Anda di halaman 1dari 4

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka pada tahun 1892 dan merupakan
prasasti kerajaan Sriwijaya yang pertama ditemukan. Tulisan terpahat secara vertikal
dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Pada baris terakhir terdapat
keterangan mengenai tarikh pembuatan prasasti yang menunjukkan angka tahun 608
Saka atau 686 Masehi. Peneliti pertama yang menganalisis prasasti ini adalah Hendrik
Kern. Saat itu Ia masih menganggap bahwa Sriwijaya yang tercantum dalam prasasti
tersebut adalah nama seorang raja.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh George Coedes yang mengungkapkan bahwa


Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan. Penemuan ini menarik perhatian para sarjana
sejarah yang waktu itu banyak memusatkan perhatiannya kepada Jawa. Karena letaknya
yang sangat ideal untuk lalu lintas pelayaran Jawa, India, Arab, dan Cina maka sejarah
Sriwijaya menyangkut hubungan internasional yang menggunakan selat Malaka sebagai
jalur lalu lintas perdagangan.

Seperti halnya prasasti Telaga Batu, Kota Kapur, Karang Berahi, dan Palas Pasemah,
Prasasti Kota Kapur berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang menentang raja
Sriwijaya. Sangat mungkin semua prasasti tersebut dibuat pada masa raja yang sama.
Dari keempat prasasti tersebut, hanya prasasti Kota Kapur yang memuat angka tahun
namun tidak menyebutkan nama raja. Untuk mengetahui siapa nama raja yang
berkuasa, bisa dibandingkan dengan prasasti lain yang memuat tahun berdekatan.

Dalam prasasti Talang Tuo yang dipahat tahun 684 M disebutkan bahwa raja Sriwijaya
Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra. Jika antara tahun
682 dan 684 tidak ada pergantian raja, maka kiranya dialah raja Sriwijaya yang
dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.

Pada baris terakhir prasasti Kota Kapur tercantum keterangan mengenai tarikh
pembuatan prasasti dan rencana perluasan wilayah ke bhumi Jawa. Coedes berpendapat
bahwa saat prasasti ini dibuat, tentara Sriwijaya baru saja berangkat untuk berperang
melawan Jawa. Adapun kerajaan yang diserang menurutnya yaitu kerajaan Taruma, yang
sejak tahun 666-669 M tidak terdengar mengirimkan utusan lagi ke Cina.

Jika pendapat Coedes tersebut benar, rupanya raja Sriwijaya khawatir kalau-kalau timbul
pemberontakan dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya pada saat tentara Sriwijaya sedang
dikerahkan menyerbu Pulau Jawa. Sebagai tindakan preventif, raja Sriwijaya
mengeluarkan peringatan tegas di wilayah kekuasaannya.
Membaca isi prasasti persumpahan di atas, dapatlah dibayangkan bahwa raja Sriwijaya
merupakan seorang politikus ulung. Sebelum dia melancarkan perluasan wilayah ke
mancanegara, stabilitas dalam negeri sangat diperhatikan. Sudah tentu prasasti-prasasti
persumpahan itu ditempatkan di negeri-negeri yang memungkinkan timbulnya
pemberontakan.
Prasasti Kota Kapur

The Kota Kapur Inscription was found on Bangka Island in 1892 and was the first
Srivijaya royal inscription discovered. The writing is carved vertically in the Pallawa script
in Old Malay. In the last line there is a description of the date of the making of the
inscription as 608 Saka or 686 CE. The first researcher to analyze this inscription was
Hendrik Kern. At that time, he still considered that the Srivijaya referenced in the
inscription was the name of a king.

A different opinion was expressed by George Coedes who revealed that Srivijaya was
the name of a kingdom. This discovery attracted the attention of historical scholars who
had been mainly focused on Java. Because of its ideal location for Javanese, Indian,
Arabic and Chinese shipping traffic; Sriwijaya's history concerns international relations
using the Malacca Strait as a trade traffic lane.

Like the Telaga Batu, Karang Berahi, and Palas Pasemah Inscriptions, the Kota Kapur
Inscription contains a curse and threat for those who oppose the Srivijaya king. Very
likely all of these inscriptions were made during the same king's reign. Of the four
inscriptions, only the Kota Kapur inscription contains the date, but does not mention the
name of the king. To determine the name of the king who was in power, comparison is
made with other inscriptions that contain adjacent years.

In the Talang Tuo inscription carved in 684 CE it is mentioned that the Sriwijaya king
Dapunta Hyang Sri Jayanasa ordered the construction of the Sriksetra Park. If between
682 and 684 there was no change of king, then he would have been the Srivijaya king
who was meant in the inscription of Kedukan Bukit.

The last line of the Kota Capur inscriptions includes information about the date of the
making of the inscription and plans for expansion into Javanese territory. Coedes argued
that when this inscription was made, the Srivijaya army had just departed to fight
against Java. The kingdom that was attacked according to him was the Taruma
kingdom, which since 666-669 CE was not recorded as sending envoys to China.

If Coedes's opinion is correct, it seems that the Srivijaya king was worried that a
rebellion would arise within the territory of Srivijaya while the Srivijaya army was being
deployed to invade Java. As a preventive measure, the Srivijaya king issued a firm
warning in his territory.

Reading the contents of the swears above, it is conceivable that the king of Srivijaya was
an accomplished politician. Before he launched regional expansion abroad, domestic
stability was very much considered. Of course the swears were placed in countries that
were potentially rebellious.

Anda mungkin juga menyukai