Oleh:
Dini Kurnia Sary 12116367
Ainun Nafis Dwi Ramadani 30101206565
Mentari Permata Sari 30101206683
Oktavia Ria Herviana 30101206701
Nurrohmah Tri Astuti 30101206692
Pembimbing:
dr.Ratna Dewi P., M.Sc., Sp.KJ
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
LAPORAN KASUS
I.IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. O.N.A.
Usia : 26 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Muntilan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : D3
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Tanggal Masuk RS : 24 Juli 2016
IDENTITAS KELUARGA 1
Nama : Ny. E
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Muntilan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Status Pernikahan : Menikah
Hubungan dengan Pasien : Ibu Kandung
IDENTITAS KELUARGA 2
Nama : Nn. J
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Muntilan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Status Pernikahan : Belum Menikah
Hubungan dengan Pasien : Adik Kandung
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Bicara Kacau
2. Riwayat Penyakit Sekarang
ALLOANAMNESIS
Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2017 di rumah pasien dengan Ibu dan
adik kandung pasien pada pukul 15.00 WIB.
Dua minggu SMRS, pasien mulai mengalami perilaku aneh. Pasien sering
bicara sendiri dan sering berdakwah serta berceramah mengenai agama kepada
suaminya. Hal tersebut membuat suaminya terganggu dan marah sehingga sering
mengakibatkan pertengkaran di antara keduanya. Selama suaminya bekerja, pasien
yang disuruh berhenti bekerja oleh suaminya sebagai customer service di BRI 3 bulan
yang lalu lebih banyak menggunakan waktu luangnya untuk browsing tentang agama.
Ibu mertua yang tinggal serumah bersikap dingin dan tidak pernah mau mengajak
pasien berkomunikasi. Pasien merasa tidak nyaman saat ditinggal sendirian karena
mertua dan suaminya yang selalu pulang malam. Makan, minum, dan mandi secara
mandiri dan tugasnya sebagai istri masih dilakukan dengan baik.
Satu minggu SMRS, adik pasien datang ke rumah pasien karena sudah 1
minggu ini tidak ada kabar. Kemudian pasien menangis dan bercerita bahwa ingin
bercerai dari suaminya karena suka membentak, suka mengatur, dan pasien selalu
dipaksa untuk menurut. Pasien mengaku bahwa dirinya mulai kesulitan untuk tidur,
karena teringat dengan mantan pacarnya dulu yang tidak disetujui oleh ayah pasien.
Pasien masih makan, minum, dan mandi secara mandiri. Pasien juga masih melakukan
tugasnya sebagai istri, bahkan pasien berencana ingin bekerja di RSUD Muntilan.
Dua hari SMRS, pasien pulang ke rumah orang tuanya. Saat itu, pasien mulai
mengalami peningkatan gejala. Sebelumnya, pasien yang dikenal sebagai anak yang
pendiam kini menjadi banyak berbicara tidak jelas dan berbelanja sangat banyak.
Pasien mengaku sebagai Cinta Laura dan bertingkah laku seperti Cinta Laura. Pasien
masih susah tidur, sering terbangun dini hari. Akan tetapi, pasien masih mau makan,
minum, dan mandi, walaupun harus diingatkan. Pasien sudah tidak melakukan
perannya sebagai istri.
Satu hari SMRS, pasien semakin mengalami peningkatan gejala. Bicara
pasien semakin kacau, mendoakan ibu mertuanya agar cepat mati, dan pada akhirnya
mengaku sebagai Tuhan dan Muhammad yang asli. Kemudian pasien dibawa ke RSJ
Prof. Dr. Soerojo Magelang oleh pamannya.
Setelah 4 hari dirawat di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang, perawat
mengatakan pasien masih berbicara banyak dan mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan.
Saat malam, pasien sudah dapat tidur. Untuk makan dan minum sesuai jadwal, namun
tidak banyak. Sedangkan untuk mandi masih harus disuruh. Pasien mengikuti jadwal
kegiatan di bangsal dengan baik.
AUTOANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 28 Juli 2017 di Wisma Utari RSJ Prof. Dr.
Soerojo Magelang pada pukul 11.00 WIB.
Pasien mengaku di bawa ke RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang oleh pamanya karena
bicara kacau, padahal pasien merasa tidak sakit. Saat ditanya, pasien merasa senang
saat itu dan pasien beranggapan bahwa dirinya adalah Tuhan dan Muhammad dan
pasien sangat membenci orang-orang yang tidak mau beriman kepadanya. Pasien juga
beranggapan bahwa dirinya sudah mati dan dibangkitkan kembali sehingga usianya
masih 5 hari. Pasien mengaku masih mencintai pacar pertamanya dan ingin bercerai
dengan suaminya karena sering dibentak. Pasien menyangkal adanya bisikan yang
orang lain tidak bisa mendengar, akan tetapi pasien merasa ada pikiran yang tiba-tiba
masuk dalam pikirannya. Pasien selalu menjawab pertanyaan dengan banyak dan
cepat, akan tetapi loncat dari satu topik ke topik yang lainnya.
f. Riwayat keluarga
i. Psikiatri
Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini dan tidak ada yang mengalami
gangguan jiwa.
ii. Medis umum
Disangkal
iii. NAPZA dan merokok
Disangkal.
iv. Genogram
g. Riwayat mimpi dan fantasi
Tidak ada.
5. Grafik perjalanan penyakit
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : tidak dilakukan pemeriksaan
VI. RESUME
Anamnesis
• Pasien perempuan 34 tahun dibawa ke IGD RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang oleh
suami dan kakaknya dengan keluhan bernyanyi dan bicara sendiri diluar rumah.
Keluhan ini dirasakan setelah bertengkar dengan ibu pasien. Pasien tetap mau
makan dan mau minum. Dalam perawatan diri tidak memerlukan bantuan.
Pemeriksaan Psikiatri
• Mood : Disforik
• Afek : Inappropriate
• Bentuk pikir : Non realistic
• Arus pikir : Flight of Idea
• Isi Pikir : ???
• Tilikan :1
Sindorm Skizofrenia
• Perilaku gaduh gelisah (posturing)
• Fligh of Idea
• inkoheren
Sindrom Manik
• Disforik
• Logorrhea
• Hiperaktif
IX. TERAPI
1. Rawat Inap
2. Farmakoterapi
R/Inj Lodomer 5mg
S. Imm
S. imm
R/ RPD 2mg
S 2 dd tab 1
R/ THP 2mg
S 2 dd 1
3. Non Farmakoterapi
Edukasi keluarga
X. PROGNOSIS
Ad Bonam Ad Malam
Onset akut √ Onset kronik
Dubia ad Bonam
FAKTOR RISIKO
A. Faktor Resiko
1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri,
dan/atau impulsivitas.
3. Stress lingkungan
4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang
sangat kecil.
5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena
dideritanya gangguan ini
Faktor Presipitasi
Sosial budaya, hormonal, hipotesa virus, model biological lingkungan sosial,
psikologis Perilaku.
1. Curiga : tidak mampu mempercayai orang lain, bermusuhan, mengisolasi diri,
paranoid
2. Manipulasi : kurang asertif, mengisolasi diri, HDR, sangat tergantung.
3. Menarik diri/isolasi sosial : kurang spontan, apatis, ekspresi sedih, afek tumpul,
menghindar dari orang lain.
B. ETIOLOGI
Penyebab pasti dari skizofrenia masih belum jelas. Konsensus umum saat
ini adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara
berbagai faktor. Faktor-faktor yang telah dipelajari dan diimplikasikan meliputi
predisposisi genetika, abnormalitas perkembangan saraf, abnormalitas struktur otak,
ketidakseimbangan neurokimia, dan proses psikososial dan lingkungan.
Model Diatesis Stress, menurut teori ini skizofrenia timbul karena adanya integrasi
antara faktor biologis, faktor psikososial dan lingkungan. Model ini berpendapat
bahwa seseorang yang memiliki kerentanan (diatesis) jika dikenai stressor(baik
biologis, genetik, psikososial, dan lingkungan) akan lebih mudah menjadi
skizofrenia.
1. Predisposisi genetika :
Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan, belum ada
penanda gentika tunggal yang diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai
gen. Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan 22. Ada pula
penelitian yang mtelah menemukan bahwa pertanda kromosom yang
berhubungan dengan skizofrenia adalah kromosom 5,11 dan 18 pada bagian
lengan panjang dan kromosom 19 pada bagian lengan pendek, dan yang paling
sering dilaporkan adalah terjadi pada kromosom X. Pada skizofrenia
kromososm-kromosom ini mengalami kelainan yaitu saat mengkode dapat
terjadi kekacauan seprti translokasi.
Resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini ada dalam keluarga adalah
sebagai berikut :
Satu atau orang tua yang terkena : risiko 12% - 15%
Kedua orang tua terkena penyakit ini : risiko 35% - 39%
Saudara sekandung yang terkena : risiko 8%-10%
Kembar dizigotik yang terkena : risiko 15%
Kembar monozigotik yang terkena : risiko 50%
Penelitian saat ini melihat adanya perbedaan struktur dan fungsi otak
pada penderita skizofrenia. Dengan Positron Emission Tomography (PET)
dapat terlihat kurangnya aktivitas di daerah lobus frontal, dimana lobus
frontal itu sendiri berfungsi sebgai memori kerja, penuruan dari aktivitas
metabolic forntal dihubungkan dengan perjalanan penyakit yang lama dan
gejala negative yang lebih berat.
3. Dinamika Keluarga
Meskipun belum dapat dipastikan bahwa pola tertentu pada relasi
keluarga mempunyai peran kausatif pada skizofrenia, perilaku keluarga
yang patologis perlu dicermati karena dapat meningkatkan stres
emosional yang harus dihadapi penderita skizofrenia anak-anak yang
relasi dengan ibunya buruk mempunyai risiko enam kali lebih besar
untuk menderita skizofrenia.
Sadock BJ, Sadock VA, Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry, Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th ed, Lippincott Williams & Wilkins, Baltimore, 2007
Sadock BJ, Sadock VA, Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th
ed, Lippincott Williams & Wilkins, Baltimore, 2005
A. STRUKTUR KEPRIBADIAN
1. Tingkat Kehidupan Mental
a. Sadar (Conscious)
Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu.
Menurut Freud hanya sebagian kecil saja dari kehidupan mental (fikiran,
persepsi, perasaan, dan ingatan) yang masuk ke kesadaran (consciousness).
b. Prasadar (Preconscious)
Prasadar disebut juga ingatan siap (available memory), yakni tingkat
kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan tak sadar. Pengalaman
yang ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi kemudian tidak lagi
dicermati, akan ditekan pindah ke daerah prasadar.
c. Taksadar (Unconscious)
Taksadar adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran dan
menurut Freud merupakan bagian terpenting dari jiwa manusia. Secara khusus
Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotetik tetapi
itu adalah kenyataan empirik. Ketidaksadaran itu berisi insting, impuls, dan
drives yang dibawa dari lahir, dan pengalam-pengalaman traumatik (biasanya
pada masa anak-anak) yang ditekan oleh kesadaran dipindah ke daerah tak
sadar.
2. Wilayah Pikiran
a. Id (Das Es)
Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id ini
kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua
aspek psikologi yang diturunkan, seperti insting, impuls dan drives. Id berada
dan beroperasi dalam daerah tak sadar, mewakili subjektivitas yang tidak
pernah sisadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk
mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari
struktur kepribadian lainnya.
Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu
berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Plesure
principle diproses dengan dua cara :
- Tindak Refleks (Refleks Actions)
Adalah reaksi otomatis yang dibawa sejak lahir seperti mengejapkan
mata dipakai untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan
biasanya segera dapat dilakukan.
- Proses Primer (Primery Process)
Adalah reaksi membayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat
mengurangi atau menghilangkan tegangan – dipakai untuk menangani
stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau
puting ibunya.
Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan
khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id
tidak mampu menilai atau membedakan benar-benar salah, tidak tahu moral.
Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego.
b. Ego (Das Ich)
Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita sehingga
ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle) usaha memperoleh
kepuasan yang dituntut id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau
menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata dapat
memuaskan kebutuhan.
Ego adalah eksekutif atau pelaksana dari kepribadian, yang memiliki dua
tugas utama ; pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau
insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua,
menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan
tersedianya peluang yang resikonya minimal. Ego sesungguhnya bekerja untuk
memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan
memperoleh energi dari id.
c. Superego (Das Ueber Ich)
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang
beroperasi memakai prinsip idealistik (edialistic principle) sebagai lawan dari
prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego. Superego berkembang dari
ego, dan seperti ego, ia tak punya sumber energinya sendiri. Akan tetapi,
superego berbeda dari ego dalam satu hal penting – superego tak punya kontak
dengan dunia luar sehingga tuntutan superego akan kesempurnaan pun menjadi
tidak realistis.
Prinsip idealistik mempunyai dua sub prinsip yakni suara
hati (conscience) dan ego ideal. Freud tidak membedakan prinsip ini secara
jelas tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman
mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari kita
tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal
berkembang dari pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang tepat
dan mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan.
Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan,
menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun
baru dalam fikiran. Ada tiga fungsi superego ; (1) mendorong ego
menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan moralistik, (2) merintangi
impuls id terutama impuls seksual dan agresif yang bertentangan dengan
standar nilai masyarakat, (3) mengejar kesempurnaan.
C. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tahapan, yakni tahap
infantil (0-5 tahun), tahap laten (5-12 tahun), dan tahap genital (>12 tahun). Tahap
infantil yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian, terbagi menjadi tiga
fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan
terutama oleh perkembangan biologis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual
infantil. Perkembangan insting seks berarti perubahan kateksis seks, dan
perkembangan biologis menyiapkan bagian tubuh untuk dipilih menjadi pusat
kepuasan seksual (erogenus zone).
1. Fase Oral (Usia 0 – 1 tahun)
Fase oral adalah fase perkembangan yang berlangsung pada tahun pertama dari
kehidupan individu. Pada fase ini, daerah erogen yang paling penting dan peka
adalah mulut, yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan makanan
atau air. Stimulasi atau perangsangan atas mulut seperti mengisap, bagi bayi
merupakan tingkah laku yang menimbulkan kesenangan atau kepuasan.
2. Fase Anal (Usia 1 – 2/3 tahun)
Fase ini dimulai dari tahun kedua sampai tahun ketiga dari kehidupan. Pada fase
ini, fokus dari energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur serta
kesenangan atau kepuasan diperoleh dari kaitannya dengan tindakan
mempermainkan atau menahan faeces (kotoran) pada fase ini pulalah anak mulai
diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh orang tuanya melalui toilet
training, yakni latihan mengenai bagaimana dan dimana seharusnya seorang anak
membuang kotorannya.
3. Fase Falis (Usia 2/3 – 5/6 tahun)
Fase falis (phallic) ini berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni suatu
fase ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat
kelamin. Pada fase ini anak mulai tertarik kepada alat kelaminnya sendiri, dan
mempermainkannya dengan maksud memperoleh kepuasan. Pada fase ini
masturbasi menimbulkan kenikmatan yang besar. Pada saat yang sama terjadi
peningkatan gairah seksual anak kepada orang tuanya yang mengawali berbagai
pergantian kateksis obyek yang penting. Perkembangan terpenting pada masa ini
adalah timbulnya Oedipus complex, yang diikuti fenomena castration
anxiety (pada laki-laki) dan penis envy (pada perempuan). Oedipus
complex adalah kateksis obyek seksual kepada orang tua yang berlawanan jenis
serta permusuhan terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki
ibunya (ingin memiliki perhatian lebih dari ibunya) dan menyingkirkan ayahnya,
sebaliknya anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya.
4. Fase Laten (Usia 5/6 – 12/13 tahun)
Fase ini pada usia 5 atau 6 tahun sampai remaja, anak mengalami periode
peredaan impuls seksual. Menurut Freud, penurunan minat seksual itu akibat dari
tidak adanya daerah erogen baru yang dimunculkan oleh perkembangan biologis.
Jadi, fase laten lebih sebagai fenomena biologis, alih-alih bagian dari
perkembangan psikoseksual. Pada fase ini anak mengembangkan kemampuan
sublimasi, yakni mengganti kepuasan libido dengan kepuasan non seksual,
khususnya bidang intelektual, atletik, keterampilan, dan hubungan teman sebaya.
Dan pada fase ini anak menjadi lebih mudah mempelajari sesuatu dan lebih
mudah dididik dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudahnya (masa
pubertas).
5. Fase Genital
Fase ini dimulai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam diri remaja.
Sistem endokrin memproduksi hormon-hormon yang memicu pertumbuhan tanda-
tanda seksual sekunder (suara, rambut, buah dada, dll), dan pertumbuhan tanda
seksual primer. Pada fase ini kateksis genital mempunyai sifat narkistik : individu
mempunyai kepuasan dari perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri, dan
orang lain diingkan hanya karena memberikan bentuk-bentuk tambahan dari
kenikmatan jasmaniah. Pada fase ini, impuls seks itu mulai disalurkan ke obyek
diluar, seperti : berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, menyiapkan karir, cinta
lain jenis, perkawinan dan keluarga.
D. GANGGUAN KEPRIBADIAN DEPENDEN
Ciri utama dari gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya rasa percaya
diri dan otonomi. Individu dengan gangguan kepribadian ini memandang dirinya
lemah dan orang lain lebih kuat. Ia juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk
diperhatikan atau dijaga oleh orang lain yang sering kali menyebabkan munculnya
perasaan tidak nyaman ketika sendirian. Ia mengesampingkan kebutuhannya sendiri
untuk meyakinkan bahwa ia tidak merusak hubungan yang telah terjalin dengan orang
lain. Ketika hubungan dekat berakhir, individu yang mengalami gangguan ini segera
berusaha menjalin hubungan lain untuk menggantikan hubungan yang telah berakhir
tersebut. Kriteria dalam dsm pada umumnya mendeskripsikan individu yang
mengalami gangguan kepribadian dependen sebagai orang yang sangat pasif, misalnya
memiliki kesulitan dalam memulai sesuatu atau mengerjakan sesuatu sendiri, tidak
mampu menolak, dan meminta orang lain mengambil keputusan untuk dirinya.
Bagaimanapun juga, penelitian mengindikasikan bahwa sifat-sifat pasif tersebut tidak
mencegah individu melakukan hal-hal penting untuk menjaga hubungan dekat,
misalnya menjadi sangat penurut dan pasif, tetapi dapat juga mengambil langkah aktif
untuk menjaga hubungan.
Berdasarkan DSM-IV, kriteria gangguan kepribadian dependen yaitu sebagai
berikut:
1. Kesulitan dalam mengambil keputusan tanpa nasihat dan dukungan yang
berlebihan dari orang lain.
2. Kebutuhan terhadap orang lain untuk memikul tanggung jawab dalam hidupnya.
3. Kesulitan dalam mengatakan atau melakukan penolakan terhadap orang lain
karena takut kehilangan dukungan dari orang lain.
4. Kesulitan dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu sendiri karena kurang
percaya diri.
5. Melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan baginya sebagai cara untuk
memperoleh penerimaan dan dukungan dari orang lain.
6. Perasaan tidak berdaya ketika sendiri karena kurang percaya pada kemampuan diri
dalam menyelesaikan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
7. Segera mencari hubungan baru ketika hubungan yang sedang terjalin telah
berakhir.
8. Sangat ketakutan untuk mengurus atau menjaga diri sendiri.
Prevalensi dari gangguan ini adalah sekitar 1,5 persen, lebih banyak ditemukan
di india dan jepang. Hal itu kemungkinan dikarenakan lingkungan di kedua negara
tersebut yang memicu perilaku dependen. Gangguan kepribadian ini muncul lebih
banyak pada wanita daripada pria, kemungkinan karena perbedaan pengalaman
sosialisasi pada masa kanak-kanak antara wanita dan pria. Gangguan kepribadian
dependen sering kali muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline,
skizoid, histrionik, skizotipal, dan avoidant, sama seperti diagnosis axis I gangguan
bipolar, depresi, gangguan kecemasan, dan bulimia.
Perspektif Psikososial Mengenai Dependent Personality Disorder :
a) Psikodinamik
Menurut teori psikodinamika, gangguan ini timbul karena adanya regresi atau
fiksasi pada masa oral perkembangan psikoseksual. Hal itu karena orang tua yang
sangat melindungi atau orang tua yang mengikuti apa yang dibutuhkan penderita di
masa kecil, atau menuntut perilaku dependen dari penderita sebagai imbalan dari
pengasuhan.
b) Behavioral
Millon dkk mengemukakan bahwa saat anak-anak, penderita gangguan ini
sangat baik tetapi penuh ketakutan. Mereka memiliki orang tua yang hangat tetapi
sangat melindungi (overprotective). Mereka tidak belajar menangani rasa takutnya
dan menjadi asertif, melainkan menjadi makin taergantung pada orang lain. Jika
anak-anak seperti ini memiliki saudara yang agresif atau dengan teman-temannya
mengalami suatu yang menyababkan mereka merasa tidak menarik dan tidak
adekuat, perasaan ragu meningkat, dan perilaku dependen akan diperkuat oleh
orang tua yang sangat melindungi. Pendekatan kognitif-behavioral mengemukakan
bahwa penyebabnya adalah karena kurang asertif dan kecemasan dalam membuat
keputusan.
c) Cognitive
Individu dependen biasanya menggambarkan dirinya lemah, rentan, tidak
mampu, tidak cakap, atau tidak kompeten. Ketika ketidakmampuan mereka
menjadi terlalu jelas terlihat, rasa cemas dan panik mungkin muncul. Untuk
menjaga agar kerentanan mereka terkontrol, banyak individu dependen lebih suka
untuk tidak melihat diri mereka terlalu dalam, lebih suka membatasi kesadaran
mereka hanya pada kesenangan dalam hidup, melihat hanya yang baik saja dan
tidak pernah melihat yang buruk. Sewaktu kesulitan diakui, individu dependen
sering menyimpan harapan bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik saja.
Penyangkalan, yang telah dibahas dalam perspektif psikodinamis, secara bertahap
berkembang menjadi gaya kognitif yang lebih luas.
Skema diri (self-schema) dari individu dependen meliputi kualitas positif dan
negatif. Pada sisi positif, individu dependen melihat diri mereka sebagai seseorang
yang penuh pertimbangan, penuh perhatian, dan bisa bekerja sama. Dengan
mengingkari prestasi yang sah, mereka terlihat sederhana dan rendah hati. Diam-
diam, mereka mungkin mengharapkan sanjungan dan pujian, tapi tidak terlalu
berlebihan, karena harapan akan kemandirian dan self-sufficientcy pasti akan
mengikuti. Namun kualitas baik yang individu dependen anggap ada pada diri
mereka juga diimbangi oleh sejumlah dasar patologis, kepercayaan kondisional dan
instrumental (Beck et al., 1990, hal. 45).
Banyak individu dependen yang sangat tidak canggih secara kognitif. Bagi
orang lain, mereka terlihat naif, kekanak-kanakan, dan polos –sebuah gambaran
yang sering mereka perkuat dengan meminimalkan prestasi dan kemampuan diri
mereka sendiri dan memperbesar ketidakmampuan instrumental mereka. Pada
individu yang tidak mampu, tuntutan yang dibuat lebih sedikit. Karena orang lain
selalu datang untuk membantu mereka, maka individu dependen mungkin
mengembangkan beberapa strategi penanggulangan yang terpisah dari keahlian
hidup dasar. Kadang-kadang, hal tersebut juga tidak sempurna. Beberapa tidak bisa
menyeimbangkan neraca keuangan atau membutuhkan begitu banyak instruksi dan
nasehat, sehingga untuk mempertahankan pekerjaan dasar saja merupakan sesuatu
yang tidak mungkin. Individu dependen lain yang lebih dekat pada jangkauan
normal mungkin memiliki kompetensi meskipun terbatas pada daerah tertentu saja,
hal ini biasanya muncul dalam rangka melindungi hubungan pengasuhan. Di sini,
pendapat, “Saya harus belajar bagaimana melakukan ini dan itu dengan baik jika
saya ingin menikmati rasa aman dan perlindungan dari hubungan ini,” berfungsi
sebagai suatu kepercayaan kondisional tambahan yang sangat adaptif. Individu
tersebut melakukan sesuatu untuk persetujuan orang lain dan akhirnya mungkin
menjadi ahli dalam suatu kerangka pikir yang mendukung, seperti halnya dengan
istri dependen yang lembur demi kemajuan tujuan karir suaminya.
Aspek kedua dari kognisi individu dependen adalah gaya kognitif mereka,
yang menampilkan pola pemikiran yang sangat mungkin untuk tetap menyeluruh
dan tersebar. Individu yang mawas diri secara terus menerus mencari di dalam
dirinya sendiri dan menciptakan ide yang pasti mengenai siapa mereka sebenarnya,
ingin menjadi apa mereka, dan apa yang mereka inginkan dari hidupnya. Karena
individu dependen jarang melihat ke dalam dirinya, mereka hanya bisa
mengembangkan ide yang samar mengenai tujuan dan identitas diri mereka.
Sebagian besar individu dependen, yang kehidupannya diatur oleh figur
otoritas kompeten sejak masa bayi, tidak pernah mengembangkan potensi untuk
membuat penilaian kualitatif yang secanggih itu. Orang lain entah menganggap
individu dependen tidak mampu, atau secara alamiah mengontrolnya sendiri dan
mengambil keputusan, untuk setiap pertanyaan hidup, hasil terbaik apa yang akan
keluar dan bagaimana mencapainya. Yang cara apapun, individu dependen
berulang kali menemukan diri mereka terkurung dalam sebuah dunia yang secara
aktif mematahkan semangat perkembangan kecanggihan kognitif. Kebutuhan
mungkin bukan hanya merupakan sumber dari penemuan, tapi juga sumber dari
berbagai bakat kognitif, khususnya kemampuan untuk menyusun rencana, untuk
memegang berbagai kemungkinan di dalam benak, untuk menentukan kriteria suatu
hasil yang baik bagi diri sendiri dan orang lain, dan untuk menilai kemungkinan
suatu tindakan yang direncanakan untuk berhasil. Kemampuan kognitif canggih ini
tidak pernah berkembang sepenuhnya pada individu dependen, baginya semua
kebutuhannya telah menjadi tanggung jawab orang lain.
Namun hal tersebut tidak berarti bahwa kepribadian dependen selalu bodoh
atau tidak berpengetahuan. Sebagai contoh, dalam lingkungan sekolah, dimana
harapan konkrit akan nilai yang bagus akan mendapatkan persetujuan, pujian, dan
kasih sayang dari orang tua dan guru, banyak dependen yang normal siap menaati
dan menghasilkan rapor di atas rata-rata. Beberapa bahkan menjadi anak
kesayangan guru. Namun ketika ditempatkan dalam konteks dimana evaluasi masa
depan tidak terelakkan dan serangkaian tindakan ambigu, bahkan dependen normal
mungkin merasa cemas atau tertekan. Mereka dengan gangguan yang terdiagnosa
cenderung melarikan diri atau menangis. Keseluruhan mereka yang kurang canggih
secara kognitif mencegah kemungkinan untuk mempertimbangkan semua alternatif
dan memperhitungkan rasio keuntungan-kerugian dari perspektif tiap individu yang
dipengaruhinya. Selain itu, ketakutan akan mengecewakan orang lain yang mereka
miliki mencegah mereka bahkan untuk mencobanya. Sebagai gantinya, kunci dari
kognisi individu dependen terletak pada pembangunan dunia yang lebih sederhana
tapi lebih bisa diatur, walaupun mereka memiliki kekurangan dalam penilaian
kompleks. Secara kognitif, individu dependen membutuhkan kesederhanaan,
seperti halnya individu kompulsif membutuhkan dunia internal yang terkontrol dan
teratur.
Dalam Beck et al. (1990), Fleming menyatakan sejumlah distorsi kognitif
yang membuat gangguan tetap bertahan. Ada dua yang sepertinya penting:
Pertama, individu dependen melihat dirinya sebagai “secara alamiah tidak mampu
dan tidak berdaya”; kedua, kekurangan-kekurangan yang mereka rasa ada pada
dirinya (self-perceived shortcomings) mengarahkan mereka untuk menyimpulkan
bahwa mereka harus mencari seseorang yang bisa mengatasi kesulitan hidup dalam
dunia yang berbahaya. Hal tersebut sebenarnya hanya merupakan pengulangan dari
apa yang telah mereka pelajari. Namun antara premis dan kesimpulan terdapat
beberapa kesalahan logis yang menyimpangkan kenyataan (Fleming, 1990) dan
kemudian membatalkan semua argumen. Yang paling penting dari hal tersebut
adalah pemikiran dikotomus, suatu gaya pemikiran yang membagi dunia menjadi
kutub yang saling bertolak belakang, tanpa terdapat daerah abu-abu di antara
keduanya. Jika individu dependen tidak diperhatikan, mereka melihat diri mereka
sendiri sebagai seseorang yang benar-benar sendirian di dunia ini. Dengan cara
yang sama, jika mereka sama sekali tidak yakin bagaimana melakukan sesuatu,
tentunya masalah tersebut pasti tidak dapat teratasi, paling tidak bagi
mereka.Pemikiran dikotomus tidak dapat dihindari mengarah pada distorsi ketiga:
individu dependen cenderung untuk menganggap sesuatu sebagai malapetaka.
d) Interpersonal
Setelah menikah, orang dengan gangguan kepribadian dependen akan
bergantung pada pasangannya untuk membuat keputusan seperti dimana mereka
akan tinggal, tetangga mana yang bisa dijadikan teman, bagaimana mereka harus
mendisiplinkan anak, pekerjaan seperti apa yang akan mereka ambil, bagaimana
mereka membuat anggaran rumah tangga, dan kemana mereka sebaiknya berlibur.
Individu dengan gangguan ini biasanya menghindari diri dari tanggung jawab.
Mereka menolak tantangan dan promosi, serta bekerja di bawah potensi mereka.
Mereka cenderung sangat sensitive terhadap kritikan, sangat terpaku pada rasa
takut akan penolakan dan pencampakan. Mereka dapat meresa hancur karena
berakhirnya suatu hubungan dekat atau karena adanya kemungkinan untuk
menjalani hidup sendiri. Karena takut akan penolakan, mereka sering
menomorduakan keinginan dan kebutuhan mereka demi orang lain. Mereka setuju
akan pernyataan yang aneh tentang diri mereka sendiri, dan melakukan hal-hal
yang merendahkan diri untuk menyenangkan orang lain.
E. PEMBAHASAN
Pada tahap oral, sumber utama interaksi bayi terjadi melalui mulut, sehingga
refleks mengisap berperan sangat penting. Mulut sangat penting untuk makan, dan
kesenangan bayi berasal dari rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan seperti
mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang
bertanggung jawab untuk memberi makan anak), bayi juga mengembangkan rasa
kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi oral.
Mungkin jika kita melihat tahap oral, kita akan menemukan penjelasan, kita
belajar bahwa libido, atau kekuatan hidup, terpaku pada tahap oral dengan lebih dari
satu cara, yang mengarah pada 'kepribadian reseptif oral' dan 'kepribadian agresif oral'.
Tipe pertama, yang merupakan konsekuensi dari tahap oral yang tertunda atau terlalu
ketat adalah percaya dan bergantung, yang kedua mendominasi dan agresif, terutama
karena tahap oral yang terbatas. Mereka yang mengalami tahap oral yang lebih lama di
masa kanak-kanak diperkirakan lebih cenderung menjadi perokok saat dewasa.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus menjadi
kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi pada tahap ini, Freud
percaya individu akan memiliki masalah dengan ketergantungan atau agresi.
Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan
tertentu karena perkembangan lanjutannya sukar sehingga menimbulkan frustasi dan
kecemasan yang terlalu kuat. Orang memilih tetap terhenti (fiksasi) pada tahap
perkembangan tertentu dan menolak untuk bergerak maju, karena merasa puas dan
aman di tahap itu, berkat impuls-impuls tegangan pada tahap fiksasi itu dapat terus
menerus diredakan. Kecemasan dan frustasi untuk mandiri secara finansial, membuat
remaja/ dewasa yang hidup bersama orang tuanya mengalami fiksasi, tergantung
secara berlebihan kepada orang tuanya (Alwisol, 2008).
Bayi yang terbengkalai (kurang diberi makan) atau yang terlalu terlindungi
(terlalu banyak makan) dalam proses menyusui, bisa menjadi orang yang terfiksasi
pada fase oral. Fiksasi fase oral mungkin memiliki dua efek: (i) anak yang terabaikan
bisa menjadi orang dewasa yang bergantung secara psikologis terus-menerus mencari
rangsangan oral yang ditolak pada masa kanak-kanak, sehingga menjadi orang
manipulatif dalam memenuhi kebutuhannya; (ii) anak yang terlindungi secara
berlebihan mungkin menolak pematangan dan kembali bergantung pada orang lain
dalam memenuhi kebutuhannya.
Freud berteori bahwa cara kita disusui (atau tidak disusui) sangat
mempengaruhi bayi bagaimana melihat dunia sebagai orang dewasa. Fase oral yang
merupakan tahap pertama dari perkembangan psikoseksualnya yang terkenal,
berlangsung sekitar satu setengah tahun. Selama masa ini, bayi sibuk dengan proses
menyusu, mengisap, dan menerima sesuatu ke dalam mulut dengan dipelihara oleh ibu
atau pengasuh lainnya. Menyusui anak-anak yang berlebihan, membuat mereka
memiliki beberapa ciri kepribadian yang sangat tidak menyenangkan:
ketidakberdayaan, rasa berhak, dan ketergantungan pada orang lain. Bayi yang frustasi
pada tahap oral, menurut Freud, sama sekali tidak dirawat, atau sering dipotong
dibatasi pada saat menyusu. Mereka tumbuh dengan pesimis, iri, curiga sering
menunjukkan fiksasi pada fase oral.
Orang dengan gangguan kepribadian dependen, menempatkan kebutuhan
mereka sendiri dibawah kebutuhan orang lain. Meminta orang lain untuk mengambil
tanggung jawab untuk masalah besar dalam kehidupan mereka, tidak memiliki
kepercayaan diri dan mungkin mengalami rasa tidak nyaman yang kuat jika sedang
sendirian lebih dari suatu periode yang singkat. Gangguan ini lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pria, dan lebih sering terjadi pada anak yang lebih kecil jika
dibandingkan yang lebih tua. Gangguan kepribadian dependen ditandai oleh
ketergantungan yang pervasif dan perilaku patuh. Orang dengan gangguan ini tidak
mampu untuk mengambil keputusan tanpa nasehat dan pertimbangan yang banyak dari
orang lain. Pesimisme, keraguan diri, pasivitas, dan ketakutan untuk mengekspresikan
perasaan seksual dan agresif menandai perilaku gangguan kepribadian dependen
(Kaplan & Saddock, 1997 : 263-264).
Menurut teori psikodinamika, gangguan ini timbul karena adanya regresi atau
fiksasi pada masa oral karena orang tua yang sangat melindungi. Pendekatan kognitif-
behavioral mengemukakan bahwa penyebabnya adalah karena kurang asertif dan
kecemasan dalam membuat keputusan (Martaniah, 1999 : 77). Jika seseorang tampil
sebagai orang yang terlalu percaya diri, kepribadian yang bergantung, ini dapat disebut
sebagai bukti fiksasi pada tahap perkembangan oral, karena anak-anak yang terpaku
pada tahap ini diyakini menggantungkan orang-orang di kemudian hari.
Menurut teori psikoanalitik klasik, ketergantungan terjadi akibat fiksasi pada
tahap perkembangan oral. Bayi yang frustrasi atau terlalu banyak dalam tahap ini
kemudian dapat mengembangkan perilaku ketergantungan. Menurut Bornstein (1993),
dua model teoritis baru dari ketergantungan berasal dari perspektif psikodinamik yang
lebih klasik; teori relasi objek dan teori keterikatan. Dalam teori relasi objek,
pertukaran secara biologis dan sosial antara ibu dan anak menjadi diinternalisasi. Anak
menjadi tergantung pada kedua aspek dan sifat dari interaksi ini menjadi bagian dari
konsep diri individu. Jika ibu terlalu memanjakan, anak-anak datang ke kepercayaan
yang terlalu optimis bahwa semua orang akan melayani mereka dalam hal yang
serupa. Sebaliknya, jika ibu tidak hadir dalam pengasuhan anaknya, mereka akan
menuntut banyak orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi.
Teori keterwakilan memandang bayi semakin terikat saat mereka dewasa daripada
dipupuk dalam mengembangkan kemerdekaan. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi
evolusi kepribadian individu serta harapan yang akan mereka dapatkan dalam
hubungan masa depan.
Freud berteori bahwa cara kita disusui (atau tidak disusui) sangat
mempengaruhi bayi bagaimana melihat dunia sebagai orang dewasa. Fase oral yang
merupakan tahap pertama dari perkembangan psikoseksualnya yang terkenal,
berlangsung sekitar satu setengah tahun. Selama masa ini, bayi sibuk dengan proses
menyusu, mengisap, dan menerima sesuatu ke dalam mulut dengan dipelihara oleh ibu
atau pengasuh lainnya. Menyusui anak-anak yang berlebihan, membuat mereka
memiliki beberapa ciri kepribadian yang sangat tidak menyenangkan:
ketidakberdayaan, rasa berhak, dan ketergantungan pada orang lain. Bayi yang frustasi
pada tahap oral, menurut Freud, sama sekali tidak dirawat, atau sering dipotong
dibatasi pada saat menyusu. Mereka tumbuh dengan pesimis, iri, curiga sering
menunjukkan fiksasi pada fase oral.
F. DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Feist, Jess and Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba
Humanika.
Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., Grebb, Jack A. 2010. Sinopsis Psikiatri Jilid I
dan II. Binarupa Aksara Publisher : Tangerang.
Nurdin, Adnil E. 2016. Tumbuh Kembang Perilaku Manusia. EGC : Jakarta.
Suryabrata, Sumardi. 2012. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
TERAPI
HALOPERIDOL
Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau obat
anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga efektif
untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium. Obat-obat anti psikotik ini terbagi
atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
II. obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON
Obat-obat neuroleptika tipikal (tradisional) adalah inhibitor kompetitif pada
berbagai reseptor, tetapi efek anti psikotiknya mencerminkan penghambatan kompetitif
dari reseptor dopamin. Obat-obat ini berbeda dalam potensinya tetapi tidak ada satu
obatpun yang secara klinik lebih efektif dari yang lain. Sedangkan obat-obat neuroleptika
atipikal yang lebih baru, disamping berafinitas terhadap ‘Dopamine D2 Receptors’ juga
terhadap ‘Serotonin 5 HT2 Receptors’.
Obat neuroleptika bukan untuk pengobatan kuratif dan tidak menghilangkan
gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi sering memungkinkan pasien psikotik
berfungsi dalam lingkungan yang suportif.
MEKANISME KERJA
Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang dapat
digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-dopamine.
Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan tersebut
disebabkan oleh peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas fungsional
neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak.
EFEK KERJA
Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan
keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur utama dopamin
diotak, antara lain :
1. Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi
kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction
(EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan
leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
2. Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic. Jalur dopamin
mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi menyenangkan, euphoria
yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika jalur ini hiperaktif dapat
menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam timbulnya gejala positif
psikosis.
3. Jalur dopamin mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic.
Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini
selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis,
juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala pada
emosi dan sistem kognitif.
4. Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur ini
bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok dapat
terjadi galactorrhea.
INDIKASI PENGGUNAAN
Gejala sasaran antipsikosis (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS, yaitu :
- Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgement) terganggu, dan insight terganggu.
- Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala : gangguan
asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham), gangguan
persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi), dan perilaku
yang aneh atau tidak terkendali (disorganized).
- Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala :
tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Sindroma psikosis dapat terjadi pada :
- Sindrom psikosis fungsional : Skizofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif,
psikosis reaktif singkat, dll.
- Sindrom psikosis organik : delirium, dementia, intoksikasi alkohol, dll.
LITHIUM CARBONATE
Mania ditandai dengan aktivitas fisik yang berlebihan dan perasaan gembira yang luar
biasa yang secara keseluruhan tidak sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi. Obat
yang digunakan untuk mengobati mania disebut mood modulators, mood stabilizer atau
anti manics.1,2 Penderita mania mengalami elasi (suasana perasaan yang meningkat)
disertai dengan energi yang meningkat, sehingga terjadi aktivitas yang berlebihan,
percepatan, kebanyakan bicara dan berkurangnya kebutuhan tidur.
Mania merupakan gangguan mood atau perasaan ditandai dengan aktivitas fisik yang
berlebihan dan perasaan gembira yang luar biasa yang secara keseluruhan tidak sebanding
dengan peristiwa positif yang terjadi. Hal ini terjadi dalam jangka waktu paling sedikit satu
minggu hampir setiap hari terdapat keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang
meningkat ekspresif atau iritabel.1,2 Sindroma mania disebabkan oleh tingginya kadar
serotonin dalam celah sinaps neuron, khususnya pada sistem limbik, yang berdampak
terhadap “dopamine receptor supersensitivity”. Lithium karbonat merupakan obat pilihan
utama untuk meredakan sindroma mania akut dan profilaksis terhadap serangan sindroma
mania yang kambuh pada gangguan afektif bipolar.
Tabel 1. Sediaan Obat Anti Mania dan Dosis Anjuran
No. Nama Nama Dagang Sediaan Dosis
Generik Anjuran
1 Lithium FRIMANIA Tab. 200-300-400-500 250-500
Carbonate mg mg/h
2 Haloperidol HALOPERIDOL Tab. 0,5 - 1,5 - 5 mg 4,5 – 15
mg/h
A. Indikasi Penggunaan
Gejala sasaran (target syndrome) : SINDROM MANIA
Butir-butir diagnostik Sindrom Mania 4
Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat keadaan
afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat, ekspresif atau iritabel.
Keadaan tersebut disertai paling sedikit 4 gejala berikut:
1. Peningkatan aktivitas (di tempat kerja, dalam hubungan social atau seksual) atau
ketidak-tenangan fisik.
2. Lebih banyak berbicara dari lazimnya atau adanya dorongan untuk berbicara
terus-menerus.
3. Lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayalan subjektif bahwa pikirannya
sedang berlomba.
4. Rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf sampai
waham/delusi).
5. Berkurangnya kebutuhan tidur.
6. Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiannya terlalu cepat tertarik kepada
stimulus luar yang penting atau yang tidak berarti.
7. Keterlibatan berlebih dalam aktivitas-aktivitas yang mengandung kemungkinan
risiko tinggi dengan akibat yang merugikan apabila tidak diperhitungkan secara
bijaksana, misalnya berbelanja berlebihan, tingkah laku seksual secara terbuka,
penanaman modal secara bodoh, mengemudi kendaraan (mengebut) secara tidak
bertanggung jawab dan tanpa perhitungan.
Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi dalam gejala:
tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.
Dalam masa 5-10 tahun setelah hospitalisasi pertama karena skizofrenia, hanya 10-20%
penderita yang mempunyai prognosis baik, lebih dari 50% penderita mempunyai prognosis
buruk, ditandai oleh hospitalisasi berulang-ulang, eksaserbasi gejala, mengalami episoda
depresi berat dan percobaan bunuh diri, sekitar 20-30% penderita skizofrenia dapat hidup
relatif normal, 20-30% tetap mempunyai gejala sedang dan 40-60% terganggu oleh
penyakitnya seumur hidup, prognosis penderita skizofrenia lebih buruk dari penderita
gangguan mood.
Penanganan skizofrenia bisa dibilang tidak mudah, karena jumlah kekambuhan pasien
skizofrenia baik di negara maju dan negara berkembang yakni sekitar 50-92% tidak peduli
keadaan ekonomi dan kemakmuran negara tersebut. Pasien skizofrenia masih sangat
memungkinkan mengalami kekambuhan yang muncul dalam periode 2 tahun, sehingga
membutuhkan terapi selain farmakoterapi (Kazadi, 2008).
Maramis & Maramis (2009) menyebutkan bahwa 1/3 dari pasien skizofrenia yang datang
berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama akan sembuh sama sekali (full
remission/recovery), 1/3 yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih
didapati cacat sedikit dan masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya dan sisanya
biasanya, mereka tidak dapat berfungsi didalam masyarakat dan menuju kemunduran
mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa. Pasien yang
menghentikan pengobatan disebutkan 60-70% akan mengalami kekambuhan dalam satu
tahun, dan 85% dalam 2 tahun, dibandingkan dengan pasien yang tetap aktif melaksanakan
pengobatan yaitu 10-30% (Puri, et, al., 2014). Perkiraan perjalanan penyakit dan prognosis
pasien skizofrenia pada penelitian kohort dengan follow-up selama 13 tahun (Mason, et,
al., 1995) dalam (Semple & Smyth, 2013) antara lain : 1) Sekitar 15-20% dari episode
pertama tidak akan kambuh. 2) Beberapa orang akan tetap bekerja 3) 52% tanpa gejala
psikotik dalam 2 tahun terakhir. 4) 52% tanpa gejala negatif. 5) 55% menunjukkan fungsi
sosial yang baik atau cukup baik
Prognosis dapat ditetapkan juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain
(Maramis & Maramis, 2009): 1) Kepribadian prepsikotik. Bila skizoid dan hubungan antar
manusia memang kurang memuaskan maka prognosis lebih jelek. 2) Bila skizofrenia
timbul secara akut, maka prognosis lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara
pelan-pelan. 3) Jenis: Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering
penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik.
Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat
dikembalikan ke masyarakat. Skizofrenia hebefrenik/terdisorganisasi dan skizofrenia
simplek mempunyai prognosis yang sama jelek, biasanya jenis skizofrenia ini menuju
kearah kemunduran mental. 4) Umur: makin muda umur permulaannya, makin jelek
prognosis. 5) Pengobatan: makin lekas diberikan pengobatan, makin baik prognosisnya. 6)
Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres
psikologis, maka prognosisnya lebih baik. 7) Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih
berat bila didalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
Kepatuhan pada pasien skizofrenia terdiri dari kepatuhan terhadap terapi setelah
pengobatan (kontrol), penggunaan obat secara tepat, mengikuti anjuran perubahan perilaku
(Kaplan & Sadok, 2010). Dapat disimpulkan bahwa pasien dikatakan patuh minum obat
jika meminum obat sesuai dosis, frekuensi, waktu dan benar obat.