Anda di halaman 1dari 19

UNIVERSITAS TADULAKO

Learning Objective
Tutorial 3
BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF

Nama : Ira Andini Paransa


Stambuk : N 111 18 026
Pembimbing : dr. Magdalena S, Sp.S

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
Learning Objective

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan 3 step ladder!


2. Apakah sindrom cauda equine menyebabkan gejala LBP?
3. Apakah yang dimaksud dengan red flag dan yellow flag?
4. Apa diagnosis dari kasus?

Jawaban

1. Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk


mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda
atau hilang sejalan dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit.
Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam
pengobatan nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan
pertimbangkan berikut:
 Bisakan pasien minum analgesik oral?
 Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesic cepat?
 Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam
kombinasi dengan analgesik sistemik?
 Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri,
misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi


mengikuti ”WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu :
a. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti
NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
b. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka
diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara
intermiten.
c. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat
yang lebih kuat.

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses


transduksi dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non
steroid, pada transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik
lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik,
dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik,
atau parasetamol.
Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika
yang dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.

a. Obat analgetika nonnarkotika.


Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS).
Banyak jenis obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib
dipahami sebelum memberikan obat ini pada penderita. Obat
antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik tangkap kerja dengan
mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa prostaglandin.
Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.
Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan
sampai sedang. Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan
secara oral (tablet, kapsul, sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan
suntik dapat diberikan secara intra muskuler, dan intravena. Pemberian
intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia dalam
kemasan yang dapat diberikan secara supositoria
 Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang.
Efektif untuk bedah mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi
kebutuhan akan opioid setelah bedah mayor. Obat-obat AINS
memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua obat
AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
 Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah
kehilangan darah.
 Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal.
Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari
karena nyeri dan bisa menimbulkan abses steril pada tempat
suntikan.

Kontraindikasi AINS

 Riwayat tukak peptic


 Insufisiensi ginjal atau oliguria
 Hiperkalemia
 Transplantasi ginjal
 Antikoagulasi atau koagulopati lain
 Disfungsi hati berat
 Dehidrasi atau hypovolemia
 Terapi dengan frusemide
 Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada


:

 Pasien > 65 tahun


 Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau
penyakit pembuluh darah ginjal
 Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
 Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
 Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium,
penyekat beta, cyclosporin, atau metoreksat.
 Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran
fungsi ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk
menghentikan AINS.

Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam)


cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari
siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena
efeknya minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal.
Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek
samping daripada pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis
H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama AINS bisa melindungi
lambung dari efek samping.

b. Obat analgetika narkotik


Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak
terdapat didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk
menanggulangi nyeri akut dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam
reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma, Delta dan Epsilon.
Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat
alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat
menimbulkan efek depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif
tinggi. Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat
terjadi adalah mual sampai muntah serta pruritus. Pemakaian untuk
waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh efek toleransi dan
ketergantungan.
Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara
suntik, baik intra muskuler maupun intravena. Pemberian intravena,
dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural atau intra
tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid
Fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara
intranasal atau dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet
(morfin tablet). Juga tersedia dalam kemasan supositoria.
Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang
detail dan ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang
penggunaan obat ini ke instansi pengawas penggunaan obat-obat
narkotika.

c. Kelompok obat anestesia lokal.


Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase
depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada
daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom
sumber nyeri, didaerah perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang
epidural atau interatekal.

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal


dapat dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek
sinergistik. Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih
panjang. Obat yang diberikan intratekal hanyalah obat yang
direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia
lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah.
Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa
menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik
sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur
akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak
menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan
untuk berlangsung beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.
Komplikasi bisa terjadi:
 Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal
hipotensi pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan
kelemahan otot yang menyertai blok saraf besar.
 Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau
pemberian aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini
bermanifestasi mulai dari kebingungan ringan, sampai hilang
kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung.
 Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan
mediko-legal. Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat

2. Cauda equina merupakan kumpulan akar saraf intradural pada ujung


medulla spinalis. Cauda merupakan bahasa latin dari ekor, dan equina
adalah bahasa latin untuk kuda, sehingga berarti ekor kuda. Medula spinalis
adalah kelanjutan medulla oblongata kearah bawah yang dimulai tepat
dibawah foramen magnum dan berakhir pada diskus intervertebralis antara
vertebrae lumbalis pertama dan kedua sebagai struktur yang mengecil yang
disebut conus medullaris, terdiri dari segmen medulla spinalis sakralis. Ini
memberi inervasi sensorik ke “saddle area”, inervasi motorik ke sfingter dan
inervasi parasimpatis ke kandung kencing dan usus bagian bawah, yaitu dari
flexura lienalis kiri ke rektum.

Saraf pada region cauda equina meliputi lumbal bagian bawah dan
semua akar saraf sakralis. Nervus splanchnic pelvicus membawa serat
parasimpatis preganglionik dari S2-S4 untuk menginervasi musculus
detrusor pada kandung kencing. Sebaliknya lower motor neuron somatic
dari S2-S4 menginervasi otot volunter dari sfingter ani eksterna dan sfingter
uretra ke rektum inferior, dan percabangan perineum dari nervus pudendus.
Oleh karena itu akar saraf region cauda equina membawa sensasi dari
ekstremitas bawah, somatom perineum, dan serta motorik yang keluar ke
miotom ekstremitas bawah. Lanjutan dari conus yag tipis, seperti benang
yaitu filum terminale merupakan elemen non neuron dalam region cauda
equina yang meluas ke bawah menuju coccygeus.

Cauda Equina Syndrome (CES) , suatu kelainan neurologis yang


jarang ditemukan, merupakan kombinasi gejala dan tanda akibat kompresi
simultan akar saraf lumbosakral multiple di bawah level conus medullaris.
Manifestasi klinis neuromuskular dan urogenital bervariasi dengan
karakteristik gangguannya adalah nyeri punggung bawah, ischialgia
bilateral atau unilateral, kelemahan bilateral atau unilateral ekstremitas
bawah, hipestesi atau anestesi perianal atau tipe sadel, impotensi, bersamaan
dengan disfungsi bowel dan bladder.

Sindroma cauda equina merupakan kondisi yang serius. Meskipun


lesi secara teknik melibatkan akar saraf dan menunjukkan kerusakan saraf
“perifer”, akibat yang ditimbulkan dapat irreversibel sehingga CES
memerlukan tidakan bedah emergensi. Sindroma cauda equina dianggap
sebagai darurat bedah karena jika tidak diobati dapat menyebabkan
kerusakan permanen kontrol usus dan kandung kemih dan kelumpuhan
kaki.

PATOFISIOLOGI

Sindrom cauda equina disebabkan oleh penyempitan apapun pada


canalis spinalis yang menekan akar saraf di bawah level medula spinalis.
Lesi pada cauda equina bersifat LMN karena radiks yang terkena
merupakan bagian dari susunan saraf perifer. Cauda Equina Syndrome
(CES) merujuk pada kondisi dimana terjadi kompresi secara bersamaan
pada akar saraf lumbosakral dibawah level conus medularis, yang
menyebabkan gejala neuromuskuler dan urogenital. Patofisiologi
mekanisme terjadinya CES belum sepenuhnya dipahami. Akar saraf ini
rentan terhadap cedera kompresi atau regangan karena memiliki
epineurinum yang tidak berkembang dengan baik. Jika epineurinum
terbentuk sempurna, seperti pada saraf-saraf perifer, akan dapat melindungi
saraf dari tekanan atau tarikan/regangan. Selain itu sistem mikrovaskuler
pada akar saraf cauda equina memiliki area yang relatif hipovaskuler yang
terbentuk oleh kombinasi area anastomosis di sepertiga proksimal akar
saraf. Hal tersebut menimbulkan rasionalisasi anatomik terhadap terjadinya
manifestasi neuroiskemik bersamaan dengan perubahan degenerasi.

Beberapa penyebab sindrom cauda equina telah dilaporkan, meliputi


cedera traumatik, herniasi diskus, stenosis spinalis, neoplasma spinal,
schwannoma, ependimoma, kondisi peradangan, kondisi infeksi, dan
penyebab iatrogenik.

Trauma

 Kejadian traumatik yang menyebabkan fraktur atau subluksasi dapat


menyebabkan kompresi cauda equina.
 Trauma tembus dapat menyebabkan kerusakan atau kompresi cauda
equina.
 Manipulasi spinal yang menyebabkan subluksasi akan mengakibatkan
munculnya sindrom cauda equina.
 Kasus yang jarang berupa fraktur insufisiensi sacral telah dilaporkan
menyebabkan sindrom cauda equina.

Herniasi diskus

 Kejadian sindroma cauda equina yang disebabkan oleh herniasi diskus


lumbalis dilaporkan bervariasi dari 1-15%.
 Sembilan puluh persen herniasi diskus lumbalis terjadi baik pada L4-L5
atau L5-S1.
 Tujuh puluh persen kasus herniasi diskus yang menyebabkan sindrom
cauda equina terjadi pada pasien dengan riwayat low back pain kronis,
dan 30% berkembang menjadi sindrom cauda equina sebagai gejala
pertama herniasi diskus lumbalis.
 Laki-laki usia dekade 4 dan 5 adalah yang paling rawan terhadap
sindrom cauda equina akibat herniasi diskus.

Neoplasma

 Sindrom cauda equina dapat disebabkan oleh neoplasma spinal baik


primer atau metastasis, biasanya berasal dari prostat (pada laki-laki).
 60 % pasien dengan sindrom cauda equina yang disebabkan neoplasma
spinal mengalami nyeri berat yang dini.

Infeksi

 Kondisi peradangan pada medula spinalis yang berlangsung lama,


misalnya Paget’s disease dan spondilitis ankilosa, dapat menyebabkan
sindrom cauda equina karena stenosis ataupun fraktur spinal.
 Kondisi infeksi, misalnya abses epidural, dapat menyebabkan
deformitas akar saraf dan medula spinalis.

DIAGNOSIS
Terdapat tiga variasi CES yang sudah diketahui :

 CES akut yang terjadi mendadak tanpa didahului problem punggung


bawah sebelumnya.
 Defisit neurologis akut (disfungsi bladder) pada pasien yang memiliki
riwayat nyeri punggung dan ischialgia.
 Progresi bertahap ke arah CES pada pasien yang yang menderita nyeri
punggung kronik dan ischialgia. Pada lebih 85% kasus, gejala dan tanda
klinis CES berkembang dalam waktu kurang dari 24 jam.

Glave dan Macfarlane membagi pasien CES dalan dua stadium


dalam hubungannya dengan fungsi urinari: stadium I, CES dengan retensi
dan overflow incontinence; stadium II, CES inkomplit, dengan ciri
penurunan sensasi urinari, hilangnya keinginan untuk berkemih
(pengosongan), pancaran urin tidak baik, dan perlu mengejan agar bisa
berkemih.

Anamnesis

Pasien CES sering menunjukkan gejala-gejala yang tidak spesifk,


dengan nyeri punggung yang merupakan gejala yang paling menonjol. Bell
et al menunjukkan bahwa didapatkan akurasi diagnostik antara retensi urin,
frekuensi urin, inkontinensia urin, penurunan sensasi berkemih dan
penurunan sensasi perineal dengan hasil MRI yang menunjukkan adanya
prolaps diskus. Anamnesis yang harus didapatkan dari pasien antara lain:

 Nyeri punggung bawah. Nyeri ini mungkin memiliki beberapa


karakteristik yang mengesankan adanya hal yang berbeda dari strain
lumbal pada umumnya. Pasien mungkin melaporkan adanya trigger
yang memperparah, seperti menolehkan kepala.
 Nyeri tungkai atau nyeri menjalar ke kaki yang bersifat akut atau kronik.
 Kelemahan motorik ekstremitas bawah unilateral atau bilateral dan/atau
abnormalitas sensorik.
 Disfungsi bowel dan bladder
 Gejala awal biasanya adalah retensi urin yang diikuti dengan munculnya
overflow incontinence, dan kemudian bisa juga diikuti dengan keluhan
inkontinensia alvi
 Biasanya dihubungkan dengan anesthesia/hipestesia tipe sadel
 Gangguan ereksi dan ejakulasi.

Pemeriksaan Fisik

Nyeri sering berlokasi di punggung bawah. Mungkin didapatkan


nyeri tekan setempat atau nyeri sewaktu diperkusi. Nyeri punggung bawah
dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan radikular. Nyeri lokal biasanya nyeri
yang dalam akibat iritasi jaringan lunak dan korpus vertebra. Nyeri radikular
umumnya bersifat tajam, seperti tertusuk-tusuk akibat dari kompresi radiks
saraf dorsal. Nyeri radikular diproyeksikan dalam distribusi dermatomal.
Abnormalitas refleks mungkin ada, berupa berkurangnya atau hilangnya
refleks fisiologis. Refleks yang meningkat merupakan tanda adanya
keterlibatan medula spinalis sehingga diagnosis CES bisa disingkirkan.
Nyeri menjalar ke kaki (ischialgia) unilateral atau bilateral merupakan
karakteristik CES, diperburuk dengan manuver valsava. Abnormalitas
sensorik mungkin muncul di area perineal atau ekstremitas bawah.
Pemeriksaan raba ringan (light touch) pada area perineal seharusnya
dilakukan. Area yang mengalami anestesi mungkin menunjukkan adanya
kerusakan kulit.

Kelemahan otot mungkin timbul pada otot-otot yang mendapatkan


inervasi dari radiks saraf yang terkena. Atrofi otot dapat terjadi pada CES
kronik. Tonus sphincter ani yang menurun atau hilang merupakan
karakteristik CES. Adanya tanda babinski atau tanda-tanda upper motor
neuron lainnya menunjukkan diagnosis selain CES, kemungkinan
merupakan kompresi medula spinalis. Penurunan fungsi bladder dapat
dinilai secara empiris dengan kateterisasi urin. CES harus dipertimbangkan
kemungkinannya pada semua pasien yang memiliki keluhan nyeri
punggung bawah dengan inkontinensia bowel atau bladder. Disfungsi
bladder biasanya merupakan akibat dari kelemahan otot detrussor dan
areflexic bladder; disfungsi ini awalnya menyebabkan retensi urin yang
kemudian diikuti dengan overflow incontinence pada stadium selanjutnya.
Pasien yang menderita nyeri punggung dan inkontinensia urin tetapi hasil
pemeriksaan neurologisnya normal seharusnya diukur volume residual
postvoid-nya. Volume residual postvoid yang lebih besar dari 100 mL
menunjukkan adanya overflow incontinence dan memerlukan evaluasi lebih
lanjut; sedangkan volume kurang dari 100 mL menyingkirkan diagnosis
CES. Refleks anal, yang ditimbulkan dengan mengusap kulit lateral anus,
normalnya menyebabkan kontraksi refleks sphincter ani eksterna.
Pemeriksaan rektal seharusnya dilakukan untuk menilai tonus sphincter ani
dan sensibilitas jika ditemukan tanda atau gejala CES.
Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis CES umumnya bisa didapatkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium digunakan
untuk mengonfirmasi diagnosis dan untuk menentukan lokasi patologik dan
penyakit yang mendasari. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan
dalam penelusuran diagnosis CES adalah:

 X-foto polos. Tidak banyak membantu dalam diagnosis CES tapi


mungkin dapat dilakukan dalam kasus-kasus cedera akibat trauma atau
penelusuran adanya perubahan destruktif pada vertebra, penyempitan
diskus intervertebralis atau adanya spondilosis, spondilolistesis
 CT dengan atau tanpa kontras. Myelogram lumbar diikuti dengan CT.
 MRI. Berdasarkan kemampuannya untuk menggambarkan jaringan
lunak, MRI umumnya merupakan tes yang disukai dokter dalam
mendiagnosis CES. MRI direkomendasikan untuk seluruh pasien yang
memiliki gejala urinari yang baru muncul yang berhubungan dengan
nyeri punggung bawah dan ischialgia.
 Ultrasonografi mungkin bisa digunakan untuk estimasi volume residual
post-void.
 Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah rutin, kimia darah, gula darah puasa, sedimentation rate, dan sifilis
dan lyme serology. Pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat
dilakukan jika didapatkan tanda meningitis.

3. Diagnosis Triage
Diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
neurologik. Untuk tujuan penatalaksanaan lebih lanjut A Joint Clinical
Practice Guideline from the American College of Physicians and the
American Pain Society pada tahun 2007merekomendasikan diagnosis triage
NPB menjadi 3 kelompok besar yaitu : (Chou et al., 2007a; Robinson &
Apkarian. 2009), yaitu :
a. NPB non spesifik.
b. NPB karena gangguan neurologis (stenosis kanal dan radikulopati).
c. NPB yang disebabkan oleh penyakit spinal yang serius (Red
Flags).

1) NPB non spesifik pada umumnya terdapat ciri-ciri sebagai


berikut :
 Umur: 20-55 tahun.
 Keadaan umum pasien baik.
 Nyeri pada daerah paha, pantat dan lumbosakral.
 Nyeri mekanik.
2) NPB karena gangguan neurologis :
 adanya nyeri radikular/iskialgia.
 nyeri menyebar sampai dibawah lutut, tidak hanya paha bagian
belakang.
 riwayat nyeri / kesemutan yang lama.
 Tanda Lasegue positif.
 riwayat gangguan miksi / defekasi / fungsi seksual.
 adanya saddle back anestesia / hipestesia.
 adanya kelemahan tungkai dan gangguan gaya jalan.
Pada umumnya belum perlu dirujuk ke spesialis saraf dalam waktu
4 minggu pertama.
3) NPB yang disebabkan oleh penyakit spinal yang serius (red
flags).
Kelainan patologik spinal yang serius antara lain keganasan tulang
vertebra, radang spinal dan sindrom kauda ekuina. Anamnesis yang
perlu diajukan antara lain adalah sebagai berikut (Croft et al., 1998;
Casey et al.,1999; Chou et al., 2007a) :
 Usia: kurang dari 20 tahun atau lebih dari 55 tahun.
 Riwayat trauma: kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian.
 Riwayat adanya karsinoma.
 Adanya penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas.
 Pemakaian obat-obatan imunosupresan / kortikosteroid sistemik.
 Penyalahgunaan obat / narkoba.
 Riwayat febris dan radang saluran kemih.
Penderita harus segera dirujuk ke spesialis terkait dalam waktu
kurang dari 4 minggu.

Yellow flags
Anamnesis seyogyanya juga meliputi asesmen faktor risiko
psikososial karena faktor psikososial dan stres merupakan predictor
yang kuat yang dapat dipakai untuk meramalkan kemungkinan
risiko terjadinya NPB kronik ( yellow flags ). (Chou et al., 2007a; Chou
and Huffman , 2007b)
Nyeri punggung bawah dapat disebabkan oleh kelainan diluar
punggung sehingga perlu disingkirkan kemungkinan penyebab dari luar
punggung seperti : pankreatitis, nefrolitiasis, aneurisma aorta,
endokarditis dan penyakit sistemik yang lain. (Chou et al., 2007a)

4. Diagnosis Kasus
Nyeri punggung bawah biasanya mengacu pada nyeri di jaringan daerah
lumbosakral, seperti otot, tendon, cakram intervertebralis dan sendi facet.
Rasa sakit bisa menyebar ke pantat dan bagian belakang paha. Nyeri
punggung bawah berbeda dengan linu panggul. Ini tidak meluas sampai ke
kaki seperti rasa sakit skiatik.
Nyeri punggung bawah pada orang setengah baya dan muda biasanya
karena ketegangan otot dan postur tubuh yang buruk, sedangkan sakit
punggung pada orang tua terutama disebabkan oleh degenerasi diskus
intervertebralis dan sendi facet yang menua.
Penderita LBP memiliki keluhan yang beragam tergantung dari
patofisiologi, perubahan kimia atau biomekanik dalam diskus
intervertebralis, dan umumnya mereka mengalami nyeri. Nyeri miofasial
khas ditandai dengan nyeri dan nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan
(trigger points), kehilangan ruang gerak kelompok otot yang tersangkut
(loss of range of motion) dan nyeri radikuler yang terbatas pada saraf tepi.
Keluhan nyeri sendiri sering hilang bila kelompok otot tersebut
diregangkan.
Menurut McKenzie, LBP mekanik ditandai dengan gejala sebagai berikut :
1. Nyeri terjadi secara intermitten atau terputus-putus.
2. Sifat nyeri tajam karena dipengaruhi oleh sikap atau gerakan yang bisa
meringankan ataupun memperberat keluhan.
3. Membaik setelah istirahat dalam waktu yang cukup dan memburuk
setelah digunakan beraktivitas.
4. Tidak ditemukan tanda-tanda radang seperti panas, warna kemerahan
ataupun pembengkakan.
5. Terkadang nyeri menjalar ke bagian pantat atau paha.
6. Dapat terjadi morning stiffness.
7. Nyeri bertambah hebat bila bergerak ekstensi, fleksi, rotasi, berdiri,
berjalan maupun duduk.
8. Nyeri berkurang bila berbaring
5. Tes provokasi nyeri
O Tanda Laseque: menunjukkan adanya ketegangan pada saraf spinal
khususnya L5 atau S1. Secara klinis tanda Laseque dilakukan dengan fleksi
pada lutut terlebih dahulu, lalu di panggul sampai 90 lalu dengan perlahan-
lahan dilakukan ekstensi lutut dan gerakan iniakan menghasilkan nyeri pada
tungkai pasien terutama di betis (tesyang positif) dan nyeri akan berkurang
bila lutut dalam keadaan fleksi. Pada tanda laseque, makin kecil sudut yang
dibuat untuk menimbulkan nyeri makin besar kemungkinan kompresi radiks
sebagai penyebabnya.
O Tanda Laseque kontralateral (contralateral Laseque sign) dilakukan
dengan cara yang sama, namun bila tungkai yang tidak nyeri diangkat akan
menimbulkan suatu respons yang positif pada tungkai kontralateral yang
sakit dan menunjukkan adanya suatu hernia nukleus pulposus

O Tanda Patrick dilakukan dengan cara tungkai dalam posisi fleksi disendi
lutut sementara tumit diletakkan di atas lutut tungkai yang satunya lagi.
Kemudian lutut tungkai yang difleksikan tadi ditekan ke bawah. Apabila
ada kelainan di sendi panggul maka penderitaakan merasakan nyeri di sendi
panggul tadi.

O Tanda kontra Patrick dilakukan dengan cara tungkai dalam posisifleksi


di sendi lutut dan sendi panggul. Kemudian lutut didorong kemedial. Bila
di sendi sakroiliaka ada kelainan maka disitu akan terasa nyeri.
Daftar Pustaka

Graham, Andrew William, Vora, etal. 2015. UPPER MOTOR NEURON VS.
LOWER MOTOR NEURON FACIAL PALSY: DOES THE SCIENCE
SUPPORT THE CLINICAL EXPLANATION?. Viewed : 29/08/18. From :
https://journals.lww.co.

Harsono, S., 2009. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : UGM.

Hoangmai, H et al., 2009. Rapidity and Modality of Imaging for Acute Low Back
Pain in Elderly Patients. Arch Intern Med. Vol 169. No 10:972-981 Viewed :
29/0/18. From : https://www.ncbi.nlm.nih.gov.

Sawn Villines. 2017. What is The DIfference Between Hemiplegia and


Hemiparesis ?. Viewed : 24/08/18. From : https://www.spinalcord.com.

Sidharta, P., 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Ed 6. Jakarta: Dian
Rakyat.

Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai