Anda di halaman 1dari 5

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagian atas,
terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di
bagian bawah. Tulisan pada permukaan prasasti terdiri dari 10 baris yang ditulis secara vertikal
dalam aksara Pallawa Akhir dan berbahasa Melayu Kuno. Jika prasasti diposisikan berdiri maka
pembacaan dimulai dari atas ke bawah sedangkan bila dalam posisi tidur tulisan dibaca dari kiri
ke kanan. Pada baris terakhir tercantum keterangan mengenai tarikh pembuatan prasasti yang
menunjukkan angka tahun 608 Saka atau 28 April 686 Masehi.

Prasasti Kota Kapur dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember
1892 di dekat sungai Menduk, pantai barat Pulau Bangka, Desa Penagan, Kecamatan Mendo
Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Prasasti ini merupakan prasasti
kerajaan Sriwijaya yang pertama kali ditemukan jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit yang baru
ditemukan di Palembang pada tanggal 29 November 1920, dan Prasasti Talang Tuwo yang
ditemukan beberapa hari sebelumnya yaitu pada tanggal 17 November 1920.

Kata Sriwijaya pertama kali ditemukan dalam prasasti Kota Kapur. Berdasarkan prasasti inilah
pengetahuan sejarah Sriwijaya bermula setelah para ahli melakukan penelitian terhadap isi
tulisannya. Peneliti pertama yang menganalisis prasasti ini adalah Johan Hendrik Caspar Kern,
seorang ahli epigrafi berkebangsaan Belanda. Dalam artikelnya “De Inscriptie van Kota Kapur”
(1913), Kern masih menganggap bahwa Sriwijaya yang tercantum dalam prasasti tersebut adalah
nama seorang raja karena Sri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja diikuti nama
raja yang bersangkutan.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh George Coedes dalam karangannya “Le royaume de
Crivijaya (1918) yang mengungkapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan.
Terjemahan prasasti Kota Kapur oleh Kern di mana terdapat nama Sriwijaya dan terjemahan karya
I-tsing di mana terdapat transkripsi Tionghoa Shih-li-fo-shih memungkinkan Coedes menetapkan
bahwa Sriwijaya adalah nama kerajaan di Sumatera. Selain itu, Coedes juga mengemukakan
pendapatnya dengan menetapkan Palembang sebagai ibu kota Sriwijaya.

Penemuan Coedes ini mendapat sambutan yang hebat dalam ilmu sejarah terutama sejarah Asia
Tenggara. Karena letaknya yang sangat ideal untuk lalu lintas pelayaran Jawa, India, Arab, dan
Cina maka sejarah Sriwijaya menyangkut hubungan internasional yang melibatkan negara-negara
lain yang menggunakan selat Malaka sebagai jalur lalu lintas perdagangan. Penemuan negeri
Sriwijaya ini menarik perhatian para sarjana sejarah, terutama para sarjana Belanda yang pada
waktu itu banyak memusatkan perhatiannya kepada Jawa. Sejak tahun 1920-an itulah nama
Sriwijaya sebagai nama sebuah kerajaan atau spesifiknya nama kedatuan di Sumatera Selatan
mulai memasyarakat.

Berdasarkan isinya, prasasti Kota Kapur merupakan sebuah “prasasti persumpahan” sebagaimana
tercantum dalam prasasti Telaga Batu, Kota Kapur, Karang Berahi, dan Palas Pasemah. Prasasti
persumpahan adalah prasasti yang berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang
menentang atau tidak mau berbakti kepada raja Sriwijaya. Oleh karena isi prasasti-prasasti
tersebut hampir sama, maka sangat mungkin semua prasasti persumpahan tersebut dibuat pada
masa raja yang sama. Dari keempat buah prasasti persumpahan tersebut, hanya prasasti Kota
Kapur yang memuat angka tahun.

Sayangnya, prasasti Kota Kapur tidak menyebutkan nama raja yang berkuasa. Siapakah raja
Sriwijaya yang mengeluarkan prasasti-prasasti persumpahan itu? Untuk mengetahui siapakah
nama raja yang berkuasa, kiranya bisa dibandingkan dengan prasasti lainnya yang memiliki
angka tahun berdekatan.

Dalam prasasti Talang Tuo yang dipahat tahun 684 M (2 tahun sebelum prasasti Kota Kapur)
disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman
Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Jika antara tahun 684 dan 686 tidak ada pergantian
raja, maka kiranya dialah raja Sriwijaya yang memerintahkan membuat prasasti Kota Kapur.

1. Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun
luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai
tunai.

2. Umentern bhakti ni ulun haraki. unai tunai kita savanakta devata mahardika sannidhana.
manraksa yan kadatuan çrivijaya. kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yan
parsumpahan.

3. paravis. kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi lavan drohaka,
manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya.

4. Marppadah tida ya bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku sanyasa
datua. dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda
datu çriwi-

5. jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna jahat. makalanit
uran. makasuit. makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. tamval.

6. Sarambat. kasihan. vacikarana.ityevamadi. janan muah ya sidha. pulan ka iya muah yan
dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu muah ya mulam yam manu-

7. ruh marjjahati. yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah ya mulan.
saranbhana uran drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava vua-

8. tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. dngan di yam
nigalarku sanyasa dattua. çanti muah kavuatana. dngan gotrasantanana.

9. Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah vanuana paravis chakravarsatita 608
din pratipada çuklapaksa vulan vaichaka. tatkalana

10. Yan manman sumpah ini. nipahat di velana yan vala çrivijaya kalivat manapik yan bhumi
java tida bhakti ka çrivijaya.
1. Keberhasilan ! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)

2. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan
Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !

3. Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada
orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara
dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;

4. yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak
setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang
yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi
untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan
biar mereka

5. dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat;
seperti mengganggu:ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila,
menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,

6. saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga
perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah
melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar
mereka yang menghasut orang

7. supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk;
dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti,
yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut

8. mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang
oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga
dan keluarganya

9. dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan


segalanya untuk semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan
Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah

10. kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru
berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya.

Dari isi prasasti di atas, secara umum dapat diperoleh informasi seperti berikut.

Prasasti Kota Kapur merupakan tugu peringatan telah dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya.
Isinya diawali dengan seruan kepada dewata yang melindungi Kadatuan Sriwijaya, dewata yang
mengawali setiap mantra kutukan. Kemudian ancaman kepada para pemberontak, baik itu
daerah yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya, atau orang yang bersekongkol dengan
pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak,
yang mengenal pemberontak, yang tidak hormat, yang tidak patuh dan setia kepada Datu
Sriwijaya, dan pada mereka yang telah diangkat oleh Datu Sriwijaya sebagai Datu. Agar mereka
yang telah disebutkan itu mati kena kutuk, dan akan segera dikirimkan ekspedisi di bawah
pimpinan Datu Sriwijaya untuk dihukum bersama marga dan keluarganya.

Juga disebutkan ancaman akan terkena kutukan bagi mereka yang suka berbuat jahat seperti
mengganggu ketentraman jiwa orang, membuat sakit, membuat gila, menggunakan mantra,
racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, sarāmvat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada
orang lain dan sebagainya. Semoga perbuatan-perbuatan jahat itu tidak berhasil dan
menghantam mereka yang telah melakukan perbuatan jahat itu. Kutukan dan hukuman langsung
ditujukan pula kepada mereka yang menghasut supaya merusak dan mereka yang merusak batu
(prasasti) yang dipancangkan di tempat ini.

Selain kutukan, prasasti Kota Kapur ini juga mendoakan bagi siapa saja yang berbuat baik, patuh,
dan setia kepada Datu Sriwijaya akan diberkahi. Marga dan keluarganya akan diberikan
keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, dan kelimpahan segalanya untuk
semua negeri mereka. Baris-baris terakhir dari prasasti ini berisi keterangan bahwa suatu
ekspedisi sedang dipersiapkan untuk menaklukkan ‘bhumi jawa’.

Penyebutan bhumi Jawa dalam prasasti itu menimbulkan berbagai tafisran. Bagi Kern dan
Blagden, bhumi Java berarti Jawa atau Sumatra. Sementara Rouffaer memilih Jawa. Namun, Krom
lebih melihatnya sebagai Pulau Bangka atau bagian Nusantara yang kemudian oleh bangsa Arab
dinamakan negeri Zabaj.

Slamet Muljana mengemukakan bahwa Prasasti Kota Kapur menunjukkan hubungan antara
Sriwijaya dan Pulau Jawa. Pada 686 M, Sriwijaya berusaha menundukkan Pulau Jawa. Sayangnya,
kerajaan mana yang akan ditundukkan tak diketahui pasti. Nama kerajaannya tak disebut. Yang
dinyatakan pada Prasasti Kota Kapur hanyalah bhumi Jawa.

Sementara itu pendapat Nicholaas Johannes Krom, peneliti sejarah awal Indonesia asal Belanda,
bahwa prasasti ini merupakan pernyataan pemilikian atas wilayah baru. Karena Prasasti Kota
Kapur ini ditemukan di Pulau Bangka, di sebelah utara Sungai Menduk, artinya pada 686 M, Pulau
Bangka sudah ditaklukkan. Menurutnya jika yang dimaksud Pulau Jawa, maka tak masuk akal
mengapa ekspedisi yang dilancarkan untuk menyerbu bhumi Java disebut dalam prasasti yang
ditemukan di Bangka.

Coedes lebih sepakat pada penafsiran bhumi Java harus dicari di luar Bangka. Itu tiada alasan untuk
tidak mengidentifikasikannya sebagai negeri yang sudah selama-lamanya bernama Jawa. “Jika dalam
sejarah Jawa benar-benar ada kurun waktu sebagian Pulau Jawa diserang oleh Sriwijaya, maka
mungkin asal mulanya harus dicari pada ekspedisi 686 itu

Karenanya, bisa disimpulkan, prasasti itu tak menyebut perebutan wilayah sesudah perang. Prasasti
Kota Kapur hanya memberitakan, pemahatannya terjadi pada saat balatentara Sriwijaya baru
berangkat untuk menyerang bhumi Java yang tak takluk pada Sriwijaya.

Berdasarkan isi prasasti ini, G. Coedes berpendapat bahwa pada saat prasasti Kota Kapur ini
dibuat, tentara Sriwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan Jawa. Adapun kerajaan
yang diserang menurutnya yaitu kerajaan Taruma, yang sejak tahun 666-669 M tidak terdengar
mengirimkan utusan lagi ke Cina. Kerajaan Taruma ini merupakan inti dari ekspansi kekuasaan
Sriwijaya di Jawa selanjutnya yang dibuktikan oleh adanya prasasti dari Juru Pangambat di Jawa
Barat dan prasasti Gondosuli di daerah Kedu, Jawa Tengah.

Jika pendapat Coedes tersebut benar, rupanya raja Sriwijaya khawatir kalau-kalau timbul
pemberontakan dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya pada saat tentara Sriwijaya sedang
dikerahkan menyerbu Pulau Jawa. Sebagai tindakan preventif, raja Sriwijaya mengeluarkan
peringatan tegas di wilayah kekuasaannya.

Membaca isi prasasti persumpahan di atas, dapatlah dibayangkan bahwa raja Sriwijaya
merupakan seorang politikus ulung. Sebelum dia melancarkan perluasan wilayah ke
mancanegara, stabilitas dalam negeri sangat diperhatikan. Sudah tentu prasasti-prasasti
persumpahan itu ditempatkan di negeri-negeri yang memungkinkan timbulnya pemberontakan.

Anda mungkin juga menyukai