainan
kongenital mayor. Kesan janin saat ini dalam keadaan fetal distress

Hasil pemeriksaan laboratorium darah: penurunan Hb (8.5), penurunan Hct


(31), peningkatan leukosit (16.1), peningkatan eritrosit (5.15), peningkatan klorida
(114), penurunan albumin (3.2), peningkatan LDH (587), analisi gas darah
didapatkan asidosis metabolik tidak terkompensasi sempurna, protein kualitatif
+4, dan HbsAg non reaktif.

E. DIAGNOSIS AWAL
Oedem Pulmo, Fetal Distress, PEB pada primigravida hamil imatur bdp dengan
anemia (8,5).

F. DIAGNOSA AKHIR
Oedem pulmo perbaikan, PEB, HELLP syndrome, post partus spontan, IUFD +
post kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-IX pada primipara hamil
imatur.

G. PROGNOSIS
Malam

H. TERAPI
- Mondok ICU  stabilisasi dan perbaikan KU  tranfusi 1 PRC hingga Hb ≥
10
- Injeksi Furosemid 2 ampul  dilanjutkan injeksi furosemid 5 mg/jam
(syringe pump)
- Protap PEB: O2 10 lpm NRM
Infus RL 12 tpm

57
Injeksi MgSO4 20% (initial dose) 4 gr syringe pump dilanjutkan
Injeksi MgSO4 20% (maintenance dose) 1 gr/jam selama 24 jam
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥ 160/100 mmHg
Awasi KUVS/BC/DJJ/tanda impending eklampsia
- Usul terminasi dengan induksi balon kateter sampai lepas dilanjutkan induksi
oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL
- Konsul jantung
- Konsul Paru
- Konsul divisi fetomaternal

I. FOLLOW UP
1. Evaluasi 23 April 2016 (DPH 0)
Obsgyn-07.10
G1P0A0, 27 tahun, UK: 27 minggu
S: -
O: KU jelek, somnolen
VS: TD: 178/105 mmHg, HR 135x/menit, RR: 35x/menit ventilator SpO2
99%, t: 36,8oC
Mata: Konjungtiva Anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, meningkat, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, balotement (+),
His (-), DJJ (+) 60x/menit
Genitalia: darah (-), discharge (-)
A: Oedem pulmo, fetal distress, PEB pada primigravida hamil imatur bdp +
anemia (8,5)
P:

- Injeksi Furosemid 2 ampul  ekstra, dilanjutkan injeksi furosemid 5


mg/jam  syringe pump

58
- Protap PEB: O2 10 lpm NRM
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% (initial dose) 4 gr syringe pump
dilanjutkan Injeksi MgSO4 20% (maintenance dose) 1 gr/jam
selama 24 jam
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥ 160/100 mmHg
Awasi KUVS/BC/DJJ/tanda impending eklampsia

Obsgyn-08.15
G1P0A0, 27 tahun, UK: 27 minggu
S: -
O: KU jelek, somnolen
VS: TD: 118/88 mmHg, HR 135x/menit, RR: 28x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, balottement
(+), His (-), DJJ (-)
Genitalia: darah (-), discharge (-)
A: Oedem pulmo, IUFD, PEB pada primigravida hamil imatur bdp + anemia
(8,5)
P: - Injeksi Furosemid 2 ampul  ekstra, dilanjutkan injeksi furosemid 5
mg/jam  syringe pump
- Protap PEB: O2 10 lpm NRM
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% (initial dose) 4 gr syringe pump
dilanjutkan Injeksi MgSO4 20% (maintenance dose) 1
gr/jam selama 24 jam
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥ 160/100 mmHg

59
Awasi KUVS/BC/DJJ/tanda impending eklampsia
- Terapi lain sesuai TS anestesi dan TS paru

Obsgyn-11.00
G1P0A0, 27 tahun, UK: 27 minggu
S: lemah
O: KU jelek, somnolen
VS: TD: 140/90 mmHg, HR 127x/menit, RR: 30x/menit ventilator SpO2
100%, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel,nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, His (-), DJJ (-)
Genitalia: VT: v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio
mencucu, pembukaan – cm, eff 10%, darah (-), discharge (-)
A: Oedem pulmo, IUFD, PEB pada primigravida hamil imatur bdp + anemia
(8,5)
P: - Induksi misoprostol 50 mg/5 jam/pervaginam tab I/I  evaluasi 16.00
- Injeksi furosemid 5 mg/jam  syringe pump
- Protap PEB: O2 ventilator sesuai TS paru
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% (maintenance dose) 1 gr/jam selama
24 jam
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥ 160/100 mmHg
Awasi KUVS/BC/DJJ/tanda impending eklampsia
- Antihipertensi sesuai TS anestesi dan TS jantung
- Transfusi PRC samapai dengan Hb≥10
- Cek SGOT, SGPT, Ureum, Albumin  tunggu hasil  lapor ulang

60
Obsgyn-16.00
G1P0A0, 27 tahun, UK: 27 minggu
S: -
O: KU jelek, somnolen
VS: TD: 140/90 mmHg, HR 130x/menit, RR: 28x/menit, t: 36,8oC
Mata: Konjungtiva Anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, meningkat, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, His (-), DJJ(-)
Genitalia: VT: v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak
mencucu, pembukaan - cm, eff 10%, darah (-), discharge (-)
A: Oedem pulmo, IUFD, PEB pada primigravida hamil imatur bdp + anemia
(8,5)
P: - Induksi Misoprostol 50 mg/5 jam/pervaginam tab II/I
- Evaluasi jam 21.00
- Injeksi Furosemid 5 mg/jam  Syringe Pump
- Protap PEB: O2 ventilator
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% 1 gr/jam  syringe pump
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥160/100 mmHg
Injeksi Furosemid 5 mg/jam  syringe pump
- Antihipertensi sesuai TS anestesi dan TS jantung
- Transfusi PRC sampai dengan Hb ≥ 10

2. Evaluasi 24 April 2016 (DPH 1)


Obsgyn - 06.00
G1P0A0, 27 tahun, UK: 27 minggu
S: -
O: KU sedang, CM

61
VS: TD: 160/90 mmHg, HR 120x/menit, RR: ventilator spontan, Sp02:
98%, t: 36,8oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, meningkat, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, His (-),DJJ (-)
Genitalia: VT: v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak
mendatar, pembukaan 2 cm, eff 40%, KK (+), STLD (-)
A: Oedem Pulmo, IUFD, PEB pada primigravida hamil imatur + anemia (8,5)
dalam induksi misoprostol 25 mg tab IV seri I
P: - Induksi Misoprostol 25 mg
- Protap PEB: O2 ventilator
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% 1 gr/jam  syringe pump
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥160/100 mmHg
- Injeksi Furosemid 5 mg/jam  syringe pump
- Terapi lain sesuai TS jantung, TS paru, dan TS anestesi
Obsgyn - 17.00
P1A0, 27 tahun,
S: -
O: KU jelek, tersedasi
VS: TD: 130/80 mmHg, HR 110x/menit, RR: ventilator spontan, Sp02:
100%, t: 36,8oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, meningkat, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)

62
A: Oedem Pulmo, PEB, post partus spontan, IUFD dalam induksi misoprostol
tab IV/I + post kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta pada primipara
hamil imatur+ anemia (8.8)+ leukositosis (25)
P: - Protap PEB: O2 ventilator sesuai TS anestesi
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% 1 gr/jam  selesai
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥160/100 mmHg
- Injeksi Furosemid 5 mg/jam  syringe pump
- Injeksi Ceftriaxon 2 gr/24 jam
- Injeksi Metronidazol 500 mg/ 8 jam
- Terapi lain sesuai TS jantung, TS paru, dan TS anestesi

3. Evaluasi 25 April 2016 (DPH 2)


Obsgyn-06.00
P1A0, 27 tahun
S: -
O: KU: jelek, tersedasi
VS: TD: 130/90, HR: 101x/menit, RR: 20x/menit, t: 36,7oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo dalam perbaikan, post partus spontan, IUFD, PEB + post
kuretase a.i retensi sisa plasenta hari ke- I pada primipara hamil imatur +
anemia (8.8) + leukositosis (25)
P: - Protap PEB: O2 ventilator sesuai TS paru
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% 1 gr/jam (24 jam)  selesai

63
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥160/100 mmHg
- Injeksi Ceftriaxon 2 gr/24 jam
- Injeksi Ciprofloksasin 400 mg/12 jam
- Injeksi Furosemid 2,5 mg/jam
- Terapi lain sesuai TS Anestesi

4. Evaluasi 26 April 2016 (DPH 3)


Obsgyn-06.00
P1A0, 27 tahun
S: -
O: KU: sedang, CM
VS: TD: 130/90, HR: 92x/menit, RR: 20x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), kontraksi (+), bising usus (+) normal
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo dalam perbaikan, post partus spontan, IUFD, PEB + post
kuretase a.i retensi sisa plasenta heri ke-II pada primipara hamil imatur +
hipokalemia (2.9)
P: - Protap PEB: O2 NRM 6 lpm
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% 1 gr/jam (24 jam)  selesai
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥160/100 mmHg
- Injeksi Ciprofloksasin 400 mg/12 jam
- Terapi lain sesuai TS Anestesi

64
5. Evaluasi 27 April 2016 (DPH 4)
Obsgyn-06.00
P1A0, 27 tahun
S: -
O: KU: jelek, tersedasi
VS: TD: 140/90, HR: 96x/menit, RR: 20x/menit, t: 36,7oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo dalam perbaikan, post partus spontan, IUFD, PEB + post
kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-III pada primipara
hamil imatur + hipokalemia (2.9)
P: - Protap PEB: O2 ventilator sesuai TS paru
Infus RL 12 tpm
Injeksi MgSO4 20% 1 gr/jam (24 jam)  selesai
Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥160/100 mmHg
- Injeksi Ciprofloksasin 400 mg/12 jam
- Terapi lain sesuai TS Anestesi, TS jantung, TS paru

6. Evaluasi 28 April 2016 (DPH 5)


Obsgyn-06.00
P1A0, 27 tahun
S: -
O: KU: sedang, CM
VS: TD: 150/100, HR: 98x/menit, RR: 26x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler

65
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), kontraksi (+), TFU 2 jari dibawah pusat
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo dalam perbaikan, post partus spontan, IUFD, PEB + post
kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-IV pada primipara
hamil imatur + hipokalemia (2.9)
P: - Injeksi Ciprofloksasin 400 mg/12 jam
- Injeksi Furosemid 1 ampul/12 jam
- Vit C 2x1
Obsgyn-07.00
P1A0, 27 tahun
S: sesak jika pasien tidur
O: KU: sedang, CM
VS: TD: 140/100, HR: 92x/menit, RR: 30x/menit, t: 36,7oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), kontraksi (+), TFU 2 jari di bawah pusat
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo dalam perbaikan, post partus spontan, IUFD, PEB + post
kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-IV pada primipara
hamil imatur + hipokalemia (2.9)
P: - Injeksi Ciprofloksasin 400 mg/12 jam
- Asam mefenamat 3x500 mg
- Vit C 2x1
- Injeksi Furosemid 20 mg/8 jam
- Usul Perawatan ICU

66
Obsgyn-16.00
P1A0, 27 tahun
S: sesak nafas
O: KU: sedang, CM
VS: TD: 130/90, HR: 128x/menit, RR: 40x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo, PEB, HELLP syndrome, post partus spontan, IUFD + post
kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-IV pada primipara
hamil imatur
P: - Usul mondok ICU/ICVCU
- O2 NEM 8 lpm
- Injeksi Ciprofloksasin 400 mg/12 jam
- Injeksi Furosemid syringe pump 5 cc/jam
- Captopril tab 25 mg/8 jam p.o
- Asam mefenamat tab 500 mg/ 8 jam p.o
- Cripsa 1 tab/12 jam
- Terapi lain sesuai TS Jantung dan TS Paru
- AGD ulang

7. Evaluasi 29 April 2016 (DPH 6)


P1A0, 27 tahun
S: sesak nafas berkurang
O: KU: sedang, CM
VS: TD: 130/80, HR: 80x/menit, RR: 22x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

67
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo perbaikan, PEB, HELLP syndrome, post partus spontan,
IUFD + post kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-V pada
primipara hamil imatur
P: - O2 NRM 8 lpm
- Injeksi Ciprofloksasin 400 mg/12 jam
- Injeksi Furosemid syringe pump 5 cc/jam
- Captopril tab 25 mg/8 jam p.o
- Asam mefenamat tab 500 mg/ 8 jam p.o
- Cripsa 1 tab/12 jam
- Terapi lain sesuai TS Jantung dan TS Paru
-
8. Evaluasi 30 April 2016 (DPH 7)
Obsgyn-06.00

P1A0, 27 tahun
S: sesak nafas berkurang
O: KU: sedang, CM
VS: TD: 130/80, HR: 80x/menit, RR: 22x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)

68
A: Oedem pulmo perbaikan, PEB, HELLP syndrome, post partus spontan,
IUFD + post kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-VI pada
primipara hamil imatur
P: - O2 NRM 5 lpm
- Cefadroxil 2x500 mg
- Injeksi Furosemid syringe pump 5 cc/jam
- Metildopa 2x250 mg
- Cripsa 1 tab/12 jam
- Terapi lain sesuai TS Jantung dan TS Paru
- Kultur darah  tunggu hasil
- Ro Thorax  oedem pulmo
- Diet TKTP
- BC ketat
- Mobilisasi Bed Rest total, miring kanan kiri
- Usul alih leader
Obsgyn-17.00

P1A0, 27 tahun
S: sesak nafas berkurang
O: KU: sedang, CM
VS: TD: 130/90, HR: 82x/menit, RR: 22x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo perbaikan, PEB, HELLP syndrome, post partus spontan,
IUFD + post kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-VI pada
primipara hamil imatur

69
P: - O2 NRM 5 lpm
- Cefadroxil 2x500 mg
- Injeksi Furosemid syringe pump 5 cc/jam
- Metildopa 2x250 mg
- Nifedipin 3x10 mg jika TD ≥ 160/110
- Asam mefenamat tab 500 mg/ 8 jam p.o
- Cripsa 1 tab/12 jam
- Terapi lain sesuai TS Jantung dan TS Paru
- Kultur darah  tunggu hasil
- Ro Thorax  oedem pulmo
- Diet TKTP
- BC ketat
- Mobilisasi Bed Rest total, miring kanan kiri

9. Evaluasi 1 Mei 2016 (DPH 8)


P1A0, 27 tahun
S: sesak nafas berkurang
O: KU: baik, CM
VS: TD: 110/70, HR: 88x/menit, RR: 20x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo perbaikan, PEB, HELLP syndrome, post partus spontan,
IUFD + post kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-VII pada
primipara hamil imatur
P: - O2 NRM 5 lpm
- Cefadroxil 2x500 mg

70
- Metildopa 250 mg/8 jam
- Inj. Furosemid 5mg/ jam SP
- Nifedipin jika TD ≥ 160/110 mmHg
- Crispa 1 tab/12 jam
- Terapi lain sesuai kardio dan paru
- Diet TKTP
- BC
- Mobilisasi  Berdrest total, miring kanan dan kiri
- Usul Alih leader jantung

10. Evaluasi 2 Mei 2016 (DPH 9)


Obsgyn-06.00
P1A0, 27 tahun
S: sesak nafas berkurang
O: KU: baik, CM
VS: TD: 110/70, HR: 98x/menit, RR: 20x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo perbaikan, PEB, HELLP syndrome, post partus spontan,
IUFD + post kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-VIII pada
primipara hamil imatur
P: - Cefadroxil 2x500 mg
- Metildopa 250 mg/8 jam
- Inj. Furosemid 5mg/ jam SP
- Nifedipin jika TD ≥ 160/110 mmHg
- Crispa 1 tab/12 jam

71
- Alih leader jantung

11. Evaluasi 3 Mei 2016 (DPH 10)


Obsgyn-06.00
P1A0, 27 tahun
S: sesak nafas berkurang
O: KU: baik, CM
VS: TD: 110/70, HR: 98x/menit, RR: 20x/menit, t: 36,5oC
Mata: Konjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax: Cor: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler
Pulmo: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)
Genitalia: darah (-), lochia (+)
A: Oedem pulmo perbaikan, PEB, HELLP syndrome, post partus spontan,
IUFD + post kuretase emergensi a.i retensi sisa plasenta hari ke-IX pada
primipara hamil imatur
P: - Cefadroxil 2x500 mg
- Metildopa 250 mg/8 jam
- Inj. Furosemid 5mg/jam SP sesuai TS Cardio
- Nifedipin jika TD ≥ 160/110 mmHg
- BLPL mengikuti TS Cardio

J. FOLLOW UP PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Thorax On Bed/Portable Thorax (24/04/2016)
Cardiomegaly dengan edema pulmonum
Terpasang CVC dari sisi kanan dengan tip terproyeksi setinggi VTH 6
Terpasang ETT dengan tip terproyeksi setinggi VTH 4

72
2. Laboratorium (24/4/2016)
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 8.8 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 29 % 33-45
Leukosit 25.0 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 258 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.76 Ribu/ul 4.10-5.10
Analisa Gas Darah
pH 7.360 7.350-7.450
BE -7.7 Mmol/L -2-+3
pCO2 30.0 mmHg 27.0-41.0
pO2 130.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 25 % 37-50
HCO3 16.8 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 17.8 Mmol/L 19.0-24.0
Saturasi O2 99.0 % 94.0-98.0
Laktat arteri 1.50 Mmol/L 0.36-0.75

3. Laboratorium (25/4/2016)
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 10.1 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 35 % 33-45
Leukosit 16.8 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 185 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 5.46 Ribu/ul 4.10-5.10
Kimia Klinik
Elektrolit
Natrium Darah 136 Mmol/L 136-145
Kalium darah 2.9 Mmol/L 3.3-5.1
Klorida darah 112 Mmol/l 98-106

4. Laboratorium (27/5/2016)
Analisa Gas Darah
pH 7.450 7.350-7.450
BE 4.5 Mmol/L -2-+3
pCO2 41.0 mmHg 27.0-41.0

73
pO2 167.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 32 % 37-50
HCO3 28.2 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 29.8 Mmol/L 19.0-24.0
Saturasi O2 100 % 94.0-98.0
Laktat arteri 1.90 Mmol/L 0.36-0.75

5. Pemeriksaan Echocardiography (27/5/2016)


LVH Eksentrik dengan kontraktilitas LV menurun (EF 38%)

PR Mild

6. Laboratorium (28/5/2016)
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 10.5 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 36 % 33-45
Leukosit 8.7 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 95 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 5.59 Ribu/ul 4.10-5.10
Golongan Darah B
Hemostatis
PT 13.0 Detik 10.0-15.0
APTT 24.9 Detik 20.0-40.0
INR 1.040 -
Kimia Klinik
Elektrolit
Natrium Darah 141 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.4 Mmol/L 3.3-5.1
Klorida darah 105 Mmol/l 98-106
Glukosa darah 113 Mg/dl 60-140
sewaktu
SGOT 115 u/l <31
SGPT 215 u/l <34
Albumin 3.1 g/dl 3.5-5.2
Creatinin 0.8 Mg/dl 0.6-1.1
Ureum 25 Mg/dl <50
LDH 906 u/l 140-300
Analisa Gas Darah

74
pH 7.470 7.350-7.450
BE 2.7 Mmol/L -2-+3
pCO2 37.0 mmHg 27.0-41.0
pO2 204.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 27 % 37-50
HCO3 26.4 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 27.5 Mmol/L 19.0-24.0
Saturasi O2 100 % 94.0-98.0
Laktat arteri 1.09 Mmol/L 0.36-0.75

7. Laboratorium (29/4/2016)

Analisa Gas Darah


pH 7.540 7.350-7.450
BE 9.9 Mmol/L -2-+3
pCO2 38.0 mmHg 27.0-41.0
pO2 149.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 31 % 37-50
HCO3 32.2 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 33.8 Mmol/L 19.0-24.0
Saturasi O2 100 % 94.0-98.0
Laktat arteri 1.30 Mmol/L 0.36-0.75

8. Laboratorium (30/04/2016)
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 8.2 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 31 % 33-45
Leukosit 10.6 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 182 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.31 Ribu/ul 4.10-5.10
Kimia Klinik
Natrium Darah 135 Mmol/L 136-145
Kalium darah 5.6 Mmol/L 3.3-5.1
Klorida darah 105 Mmol/l 98-106
SGOT 41 u/l <31
SGPT 105 u/l <34
Albumin 3.2 g/dl 3.5-5.2

75
Creatinin 0.8 Mg/dl 0.6-1.1
Ureum 49 Mg/dl <50
LDH 632 u/l 140-300
Protein +/Positif 1 Negatif
Kualitatif

9. Laboratorium (03/05/2016)
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 9.3 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 32 % 33-45
Leukosit 6.4 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 197 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.88 Ribu/ul 4.10-5.10
Kimia Klinik
Natrium Darah 132 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.9 Mmol/L 3.3-5.1
Klorida darah 97 Mmol/l 98-106
Creatinin 0.7 Mg/dl 0.6-1.1
Ureum 29 Mg/dl <50

76
BAB IV

ANALISIS KASUS

A. Analisis Diagnosa
Seorang G1P0A0, usia 27 tahun, usia kehamilan 27 minggu datang
dengan rujukan dari RS Marga Husada Wonogiri dengan keluhan sesak nafas
yang semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan terus-menerus
hingga pasien hanya dapat duduk di tempat tidur. Pasien tampak lemas dan
tidak bertenaga. Pasien merasa hamil ± 7 bulan, gerakan janin masih dirasakan,
kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air ketuban dan lendir darah belum
dirasakan keluar. BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat penyakit seperti
darah tinggi, diabetes melitus, penyakit jantung asma dan alergi disangkal oleh
pasien. Riwayat fertilitas pasien baik dan riwayat obstetri pasien belum dapat
dinilai.
Saat anamnesis, didapatkan keterangan pasien baru pertama kali hamil
saat ini dan belum pernah melahirkan atau pun keguguran sebelumnya. Dari
perhitungan rumus Naegel berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT)
pasien diketahui usia kehamilan pasien adalah 27 minggu. Gerakan janin masih
aktif dirasakan. Pasien tidak mengeluhkan adanya kenceng-kenceng teratur di
perut serta air kawah dan lendir darah belum keluar dari jalan lahir. Sedangkan
pada pemeriksaan fisik terlihat abdomen membuncit, TFU teraba 2 jari di
bawah pusat, balotement (+), DJJ (+), his (-). Pada pemeriksaan inspekulo
portio utuh tertutup, darah (-), discharge (-). Sehingga pada pasien ini dapat
disimpulkan seorang primigravida hamil imatur belum dalam persalinan.
Dari anamnesis pasien mengeluhkan leher yang kencang atau kaku yang
sering timbul. Pada pemeriksaan fisik saat ini didapatkan tekanan darah
170/110 mmHg, pasien saat belum hamil tidak pernah mempunyai tekanan
darah yang tinggi. Kedua ekstremitas pasien bengkak, terdapat suara ronki

77
basah halus di kedua paru-paru. Kemudian dilakukan pemeriksaan uji urinalisa
Ewitz untuk mengetahui adanya protein dalam urin yang termasuk dalam
kriteria diagnosis preeklampsia. Pada pemeriksaan Ewitz diperoleh nilai +4,
sehingga pasien bisa disimpulkan menderita preeklampsia berat (PEB). Selain
itu, pasien juga tidak mengeluhkan adanya pandangan kabur, nyeri kepala
disangkal, mual dan muntah disangkal serta nyeri pada bagian ulu hati
disangkal. Sehingga tidak ada tanda-tanda impending eklampsia pada pasien.
Hasil laboratorium darah pasien pada tanggal 23 April 2016 tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda HELLP syndrome.
Selain itu, dari anamnesis pasien mengeluhkan sesak nafas yang
memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan terus menerus dan pasien merasa
lebih baik saat posisi duduk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan laju pernafasan
30 kali/ menit, denyut jantung 140 kali/ menit dan terdapat ronki basah halus
pada paru kanan dan kiri. Hasil analisa gas darah didapatkan kesimpulan
asidosis metabolik tidak terkompensasi sempurna, Hasil pemeriksaan foto
thoraks didapatkan gambaran edema pulmo. Sehingga pada pasien bisa
disimpulkan menderita edema pulmo. Kemungkinan hal ini terjadi sebagai
akibat komplikasi yang ditimbulkan dari PEB. Pada PEB terjadi disfungsi
endotel dan peningkatan permeabilitas kapiler sebagai akibat dari timbulnya
mediator inflamasi. Ketidakseimbangan ini menyebabkan peningkatan tekanan
vena pulmonalis, penurunan tekanan onkotik plasma, dan peningkatan
negativitas tekanan intersisial sehingga cairan tertumpuk pada ruang intersisial
paru-paru akibat ekstravasasi cairan ke jaringan ekstraseluler sehingga
terjadilah edema pulmo.
Data anamnesis dari pasien didapatkan pasien dalam keadaan lemas,
kedua konjungtiva anemis, dan pemeriksaan laboratorium darah dengan Hb 8,8
g/dl. Sehingga pasien bisa dipastikan mengalami anemia. Anemia dalam
kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin < 11 gr% pada
trimester I dan III atau kadar < 10,5 gr% pada trimester II. Anemia paling sering

78
disebabkan karena kekurangan zat besi. Pada wanita hamil, anemia
meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko
kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan
angka kematian perinatal meningkat.
Pada pemeriksaan denyut jantung janin didapatkan DJJ (+) 100 kali/
menit, kondisi ibu yang lemah dan sesak nafas. Pada usia kehamilan 27 minggu
ini teraba TFU 2 jari di bawah pusat. Pemerikaan USG juga didapatkan tampak
janin tunggal, intrauterin memanjang, DJJ (+), taksiran berat janin 708 gram,
dan kesan janin saat ini dalam keadaan fetal distress. Selain itu, dari data
tersebut terdapat ketidakcocokan antara usia kehamilan, tingginya TFU, dan
taksiran berat janin dari USG sehingga bisa disimpulkan pada janin terjadi Intra
Uterine Gowth Resistance (IUGR). Berdasarkan perkembangan denyut jantung
janin dan hasil USG janin pasien terjadi keadaan fetal distress. Keadaan fetal
distress pasien kemungkinan disebabkan beberapa faktor seperti anemia dan
adanya preeklampsia berat pada ibu. Keadaan seperti ini bisa berlanjut menjadi
kematian janin di dalam rahim.
Satu jam setelah pasien masuk ke rumah sakit, pasien tidak merasakan
gerakan janin lagi dan dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya DJJ.
Sehingga pada pasien terjadi Intra Uterine Fetal Death (IUFD). IUFD ini
kemungkinan bisa terjadi dikarenakan anemia dan PEB pada ibu. Bila terjadi
anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah satunya adalah kematian
janin dalam kandungan sebagai akibat tidak adekuatnya aliran darah ke janin
yang melalui plasenta untuk memasok kebutuhan oksigen.
Selain itu, pada PEB terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan
retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme,
maka tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan
perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke
plasenta dan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena
kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut

79
akan menjadi IUFD.
Setelah lima hari perawatan dalam rumah sakit, pada pasien ini
didapatkan tanda-tanda munculnya komplikasi PEB. Pada hasil pemeriksaan
laboratorium darah didapatkan nilai trombosit 95 ribu/ul, SGOT 115 u/l, SGPT
215 u/l, dan LDH 906 u/l. Sehingga pada pasien bisa disimpulkan telah terjadi
komplikasi menjadi HELLP syndrome.

B. Analisis Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk kasus ini yaitu pasien dengan diagnosa edema
pulmo, fetal distress, PEB, IUGR pada primigravida hamil imatur belum dalam
persalinan dengan anemia (8,8 mg/dl) adalah dengan melakukan stabilisasi
hemodinamik terlebih dahulu dan perbaikan keadaan umum. Pada pasien ini
terdapat beberapa diagnosa sehingga terapi yang akan diberikan pun menjadi
lebih banyak dan harus lebih berhati-hati dalam intervensinya.
Pada pasien dengan PEB terapi utama yang harus dilakukan adalah
pemberian protap PEB untuk mencegah pasien jatuh ke dalam kondisi
impending eklampsia atau pun eklampsia. Adapun protap PEB yang diberikan
adalah oksigenasi dengan masker NRM 10 liter/ menit, infus ringer laktat 12
tetes/ menit, injeksi MgSO4 20% 4 gr dalam 15 menit (initial dose) dan injeksi
MgSO4 20% 1 gr/ jam selama 24 jam menggunakan syringe pump
(maintenance dose), serta pemberian nifedipin jika tekanan darah pasien ≥
160/110 mmHg. Pemberian oksigen dengan NRM 10 liter/ menit salah satunya
didasarkan ataas hasil AGD pasien yang terdapat asidosis metabolik tidak
terkompensasi dengan sempurna. Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks
patella (+), laju pernafasan > 16 kali/ menit per menit, jumlah urin > 0,5
cc/KgBB/jam. Selama pemberian MgSO4 urin output pasien harus dikontrol
dengan cara pemasangan kateter dan dihitung balance cairannya. Hal ini
dimaksudkan agar pada pasien ini keseimbangan elektrolit tetap terjaga dan
tidak terjadi hipermagnesia. MgSO4 yang diberikan berfungsi sebagai

80
profilaksis kejang, tokolitik, antihipertensi dan diuretik. Apabila pasien
mengalami keracunan MgSO4 maka dapat diberikan antidotum kalsium
glukonas. Selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mengetahui perkembangan dan
kesuksesan dari terapi.
Keadaan edema pulmo pasien diterapi dengan pemberian oksigen 10
liter/ menit dan injeksi furosemid 1 ampul yang di bolus dilanjutkan
maintenance dengan pemberian injeksi furosemid 5 mg/jam dengan
menggunakan syringe pump. Selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mengetahui
perkembangan dan kesuksesan dari terapi.
Pada janin pasien terdapat kondisi fetal distress dengan PEB pada
primigravida hamil imatur belum dalam persalinan serta terdapat anemia, yang
dalam selang waktu 1 jam setelah kedatangan pasien kondisinya berubah
menjadi IUFD. Penanganan yang dilakukan memprioritaskan perbaikan
kondisi umum dan hemodinamik ibu terlebih dahulu. Penanganan untuk PEB
dan edema pulmo masih diteruskan dan dilakukan juga transfusi 1 kolf PRC
dikarenakan Hb ibu 8,8 g/dl. Janin yang sudah meninggal harus segera
dikeluarkan karena dapat membahayakan ibu, jika lebih dari dua minggu ada di
dalam rahim maka akan menggangu proses pembekuan darah dan menurukan
kadar fibrinogen ibu sehingga pada saat persalinan, perdarahan akan sulit
dihentikan dan jika terlalu lama dapat mengalami pengerasan di dalam rahim
sehingga dapat menyebabkan ruptur uterus dan laserasi jalan lahir. Penanganan
IUFD pada pasien ini dengan usia kehamilan 27 minggu maka diberikan
induksi misoprostol 50 mg/ 5 jam per vaginam dan dilakukan evaluasi 5 jam
kemudian. Harapan dari tindakan ini adalah janin dapat dilahirkan secara per
vaginam dikarenakan nilai BISHOP’s score yang sudah memenuhi kriteria.
Setelah dilakukan pemberian misoprostol, pasien melahirkan secara
spontan. Namun, setelah melahirkan terdapat sebagian plasenta yang tertinggal
dalam rongga rahim sehingga menimbulkan perdarahan post partum dini.
Untuk menangani perdarahan post partum dikarenakan retensi sisa plasenta

81
maka perlu dilakukan adanya tindakan kuretase emergency untuk
mengeluarkan sisa plasenta. Setelah tindakan kuretase, pasien diberikan injeksi
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien.

82
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, C.M. (2004), Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi, EGC, Jakarta.

Angsar MD. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR,pp: 10-19; 2003.

Artikasari K. Hubungan antara Primigravida dengan Angka Kejadian


Preeklampsia/Eklampsia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode 1
Januari–31 Desember 2008; 2009(Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).

Bobak, dkk . Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC; 2005.

Castro CL. Chapter 15. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In : Essential of Obstetri


and Gynecology. 4th Ed. Philadelphia : Elsivlersaunders, p: 200; 2004

Cunningham, F.G, et al. (2006) Obstetri Williams Volume 2 Edisi 21. EGC: Jakarta.

Djannah SN, Arianti IS. Gambaran Epidemiologi Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSU


PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2007–2009; 2010 Diakses dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2782/1506 pada
tanggal 2 Desember 2015.

Haram K, Svendsen E, dan Abilgaard U. The HELLP syndrome: clinical issues and
management: a review. BMC Pregnancy and Childbirth. 2009; 9:8

Kadri, N. (2005), Kelainan Kongenital, dalam Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta

Llewellyn, J. (2001), Setiap Wanita. Jakarta. Delapratasa.

Llewellyn, J . (2005). Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi, Edisi 6. Jakarta. EGC.

MacDorman, P.D.M.F. and Mathews, M.S..T.J., (2013). Infant Mortality Statistics


from the 2009 Period Linked Birth/Infant Death Data Set National Vital
Statistics Reports, 61(8):1-69.

Manuaba, IBG. (2010). Ilmu Kebidanan, penyakit Kandungan dan KB untuk


Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta. EGC

83
Martohusodo, S, Abdullah, M.N. (2005) Gangguan Dalam Kala III Persalinan.
Dalam: Winkjosastro, H (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP-SP.

Mochtar, R. (2004). Sinopsis Obstetri Fisiologi Patologi, Edisi III. Jakarta. EGC.

Monintja, H.E. (2005), Penyakit-Penyakit Dalam Masa Neonatal, dalam Ilmu


Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Pangemanan WT. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang: Universitas


Sriwijaya; 2002

Prawirohardjo S. Hipertensi dalam Kehamilan dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ke-4.


Jakarta: Penerbit P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008

Saifuddin, A.B. (2002) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: YBP-SP.

Saifuddin. (2009). Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Schott, dkk. Buku Saku: Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC; 2009.

Stridje, D. (2000), Kehamilan dan Diabetes. Jakarta. EGC.

Sunaryo R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Preeklampsia-Eklampsia, in : Holistic and


Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, p: 14; 2008

Taber, B. (1994) Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:


EGC.

Wibowo B, Rachimhadi T. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu Kebidanan.


Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99;
2009

Winkjosastro. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

84

Anda mungkin juga menyukai