PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerajaan kota kapur adalah kerajaan di mana sejarah terbentukya kerajaan sriwijaya atau
lebih tepatnnya bibit dari kerajaan sriwijaya yang sudah berada di pulau Bangka dengan bukti
bukti seperti arca durga mahisasramardhani
B. Rumusan Masalah
1. Dimana lokasi kerajaan kota kapur
2. Apa bukti dari kerajaan kota kapur memang ada ?
3. Siapa raja yang memmpin kota kapur
4. Mengapa kerajaan kota kapur bisa runtuh
5. Kapan kerajaan kota kapur berdiri ?
6. Bagaimana kehidupan asia tenggara di kota kapur ?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari
Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula
peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca
Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut
nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa,
seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa
benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari
timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan
ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa
antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun
sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi
ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.
Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di medan pertempuran. Ia bergumul
dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandrun Luah. Tandrun Luah mati terbunuh di
medan pertempuran. Tetapi, bagaimana nasib Kayet yang membunuh itu? Juga Kayet berhasi
ditumpas. Ingatlah akan kemenangan itu!
Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Kerajaan Sriwijaya! Dan
kau, Tandrun Luah, dan para dewata yang disebut pada pembukaan seluruh persumpahan ini!
Jika pada saat manapun di seluruh wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu
dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan
pengkhianat, tidak mau tunduk dan tidak mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka
yang kuserahi kekuasaan datu, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah.
Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Mereka sesanak
keluarganya akan ditumpas! Dan semuanya yang berbuat jahat, menipu orang, membuat sakit,
membuat gila, mlakukan tenung, menggunakan bisa, racun, tuba, serambat, pekasih, pelet dan
yang serupa itu, mudah-mudahan tidak berhasil. Dosa perbuatan yang jahat untuk merusak batu
ini hendaklah segera terbunuh oleh sumpah, segera dipukul. Mereka yang membahayakan, yang
mendurhaka, yang tidak setia kepadaku dan kepada yang kuserahi kekuasan datu, mereka yang
berbuat demikian itu, mudah-mudahan dibunuh oleh sumpah ini.
Tetapi kebalikannya, mereka yang berbakti kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi
kekuasaan datu, hendaknya diberkati segala perbuatannya dan sanak keluarganya, berbahagia,
sehat, sepi bencana dan berlimpah rezeki segenap penduduk dusunnya.
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan
dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan
pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di
Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya,
penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua
penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di
situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.
Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak sisa
perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur ini.
Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten
Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan
Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten
Tanjung Jabung Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian
dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung
Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium
dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi
menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs
Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan
masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di
situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan
sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu
ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad
ke-10 hingga ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang
menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota
kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai
Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan tembikar kasar
dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.