Bahan Ajar Humaniora '09 Uh
Bahan Ajar Humaniora '09 Uh
I. PENDAHULUAN
A. Deskripsi
Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala
hal yang diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum,
sejarah, bahasa, teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-
nilai kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin,
humaniora artinya manusiawi.
Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora”
dikatakan sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di
Perguruan Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau
pendidikan humaniora. Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang
mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih
manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa perlunya humaniora bagi pendidik
berarti menempatkan manusia di tengah-tengah proses pendidikan.
B. Manfaat/Relevansi
Lantas, apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter?
Dokter adalah salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia
sebagai lawan interaksinya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal
yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk
sosial. Salah satunya dengan pengetahuan humaniora ini.
Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh
kurikulum kedokteran (demikian juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok
ini harus diintegrasikan ke dalam tiap-tiap blok). Karena yang kita harapkan adalah
lahirnya dokter-dokter yang tidak saja kompeten dalam keilmuannya, tapi juga
memiliki perilaku yang manusiawi, memperlakukan pasiennya seperti dirinya
ingin diperlakukan. Tentu saja perilaku tersebut tidak akan muncul tanpa adanya
pengetahuan tentang apa dan bagaimana sebetulnya sifat yang manusiawi itu.
Agar Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan
pengetahuan ini. Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah cukup untuk mencapai
apa yang kita harapkan, tapi harus dipadukan dengan pengetahuan-pengetahuan lain
yang akan dipelajari di dalam blok ini.
II. PENYAJIAN
Apakah Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter seperti apakah Anda
kelak? Sudahkah Anda memiliki bayangan dokter ideal itu seperti apa? Mungkin,
Anda merasa tertarik melihat dokter yang mempunyai kedudukan yang terhormat
dalam masyarakat. Atau mungkin juga Anda takjub melihat banyak dokter yang
sejahtera dari segi finansial, segala apa yang menjadi standar kemewahan melekat
pada mereka. Atau Anda bangga melihat dokter mampu mempengaruhi jalan hidup
seseorang, menyelamatkan nyawa orang-orang di dekat Anda, memberi sentuhan
keajaiban dalam takdir kehidupan orang lain.
Apapun yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter memiliki sejarah
perjalanan yang lengkap. Pengetahuan humaniora ini berusaha memberi gambaran
pada kita bagaimana menjadi seorang dokter yang sejatinya ideal, dokter yang
manusiawi, yang berperilaku/berakhlak baik, berkepribadian profesional. Untuk
mendapatkan hasil di hilir yang baik, tentu kondisi di hulu sudah harus dipersiapkan
sebelumnya. Karena itu disajikan pengetahuan mengenai humaniora yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk dapat memahami lebih baik tentang
makna kehidupan Anda sebagai seorang dokter.
Mungkin saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan
sifat belas kasih merupakan bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia adalah
watak alami yang melekat pada seseorang sejak dia dilahirkan, dan berkembang
sesuai pengaruh lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih atau compassion
bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari, tetapi suatu materi yang akan berpindah
secara alami –melalui proses yang panjang- dari satu manusia ke manusia lain. Tapi
bila kita kembali kepada jati diri sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan,
maka kita tahu bahwa banyak hal yang harus kita pelajari, cermati, hayati dan
amalkan dalam hidup ini. Dalam agama Islam diajarkan mengenai akhlak secara
lengkap dan terperinci. Bedanya, konsep akhlak adalah konsep akhirat, jadi
berimplikasi tidak hanya di dunia ini saja. Sedangkan, konsep humaniora yang akan
kita bahas adalah konsep dunia, khususnya dunia medis jadi implikasinya jelas di
dunia medis juga.
Sebetulnya, dalam kurikulum kita dikenal pendidikan Ilmu Budaya Dasar
yang menurut Martiatmodjo merupakan juga terjemahan dari istilah Basic
Humanities atau pendidikan humaniora. Hanya saja penyajiannya jarang dikaitkan
dengan kehidupan kita kelak sebagai seorang dokter, jadi pengetahuan tersebut
mengawang-awang, sangat idealis, sehingga mahasiswa sulit menerapkannya dalam
realitas kedokteran yang terkenal praktis. Padahal bagi komunitas medis, apa saja
yang disentuhkan pada kulitnya melalui kata medis, akan mudah melekat karena
ada sekian banyak reseptor yang sensitif dengan kata tersebut pada kulitnya. Karena
itu dibutuhkan pengetahuan yang lebih integratif agar kita menjadi paham arah dan
tujuan pembelajaran kita.
Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam
kuliah ini terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai dokter. Pengetahuan ini
harus dapat diterapkan di segala bidang kehidupan Anda kelak sebagai dokter.
Bidang yang dimaksud antara lain:
Praktik kedokteran
Pelayanan kesehatan
Pendidikan kedokteran
Penelitian
Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek
yang memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme,
etika, kebudayaan dan perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya
makna intrinsik nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang
bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang
lebih baik. Ada juga yang berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku
mengenai perhatian manusia dengan menekankan pada rasa belas kasih serta
martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini
selalu menjadi jargon seorang dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran
Stedman dirumuskan sebagai principles of correct professional conduct with regard
to the rights of the physician himself, his patients, and his fellow practitioners.
Dengan kata lain etika dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip mengenai
tingkah laku profesional yang tepat berkaitan dengan hak dirinya sebagai dokter,
hak pasiennya, dan hak teman sejawatnya.
Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, dokter adalah suatu profesi yang berhubungan langsung dengan
manusia sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang sama berbudaya.
Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Untuk membangun
nilai-nilai sosial itu agar tetap menjadi landasan bagi setiap dokter dalam menjalani
kehidupan profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan kebudayaan menjadi
konsep dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan kesehatan.
Sehubungan dengan itu, penggunaan konsep perilaku di sini berada dalam
pengertian ketunggalannya dengan konsep kebudayaan. Perilaku seseorang, sedikit
atau banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai dan norma dalam lingkungan-
lingkungan sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang dokter. Untuk proses
hulu, lingkungan pendidikan yang baik tentu akan mengantar seseorang untuk
berperilaku yang baik pula.
Ilmu kedokteran khususnya kedokteran umum yang menangani manusia
jelas sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan dengan hasil
kesadaran manusia. Segala penalaran dokter sebagai manusia akan sama dengan
penalaran budi manusia. Ilmu kedokteran yang selalu memikirkan jasmani dan
rohani manusia akan selalu dituntut oleh keadaan lingkungan masyarakat. Salah
pikir dari seorang dokter berarti akan bertentangan dengan hati nurani manusia yang
melekat dalam pribadi sang dokter. Sebaliknya kesuksesan dokter akan selalu
menjunjung tinggi dan mengangkat nama harumnya karena segala kesuksesan itu
tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia secara sadar. Lantas, bagaimana kaitannya
dengan humanisme?
Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang
humanisme dan etika dalam berbagai bidang kedokteran, terminologi humanisme
awalnya dikaitkan dengan pergeseran filosofi dan budaya selama masa renaisans
Eropa. Belakangan, maknanya bergeser menjadi sebuah sikap yang berkenaan
dengan perhatian manusia pada sesamanya dengan menekankan pada ‘compassion’
-belas kasihan- dan martabat individual.
Secara tidak langsung, humanisme menyatakan
suatu penghargaan kepada pasien sebagai seorang individu;
menunjukkan belas kasih dan mengerti akan rasa takut dan khawatir
dalam diri pasiennya;
menyatakan suatu komunikasi yang berarti kepada pasien sebagai
seseorang dan bukannya sebagai sebuah penyakit.
Lebih lanjut dia mengatakan, humanisme dalam kedokteran lebih dari
sebuah etika. Lebih dari sekedar menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal
yang merugikan fisik dan mental pasien karena kelalaian diri. Lebih dari yang
sekedar tertulis dalam sumpah Hippocrates. Humanisme merupakan tindakan
positif, seperti halnya belas kasihan yang bukan sekedar perasaan prihatin
kepada penderitaan orang lain tapi menolong dengan memberi saran atau
tindakan yang meringankan penderitaannya. Namun sungguh mengejutkan
karena definisi ‘belas kasihan’ tidak masuk dalam dua kamus utama kedokteran –
Dorland dan Stedman. Meskipun demikian, rasa belas kasih sama pentingnya
dengan pengetahuan ilmiah dan keterampilan pada seorang dokter yang humanistik.
Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan etika mengilhami
profesi kedokteran saat ini? Apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan banyak
dokter-dokter senior menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi profesi kita?
Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh
menyimpang dari idealisme sebagai dokter. Fenomena ini telah mendunia dan juga
telah menyebar ke dalam negara kita. Bukan hanya praktik medis dan perawatan
pasien yang menyimpang dari idealisme sosial, bahkan konsep humanisme menjadi
sesuatu yang asing dalam pendidikan kedokteran dan dalam bidang penelitian
kedokteran. Benar bahwa etika kedokteran termasuk dalam kurikulum pada
beberapa sekolah kedokteran, namun diduga hal tersebut hanya sebagai metode
resmi untuk menenangkan hati mereka. Kenyataannya, dibutuhkan lebih dari
sekedar memasukkan subjek etika kedokteran ke dalam kurikulum agar lulusan
kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis sebagai sifat kedua mereka.
Seorang dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan kerisauannya tentang
profesi dokter saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
fenomena tersebut, antara lain:
Pemisahan antara jasad dan jiwa
Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan
Penghambaan diri terhadap teknologi modern
Berlebihan dalam mengejar spesialisasi
Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan
Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat,
dokter-dokter berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan
menghadapi masyarakat yang gemar menggugat, ketakutan melakukan malapraktik,
peningkatan kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal tersebut
menyebabkan para dokter sangat fokus pada keahlian medis mereka. Mereka
menjadi sangat perhatian dalam menangani keluhan fisik pasien, yang penting
pasien sembuh dari derita fisiknya. Mereka tidak perlu repot-repot menangani jiwa
pasien mereka, yang penting pasien itu belum masuk kategori gila (silakan ke ahli
jiwa kalau jiwa anda terganggu).
Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada
teman-teman mereka, ahli kesehatan masyarakat. ”Kami cukup mengobati mereka
yang sakit. Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan, bisa-bisa kita dituding
mengambil lahan kerja mereka”. Begitu barangkali yang ada dalam benak para
dokter. Padahal sangat jelas bahwa para dokter pun diharapkan partisipasi aktifnya
dalam program pencegahan penyakit, bahkan mulai pada tahap awal dari five level
prevention, yaitu promosi kesehatan.
Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila
belakangan ini. Seorang dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi
atau akan dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah semakin kritis- tentang jati
dirinya sebagai seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter tidak mengerti tentang
perkembangan jaman, walaupun dokter itu baru saja kembali dari daerah terpencil
yang harus didiaminya selama dua-tiga tahun. Teknologi modern adalah suatu
keharusan. Salah satu hal yang dapat memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan
bersekolah kembali, dan yang menjadi prioritas tentunya pendidikan spesialisasi.
Ikut pendidikan dokter spesialis tentunya akan membuat para dokter akan terus-
menerus berhubungan dengan perkembangan teknologi karena pusat pendidikan
berada di kota-kota besar. Tentu saja kita tidak dapat menyalahkan dokter yang
berniat meneruskan minatnya pada ilmu tertentu. Ditopang oleh kecenderungan
masyarakat yang selalu mengandalkan dokter spesialis dan bertindak merujuk
dirinya sendiri langsung kepada seorang ahli, serta adanya jaminan income yang
lebih menjanjikan, membuat mereka berlomba-lomba meraih gelar tersebut.
Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter
merasa terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan perasaan
pasiennya? Tidak cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan pasien-pasiennya dan
meringankan derita fisik mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di sekelilingnya,
toh mereka mempunyai kehidupan masing-masing yang tidak memerlukan campur
tangan batinnya, selama dia tidak merugikan mereka. This is our own life, marilah
kita jalani sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu. Kita sendiri yang akan
mempertanggungjawabkan kehidupan kita kelak. Ini betul. Tapi apakah memang
semuanya harus berjalan demikian? Betulkah semata-mata tangan dingin sang
dokter saja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah pasiennya? Mari kita
lihat bagaimana humaniora memandang kehidupan seorang dokter.
Humanisme dan etika dalam praktik kedokteran
Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia
dan humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang
sedang sakit, kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan berupa
saran/nasihat dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di antara para
warga merespon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak memiliki motif
yang berkaitan dengan uang dalam memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar
belas kasih.
Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta,
tabib dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa
penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang dilakukan dengan perantaraan
tuhan atau makhluk supernatural atau manusia lain. Motif mereka dalam
menyembuhkan orang sakit mungkin tidak sepenuhnya untuk kepentingan orang
sakit tersebut karena mereka memperoleh keuntungan dalam tatanan sosial atas
bantuan tersebut, disamping adanya kekuasaan dan otoritas yang diberikan pada
mereka dalam masyarakat.
Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa
masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap
penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Dokter praktik dan spesialis saat ini memiliki hubungan dokter-pasien ’one-to-one’
yang unik dan sangat pribadi, melibatkan kepatuhan, ketergantungan, dan
kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas, pengetahuan dan keterampilan
dokternya. Dengan otoritas tersebut terciptalah unsur kewajiban sosial untuk
melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan bergantung kepada
kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti
yang kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter kerajaan
yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman itu dianggap tidak berdarah
murni dan tidak pernah diundang pada acara-acara sesajian untuk dewa-dewa. Kasta
Brahmana tidak seharusnya menerima makanan dari seorang dokter karena
dianggap najis/kotor (Rao & Radhalaksmi,1960). Pada masa kekaisaran Roma,
dokter adalah pekerja berat, orang liar, orang asing, dan pengobatan dianggap
sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18, dokter bedah dan ahli obat-obatan
dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas pinggiran. Bahkan sekurangnya di
abad 19, dokter di Perancis sangat miskin dan statusnya juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan
kemampuan para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal, bermula
di akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah statusnya dari sekedar
tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan dengan itu kekuasaan
dan martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya hingga di abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter
sebuah profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua
yang ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi melalui pelatihan
termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan tukang. Profesi
kedokteran selanjutnya menyusun lembaga profesi struktural (asosiasi, publikasi,
sekolah kedokteran yang dapat dikontrol) dan bertujuan memberikan pelayanan
yang humanistik kepada masyarakat untuk kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal
dan berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus
dicatat, bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan secara profesional
dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan dengan aspek humanistik.
Pola praktik dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya pelayanan
tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia
dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian seperti yang masih
terdapat di negara-negara berkembang di beberapa daerah dan desa yang miskin. Ini
adalah masa dokter pedesaan atau dokter ‘kuno’ atau dokter keluarga yang
mengetahui dengan baik keluarga tersebut, berkeliling ke rumah-rumah, dan
bertindak sebagai ‘teman dan penuntun yang dapat dipercaya’, di samping merawat
orang-orang sakit dalam keluarga itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19
membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak dokter
menetap di daerah kota untuk berpraktik. Hilangnya dokter pedesaan atau dokter
keluarga memulai timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di rumah-rumah sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktik di negara-negara industri
berubah sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktik mandiri,
sekarang kebanyakan dokter praktik berkelompok di bawah persetujuan formal
penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan pendapatan
didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan melibatkan personalia kesehatan.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya
adalah meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri
medis yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat
dokter berpraktik mandiri. Manager di bidang kesehatan ini – ekonom dan CEO
(pejabat eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis praktik pelayanan dan
jenis organisasi dibandingkan para dokter. Harga-harga obat melambung dan
penggunaan peralatan medis yang canggih berkonsekuensi dengan pembayaran
yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter bergantung pada teknologi semata,
semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya, yang berujung pada ‘pelayanan
dehumanisasi’. Hal tersebut ditambah dengan ketakutan akan tuntutan malapraktik,
dokter membayar asuransi untuk dirinya, yang tentu berdampak pada pasien
sehingga biaya layanan kesehatan semakin tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan
pada aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik
dan humanistik sang dokter.
Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah
film bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada kritik sang
pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: “Anda bahkan tidak melihat
kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka” dan saat dia berbicara melawan
Badan Medis: “Kematian bukanlah musuh, saudara-saudara, tapi sebuah kelalaian.
Anda menangani penyakit, hasilnya kalah atau menang. Anda menangani pasien,
anda akan menang bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter
yang betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak
menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena saya
mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan penuh
perasaan. Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita saksikan. Banyak dokter
melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama, tapi yang
kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah dokter melayani
pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya. Menampakkan pengertian
akan derita pasiennya dan tidak semata-mata memburu apa yang menjadi diagnosis
agar pengobatannya tepat dan pasien ini segera menyingkir dari kehidupannya yang
cukup sibuk. Dengan kata lain, hubungan yang tercipta berlatar ‘patient-oriented’,
bukan ‘disease-oriented’ sehingga dokter bisa memberikan penanganan yang
bersifat holistik.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan
humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan
dokter yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan sikap
menerima dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan.
Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana yang lebih
Anda sukai, ditangani oleh dokter yang berwajah dingin yang sibuk meneliti
penyakit Anda atau oleh dokter yang menunjukkan perasaan kasih akan tiap
keluhan Anda.