Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah

dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran

undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU)

tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama

lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.

Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan Strategi

Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak disebutkan adanya

istilah jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah nomor

534/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan adanya sarana sanitasi

individual dan komunal berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku

Panduan Penyehatan Lingkungan Permukiman untuk RPIJM 2007 disebutkan adanya

pengumpulan data primer tentang jamban keluarga. Di dalam Petunjuk Teknis Tata Cara

Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari Departemen Pekerjaan Umum,

disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain terdiri: plat jongkok, leher

angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan bawahnya.

Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi

Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja

yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam Keputusan Menteri

Kesehatan nomor 715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa
usaha jasaboga harus menyediakan WC Umum dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai

dengan jumlah karyawannya.

Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor

24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya fasilitas jamban

yang harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau air kecil. Jamban

harus mempunyai dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik pria, wanita, dan guru.

Lebih menarik lagi adalah Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara

Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang justru tidak menyebutkan sama sekali istilah

jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar (WC) dan ruang buang air kecil

(urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan limbahnya, baik secara

setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya adalah istilah tempat

buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik di dalam Survei

Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi tentang kepemilikan dan

kualitas fasilitas BAB tersebut.

Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu proses

masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat

menggambarkan ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan publik

tentang sanitasi ini dapat dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat buang air

besar secara nasional menurut SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun yang

mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru 71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak disebutkan

bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86%

itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi tidak disebutkan bagaimana pula

sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi menurut Laporan
Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa

masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih lebih dari

40%. PBB pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia yang tidak

punya akses sanitasi yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja

menggambarkan bagaimana sebenarnya buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu

tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian tentang jamban atau apapun tentang kesepakatan

namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan kesepakatan yang jelas tentang ini agar

kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang buruk ini dapat segera

diselesaikan.

Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari

angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan

penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare

sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan

penyebab kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua umur.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan keluarga tentang jamban sehat

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui konsep dasar jamban sehat

2. Untuk mengetahui konsep keperawatan jamban sehat


C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Jamban Sehat ?

2. Bagaimana Konsep Keperawatan Jamban Sehat ?

D. Manfaat

1. Kotoran tidak berserakan disembarang tempat sehingga tidak akan mengotori sumber air

2. Lingkungan kita menjadi bersih, sehat dan bebas dari bau

3. Mudah dan aman digunakan setiap saat.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Jamban

Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat dengan desa

atau kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah kita yang

memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban. Bila rumah yang

memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti wilayah tersebut termasuk

wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran manusia.

Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu mamanfatkan

sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Bagi yang telah

memiliki jamban bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu , terkadang walaupun

memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih BAB di tempat lain, karena alasan tertentu.

B. Kerugian tidak memiliki jamban

Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan, maka wilayah

tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungandiantaranya : Penyakit

Cacingan, Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih

banyak penyakit lainnya. Semakin besar prosentase yang BAB sembarangan maka ancaman

penyakit itu semakin tinggi itensitasnya. Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu,

yang bisa terjadi ledakan penyakit pada suatu waktu cepat atau lambat.

Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian

wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak

penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat
kesehatan. Kalau membahas soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana Air

Bersih untuk menunjang keberlangsungan pemanfaatan jamban.

C. Kriteria Jamban Sehat

Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut :

1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa,

tikus, lalat dll.

2. Tidak menimbulkan bau

3. Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana

4. Tidak mencemari sumber air bersih

5. Tidak menggangu pemandangan/estetika

6. Aman digunakan

Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa lobang

jamban atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau jumlah pemakai.

Untuk memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi leher angsa, dimana

pada leher angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul dari lobang jamban atau

septic tank, dan mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat, kecoa, nyamuk, tikus dll.

Untuk memenuhi syarat no. 4 , dalam membuat jamban terutama lokasi lobang jamban atau

septic tank atau lobang resapan dibuat sejauh mingkin dari sumber air yang ada misalnya Sumur

Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak kurang dari 10 meter jarak antara sumur dan lobang

jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5 dan 6 , hendaknya jamban dibuat dari bahan

bahan yang memadai baik kekuatannya maupun konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar

kelihatan indah dan rapi.


Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya membersihkan dan

menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari penyakit Demam Berdarah

Dengue, siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan, tidak membuang sampah,

puntung rokok, pembalut wanita, air sabun, lisolkedalam kloset.

D. Syarat Membuat Jamban Sehat

Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan

sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.

Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus

diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak

buruk bagi lingkungan.

Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada

tujuh kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:

1. Tidak mencemari air

Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak

mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang

kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

1. Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter


2. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari

lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.

3. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan,

empang, danau, sungai, dan laut

2. Tidak mencemari tanah permukaan

1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat

sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan.

2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya,

atau dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

3. Bebas dari serangga

1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap

minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah

2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi

sarang nyamuk.

3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa

menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya

4. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering

5. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup

4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan


1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap

selesai digunakan

2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus

tertutup rapat oleh air

3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk

membuang bau dari dalam lubang kotoran

4. Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan

harus dilakukan secara periodic

5. Aman digunakan oleh pemakainya

1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang

kotoran dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan

penguat lai yang terdapat di daerah setempat

6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran

2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran

kotoran karena dapat menyumbat saluran


3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena

jamban akan cepat penuh

4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa

berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100

7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

1. Jamban harus berdinding dan berpintu

2. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar

dari kehujanan dan kepanasan.

E. Kriteria Jamban Sehat

Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan

lingkungan. Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :

1. Mencegah kontaminasi ke badan air

2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja

3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang


4. Mencegah bau yang tidak sedap

5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.

Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan,

tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya

bangunan jamban dibagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban),

bangunan bagian tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung

tinja).

1. Rumah jamban (bangunan bagian atas)

Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam

prakteknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :

- Sirkulasi udara yang cukup

- Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar


- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)

- Kemudahan akses di malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local

- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan

2. Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)

Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak.

Pada jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi jamban

berbentuk bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang secara

otomatis tertinggal di didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang

penggunanya. Bahan-bahan yang digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti

kayu, beton, bambu dengan tanah liat, pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian

ini juga dilengkapi dengan abu atau air. Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah

digunakan akan mengurangi bau dan kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat

untuk berkembang biak. Sedangkan air dan sabun digunakan untuk cuci tangan.

Pertimbangan untuk bangunan bagian tengah:


- Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang

lain.

- Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh,

atau terperosok).

- Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.

- Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.

3. Penampung tinja (bangunan bagian bawah)

Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran,

bundar atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di

musim hujan. Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau

sebagian dengan bahan penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain – lain.

Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain:


- Daya resap tanah (jenis tanah)

- Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan

- Ketinggian muka air tanah

- Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum

(lebih baik diatas 10 m)

- Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)

- Diutamakan dapat menggunakan bahan local

- Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole

Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran

penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan

rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat)

harus mencapai 100% pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan

istilah Open Defecation Free (ODF).


Suatu masyarakat disebut ODF jika :

- Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang

tinja/ kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)

- Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar

- Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian

BAB di sembarang tempat

- Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK

mempunyai jamban sehat

- Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan,

pada tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi

Total akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:

- Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat


- Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang

bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan

- Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman

- Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).

Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses

verifikasi.
BAB III

PENGAMATAN / SURVEY LAPANGAN

Untuk mempercepat akses masyarakat terhadap Jamban Keluarga pemerintah Kec. Praya
melalui dinas Kesehatan dalam dua tahun terakhir meluncurkan program Desa Percontohan
Kesehatan Lingkungan (DPKL) di Lombok Tengah program ini hanya dilaksanakan di Kec.
Praya Untuk tahun 2011 setiap kecamatan akan dijadikan 1 sampai 2 DPKL dimana masing-
masing desa diberikan 15 paket stimulan Jaga. DPKL adalah desa yang masyarakatnya telah
memiliki kelembagaan dalam suatu wadah/forum desa sehat/desa siaga yang melaksanakan
kegiatan kesehatan lingkungan dengan swadaya untuk menjadi contoh dan tempat orientasi bagi
desa lain dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Dengan DPKL ini diharapakan berkembangnya kelembagaan di masyarakat,


meningkatnya kondisi kesehatan lingkungan sehingga terjadi penurunan penyakit yang berkaitan
dengan lingkungan dan dapat menjadi sumber motivasi bagi desa lain dan dapat mendukung
kegiatan program desa siaga sebagai upaya menuju desa sehat. Prioritas pengembangan DPKL
ini masyarakat kurang mampu akan tetapi ada kesanggupan untuk menyelesaikan kegiatan ini,
belum pernah mendapatkan proyek sanitasi/air bersih, cakupan sanitasi dan air bersih rendah,
dan tingginya kasus penyakit berbasis lingkungan.Masyarakat yang mendapatkan program ini
akan diberikan paket stimulan jamban keluarga dalam bentuk barang, seperti septik tank rangka
kayu ulin, closed, pipa paralon dan elbow, untuk hal lainnya dibebankan pada masyarakat
sebagai bentuk swadaya.
BAB IV

PEMBAHASAN

Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang
dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran
tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar
penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek
sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya
sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula
syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah
(Depkes RI, 1985).

Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen
Millenium Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut sebagai
sanitasi yang antara lain meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar, jenis
kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010,
kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri
atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya
menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria
yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam
empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan open defecation. Dikategorikan sebagai
improved bila penggunaan sarana pembuangan kotoran nya sendiri, jenis kloset latrine dan
tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL.

Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada


penyebaran penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus
dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat
pada jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas.

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada
tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total.

Banyak orang menyindir, bahwa sementara di banyak negara masalah sanitasi


dankesehatan lingkungan sudah berkutat pada upaya intens menurunkan dan mengadaptasi
dampak rumah kaca, sementara kita masih sibuk mengurusi jamban. Akses pada sanitasi
khususnya pada penggunaan jamban sehat, saat ini memang masih menjadi masalah serius di
banyak negara berkembang, seperti Indonesia. Masih tingginya angka buang air besar pada
sebarang tempat atau open defecation, menjadi salah satu indikator rendahnya akses ini.

Dampak serius yang ditimbulkan kondisi diatas sangat diyakini banyak pihak,
berpengaruh baik secara ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Menurut studi yang dilakukan
Wordl Bank, Indonesia kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp 265.000 per
orang per tahun karena sanitasi yang buruk. Dan sebagai akibat dari sanitasi yang buruk ini,
diperkirakan menyebabkan angka kejadian diare sebanyak 121.100 kejadian dan mengakibatkan
lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya. Sebuah fakta yang seharusnya mampu menyengat
kita para pemerhati dan praktisi kesehatan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai