Anda di halaman 1dari 18

Responsi Kasus

TINEA KORPORIS DAN TINEA KRURIS

Oleh:
Ana Erdina
G99162148

Pembimbing:
dr. Muh. Eko Irawanto, Sp. KK, FINSDV, FAADV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI

Kasus Responsi yang berjudul : Tinea Korporis dan Tinea Kruris


Ana Erdina, NIM: G99162148
Periode Koass: 4 Juni 2018 – 1 Juli 2018

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
Kelamin
RSUD Dr. Moewardi - Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
yang bertanda tangan dibawah ini:

Surakarta, 13 Juni 2018

Chief Residen Koass Residen Pemeriksa

dr. Agung dr. Putri

Staff Pembimbing

dr. Muh. Eko Irawanto, Sp.KK (K), FINS-DV, FAA-DV

2
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing : dr. Muh. Eko Irawanto, Sp. KK, FINSDV, FAADV
Nama Mahasiswa : Ana Erdina
NIM : G99162148

TINEA KORPORIS DAN TINEA KRURIS


A. DEFINISI
Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis
superfisialis yang disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi
pejamu terhadap produk metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu
organisme pada jaringan hidup. Dermatofitosis disebabkan oleh kolonisasi
jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti
stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan.
Dermatofit sebagai suatu kelompok jamur memiliki kemampuan membentuk
molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber
nutrisi untuk membentuk kolonisasi. Golongan jamur ini mempunyai sifat
mencerna keratin, yang terbagi dalam 3 genus yaitu: microsporum,
trichophyton, dan epidermophyton.1
Ada beberapa klasifikasi yang dibuat untuk membagi dermatofitosis,
berikut merupakan pembagian yang lebih praktis berdasarkan lokasi, yaitu1 :
1. Tinea kapitis : dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
2. Tinea barbae : dermatofitosis pada dagu dan jenggot
3. Tinea kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar
anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut
bagian bawah.
4. Tinea pedis et manum: dermatofitosis pada kaki dan tangan
5. Tinea unguium : dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
6. Tinea korporis : dermatofitosis pada bagian kulit tubuh tidak
berambut (glabrous skin).

3
B. EPIDEMIOLOGI
Insiden tinea korporis dan kruris meningkat pada daerah tropis yang
memiliki kelembaban udara yang tinggi. Penyakit ini masih banyak terdapat
di Indonesia dan masih merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai
di masyarakat. Cara penularan tinea korporis dan kruris dapat langsung
melalui fomitis, epitel, atau rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang atau dari tanah, sedangkan penularan secara tak langsung
dapat melalui kontak dengan benda yang sudah terkontaminasi, misalnya
pakaian atau air.6 Kebersihan badan dan lingkungan sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan penyakit ini.5

C. ETIOLOGI
Tinea korporis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang
menyerang jaringan berkeratin. Jamur ini bersifat keratinofilik dan
keratinolisis. Dermatofita terbagi dalam 3 genus, yaitu Tricophyton,
Epidermophyton, dan Microsporum.1 Namun, tinea korporis dapat pula
disebabkan oleh T. Rubrum atau T. Mentagrophytes.8
Tinea kruris disebabkan oleh Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum (Tabel 1).1.2.5

4
Tabel 1. Patogen Penyebab Tinea Kruris
Patogen Penyebab Tinea Kruris

Dermatophyte Gambaran klinis

Trichophyton • Penyebab tinea kruris paling umum di Amerika


rubrum Serikat

• Infeksi cenderung menjadi kronis

• Jamur tidak terlihat pada furnitur, karpet, linen


untuk jangka waktu yang panjang

• Ekstensi sering ke pantat, pinggang dan paha

Epidermophyton  Umumnya terkait dengan 'epidemi' dari tinea kruris


floccosum seperti yang dapat terjadi di ruang ganti atau asrama
 Infeksi akut (jarang kronis)
 Arthroconidia yang dapat dilihat dalam (pada furnitur,
karpet, linen) jangka waktu yang lama.
 Infeksi jarang melampaui wilayah selangkangan
 Causative agent dari 'eksim marginatum' (batasan lesi
yang ditandai dengan beberapa vesikel kecil atau kadang-
kadang vesiculopustul)

T. mentagrophytes, • Infeksi cenderung lebih parah dan akut, dengan peradangan


in particular var. intens dan pembentukan pustul
mentagrophytes
• Cepat menyebar ke batang tubuh dan ekstremitas bawah,
menyebabkan kondisi peradangan yang parah

• Seringkali diperoleh dari bulu binatang

5
D. PATOGENESIS
Jamur dermatofita dapat tumbuh dan bertahan hidup pada stratum
korneum epidermis manusia, yang merupakan sumber nutrisi bagi
dermatofita dan media pertumbuhan mycelia jamur. Tumbuhnya jamur pada
kulit bergantung pada faktor host dan juga adaptasi jamur terhadap kondisi
kulit. Infeksi dimulai dengan adanya deposisi arthrospora atau hifa pada
permukaan keratinosit. Infeksi dermatofita mencakup tiga tahap penting
antaralain perlekatan ke keratinosit kulit (adherence), penetrasi ke dalam sel
(penetration), dan pembentukan respon host (host response).3,4
1. Perlekatan ke keratinosit kulit (adherence)
Untuk melakukan perlekatan pada kulit, arthrokonidia yang
merupakan elemen infeksius pada dermatofita perlu berkompetisi
dengan flora normal kulit dan bertahan terhadap berbagai pajanan faktor
fisik (sinar UV, suhu, kelembaban), sphingosines yang diproduksi oleh
keratinosit, dan asam lemak dari kelenjar sebasea yang bekerja secara
fungistatik. Dermatofita mensekresi protease dan carbohydrate-spesific
adhesins yang akan memfasilitasi proses perlekatan secara efektif. Pada
permukaan kulit, fibril panjang dan tipis menghubungkan arthrokonidia
dengan keratinosit satu sama lain.4
2. Penetrasi ke dalam sel (penetration)
Pada proses penetrasi, spora akan berkembang dan menembus
stratum korneum dengan kecepatan yang melebihi deskuamasi
epidermis. Hifa jamur tersebut menginvasi stratum korneum dan keratin
serta menyebar sentrifugal ke arah luar. Dermatofita mulai memproduksi
berbagai enzim yang berperan sebagai keratolitik seperti proteinase,
lipase, keratinase, dan enzim yang akan memberi nutrien pada jamur itu
sendiri yaitu mukolitik.4 Trauma dan maserasi juga dapat membantu
penetrasi jamur ke dalam epidermis.3,7 Selain itu, beberapa penelitian
menyebutkan bahwa suatu molekul pada permukaan dinding jamur yang
disebut dengan fungal mannans memiliki efek penghambat imun. T.
rubrum cell wall mannans (TRM) memperlihatkan fenomena

6
imunosupresi yang menghambat respon limfoproliferatif dari monosit
dan menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. 4
3. Pembentukan respon host (host response)
Produk metabolisme jamur berdifusi menuju lapisan malpighi
dan menyebabkan eritema, vesikel, pustula, dan juga pruritus.4 Derajat
inflamasi yang timbul pada tinea korporis bergantung pada status imun
host dan juga jenis organisme yang terlibat. Terdapat beberapa
mekanisme yang dapat mencetuskan proses inflamasi tersebut. Beberapa
jamur memproduksi faktor kemotaksis dengan berat molekul rendah,
sedangkan jamur lain mengaktivasi komplemen melalui alternative
pathway. Formasi antibodi pada proses inflamasi tinea korporis tidak
terlalu berpengaruh dan bersifat protektif sehingga tidak terdapat
peningkatan titer antibodi secara signifikan.3
Reaksi hipersensitifitas tipe IV (delayed-type hypersensitivity)
memegang peran utama dalam timbulnya inflamasi pada tinea korporis.
Antigen pada permukaan jamur akan dikenali dan dipresentasikan oleh
sel Langerhans pada limfosit T di nodus limfe lokal. Limfosit T
berproliferasi menjadi T helper 1 (Th1) dan bermigrasi ke area yang
terinfeksi. Th1 mensekresikan sitokin pro-inflamasi yaitu interferon γ
(IF- γ). Berbagai proses inflamasi ini akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas epidermis terhadap transferin dan migrasi sel. Transferin
berfungsi untuk mencegah pertumbuhan jamur dengan cara mengikat
hifa dan menurunkan ketersediaan zat besi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan jamur.4
Secara umum, spesies zoofilik menimbulkan proses inflamasi
yang lebih akut tetapi dapat sembuh secara spontan dan resisten terhadap
reinfeksi. Sedangkan spesies antropofilik menyebabkan proses yang
lebih kronis dengan rendahnya resistensi terhadap timbulnya infeksi
berikutnya.4

7
E. GAMBARAN KLINIS
Tinea korporis (kurap) biasanya muncul sebagai lesi merah, annular,
bersisik, dan patch yang gatal dengan penyembuhan pusat (central healing)
dan batas aktif (Gambar 1). Lesi bisa tunggal atau multipel dan ukuran
biasanya berkisar dari 1 sampai 5 cm, tetapi lesi yang lebih besar dan
konfluen juga bisa terjadi.

Gambar 1. Tinea Korporis


Gambaran klinis tinea kruris berupa lesi kulit dapat berbatas tegas
pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah
gluteus, dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh lain. Perdangan pada tepi
lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam –
macam bentuk primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini menahun,
dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan
biasanya akibat garukan.3

Gambar 2. Skuama dan plak eritomatous yang berbats tegas pada daerah inguinal
dan daerah pubis.2

8
Tinea kruris biasanya terlihat seperti eritema papulovesikel yang
banyak dan batas tegas, tepinya meninggi biasanya gatal, seperti nyeri dengan
maserasi atau inferksi sekunder tineakruris dengan infeksi E. Floccosum
kemungkinan lebih banyak memperlihatkan bagian tengah yang kosong
(central healing) dan sebgaian besar sering terbatas pada daerah lipatan
genitocrural dan tengah atas paha. Infeksi T. Rubrum sering mengenai daerah
pubis, perianal, bokong, dan perut bagian bawah. Secara khas tidak
mempengaruhi daerah genetalia.2

F. DIAGNOSIS BANDING
Tabel 2. Diagnosis Banding Infeksi Tinea
Diagnosis Banding Karakter Pembeda
A. Tinea korporis (berbentuk anular, skuama, batas kemerahan dan biasanya
gatal)
1. Psoriasis annularis Skuama berwarna abu-abu atau perak, pitting nail,
70% mengenai anak dengan keluarga menderita
psoriasis
2. Dermatitis atopic Terdapat riwayat atopi pada diri sendiri atau
keluarga, jarang memiliki tepi aktif dengan bagian
tengah menyembuh, lesi dapat mengalami
likenifikasi
3. Eritema multiforme Lesi target, onset akut, tidak ada skuama, dapat
mengenai mulut
4. Fixed Drug Kehitam-hitaman, eritem, biasanya tunggal, tidak
Eruption terdapat skuama, biasanya dicetuskan oleh sulfa,
asetaminofen, ibuprofen, atau penggunaan
antibiotik
5. Granuloma Tidak terdapat skuama, vesikel maupun pustul;
annularis tidak gatal; halus; biasanya di dorsum kaki atau
tangan
6. Lupus eritematosus Area yang terpapar matahari, lesi anular multiple,
(subakut kutan) wanita:pria adalah 3:1
7. Eksim numularis Skuama lebih konfluen, jarang memiliki bagian
tengah yang menyembuh
8. Pytiriasis rosea Tipikal pada dewasa muda dengan lesi tunggal di
hearld patch leher, badan, ekstremitas proksimal; jarang terdapat
gatal pada herald patch, berkembang menjadi
kemerahan menyeluruh dalam satu sampai tiga
minggu
9. Dermatitis seboroik Skuama berminyak dengan dasar eritem dengan
khas terdistribusi pada lipatan nasobial, perbatasan
rambut kepala, alis, lipatan telinga belakang, dada;

9
jarang berbentuk lesi anular
B. Tinea kruris (biasanya pada pria remaja dan pria muda; tidak mengenai
skrotum dan penis)
1. Intertrigo kandida Dapat mengenai skrotum, lesi satelit,berwarna
merah tanpa bagian tengah menyembuh
2. Eritrasma Merah-coklat, tidak terdapat tepi aktif, berwarna
merah bata pada pemeriksaan lampu wood
3. Psoriasis invers Merah dan berbatas tegas; terdapat tanda psoriasis
lain seperti pitting nail
4. Dermatitis Skuama berminyak dengan dasar eritem dengan
seboroik khas terdistribusi pada lipatan nasobial, perbatasan
rambut kepala, alis, lipatan telinga belakang, dada;
jarang berbentuk lesi anular

G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, lokalisasi, gambaran
klinis yang khas dan pemeriksaan penunjang yang ditemukan elemen jamur
pada pemeriksaan kerokan kulit dengan miksroskopik langsung melalui
larutan KOH 10 – 20%.4
Pasien biasanya datang dengan keluhan gatal terutama jika sedang
berkeringat. Gambaran kulit berupa lesi anular yang eritema yang dimulai
dari papul, gatal macula berbatas tegas ataupun berupa plak. Pinggirannya
meninggi dan biasanya terdapat vesikel yang aktif sehingga dapat melebar
sentrifugal sedangkan pada bagian tengahnya terdapat skuama namun dapat
juga bersih, disebut central healing. Lesinya juga dapat anular. Penyakit
dapat bersifat unilateral dan asimetris atau dapat menjadi bilateral dan
simetris.4

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan
mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora.6,7
Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi.
Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus: pada suhu 28oC selama 1-
4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu
dikerjakan kecuali pada tinea unguium).6,7

10
I. PENATALAKSANAAN
1. Nonmedikamentosa
a. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab
b. Mencegah penularan
2. Medikamentosa
a. Topikal:
1) Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali
sehari selama 1-2 minggu.
2) Alternatif : golongan azol, misalnya, krim mikonazol, ketokonazol,
klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu.
b. Sistemik:
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi
1) Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik
dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2 minggu.
2) Alternatif:
a) Itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu.
b) Griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10-25 mg/kgBB/hari selama
2-4 minggu.
c) Ketokonazol 200 mg/hari.
J. PROGNOSIS
Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh,
kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.4
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. 2005. Mikosis. Dalam: Djuana, A., (ed). Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 90-7
2. Mansjoer A., et al. 2000. Mikosis Superfisialis. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius. Hal: 93-9
3. Schieke SM., Garg A. 2012. Superficial Fungal Infection. In: Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th edition. Vol. I. Mc Graw Hill. New
York. P: 3238-3267
4. Tainwala R., Sharma Y.K. 2011. Pathogenesis of dermatophytosis. Indian
Journal of Dermatology. 56(3): 259-61.
5. Siregar R.S. 1996. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. Hal: 19-21.
6. Boel Trimulya., 2003. Mikosis Superfisialis.
http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-trelia1.pdf
7. Shy, Rosemary. 2007. Pediatrics in Review: Tinea Corporis and Tinea Capitis.
http://pedsinreview.aappublications.org/misc/terms.dtl
8. Siregar, R S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
Hal: 29 – 31

12
LAPORAN KASUS
TINEA KORPORIS DAN TINEA KRURIS

A. ANAMNESIS
1. Identitas
Nama : Tn. M
Usia : 54 tahun
Alamat : Surakarta
Pekerjaan : Buruh
No RM : 0142xxxx
Tanggal Pemeriksaan : 8 Juni 2018
2. Keluhan Utama
Gatal di bagian perut, selangkangan dan paha bagian luar
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSDM dengan keluhan
gatal disertai bercak merah kehitaman di perut, selangkangan dan paha luar
sejak 1 minggu SMRS. Awalnya bercak berwarna kemerahan, berukuran
kecil kurang lebih sebesar koin 500 rupiah. Karena terasa gatal, pasien
menggaruknya. Rasa gatal bertambah ketika pasien berkeringat. Kemudian
bercak kemerahan tersebut bertambah luas dan semakin gatal. Kemudian
pasien membeli kalpanax (krim miconazole 2%) di apotek, dioles 2 kali
sehari, tetapi tidak ada perubahan. Gatal masih dirasakan hilang timbul dan
mengganggu akivitas.
Satu tahun SMRS, pasien mengalami keluhan serupa. Pasien
memutuskan berobat ke Puskesmas dan diberi krim miconazole 2%, dioles 2
kali sehari. Rasa gatal berkurang selama beberapa hari. Kemudian kembali
kambuh dan bercak menjadi merah kehitaman. Karena tidak kunjung
membaik dan kambuh-kambuhan, pasien memutuskan datang ke Poli Kulit
dan Kelamin RSDM.
Riwayat gatal karena kontak dengan popok, deterjen, debu dan zat
kimia disangkal.

13
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat asma : Disangkal
Riwayat penyakit kulit lain: Disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat asma : Disangkal
Riwayat penyakit kulit lain: Disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
Pasien merupakan pasien BPJS. Pasien tinggal di rumah padat
penduduk dengan kondisi ventilasi udara kurang baik. Pasien bekerja
sebagai buruh angkut kain di Pasar Klewer. Pasien mengaku sering
berkeringat banyak terutama ketika bekerja. Pasien jarang mengganti
pakaian setelah beraktivitas cukup berat. Pasien mengaku kadang-kadang
mandi sehari sekali. Kebiasaan meminjam handuk dan baju disangkal.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Composmentis, tampak sakit sedang, GCS
E4V5M6, status gizi kesan obesitas
Vital Sign : TD : 140/70 mmHg T : 36,8oC
HR : 100x/menit BB : 80 kg
RR : 28x/menit TB : 160 cm
Kepala : Dalam Batas Normal
Mata : Dalam Batas Normal
Telinga : Dalam Batas Normal
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Lihat Status Dermatologis
Ekstermitas Atas : Dalam Batas Normal

14
Ekstermitas Bawah : Lihat Status Dermatologis
Genitalia : Dalam Batas Normal

2. Status Dermatologis

Gambar 3. Tampak patch eritem dengan hiperpigmentasi tipis


diatasnya, lesi berbatas tegas, tepi aktif dan tampak central healing di
regio abdomen.

15
Gambar 4. Tampak patch hiperpigmentasi dengan skuama putih
diatasnya, lesi berbatas tegas dan tampak central healing di regio
inguinalis.

Gambar 5. Tampak patch hiperpigmentasi dengan skuama putih


diatasnya, lesi berbatas tegas dan tampak central healing di regio
femoralis lateralis.

16
C. DIAGNOSIS BANDING
1. Tinea Korporis dan Tinea Kruris
2. Dermatitis Kontak Iritan
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan KOH (lesi aktif regio abdomen): hifa (+)

Gambar 6. Tampak hifa pada pemeriksaan KOH lesi aktif regio abdomen

E. DIAGNOSIS KERJA
Tinea Korporis dan Tinea Kruris

F. TERAPI
1. Non-Medikamentosa
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, rencana terapi, dan
prognosis.
b. Memperbaiki hygiene pasien : edukasi mencuci tangan, mandi teratur
2x sehari dan ganti baju secara teratur.
c. Edukasi untuk menjaga daerah lembab agar tetap kering
d. Hindari menggaruk lesi agar lesi tidak meluas
e. Edukasi cara pemakaian krim
2. Medikamentosa
a. Terbinafin cream 1% dioleskan dari tep ke pusat lesi 1x/24 jam, selama
7-14 hari
b. Terbinafin oral 1x250 mg/hari, selama 14 hari

17
G. PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Sanam : Bonam
Ad Fungsionam : Bonam
Ad Kosmetikum : Bonam

18

Anda mungkin juga menyukai