Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh dunia, yang disebabkan
oleh mikroorganisme patogen Leptospira spp.1 Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama
seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane
cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain.2 Leptospirosis
ditransmisikan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia. Transmisi
manusia ke manusia terjadi sangat jarang. Manusia biasanya terinfeksi melalui kontak dengan air
atau tanah terkontaminasi urin dari hewan terinfeksi seperti hewan pengerat, anjing, hewan
ternak dan babi.3,4
Leptospirosis ini dipresentasikan dengan spektrum manifestasi klinis luas yang dimulai
dengan disfungsi organ multipel dan kegagalan organ multipel. Gejala penyakit ini sangat
bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan sampai dengan gejala infeksi berat dan fatal. Dalam
bentuk ringan, leptospirosis dapat menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri kepala dan
mialgia. Dalam bentuk parah (disebut sebagai Weil’s syndrome), leptospirosis secara khas
menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan diatesis hemoragika.36
Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit ini tidak
spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Dekade terakhir,
kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa negara, seperti Asia, Amerika Selatan dan Tengah,
serta Amerika Serikat menjadikan penyakit ini termasuk dalam the emerging infectious diseases.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh dunia, yang disebabkan
oleh mikroorganisme patogen Leptospira spp.1 Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama
seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane
cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain.2 Leptospirosis
ditransmisikan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia. Transmisi
manusia ke manusia terjadi sangat jarang. Manusia biasanya terinfeksi melalui kontak dengan air
atau tanah terkontaminasi urin dari hewan terinfeksi seperti hewan pengerat, anjing, hewan
ternak dan babi.3,4 Leptospirosis ini dipresentasikan dengan spektrum manifestasi klinis luas
yang dimulai dengan disfungsi organ multipel dan kegagalan organ multipel.5
B. Epidemiologi
Leptospirosis lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan perempuan. Kelompok umur
25-44 tahun (35.8%) paling banyak terserang leptospirosis, diikuti kelompok umur 15-29 tahun
(11.8%).6
Faktor Risiko Lingkungan
1. Musim hujan dan banjir
2. Lingkungan yang terkontaminasi:
a. Sanitasi buruk
b. Pemukiman padat penduduk
c. Kontak dengan tikus, lembu, babi, anjing beserta urinnya.6,7
d. Kondisi udara lembab
e. Temperatur sekitar 25oC
f.Air, tanah, rumput dan makanan yang terkontaminasi Leptospira.8
Aktivitas yang berisiko terpapar leptospirosis
1. Berkebun

2
2. Memancing
3. Mandi
4. Berburu
Pekerjaan yang berisiko terpapar leptospirosis
1. Petani
2. Tukang kebun
3. Konstruksi bangunan.9
C. Etiologi
Leptosiprosis disebabkan spesies patogenik dari genus Leptospira, suatu bakteri
spirochaeta aerob obligat. Leptospira sangat motil, berukuran 0,25 x 6,25 μm. Leptospira
bersarang di tubulus ginjal pejamu mamalia dan keluar di urin. Bakteri ini bertahan hidup selama
berhari-hari atau berminggu-minggu pada kondisi hangat, lembap, dan sedikit alkali, terutama di
air segar yang tenang atau mengalir lambat pada suhu sedang di musim panas serta di tanah yang
lembap dan air di daerah tropik, terutama pada musim hujan. Berdasarkan hibridisasi DNA,
genus Leptospira yang sudah dikenali terdiri atas 12 yang patogenik atau mungkin patogenik dan
6 saprofitik. Pembagian berdasarkan aglutinasi menunjukkan terdapat lebih dari 200 serovar
patogenik dan 60 serovar saprofitik.

Gambar 1. Mikrograf Elektron Leptospira

3
Tabel 1. Serogrup leptospira
Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing anaerobes,
bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak cepat dengan kait di
ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat menembus ke jaringan. Panjangnya 6-20 µm dan
lebar 0,1 µm ( lihat gambar 1). Kuman ini sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan gelap dan pewarnaan perak.
Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air
laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Kuman leptospira hidup dan
berkembang biak di tubuh hewan. Semua hewan bisa terjangkiti. Paling banyak tikus dan hewan
pengerat lainnya, selain hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar pun dapat terjangkit. 10,11
D. Patogenesis
Transmisi infeksi dari hewan ke manusia biasanya terjadi melalui kontak dengan air atau
tanah lembap yang terkontaminasi. Leptospira masuk ke sirkulasi manusia melalui penetrasi kulit
terabrasi atau membran mukosa intak (mata, mulut, nasofaring, atau esophagus). Faktor yang
bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya leptospira yang
virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi tampaknya berhubungan dengan
resistensi terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi
meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian
mengaktifkan fagositosis.

4
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim,
toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis pada
leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga
eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik pada
umumnya terbatas pada kulit dan mukosa pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan
gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian.
Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut disebabkan
rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas
protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak
terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi,
diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas.
Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.
Temuan mikroskopik utamanya adalah vaskulitis sistemik dengan cedera endotel, sel
endotel rusak dengan berbagai derajat pembengkakan dan nekrosis. Leptospira ditemukan di
pembuluh darah berukuran medium dan besar serta kapiler berbagai organ. 10,11,12
Organ utama yang terkena adalah:13
1. Ginjal, dengan inflamasi tubulointerstisial difus dan nekrosis tubular. Gagal ginjal
merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang
meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel
epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak
focus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua
belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks).
Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi.
Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-
kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
2. Paru, biasanya kongesti, dengan perdarahan intraalveolar fokal atau masif, deposisi linear
imunoglobulin dan komplemen pada permukaan alveolar.
3. Jantung, gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat
menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder
karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan

5
keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada
myofibril.
4. Hati, yang menunjukkan kolestasis terkait perubahan degeneratif ringan pada hepatosit.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria
dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus.
Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis
dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan
mungkin dapat menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga
sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya
sedikit meningkat. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan
factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat.
5. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis,
meningitis14, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer.
Peningkatan titer antibody didalam serum tidak disertai peningkatan antibody leptospira
(hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan
hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya
uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis.
Pada pasien yang bertahan hidup, fungsi hati dan ginjal akan sembuh sempurna sesuai
dengan ringannya kerusakan struktural pada organ tersebut. Sistem lain juga dapat terkena, pada
kasus berat dapat berupa miokarditis, meningoensefalitis, dan uveitis. Cedera vaskuler dapat
disebabkan oleh efek toksik Leptospira secara langsung atau oleh respons imun. Protein
membran sisi luar Leptospira (outer membrane protein / OMPs) dan lipopolisakarida dapat
menimbulkan inflamasi melalui jalur yang bergantung Toll like receptor 2. Trombositopenia dan
aktivasi kaskade koagulasi juga sering ditemukan. Pada masa penyembuhan, Leptospira terus
diekskresikan di urin selama beberapa hari.
E. Patofisiologi
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbadaan
antaraderajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi

6
histologi yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang
nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel
plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada
otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal
ini menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot
dan pembuluh darah.Kelainan spesifik pada organ:15
1. Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal
ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organism juga berperan menimbulkan
kerusakan ginjal.
2. Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
3. Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium
dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan
plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal
pada miokardium dan endikarditis.
4. Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
5. Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
6. Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS) dan
dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh

7
mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel
mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya
paling sering disebabkan oleh L. canicola.15
Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan
ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam
tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh
serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatic atau disfungsi vaskular.2,16,17
F. Gejala klinis
Manifestasi klinis dari leptospirosis antara lain:
1. Demam
2. Sakit kepala dengan fotophobia
3. Kaku dan nyeri otot, terutama otot betis
4. Conjungtival suffusion
5. Ruam mukosa atau kulit
6. Mual dan muntah
7. Batuk
8. Nyeri dada
9. Oligouria
10. Nafsu makan menurun
11. Dispnea
12. Lemas
13. Nyeri perut
14. Hepatosplenomegali
15. Iritasi meninges
16. Diare
17. Penyakit mirip influenza sedang
18. Well’s syndrome: jaundice, gagal ginjal, perdarahan, aritmia
19. Meningitis/meningoensefalitis
20. Perdarahan paru dengan gagal nafas

8
21. Aritmia
Kasus berat dapat berkembang menjadi jaundice, perdarahan spontan (hematuria,
hematemesis, hemoptisis), gagal ginjal dan gagal nafas.18,19,20,21,22,23,24
G. Kriteria Diagnosis
Leptospirosis didiagnosis menggunakan kriteria Faine berdasarkan WHO Guidelines 1982.
Kriteria Faine terbagi menjadi 3 bagian, yaitu data klinis (bagian A), faktor epidemiologi (bagian
B) dan temuan laboratorium dan bakteriologi (bagian C). Skor dari A+B+C = 25 atau lebih
menandakan diagnosis leptospirosis. Temuan laboratorium didasarkan dari kultur dan
Microscopic Agglutination Test (MAT). MAT berdasarkan endemisitas dan juga meliputi titer
rendah. Serokonversi dan peningkatan empat kali lipat telah memberikan hasil tertinggi. Kriteria
ini, dapat digunakan di pusat yang mempunyai fasilitas kultur dan MAT. Sebagai tambahan,
level titer dari MAT belum didefinisikan.16,17
Kriteria Faine ini mempunyai sensitivitas 81.8%, spesifitas 72.9%, positive predictive
value 40.9% dan negative predictive value 94.5%.17

Pada tahun 2004, terdapat modifikasi pada kriteria Faine. Modifikasi penting dibuat pada
kriteria diagnosis, dimana tes yang mudah tersedia seperti ELISA dan Macroscopic Slide
Agglutination Test (MSAT) telah dimasukkan sebagai tambahan MAT dan kultur. Kriteria
original hanya mencakup MAT saja, dimana MAT termasuk tes yang rumit dan tidak selalu
tersedia.17

9
Signifikansi dari berbagai variasi tes diagnosis terlampir pada tabel di bawah ini:20

Sebagai tambahan, karena kasus leptospirosis dilaporkan setelah hujan turun, faktor ini
juga dimasukkan pada kriteria epidemiologi. Sebagai contoh, pasien dengan demam + hujan
turun dan kontak dengan lingkungan terkontaminasi + ELISA positif akan mendapatkan skor 26
yang menjadi diagnosis leptospirosis akut.16,17

10
Kriteria Faine modifikasi mempunyai dua objektif yaitu (1) konfirmasi leptospirosis
memanfaatkan uji laboratorium. Gejala klinis leptospirosis tidak spesifik dan konfirmasi dengan
tes diagnosis diperlukan. Tes uji cepat seperti ELISA dan MSAT telah dimasukkan Bersama
dengan MAT dan kultur untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan skor yang lebih tepat. Ini
adalah aspek penting karena tes uji cepat dapat tersedia pada daerah perkotaan dan pedesaan. (2)
karena tes ini menjadi positif hanya dalam waktu seminggu setelahnya, skor berdasarkan kriteria
klinis dan epidemiologi telah digunakan sejak minggu pertama (A+B = 26 atau lebih). Sistem
skor ini penting pada diagnosis leptospirosis berat. Tetapi mempunyai sensitivitas lebih rendah
daripada A+B+C dimana kasus yang lebih ringan cenderung luput.17
Beberapa perubahan juga telah ditambahkan pada kriteria Faine modifikasi untuk membuat
menjadi mudah digunakan. Kriteria Faine modifikasi (dengan perubahan) 2012, meliputi
beberapa hal berikut: (1) karena perdarahan pulmoner menjadi komplikasi penting, hemoptysis
dan dyspnea dimasukkan pada kriteria klinis; (2) karena banyak test uji cepat yang tersedia,
mereka telah dimasukkan pada kriteria laboratorium; (3) karena Polymerase Chain Reaction
(PCR) tersedia untuk diagnosis leptospirosis sejak minggu pertama, maka dimasukkan pada
kriteria diagnosis.17

11
H. Diagnosis Banding
Leptospirosis harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan demam akut ketika
terdapat riwayat kontak dengan hewan atau dengan tanah atau air terkontaminasi dengan urin
hewan.1 Kecurigaan tinggi dibutuhkan untuk diagnosis pada pasien dengan demam, sakit kepala,
myalgia. Diagnosis pada beberapa hari awal dari sakit meliputi:25
Tabel 2. Diagnosis banding leptospirosis25
Leptospirosis akut Leptospirosis kronis
Influenza Uveitis
Dengue dan hemorrhagic dengue Iridosiklitis
Infeksi hantavirus, meliputi sindrom pulmoner hantavirus Alterasi sistem saraf pusat
Yellow fever dan demam hemoragik viral lainnya Myelo-proliferative
Rickettsioses
Borreliosis
Malaria
Typhoid
Hepatitis virus
Demam dengan sebab tidak diketahui
Toksoplasmosis

12
Manifestasi leptospirosis mirip dengan infeksi virus dengue dan scrub typhus, terutama
pada fase awal infeksi. Berikut perbandingan karakteristik klinis antara leptospirosis, scrub
typhus dan infeksi virus dengue (dengue viral infections / DVI):26

I. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan laboratorium. Pada sindrom
Weil dapat ditemukan leukositosis dan neutropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia
tidak biasa ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia berat pada
sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat sedikit meningkat pada leptospirosis
anikterik, dan meningkat secara ekstrim pada sindrom Weil.16,17 Penelitian menunjukkan
neutrofilia dan trombositopenia dengan kombinasi profil biokimia mencakup level AST-ALT,
bilirubin, kreatinin, dan CRP yang dilakukan rutin dapt membantu memprediksi keparahan
penyakit. Perkiraan sitokin inflamasi, marker kerusakan endothelial dan identifikasi tipe HLA
dan genetik polimorfisme pada pasien saat ini hanya untuk tujuan penelitian.27
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari: pemeriksaan mikroskopik,
kultur, inokulasi hewan, dan serologi.Konfirmasi biological pada keadaan akut meliputi bukti
patogenik leptospira (atau produknya, biasanya DNA) pada cairan biologis seperti darah, cairan

13
serebrospinal atau urine atau peningkatan respon imunitas spesifik pada masa penyembuhan
(imun). Pada specimen akut, isolasi Leptospira dari cairan biologis telah dipertimbangkan
menjadi baku standar emas. Akan tetapi, leptospira termasuk bakteri yang rewel dan organisme
yang berkembang lambat; dan kultur harus disimpan dan dicek sekitar 14 hari, menghasilkan
sensitivitas rendah, sehingga isolasi sangat terbatas untuk digunakan untuk diagnosis medis dan
terapi.28,29
Berikut contoh perbandingan pemeriksaan laboratorium normal, hepatitis A dan seorang
pasien dengan leptospirosis.25
Tabel 3. Perbandingan hasil laboratorium normal, hepatitis A dan pasien leptospirosis.23
Pemeriksaan Referensi Hepatitis A Leptospirosis
laboratorium
Fungsi Liver
Bilirubin direk 0.0 – 0.456 mg/dL 5 – 6 mg/dL 12.24 mg/dL
>25 mg/dL (hepatitis
cholestatic)
Transaminase Alaine 1 – 30 mU/ml 5 – 10 kali nilai 3010 mU/ml
Transferase normal
Alkaline Phosphatase 190 – 490 mU/ml >3 kali nilai normal 491 mU/ml
CBC
Leukosit 4000 – 11,000 mm3 Meningkat 16,700 mm3
Limfosit 35% - 45% Meningkat 38.5%
Neutrofil 40% - 50% Meningkat 46.7%
Hemoglobin 10 - 14 Tidak ada data 14
Hematokrit 35 – 45 Tidak ada data 41
Platelet 200,000 – 300,000 Tidak ada data 19,000 – 59,000

Pemeriksaan laboratorium rutin untuk mendiagnosis leptospirosis umumnya tidak begitu


spesifik. Leukositosis left shifted, trombositopenia atau pansitopenia dapat terjadi. Hipokalemia,
hiponatremia, dan gagal ginjal terjadi pada bentuk parah. Peningkatan titer enzim hepar juga
dapat diamati. Dikarenakan klinis dan temuan laboratoris tidak spesifik, administrasi dari terapi

14
empiris diperlukan, dan diagnosis sering dibuat berdasarkan tes serologi pada tingkat kecurigaan
klinis tinggi.30
Metode paling mudah untuk mendiagnosis leptospirosis adalah melhat spiroseta motil
dengan mikroskop dark ground. Saat ini, diagnosis berdasarkan deteksi antibodi melawan
leptospira karena kultur leptospira membutuhkan waktu berbulan-bulan. Antibodi ini dapat
dideteksi dengan Microscopic Agglutination Test (MAT), Enzyme-linked immunosorbent Assay
(ELISA) dan test antibodi fluorescent indirek. MAT biasanya dipertimbangkan sebagai tes
referensi tetapi hanya dilakukan di laboratorium special karena mahal. MAT dapat membuat
perbedaan serogroup, tetapi tidak dapat membedakan antara infeksi akut dan kronis karena
mendeteksi kedua antibodi M dan G.30
Saat ini, ada beberapa tes diagnosis cepat yang menyediakan deteksi segera, meskipun
konfirmasi oleh tes rekomendasi masih diperlukan. Jika MAT tidak tersedia, ELISA dapat
dilakukan pada kasus yang dicurigai dengan pertimbangan klinis dan faktor epidemiologi dari
leptospirosis.30 Dari beberapa penelitian, MAT positif pada 23 kasus dari 62 anak (37.10%); IgM
ELISA positif pada 54 anak (87.10%). Semua anak yang memiliki gejala demam lebih dari 5
hari dan mempunyai gejala mirip dengan leptospirosis harus dilakukan tes leptospirosis seperti
ELISA IgM. Jika positif, diagnosis leptospirosis dapat menggunakan kriteria Faine yang
dimodifikasi.31
Pemilihan penggunaan test diagnosis tergantung pada beberapa faktor seperti ketepatan
diagnosis, biaya yang diperlukan, teknik, dan kebutuhan untuk hasil yang cepat. Sebagai alat
diagnosis saat ini, dapat dipertimbangkan pemeriksaan darah langsung, diagnosis rapid nucleic-
acid dan rapid antibody-based test. Berikut kinerja dari berbagai test uji diagnosis pada fase akut
leptospirosis:32

15
Penggunaan protokol baru quantitative Polymerase Chain Reaction (qPCR) untuk
mendiagnosis leptospirosis akut adalah sensitif (bahkan lebih sensitif daripada serologis MAT),
jendela kemungkinan positif pada qPCR pada sampel klinis manusia lebih lama daripada
sebelumnya (mencapai 15 hari), dan serum mungkin lebih baik daripada darah sebagai tipe
specimen untuk diagnosis molekuler dari leptospirosis akut.33
Sensitivitas dari beberapa metode diagnosis diplotkan dalam hubungan dengan durasi dari
onset penyakit seperti bagan di bawah ini. Pada fase awal dari penyakit (0-4 hari dari onset),
Loop-mediated Isothermal Amplification (LAMP) adalah metode diagnosis paling sensitif.
LAMP ini adalah metode baru yang cepat dan lebih sensitif digunakan untuk mencoba sampel
klinis dan hemat biaya. Keterbatasan dari LAMP adalah bakteremia bersifat sementara pada fase
awal infeksi, sedangkan spiroseta tetap di urine hanya pada fraksi pada pasien. Sebagai
tambahan, pada negara dengan antibiotik tersedia bebas, pasien sering terpapar antibiotik dan
berefek pada deteksi DNA Leptospira. Seiring perjalanan penyakit, sensitivitas LAMP
berkurang, sedangkan sensitivitas ELISA bertambah. Lig-A-IgM ELISA menunjukkan
sensitivitas tinggi pada fase awal dibandingkan tes serologis lainnya. Sensitivitas MAT lebih
rendah dari kedua jenis ELISA.34

16
Dari penelitian di daerah Peru, menunjukkan MAC-ELISA IgM bahwa itu akan sangat
berharga untuk tes “menyingkirkan diagnosis”, dimana konfirmasi dari hasil positif diperlukan
untuk kriteria penegakkan diagnosis leptospirosis. Dibandingkan dengan MAT yang cukup susah
pada banyak daerah dan keterbatasan sumber daya.35
J. Tatalaksana
Antibiotik yang direkomendasikan untuk anak-anak yang terpapar air bah/banjir:
Pilihan obat
1. Doksisiklin 4 mg/kg BB single dose, dosis maksimal 200 mg/minggu.
Untuk anak dibawah 8 tahun, doksisiklin dapat menyebabkan plak pada gigi. Hindari
susu dan zat besi 1 jam sebelum dan 2 jam setelah mengonsumsi doksisiklin. Dapat
diminum beriringan dengan makanan untuk menghindari nyeri perut.
Obat Alternatif
1. Azitromisin 10 mg/kg BB single dose, dosis maksimal 500 mg.
2. Amoksisilin 50 mg/kg BB/hari setiap 6 jam (selama 3-5 hari), dosis maksimal 500 mg
setiap 6 jam sekali.18
Antibiotik intravena dapat diganti dengan amoxicilin oral 500 mg apabila sudah mengalami
perbaikan. Doksisiklin dihindari pada ibu hamil, menyusui dan anak dibawah 12 tahun. Anak
dibawah 12 tahun dengan hipersensitivitas terhadap peniciln dan cephalosporin, dapat diberikan
azitromisin 10 mg/kg BB sehari dilanjutkan 5 mg/kg BB/hari untuk hari berikutnya, atau dapat

17
pula diberikan clarithromycin 15 mg/kg BB/ hari.36 Penisilin merupakan obat pilihan untuk
leptospirosis berat.9 Penicilin dan ampicilin diindikasikan untuk leptospirosis berat. Ceftriaxone
dapat menjadi alternatif bagi pasien ang alergi terhadap penicilin. Penambahan metil prednisolon
inravena pada kasus leptospirosis berat dapat mengurangi angka kematian. Vaskulitis pada anak
yang disebabkan oleh leptospirosis berespon terhadap pemberian dexametason.20
K. Upaya Preventif
Upaya mengerti epidemiologi dari leptospirosis merupakan langkah penting untuk
menentukan intervensi mengurangi risiko transmisi penyakit. Leptospirosis pada manusia dapat
dikontrol dengan mengurangi prevalensi hewan liar dan domestik. Leptospirosis pada hewan
domestik dapat dikontrol melalui vaksin, dengan sel utuh yang tidak aktif atau preparat membran
luar.4 Upaya pengontrolan harus difokuskan pada membatasi interaksi dengan hewan pembawa
dan mencegah kontaminasi urine hewan pada aliran air.6 Beberapa kasus leptospirosis terjadi
pada saat aktivitas rekreasi seperti berenang dan memancing, diikuti pekerjaan seperti petani.
Dimana 1/3 temuan melaporkan adanya tikus pada lokasi terduga penyebab infeksi.37
Berdasarkan penelitian statistik, kurangnya pengenalan leptospirosis menjadikan
leptospirosis menjadi penyakit zoonosis utama yang menyebabkan tingkat morbiditas dan
mortalitas pada manusia. Perlu adanya intervensi untuk merubah kondisi lingkungan dan
defisiensi infrastruktur.38
Vaksin rekombinan protein mempunyai potensi hebat untuk leptospirosis. Beberapa vaksin
rekombinan protein leptospiral telah dibentuk dengan metode bioteknologi modern, yaitu
rekombinan OMPs, lipoprotein, dan faktor virulensi memperoleh minat yang cukup besar.
Vaksin tidak aktif dan dilemahkan telah dilaporkan lebih dari 50 tahun. Beberapa vaksin
leptospirosis tidak aktif atau dilemahkan telah berhasil diujikan pada hewan ternak. Vaksin yang
diadministrasikan dalam jumlah besar pada manusia sehat dan hewan membuat mereka menjadi
resisten terhadap penyakit. Terdapat dua tipe dasar vaksin leptospirosis yang tersedia, vaksin
leptospirosis tidak aktif dan dilemahkan.39
Pada uji coba vaksin leptospirosis > 100.000 orang melaporkan nyeri lokal dan rasa tidak
nyaman yang lebih besar daripada kelompok kontrol yang diberikan vaksin hepatitis B
rekombinan. Vaksin leptospirosis menunjukkan efikasi >97% terhadap serovar lokal. Protokol
rekomendasi vaksin meliputi dua dosis booster setelah imunisasi awal, diikuti imunisasi ulang

18
setiap 2 tahun. Laporan terkini dari keamanan dan efikasi telah diberitakan sejak vaksin dijual
dengan nama Spirolept.15
L. Komplikasi
Beberapa komplikasi dari leptospirosis antara lain:
1. Gagal Ginjal Akut
2. Pneumonitis dengan atau tanpa perdarahan pulmonal
3. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) / Acute Lung Injury (ALI)
4. Gagal jantung
5. Weil’s disease
6. Disseminated intravascular coagulopathy (DIC)
7. Hemolytic Ureamic Syndrome (HUS)
8. Thrombocytopaenic Purpura (TTP)36
M.Prognosis
Prognosis leptospirosis berpotensi fatal apabila tidak didiagnosis dan diberikan terapi awal.
WHO memperkirakan lebih dari 500,000 kasus leptospirosis mengancam nyawa terjadi di
seluruh dunia.31
Pada beberapa kasus yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, leptospirosis dapat
menjadi fatal dengan adanya jaundice dan disfungsi renal (Weil disease) dengan atau tanpa
manifestasi perdarahan pulmoner.40 Penelitian menunjukkan manifestasi klinis leptospirosis
lebih berat pada dewasa dibandingkan anak-anak. Pada kelompok anak sendiri, anak-anak usia
4-14 tahun cenderung mempunyai manifestasi yang lebih fatal, meliputi gagal ginjal dan
trombositopenia. Beberapa hipotesis tentang derajat keparahan leptospirosis mencakup faktor
genetik pejamu, dan/atau virulensi bakteri, meskipun mekanisme virulensi belum begitu di
mengerti dan mungkin multifaktorial.40
Faktor prognosis untuk hasil letal pada leptospirosis meliputi usia tua, oliguria,
hiperkalemia, serum kreatinine abnormal, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
perdarahan pulmoner, peningkatan bilirubin, hipotensi, aritmia dan gangguan status mental.
Variasi virulensi di antara serovars dianggap menjelaskan tingkat keparahan penyakit.
Keterlambatan antara onset dan hospitalisasi juga ditandai sebagai faktor hasil yang buruk.41
Ditemukannya antibody L. interrogans pada MAT dan ELISA IgM pada dua orang wanita hamil
di Mexico ternyata juga dapat menyebabkan pula abortus spontan.42

19
BAB III
KESIMPULAN

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman leptospira.
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental.
Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat
mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah
perjalanan penyakit menjadi berat.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Tullu MS, Karande S. Leptospirosis in children: a review for family physicians. Indian
Journal Medicine Science. 2009; 63(8): 368-378.
2. Levett PN. Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews. 2001; 14(2): 296-326.
3. Karande S, Kulkarni H, Kularni M, De A, Varalya A. Leptospirosis in children in
Mumbai slums. Indian Journal of Pediatrics. 2002; 69(10): 855-858.
4. Zavitsanou A, Babatsikou. Leptospirosis: epidemiology and preventive measures. Health
Science Journal. 2008; 2(2): 75-82.
5. Prabhu N, Innocent DJP, Periyasamy C. Retrospective analysis of leptospirosis among
children-clino-microbiological and therapeutic aspects for the cases. Clinical Reviews
and Opinions. 2010; 2(3): 31-34.
6. Kumar SS. Indian guideine for the diagnosis and management of human leptospirosis.
7. Espinosa JN, Sanchez BR, Rodriguez MLS. Leptospirosis prevalence and associated
factors in school children from valle de chalco-solidaridada, state of mexico.
International Journal of Pediatric Research, 2015.
8. Sumanta H, Wibawa T, Hadisusanto S, Nuryati A, Kusnanto H. Spatial analysis of
leptospira in rats, water and soil in bantul district yogyakarta indonesia. Open Journal of
Epidemiology, 2015; 5:23.
9. Pages F, et al. Human leptospirosis on reunion island: past and current burden.
International Journal of Environmental Research and Public Health, 2014; 11:976.
10. Zulkifli Amin, Lukman. “Leptospirosis”. Departemen Ilmu Penyakit, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2016.
11. “Leptospirosis: a zoonotic disease of global importance” jurnal review by Ajay R Bharti,
Jarlath E Nally, Jessica N Ricaldi, Michael A Matthias, Monica M Diaz, Michael A
Lovett, Paul N Levett, Robert H Gilman, Michael R Willig, Eduardo Gotuzzo, and
Joseph M Vinetz, on behalf of the Peru-United States Leptospirosis Consortium. 3
Desember 2003.
12. “Pathogenic and Saprophytic Leptospiral Species in Water and Soils from Selected
Urban Sites Peninsular Malaysia”. January, 2013.

21
13. Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. “Leptospirosis”
Desember 2001.
14. Ivanova gancheva, Galya. “Comparative analysis of pediatric and adult Leptrosprirosis in
Pleven region, Bulgaria”. Science Jurnal of Clinical Medicine. Vol. 6, No. 5, 2017.
15. Haake DA, Levett PN. Leptospirosis in humans. Current Topics Microbiology
Immunology. 2015; 387:65-97.
16. Verasahib K (eds). Guidelines for the diagnosis, management, prevention and control of
leptospirosis in Malaysia. 2011; 1: 1-41.
17. Kumar SS. Indian Guidelines for the diagnosis and management of human leptospirosis.
Infectious Disease. 2012: 23-29.
18. A Subspecialty Society Accredited by PMA and PPS. Post disaster interim advice on the
prevention of leptospirosis in children. Pediatric Infectious Disease Society of The
Philippines, Inc; 2012.
19. ACC Review 54. Leptospirosis in new zealand; 2014.
20. Devishree RA. Management of leptospirosis: a short review. Journal of Pharmaceutiical
Science and Research; 2015; 7(9): 759-761.
21. Traxler RM, Callinan LS, Holman RC, Steiner C, Guerra MA. Leptospirosis-associated
hospitalizations, united states, 1998-2009. CDC, 2014; 20:1278.
22. Sahira H, Jyothi R, Bai JTR. Seroprevalence of leptospirosis among febrile patients-a
hospital based study. Journal of Academia and Industrial Research, 2015; 3: 482-484.
23. Tomari K, et al. Childhood leptospirosis in an industrialized country: population-based
study in okinawa, japan. PLOS Neglected Tropical Diseases, 2018; 2.
24. Vries, et al. Leptospirosis in sub-sahara africa: a systematic review. International Journal
of Infectious Diseases, 2014; 49.
25. Sophia G, de Vries, Benjamin J. Visser, Ingeborg M. Nagel, Marga G.A. Goris, Rudy A.
Hartskeel, Martin P. Grobush. “Leptospirosis in Sub-Saharan African: a systematic
review” 2014.
26. The Turkish jurnal of pediatric 2017; 59: 688-692. “Leptospirosis in a child with acute
respiratory distress syndrome”.
27. Jumat MI, John DV. Review on severity markers in leptospirosis. Tropical Biomedicine.
2017; 34(3): 494-506.

22
28. Girault D, Soupe-Gilbert ME, Geroult S, Colot J, Goarant C. Isolation of Leptospira from
blood culture bottles. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease. 2017; 1-3.
29. Lane AB, Dore MM. Leptospirosis: a clinical review of evidence based diagnosis,
treatment and prevention. World Journal Clinical Infectious Disease. 2016; 6(4): 61-66.
30. Aygun FD, Avar-Aydin PO, Cokugras H, Camcioglu Y. Different clinical spectrum of
leptospirosis. The Turkish Journal of Pediatrics. 2016; 58(2): 212-216.
31. Kalelkar R, Gopaul S. Clinico-laboratory profile of leptospirosis in children. MedPulse –
International Medical Journal. 2016; 3(10): 876-879.
32. Picardeau M, Bertherat E, Jancloes M, Skouloudis AN, Durski K, Hartskeerl RA. Rapid
tests for diagnosis of leptospirosis: current tools and emerging technologies. Diagnostic
Microbiology and Infectious Disease. 2014; 78:1-8.
33. Agampodi SB, Matthias MA, Moreno AC, Vinetz JM. Utility of quantitative polymerase
chain reaction in leptospirosis diagnosis: association of level of leptospiremia and clinical
manifestations in Sri Lanka. CID. 2012; 54: 1249-1255.
34. Kitashoji E, Koizumi N, Lacuesta TLV, Usuda D, Ribo MR, Tria ES, Go WS, Kojiro M,
Pary CM, Dimaano EM, Villarama JB, Ohnishi M, Suzuki M, Ariyoshi K. Diagnostic
accuracy of recombinant immunoglobulin-like protein a based IgM ELISA for the early
diagnosis of leptospirosis in the Philippines. PLOS Neglected Tropical Diseases. 2015; 1-
13.
35. Canal E, Pollett S, Heitzinger K, Gregory M, Kasper M, Halsey E, Meza Y, Campos K,
Perez J, Meza R, Bernal M, Guillen A, Kochel TJ, Espinosa B, Hall ER, Maves RC.
Detection of human leptospirosis as a cause of acute fever by capture ELISA using a
Leptospira interrogans serovar Copenhageni (M20) derived antigen. BioMed Central
Infectious Diseases. 2013; 438(13):1-7.
36. Ministry of Health, Nutrition and Indigenous Medicine Sri Lanka. National Guideline on
management of leptospirosis. Epidemiology Unit Ministry of Health, 2016.
37. Pijnacker R, Goris MG, Wierik MJ, Broens EM, van der Giessen JW, de Rosa M,
Wagenaar JA, Hartskeerl RA, Notermans DW, Maassen K, Schimmer B. Marked
increase in leptospirosis in humans and dogs in the Netherlands, 2014. Euro Surveillance.
2016; 21(17): 1-7.

23
38. Costa F, Hagan JE, Calcagno J, Kane M, Torgerson P, Silveira MS, Stein C, Ridder BA,
Ko AI. Global morbidity and mortality of leptospirosis: a systematic review. PLOS
Neglected Tropical Disease. 2015; 9(9): 1-19
39. Wang Z, Jin L, Wegrzyn A. Leptospirosis vaccines. BioMed Central. 2007; 39(6):1-10
40. Guerrier G, Hie P, Gourinat AC, Huguon E, Polfrit Y, Goarant C, D’ortenzio E, Missotte
I. Association between age and severity to Leptospirosis in children. PLOS Neglected
Tropical Diseases. 2013; 9(7): 1-5
41. Gancheva GI. Comparative analysis of pediatric and adult leptospirosis in Pleven Region,
Bulgaria. Science Journal of Clinical Medicine. 2017; 6(5): 91-97
42. Cardenas-Marrufo MF, Vado-Solis I, Perez-Osorio C, Peniche-Lara G, Segura-Correa J.
A cross sectional study of leptospirosis and fetal death in Yucatan, Mexico. Colombia
Medica. 2016; 47(1): 11-14

24

Anda mungkin juga menyukai