Anda di halaman 1dari 12

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak
memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti
“bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-
Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang
paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,
bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut
dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa di tahun
990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Cholamandala , selanjutnya tahun 1183 kekuasaan
Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di
Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya
berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan
sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),
dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung
kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan
Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk
arah perjalanan dalam catatan I-Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang
pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya Sri Cudamaniwarmadewa tahun 1003
kepada kaisar Cina (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun
yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I dari kerajaan Cholamandala, berdasarkan
prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).

Candi Muara Takus - Riau

Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I-Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit
pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Di abad
ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi
bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung
Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke
Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa,
menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia
dengan nomor D.146.

Teks Prasasti Alih Aksara Prasasti Kedukan Bukit

svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu

klapakşa vulan vaiśākha dapunta hiya<m > nāyik di

sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa

vulan jyeşţha d apunta hiya<m > maŕlapas dari minānga

tāmvan mamāva yam vala dualakşa dangan ko-(sa)

duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu

tlurātus sapulu dua vañakña dātam di mata jap

sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula<n>...

laghu mudita dātam marvuat vanua...

śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa...

Alih Bahasa

Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari ke sebelas

paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di

sampan mengambil siddhayātra. di hari ke tujuh paro-terang

bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga

tambahan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan


dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu

tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)

sukacita. di hari ke lima paro-terang bulan....(Asada)

lega gembira datang membuat wanua....

Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna....

Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka, pada akhir
abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan Belitung hingga
Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer utk
menghukum Bhumi Jawa yang tak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya
Tarumanegara di Jawa Barat dan Ho-ling (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat
serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat Karimata.

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur adalah temuan arkeologi prasasti Sriwijaya yang ditemukan di pesisir barat Pulau
Bangka. Prasasti ini dinamakan menurut tempat penemuannya yaitu sebuah dusun kecil yang bernama
"Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu
Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini ditemukan
oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892.

Prasasti ini pertama kali dianalisis oleh H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada
Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang
raja. George Coedes lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah
kerajaan besar di Sumatra pada abad ke-7 Masehi, yaitu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai
bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaysia, dan Thailand bagian selatan.

Inilah isi lengkap dari Prasasti Kota Kapur, seperti yang ditranskripsikan dan ditejemahkan oleh Coedes:

Naskah Asli

Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai
tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai.
Umentern bhakti ni ulun haraki. unai tunai kita savanakta devata mahardika sannidhana. manraksa yan
kadatuan çrivijaya. kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yan parsumpahan.

paravis. kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi lavan drohaka, manujari
drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya.

Marppadah tida ya bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku sanyasa datua. dhava
vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda datu çriwi-

jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna jahat. makalanit uran. makasuit.
makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. tamval.

Sarambat. kasihan. vacikarana.ityevamadi. janan muah ya sidha. pulan ka iya muah yan dosana vuatna
jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu muah ya mulam yam manu-

ruh marjjahati. yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah ya mulan. saranbhana uran
drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava vua-

tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. dngan di yam nigalarku sanyasa
dattua. çanti muah kavuatana. dngan gotrasantanana.

Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah vanuana paravis chakravarsatita 608 din pratipada
çuklapaksa vulan vaichaka. tatkalana

Yan manman sumpah ini. nipahat di velana yan vala çrivijaya kalivat manapik yan bhumi java tida bhakti
ka çrivijaya.

Terjemahan

Keberhasilan ! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)

Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini;
kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !

Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang
memberon-tak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak,
yang mendengarkan kata pemberontak;

yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada
saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku
perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di
bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka
dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti
meng-ganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan
mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,

saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-
perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu;
biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang

supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum
langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar
pelaku perbuatan tersebut

mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya
diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya

dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebas-an dari bencana, kelimpahan segala-nya untuk
semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686
Masehi), pada saat itulah

kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk
menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya.

Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177
cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.

Pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 792 hingga 835 masehi, penguasaan
Sriwijaya di tanah Jawa diperkuat. Pada masa inilah candi Borobudur yang saat ini disebut sebagai
warisan budaya dunia dibangun. Kerajaan Sriwijaya memang kerajaan Budha yang menjadi pusat
pengajaran Budha Vajrayana. Banyak peziarah dan sarjana dari berbagai negara Asia berkunjung ke
Sriwijaya, salah satunya pendeta I-Tsing dari Tiongkok yang menulis bahwa Sriwijaya adalah rumah bagi
sarjana Budha.

Candi Borobudur

Pada waktu itu ada sekitar 1000 orang pendeta belajar agama Budha pada seorang pendeta Sriwijaya
yang terkenal bernama Sakyakirti. Kerajaan Pala di Benggala memiliki hubungan dekat dengan kerajaan
Sriwijaya. Pada masa pemerintahan Balaputradewa pada tahun 856 hingga 861 masehi, kerajaan
Sriwijaya mendedikasikan sebuah biara Budha kepada Universitas Nalanda. Seperti diketahui, Sriwijaya
merupakan kerajaan maritim, dimana kerajaan mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada laut
dalam menguasai jalur pelayaran, perdaganan dan penguasaan berbagai kawasan strategis sebagai
pangkalan armada laut untuk mengawasi dan melindungi kapal dagang.

Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar Indonesia, terutama
dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Pala (Nalanda) di Benggala dan
Kerajaan Cholamandala di pantai timur India Selatan.

Sekitar abad ke-8 M hingga abad ke-11 M daerah Benggala diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Pala.
Seorang rajanya yang terbesar bernama Raja Dewa Paladewa (abad ke-9 M). Hubungan Kerajaan
Sriwijaya dengan Kera¬jaan Pala amat baik, terutama dalam bidang kebudayaan dan agama. Kedua
kerajaan ini menganut agama Buddha. Hubungan baik ini dibuktikan dengan Prasasti Nalanda (860 M).
Di samping pembebasan lima desa dari pajak, prasasti itu juga berisi pernyataan bahwa Raja Balaputra
Dewa terusir dari Kerajaan Syailendra akibat kalah perang melawan kakaknya Pramo-dhawardani dan
kemudian diangkat menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya. Dengan demikian, hubungan dengan Kerajaan
Pala adalah untuk mendapat-kan dukungan dalam memperkuat kedudukannya menjadi raja di Sriwijaya.

Prasasti Nalanda

Kemudian hubungan Sriwijaya dengan kerajaan Cholamandala pada awalnya hubungan kedua
kerajaan itu amat baik. Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayattunggawarman mendirikan satu
biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.

Persahabatan kedua kerajaan berubah menjadi permusuhan akibat persaingan di bidang pelayaran dan
perdagangan. Raja Rajendra Chola yang berkuasa di Kerajaan Cholamandala melakukan dua kali
serangan ke Kerajaan Sriwijaya. Serangan pertama tahun 1007 M mengalami kegagalan. Namun,
serangan kedua (1023/1024 M) berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya/
bahkan Raja Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan.

Serangan itu tidak mengakibatkan terjadinya penjajahan, karena tujuannya hanya membinasakan
armada Kerajaan Sriwijaya. Jika kekuatan Kerajaan Sriwijaya berhasil ditaklukkan, maka jaringan
pelayaran perdagangan di wilayah Asia Tenggara hingga India dapat dikuasai oleh Kerajaan Chola.

Walaupun serangan Kerajaan Chola tidak mematikan Kerajaan Sriwijaya, tetapi untuk sementara
kekuatan Sriwijaya lumpuh. Kelumpuhan Kerajaan Sriwijaya merupakan peluang baik bagi Airlangga di
Jawa Timur yang dengan cepat menyusun kekuatan angkatan perangnya, baik di darat maupun di laut.
Dalam waktu singkat keruntuhan Kerajaan Dharmawangsa dapat ditegakkan kembali, sehingga ketika
kekuatan Kerajaan Sriwijaya pulih kembali, di Jawa Timur telah berdiri negara besar dan kuat, sebagai
saingannya.
Pada akhir abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh faktor
politik dan ekonomi.

Faktor Politik Kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar
yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di
Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan
Kerajaan Siam mengakibatkan kegiatan pelayaran perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin
berkurang.

Dari daerah timur, Kerajaan Sriwijaya terdesak oleh perkembangan Kerajaan Singosari, yang pada
waktu itu diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang bercita-cita menguasai seluruh
wilayah Nusantara mulai mengirim ekspedisi ke arah barat yang dikenal dengan istilah Ekspedisi
Pamalayu, dipimpin oleh Adityawarman. Dalam ekspedisi ini, Kerajaan Singosari mengadakan
pendudukan terhadap Kerajaan Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga mengakibatkan kedudukan
Kerajaan Sriwijaya makin terdesak.

Faktor Ekonomi Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin
berkurang, karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya telah jatuh ke
kekuasaan raja-raja sekitarnya. Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah
Genting Kra atau yang melakukan kegiatan ke daerah Melayu (sudah dikuasai Kerajaan Singosari) tidak
lagi melewati wilayah kekuasaan Sriwijaya. Keadaan seperti ini tentu mengurangi sumber pendapatan
kerajaan.

Dengan alasan faktor politik dan ekonomi, maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi
kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah
akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit tahun 1377 M.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Ahmad Fathoni 21.33

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di nusantara. Kerajaan yang dikeal
dengan kekuatan maritimnya tersebut berhasil menguasi pulau Sumatra, Jawa, Pesisir Kalimantan,
Kamboja, Thailand Selatan, dan Semenanjung Malaya yang kemudian menjadikan Kerajaan Sriwijaya
sebagai kerajaan yang berhasil menguasai perdagangan di Asia-tenggara pada masa itu.

Kata 'Sriwijaya' berasal dari dua suku kata yaitu 'Sri' yang berarti bercahaya atau gemilang dan 'Wijaya'
yang berarti kemenangan. Jadi Sriwijaya berarti kemenangan yang gemilang. Sriwijaya juga disebut
dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi.
Dalam bahasa Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab
menyebut Zabaj atau Sribuza dan Khmer menyebut Malayu. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan
keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yang berkaitan dengan Sriwijaya.

Berdirinya Kerajaan Sriwijaya

Tidak banyak bukti sejarah yang menerangkan kapan berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Bukti tertua
datangnya dari berita Cina yaitu pada tahun 682 M terdapat seorang pendeta Tiongkok bernama I-Tsing
yang ingin belajar agama Budha di India, singgah terlebih dahulu di Sriwijaya untuk mendalami bahasa
Sanskerta selama 6 Bulan. Tercatat juga Kerajaan Sriwijaya pada saat itu dipimpin oleh Dapunta Hyang.

Selain berita dari luar, terdapat juga beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya, diantaranya
adalah prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang. Isi dari prasasti terseubt adalah Dapunta
Hyang mengadakan ekspansi 8 hari dengan membawa 20.000 tentara, kemudian berhasil menaklukkan
dan menguasai beberapa daerah. Dengan kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur. Dari kedua bukti
tertua di atas bisa disimpulkan Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke-7 dengan raja pertamanya
adalah Dapunta Hyang.

Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya berada pada abad 9-10 Masehi dimana Kerajaan Sriwijaya menguasai
jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh
kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja,
Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai
pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas
setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Keruntuhan Sriwijaya

Kemunduran yang berakhirnya Kerajaan Sriwijaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

Pada tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, soerang dari dinasti Cholda di Koromande, India Selatan.
Dari dua serangan tersebut membuat luluh lantah armada perang Sriwijaya dan membuat perdagangan
di wilayah Asia-tenggara jatuh pada Raja Chola. Namun Kerajaan Sriwijaya masih berdiri.

Melemahnya kekuatan militer Sriwijaya, membuat beberapa daerah taklukannya melepaskan diri
sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali
wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian
barat.

Melemahnya Sriwijaya juga diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang melakukan aktivitas
perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena daerha-daerah strategis yang dulu
merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke tangan raja-raja sekitarnya.

Munculnya kerajaan-kerajaan yang kuat seperti Dharmasraya yang sampai menguasai Sriwijaya
seutuhnya serta Kerajaan Singhasari yang tercatat melakukan sebuah ekspedisi yang bernama ekspedisi
Pamalayu.

Kerajaan Sriwijaya pun akhirnya runtuh di tangan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13.

Salah Satu Penginggalan Kerajaan Sriwijaya

Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Ada dua jenis sumber sejarah yang menggambarkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya, yaitu Sumber berita
asing dan prasasti.

Sumber Berita Asing

Berita dari Cina


Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing pendeta dari Cina, singgah di
Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan mempelajari paramasastra atau tata bahasa Sanskerta.
Kemudian, bersama guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina.
Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah negara ini telah maju dalam bidang agama Buddha.

Berita Arab

menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh mengatakan bahwa Raja Zabag banyak
menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang dihasilkan seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh
Alberuni. Ia mengatakan bahwa Zabag lebih dekat dengan Cina daripada India. Negara ini terletak di
daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena banyak menghasilkan emas.

Sumber Prasasti

Selain dari sumber berita asing, keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga tercatat pada prasasti-prasasti yang
pernah ditinggalkan, diantaranya:

Prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang. Isinya: Dapunta Hyang mengadakan ekspansi 8 hari
dengan membawa 20.000 tentara, kemudian berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa daerah.
Dengan kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur.

Prasasti Talang Tuo (606 S/684M) di sebelah barat Palembang. Isinya tentang pembuatan sebuah Taman
Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua makhluk.

Prasasti Kota Kapur (608 S/686 M) di Bangka.

Prasasti Karang Birahi (608 S/686 M) di Jambi. Keduanya berisi permohonan kepada Dewa untuk
keselamatan rakyat dan kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Talang Batu (tidak berangka tahun) di Palembang. Isinya kutukan-kutukan terhadap mereka
yang melakukan kejahatan dan melanggar perintah raja.

Prasasti Palas di Pasemah, Lampung Selatan. Isinya Lampung Selatan telah diduduki oleh Sriwijaya.

Prasasti Ligor (679 S/775 M) di tanah genting Kra. Isinya Sriwijaya diperintah oleh Darmaseta.

Raja-raja Sriwijaya

Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di bawah ini,
yaitu:

Dapunta Hyang Sri Jayanasa


Sri IndravarmanChe-li-to-le-pa-mo

Rudra VikramanLieou-t’eng-wei-kong

Maharaja WisnuDharmmatunggadewa

Dharanindra Sanggramadhananjaya

Samaragrawira

Samaratungga

Balaputradewa

Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan

Hie-tche (Haji)

Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa

Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi

Sumatrabhumi

Sangramavijayottungga

Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo

Rajendra II

Rajendra III

Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa

Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa

Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa

Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan

Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di samping itu juga berhasil
menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara, menjadikan Sriwijaya
berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka
mempunyai arti penting terhadap perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim, sebab banyak kapal-
kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan dan melakukan aktivitas
perdagangan.

Dalam bidang kebudayaan khususnya keagamaan, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha yang
penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya ialah Agama
Buddha Mahayana, salah satu tokohnya ialah Dharmakirti. Para peziarah agama Buddha dalam
pelayaran ke India ada yang singgah dan tinggal di Sriwijaya. Di antaranya ialah I'tsing.

Semoga artikel tersebut di atas tentang Sejarah Kerajaan Sriwijaya bisa bermanfaat bagi sobat sobat
sekalian. Apa bila ada dari sobat yang menemukan kesalahan baik berupa penulisan maupun
pembahasan, mohon kiranya kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan b

Anda mungkin juga menyukai