Referat TON
Referat TON
PENDAHULUAN
1
2. Tujuan Khusus :
Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat
mengikuti ujian kepanitraan klinik senior (KKS) di bagian Mata
RSUD Palembang Bari.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 1. Empat regio saraf optik. (Dikutip dari : Steinsapir KD,
Goldberg RA. Traumatic Optic Neuropathies. In Miller NR, Newman
NJ, editors. Walsh & Hoyt's Clinical Neuro-Ophtalmology, 6th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 431 - 446.)
1. Regio Intraokular
Puncak saraf optik adalah tempat berawalnya penyakit
kongenital maupun penyakit okular yang didapat. Bagian anterior
dapat dilihat dengan pemeriksaan oftalmoskopi sebagai optic disc.
Strukturnya berbentuk oval dengan ukuran horizontal 1,5 millimeter
dan vertikal 1,75 millimeter. Berbentuk cekung dengan dua pembuluh
darah yang melewati titik pusatnya, yaitu arteri retina medial dan vena
retina medial. Bagian ini dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu1 :
a. Lapisan fiber superfisial
b. Area prelaminar
c. Area laminar
d. Area retrolaminar
4
2. Regio Intraorbital
Regio intraorbital terdiri dari 2 bagian, yaitu1:
a. Annulus of Zinn
b. Meningeal Sheaths
Gambar 2. Meningeal Sheaths (Dikutip dari: Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS.
Fundamentals and Principles of Ophtalmology Singapore: American Academy of
Ophtalmology; 2012.)
3. Regio Intrakanalikular
Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh
pial yang merupakan percabangan dari arteri oftalmika.Saraf optik dan
araknoid yang mengelilinginya terhubung ke kanal periosteum.
4. Regio Intrakranial
Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di atas
arteri oftalmika dan arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga
melintasi saraf optik dimana arteri komunikans anterior juga akan saling
berhubungan sehingga membentuk sirkulus Willisi. Kemudian saraf optik
melintas kearah posterior melewati sinus kavernosus dan mencapai
kiasma optikum.
5
Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang
berakhir di korpus genikulatum lateralis. Dari daerah ini keluar jalur
genikulokalkarin yang melewati setiap korteks penglihatan primer.
Kiasma optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki vaskularisasi
yang sangat banyak. Ukuran kiasma optikum diperkirakan memiliki lebar
12 millimeter dan panjang 8 millimeter pada daerah anteroposterior
dengan ketebalan 4 millimeter.1
6
intrakranial disuplai oleh cabang utama dari arteri oftalmika dan arteri
karotis interna.1
7
Gambar 5. Visual Pathway (Dikutip dari : Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's
General Ophtalmology. 17th ed. New York:Lange; 2007)
1. Retina
Segmen posterior retina mentransduksikan gambar fotokimia
elektromagnetik menjadi rangsangan impuls. Dimana pada retina
terdapat sel batang yang memiliki jumlah sekitar 80 – 120 juta sel dan
menyebar diseluruh retina kecuali fovea dan sel kerucut yang memiliki
jumlah 5 – 6 juta sel dengan penyebaran hanya terpusat pada fovea yang
memiliki kemampuan untuk mengubah impuls fotokimia menjadi
impuls saraf. Ketiadaan kedua sel ini di optic disc menghasilkan daerah
yang disebut sebagai titik buta (physiologic scotoma) yang terletak
sekitar fovea. Sel kerucut dibagi menjadi 3 sub bagian berdasarkan
keadaan pigmen yang masing-masing sensitif terhadap gelombang
warna merah, hijau atau biru.
Signal retina yang berasal dari sel batang dan sel kerucut diproses
pertama kali melalui sel bipolar yang menghubungkan reseptor cahaya
ke sel ganglion. Kebanyakan sel ganglion dapat dibagi menjadi sel
8
parvocellular (Sel P) dan sel magnocellular (Sel M). Sel P sangat lemah
terhadap interpretasi warna dan mempunyai lapangan reseptor yang
kecil dan sensitivitas kontras yang lemah. Sementara sel M memiliki
lapangan reseptor yang luas dan lebih responsif terhadap cahaya dan
pergerakan. Neurotransmitter yang didapati pada retina adalah glutamat,
asam gamma-aminobutirat (GABA), asetilkolin dan dopamine.1,20
2. Saraf optik
Secara fisiologis, saraf optik dimulai dari lapisan sel ganglion
yang menyelubungi seluruh retina. Akson darisaraf optik tergantung dari
produksi metabolik badan sel ganglion retina. Transpor aksonal baik
molekul maupun sistem ekstra dan intraseluler memerlukan oksigen
yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan sistem transpor aksonal sangat
sensitif terhadap kejadian iskemik, inflamasi, dan proses kompresi.20
3. Kiasma optikum
Setelah melewati saraf optik, maka impuls sensoris akan
diteruskan melewati kiasma optikum yang berada dibagian anterior dari
hipotalamus dan dibagian anterior dari ventrikel 3. Dibagian ini akan
terjadi persilangan impuls dari kedua mata baik yang berasal dari daerah
medial maupun lateral.20
4. Traktus optikus
Lateral geniculate nucleus merupakan terminal dari akson yang
berasal dari sel ganglion retina. Bagian ini berada dibawah talamus
posterior. Dibagi menjadi 6 tingkat, yaitu 4 level tertinggi adalah
terminal untuk akson sel P yang mana hal ini untuk meningkatkan
sensitivitas dari sel P. Dua tingkat dibagian bawah merupakan bagian
untuk menerima impuls dari sel M untuk mendeteksi gerakan. Akson
yang berasal dari mata kontralateral memiliki terminal di lapisan 1,4 dan
6. Sedangkan dibagian kolateral berujung pada lapisan 2,3 dan 5.20
9
Gambar 6. Defek visual akibat kerusakan bagian-bagian jalur visual (Dikutip dari : Riordan-Eva
P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology. 17th ed. New York: Lange; 2007.)
5. Korteks
Mengikuti sinaps pada nukleus genikularis lateral, akson melintas
kebelakang sebagai radiasi optik di korteks penglihatan primer di dalam
lobus oksipital. Korteks penglihatan primer (area Broadmann 17)
tersusun horizontal sepanjang kalkarin yang membagi permukaan
medial lobus oksipital. Penyebaran optik pada korteks penglihatan
primer berada pada lapisan ke 4 dari 6 lapisan korteks. Lapisan ini yang
disebut sebagai lamina granularis interna lebih lanjut dibagi menjadi 3
bagian kecil yaitu 4A, 4B dan 4C. Input sel P secara umum berada pada
bagian 4C bagian bawah dan input sel M berada pada bagian 4C bagian
atas.20
10
2.4. Definisi Neuropati Optik Traumatika
Neuropati optik traumatika adalah cedera akut pada saraf optik akibat
trauma sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan penglihatan
bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai
kerusakan saraf optik.2,3,4,9,10,16,18
Cedera saraf optik dibagi menjadi cedera langsung dan cedera tidak
langsung berdasarkan mekanisme trauma. Cedera langsung adalah cedera
terbuka dimana objek eksternal menembus jaringan lunak sehingga
membentur saraf optik. Cedera tidak langsung terjadi ketika gaya tumbukan
melewati tulang tengkorak dan mencapai saraf optik.Nilai prognosis
berdasarkan kedua klasifikasi ini masih belum jelas. Umumnya berdasarkan
perjalanan kejadian, cedera langsung pada saraf optik dihubungkan dengan
jeleknya kemampuan.2,6
Cedera saraf optik juga bisa diklasifikasikan secara anatomis. Cedera
yang melibatkan bagian anterior dimana arteri retina media memasuki saraf
optik sehingga menimbulkan kelainan pada sirkulasi retina yang
berhubungan dengan kelihatan kemampuan melihat. Turbulensi pada
sirkulasi retina dapat berhubungan dengan perdarahan orbital yang
mengganggu saraf optik. Sedangkan cedera yang melibatkan daerah
posterior, berada dibelakang tempat masuk arteri retina media dan tempat
keluarnya vena retina media. Cedera anterior mengganggu sirkulasi retina,
sedangkan cedera posterior tidak menyebabkan kelainan sirkulasi apapun.2,6
2.5. Etiologi
Neuropati optik traumatika berhubungan dengan cedera deselarasi
disertai dengan gaya yang besar. Umumnya diasosiasikan dengan trauma
wajah.Pada sebuah penelitian dengan 28 sampel yang telah di diagnosa
dengan neuropati optik traumatika, didapati 20 kasus akibat dari kecelakaan
berkendara (71,4%), perkelahian sebanyak 5 kasus (17,9%) dan terjatuh
sebanyak 3 kasus (10,7%). 2,3,4,6,9,18
11
2.6. Epidemiologi
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab tersering, sekitar 17 – 63%
kasus ini. Dari penelitian yang melibatkan 101 pasien dengan trauma kepala
setelah kecelakaan mengendarai sepeda motor, terdapat 18 kasus neuropati
optik traumatika (18%). Kemudian penyebab berikutnya adalah terjatuh,
benturan di kepala, penganiayaan, luka tusuk, luka tembak dan pembedahan
sinus dengan mengunakan endoskopi.2,18
Di Amerika Serikat, 0,5 – 5% kasus trauma kepala tertutup juga
disertai dengan adanya neuropati optik traumatika dan 2.5% dari pasien
dengan fraktur midfacial. Angka kejadian TON diseluruh dunia sangat
bervariasi yang didasari sebanyak apa penyebab utamanya terjadi, seperti
kecelakaan lalu lintas dan perkelahian. Insidensi trauma optik tidak langsung
di benua Eropa dilaporkan 0,7 – 5% dengan kasus kurang dari 40 kejadian.
Kejadian TON dilaporkan memiliki angka insidensi lebih tinggi dinegara
berkembang. Kasus TON paling sering dijumpai pada laki-laki sebanyak
85% dengan usia rata-rata 34 tahun.3,6,10,18
12
ion kalsium akan memasuki kompartemen intraselular, sehingga
meningkatkan konsentrasi ion kalsium intraselular dimana ion ini memiliki
sifat seperti toksin metabolik yang akan menyebabkan kematian sel. Sel
polimorfonuklear akan muncul secara dominan pada hari pertama dan kedua
setelah trauma. Setelah itu akan digantikan oleh makrofag pada hari ke 5
sampai ke-7. Ketika sel polimorfonuklear menyebabkan kerusakan sel yang
cepat, sedangkan makrofag menyebabkan terhambatnya kerusakan jaringan,
demyelinisasi dan gliosis.2,6,7,10
Kedua mekanisme ini pada akhirnya akan menyebabkan vasospasme
dan pembengkakan saraf optik. Hal ini diperberat dengan ketidakmampuan
dinding kanal optik untuk meluas sehingga akan memperburuk terjadinya
iskemia dan kerusakan akson.2,6,7,10
Beberapa penelitian tentang cedera saraf optik dan trauma sistem saraf
pusat mendukung perbedaan antara mekanisme cedera primer dan sekunder.
Iskemia merupakan hal yang sangat penting dalam cedera sekunder akibat
trauma. Iskemi parsial dan reperfusi dari area iskemia sepintas menghasilkan
radikal bebas yang nantinya akan menyebabkan kerusakan reperfusi. 2,7,10
Sebuah penelitian tentang pengamatan efek trauma pada saraf optik,
yaitu sel mikroglial retina melalui sistem Mitogen-activated protein (MAP)
Kinase meningkatkan efek sitotoksik sehingga menyebabkan kematian sel
ganglion retina. Dalam keadaan stres, konsentrasi adenosin ekstraselular
yang dicurigai meningkatkan jalur anti inflamasi. Namun dalam keadaan
neuropati optik traumatika, akumulasi dari adenosin ekstraseluler ini
ditranportasikan kedalam intraseluler melalui melalui equilibrative
nucleoside transporters yang mana menyebabkan konversi MAP oleh
adenosin kinase sehingga konsentrasi adenosin ekstraseluler menjadi rendah.
Hal ini kemudian akan menyebabkan efek anti inflamasi akan menjadi
berkurang.17
13
2.8. Diagnosis
Penegakan diagnosa neuropati optik traumatika dapat dilakukan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2,6,18
1. Anamnesa
Penegakan diagnosis dari neuropati optik traumatika didasarkan
atas adanya riwayat trauma. Trauma saraf optik sebaiknya tidak
digunakan jika kemampuan penglihatan dan fungsi pupil masih dalam
keadaan normal. Apabila dijumpai kesadaran menurun, anamnesa
dilakukan kepada orang lain yang berada di dekat penderita pada saat
kejadian atau mereka yang mengantar penderita ke rumah sakit. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan mekanisme trauma yang jelas.
Kemungkinan terpapar benda berbahaya juga harus dipertimbangkan.
Riwayat kelainan mata harus ditelaah untuk mengetahui penyebab pasti
kehilangan kemampuan penglihatan memang disebabkan oleh trauma.
Demikian juga dengan penggunaaan obat-obatan, pengobatan, dan alergi
obat. Luka terbuka menimbulkan risiko tetanus dan riwayat imunisasi
tetanus juga harus ditelaah.2,6
2. Pemeriksaan Fisik
A. Visus
Penilaian visus merupakan langkah paling mudah dan paling
penting dalam menentukan fungsi visual. Visus merupakan
kemampuan untuk membedakan bagian suatu objek dan
mengidentifikasinya secara utuh. Penilaian visus dapat menggunakan
beberapa cara, yaitu dengan menggunakan Snellen Chart dan Bailey-
Lovie Chart. Pemeriksaan ini dilakukan dalam jarak baku, yaitu jarak
antara chart dan pasien dalam jarak 6 meter. Kemudian pasien
diminta untuk membaca setiap baris huruf yang ada.
Nilai visus pada trauma saraf optik tidak langsung sering kali
menurun dengan sangat signifikan.Pada penelitian dengan 56 kasus,
semuanya dengan ketidakmampuan untuk melihat setelah terjadinya
trauma saraf optik tidak langsung. Penilaian visus sangat penting
untuk dilakukan pada pasien trauma optik.21,22
14
B. Pupil
Pada kasus neuropati optik traumatika unilateral, ditemukan
kondisi yang memungkinkan untuk ditegakkan diagnosis neuropati
optik traumatika yaitu adanya defisit pupil aferen. Defek pupil aferen
dapat dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan filter fotografik
densitas normal. Neuropati optik traumatika dapat terjadi unilateral
ataupun bilateral. Ditandai dengan adanya relative afferent pupillary
defect (RAPD) dalam kasus TON bilateral yang simetris. 2,6,18
C. Warna
Pada pemeriksaan ini minta pasien untuk melihat objek
berwarna merah dengan satu mata secara bergantian. Objek ini dapat
dilihat dan diinterpretasikan secara berbeda pada mata yang
bermasalah. Dapat dilihat sebagai warna hitam ataupun coklat.
Pemeriksaan warna dilakukan untuk menilai sel kerucut yang
masing-masing mempunyai sensitivitas spesifik untuk setiap
gelombang warna yaitu warna biru, merah dan hijau. Pemeriksaan ini
umumnya dilakukan untuk menilai defek kongenital pada ketiga sel
tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan pada
defek warna yang didapat. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu dengan
cara Ishihara, Hardy-Rand-Rittler, City University dan Farnsworth-
Munsell 100-hue. Dimana dari keempat pemeriksaan ini, Farnsworth-
Munsel 100-hue merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk
defek kongenital maupun defek yang didapat, termasuk akibat trauma
optik.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara red
desaturation. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan
membandingkan persepsi warna merah dikedua mata pada satu
waktu. Pada kasus neuropati optik, kemampuan ini dapat berkurang
sampai 50%.21,22
15
D. Lapangan Pandang
Tes lapangan pandang dilakukan pada pasien dengan kesadaran
baik dan mampu berkoordinasi dengan baik. Meskipun tidak ada
patognomonik defek lapangan pandang sebagai diagnosis dari trauma
saraf optik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk monitoring dari masalah
oftalmologi dan neurologis. Pada kasus trauma optik umumnya dapat
ditemukan defek lapangan pandang.6,22
E. Sensitivitas Kontras
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur nilai minimal
kontras yang diperlukan untuk melihat suatu objek. Hal ini
diperlukan untuk mendeteksi disfungsi penglihatan dini bahkan jika
nilai visus berdasarkan snellen chart dalam batas normal.Umumnya
pemeriksaan ini dilakukan dengan bagan Pelli-Robson, Vistech
ataupun bagan Cambridge.21,22
F. Pemeriksaan Segmen Posterior
Sebelum dilakukan pemeriksaan oftalmoskopi, sebaiknya
diakukan palpasi pada pinggiran orbita untuk mengetahui apakah
terdapat fraktur. Pembengkakan periorbital kemungkinan
bisa.menutupi adanya proptosis.
Tahanan tekanan kebelakang bola mata pada saat dilakukan
tonometri dapat dengan cepat mengetahui adanya perdarahan
dibelakang orbita. Pembengkakan alis dapat meningkatkan kesulitan
pemeriksaan oftalmologi.
Pemeriksaan fundus yang adekuat akan dapat menilai kelainan
sirkulasi retina. Avulsi komplit dan parsial dari ujung saraf optik
dapat menimbukan cincin perdarahan ditempat cedera dengan
tampilan deep round pit. Cedera anterior antara bola mata dan dimana
arteri retina media memasuki saraf optik menimbulkan gangguan
pada sirkulasi retina, termasuk obstruksi vena dan traumatic anterior
ischemic optic neuropathy.
Perdarahan pada selubung saraf optik posterior sampai ke
sumber pembuluh darah retina menghasilkan sirkulasi retina yang
16
masih intak, namun menyebabkan pembengkakan pada ujung saraf
optik. Papilledema bisa dilihat pada kejadian dengan peningkatan
tekanan intraakranial walaupun dijumpai neuropati optik
traumatika.2,6 Pemeriksaan segmen posterior dapat dilakukan
dengan menggunakan slit-lamp biomicroscopy, direct ophtalmoscope
dan indirect ophtalmoscope. Pemeriksaan dengan menggunakan
slit-lamp merupakan pemeriksaan terbanyak yang dilakukan saat
ini.2,6
G. Tonometri
Tonometri adalah sebuah pemeriksaan objektif untuk menilai
tekanan intraokular yang didasarkan pada banyaknya tenaga yang
dibutuhkan untuk meratakan kornea. Pemeriksaan tonometri dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik Goldmann.22
17
untuk menilai trauma kiasma. Terkadang kedua pemeriksaan ini
diperlukan secara bersamaan untuk menilai keadaan klinis. Namun,
MRI harus dilakukan setelah CT scan untuk menghindari apabila ada
benda asing yang mengandung logam di daerah orbital.
Penggunaan teknik imaging non invasif berupa optical coherence
tomography (OCT) memberikan gambaran resolusi tinggi dan melintang
dari retina manusia. Digunakan untuk memperkirakan ketebalan lapisan
retina. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan kerusakan akson dari
lapisan fiber saraf retina dan makula pada kasus glaukoma dan cedera
saraf optik.2,9,10,19
2.11. Tatalaksana
Penanganan neuropati optik traumatika dapat dilakukan dengan
terapi farmakologi maupun terapi pembedahan. Dalam sebuah penelitian
mengenai neuropati optik traumatika melaporkan bahwa 0-48% kasus
mempunyai prognosis yang baik tanpa pengobatan, 44-82% mengalami
perbaikan dengan pengobatan steroid dosis tinggi dan 37-71% mengalami
perbaikan dengan terapi pembedahan untuk dekompresi dari saraf optik.2,18
1. Konservatif
Penanganan trauma optik neuropati belakangan ini dilakukan
hanya dengan pendekatan konservatif. Di Inggris, ditemukan bahwa
65% oftalmologis melakukan hal ini, dengan mempertimbangkan
perbaikan visus dan kemampuan penglihatan.18
2. Farmakologi
Dalam beberapa dekade belakangan, penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi dalam kasus-kasus trauma merupakan pilihan utama. Hal
ini berdasarkan pada kerja kortikosteroid yang menurunkan angka
sintesis protein. Sehingga nantinya diharapkan radikal bebas yang
secara patologis dapat merusak sel-sel tubuh dapat dicegah.
Penggunaan kortikosteroid ini mulai dilakukan sejak tahun 1980
18
berdasarkan hasil penelitian yang mengemukakan bahwa obat ini
memiliki sifat antioksidan dan penghambat munculnya radikal bebas.
Penelitian yang telah dilakukan dalam memperkenalkan
penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam neuropati optik
traumatika didasarkan dari efek yang bermanfaat yang didapati pada
penelitian eksperimental cedera sistem saraf pusat. Dalam hal ini,
kombinasi pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan pembedahan
memberikan hasil yang baik pada penderita neuropati optik
traumatik. Pemberian kortikosteroid yang dianjurkan untuk pertama
kali adalah deksametason dengan dosis 3 – 5 mg per kilogram berat
badan perhari. Namun sejumlah penelitian tidak menunjukkan baik itu
terapi kortikosteroid dosis tinggi, pembedahan maupun kombinasi
kortikosteroid dosis tinggi dengan pembedahan menunjukkan
penanganaan yang lebih baik satu sama lain. Penelitian dengan
menggunakan metilprednisolon intravena dengan pemberian 1 gram
selama 3 hari pada pasien dengan trauma optik neuropati terbukti
efektif dalam meningkatkan visus penderita.
Pada sebuah penelitian dengan lebih dari 10.000 orang dewasa
yang mengalami cedera kepala dan dengan Glasgow Coma Score
dibawah 14, diarahkan untuk mendapatkan 48 jam infus kortikosteroid
(metilprednisolon). Hasil yang didapatkan ternyata memiliki
kemunduran kemampuan visual dibandingkan dengan kelompok yang
tidak mendapatkan terapi sama sekali.
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi pada kasus TON dalam 8
jam pertama setelah cedera dan dekompresi pembengkakan saraf optik
oleh karena penekanan akibat fragmen tulang untuk menunda
kehilangan kemampuan penglihatan memiliki efek yang sangat
diminati. Beberapa penanganan yang masih dalam tahap penelitian
adalah dengan menggunakan penyekat glutamat, kristalin, pemicu
pertumbuhan saraf, nitrit oksida, TNF-α Inhibitor dan neuroprotektor.
Penyekat glutamate. 2,4,5,7,14,18
19
3. Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika terjadi penurunan kemampuan
penglihatan setelah dilakukan pemberian kortikosteroid dosis
tinggi.Namun penanganan dengan pembedahan masih menjadi terapi
empiris untuk neuropati optik traumatika. Tindakan orbitotomi lateral
dilakukan sebagai tindakan dekompresi saraf optik. Penelitian yang
telah dilakukan, tindakan ini dengan jelas mempengaruhi nilai visus
dan pergerakan bola mata setelah operasi. Juga tidak ditemukan
adanya kelainan klinis ataupun efek samping dari tindakan ini pada
penelitian tersebut.2,8
2.12. Prognosis
Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada 35 pasien dengan
diagnosa neuropati optik traumatika, dijumpai pada 23 pasien bahwa
faktor yang memperburuk outcome penglihatan (nilai visus) adalah jika
terdapat perdarahan pada etmoid posterior, usia di atas 40 tahun,
kehilangan kesadaran dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
kortikosteroid dosis tinggi dalam 48 jam sejak kejadian.23
20
BAB III
KESIMPULAN
Neuropati optik traumatika adalah cedera akut pada saraf optik akibat
trauma sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan penglihatan bersamaan
dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai kerusakan saraf
optik. 2,3,4,9,10,16,18
Diagnosis ditegakkan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik
ataupun dengan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, penegakan diagnosis
dari neuropati optik traumatika didasarkan atas adanya riwayat trauma.
Pemeriksaan visus, pupil, tes warna, tes lapangan pandang, sensitivitas kontras,
segmen posterior dan tonometri harus dilakukan untuk mengetahui apakah
terdapat kelainan saraf optik.Pemeriksaan dengan menggunakan pencitraan
radiologis merupakan pilihan terbaik untuk melihat adanya cedera pada saraf
optik. Computed Tomography (CT) scan dan Magneting Resonance Imaging
(MRI) memiliki efek yang sangat bagus dalam mendiagnosa trauma optik. CT
scan dalam kejadian neuropati optik traumatika memperlihatkan implikasi
patologis spesifik dalam fungsi saraf optik, termasuk hematoma selubung saraf
optik dan dugaan kista araknoid. 2,6,9,10,22,23
21
DAFTAR PUSTAKA
10. Lee KF, Nor NIM, Yaakub A, Hitam WHW. Traumatic Optic Neuropathy: A
Review of 24 Patients. International Journal of Ophtalmology. 2010 June;
3(2).
11. Huang JJ, Chen WK, Chuang CM, Cheng YC, Ng KC. Traumatic Optic
Neuropathy in Two Patients With Different Manifestations and Outcomes.
Taiwan Medical Journal. 1999 February.
12. Yanoff M, Duker JS. Yanoff & Duker Ophtalmology. 3rd ed.: An Expert
Consult Title; 2008.
13. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007.
14. Awan AH. Traumatic Optic Neuropathy. Pak J Ophthalmol. 2007; 23(2).
22
15. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology.
17th ed. New York: Lange; 2007.
16. Kuo MT, Teng ICLMC. Serial Follow-Up in Traumatic Optic Neuropathy
Using Scanning Laser Polarimetry and Visual Field Testing. Chang Gung
Medical Journal. 2005 August; 28(8).
19. Cunha LP, Cunha LVFC, Malta RFS, Monteiro MLR. Comparison Between
Retinal Nerve Fiber Layer and Macular Thickness Measured with OCT
Detecting Progressive Axonal Loss Following Traumatic Optic Neuropathy.
Arq Bras Oftalmol. 2009; 72(5).
20. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Neuro-Ophtalmology Singapore: American
Academy of Ophtalmology; 2012.
22. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American
Handbook of Ophtalmology. 1st ed. New York: Oxford University Press;
2011.
23