Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit
saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis
masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya
mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon (Nastiti,
2005).
Tuberkulosis tersebar pada seluruh dunia dan dapat terjadi pada semua
golongan umur termasuk dalam keadaan keadaan tertentu seperti pada saat
kehamilan. Walaupun pada umumnya penyakit ini tidak banyak
mempengaruhi kehamilan, kecuali penyakitnya tidak terkontrol, berat dan
luas yang disertai dengan sesak nafas dan hipoksia (Mochtar).
TB paru pada wanita hamil telah menjadi topik pembicaraan dan
kontroversi sejak jaman hipocrates. Sebelum ditemukannya pengobatan yang
efektif, peranan kehamilan sebagai penyebab reaktifasi dan progresi TB paru
telah banyak diperdebatkan. Pada awal abad 14, beberapa ahli berpendapat
bahwa peningkatan tekanan intra abdomen yang terjadi pada wanita hamil
dipercaya dapat membantu mengeluarkan cavitas, sehingga seorang dokter
yang berasal dari Jerman mengusulkan bahwa wanita muda dengan TB paru
harus segera menikah dan segera hamil untuk memperlambat progresi
penyakit TB (Kecia, 1996).
Pada tahun 1850, Grisolle menyatakan bahwa TB menyebabkan
dampak yang buruk pada kehamilan dan selanjutnya pada tahun 1950
beberapa ahli mengusulkan dilakukannya abortus terapeutik pada wanita
hamil dengan TB paru (Kecia, 1996).
Pada tahun 1953, Hedvall pada salah satu penelitiannya menemukan
jumlah yang sama antara wanita dengan TB yang membaik dengan kehamilan
maupun yang memburuk. Schaefer pada tahun 1975 menunjukkan bahwa

1
progresifitas TB tidak berbeda secara signifikan baik pada wanita hamil
maupun pada wanita yang tidak hamil. Pada pertengahan abad ke dua puluh
para ahli menduga bahwasanya progresititas TB justru akan meningkat pada
periode postpartum. Hal ini berhubungan dengan penurunan diafragma yang
berakibat pada perubahan tekanan intratoraks yang disertai dengan fluktuasi
hormonal, kehilangan nutrisi dan penurunan imunitas (Kecia, 1996).
Diagnosis TB dalam kehamilan sangat penting artinya baik bagi ibu
hamil maupun bagi janin yang di kandungnya, karena tanpa penanganan yang
tepat penyakit ini dapat menyebabkan resiko yang cukup besar bagi
keduanya. TB masih menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia.
Sepertiga dari seluruh penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Keadaan ini menggambarkan bahwasanya insiden infeksi pada
wanita hamil juga sama besarnya dengan populasi normal (Dechemey, 1994).
Diagnosis klinis, pemeriksaan laboratorium dan terapi selama
kehamilan ataupun pada masa postpartum membutuhkan perhatian khusus,
karena wanita hamil dengan TB paru tanpa pengobatan yang adekuat dapat
menjadi faktor penyebaran infeksi pada bayinya. Diagnosis TB pada
kehamilan, keamanan anti tuberkulosis dan pemberian profilaksis harus dapat
dipahami dengan baik oIeh dokter, sehingga diharapkan kasus kasus TB
dalam kehamilan dapat diketahui sehingga dapat dilakukan penanganan yang
tepat (Dechemey, 1994).
Penyakit ini perlu diperhatikan dalam kehamilan, karena penyakit ini
masih merupakan penyakit rakyat, sehingga sering kita jumpai dalam
kehamilan. TBC paru ini dapat menimbulkan masalah pada wanita itu sendiri,
bayinya dan masyarakat sekitarnya. Kehamilan tidak banyak memberikan
pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak
mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk-batuk
yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit sekitar dada
(Cunningham, 1997).

2
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas rumusan masalah yang didapat adalah apa
tuberkulosis paru itu, bagaimana anatomi dan fisiologi tuberkulosis paru pada
kehamilan, apa saja etiologi dan manifestasi klinis tuberkulosis paru pada
kehamilan, seperti apa patofisiologi, tes diagnosis, penatalaksanaan, dan efek
tuberkulosis paru pada kehamilan, analisa jurnal serta bagaimana peran
perawat dalam menghadapi pasien ibu hamil dengan riwayat tuberkulosis
paru?

1.3 Tujuan
a. Tujuan umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan dengan
tanggap dan benar bagi penderita tuberculosis paru, terutama pada ibu
hamil dengan riwayat tuberkulosis paru.

b. Tujuan khusus
1) Mahasiswa mampu memahami definisi dari tuberculosis paru pada
kehamilan
2) Mahasiswa mampu memahami etiologi dan manifestasi klinis dari
tubercolusis paru pada kehamilan
3) Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan diagnostik apa saja yang
dilakukan tubercolusis paru pada kehamilan
4) Mahasiswa dapat memahami peran perawat dalam menghadapi pasien
ibu hamil dengan riwayat tubercolusis paru
5) Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan bagi penderita
tubercolusis paru pada kehamilan dengan tepat

3
1.4 Manfaat
a. Manfaat Praktis
1) Bagi Mahasiswa Keperawatan
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan
komunikasi dan penyampaian permasalahan mengenai tuberkulosis
paru pada kehamilan.
2) Bagi Penulis
Meningkatkan pemahaman, daya analisis, dan kemampuan
dalam mengaplikasikan teori yang ada tentang tuberkulosis paru pada
kehamilan.

b. Manfaat Teoritis
1) Bagi Mahasiswa Keperawatan
Menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami
tentang tuberkulosis paru pada kehamilan.
2) Bagi Penulis
Makalah ini dapat menjadi landasan sebagai media pembelajaran
untuk selanjutnya tentang tuberkulosis paru pada kehamilan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis Paru


2.2 Anatomi dan Fisiologi Tuberkulosis Paru
2.3 Etiologi Tuberkulosis Paru
Penyebab dari penyakit tuebrculosis paru adalah terinfeksinya paru
oleh micobacterium tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang
dengan ukuran sampai 4 mycron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang
menunjukkan kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya, sehingga paru-paru merupakan tempat prediksi penyakit
tuberculosis. Kuman ini juga terdiri dari asal lemak (lipid) yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia
dan fisik. Penyebaran mycobacterium tuberculosis yaitu melalui droplet
nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan menginfeksi (Depkes RI, 2002).

2.4 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru pada Kehamilan


Sebagian besar pasien tuberkulosis paru dengan kehamilan, tidak
menunjukkan kelainan yang mencurigakan sehingga pasien tidak menyadari
penyakit tersebut. Gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah batuk-
batuk/batuk darah, demam, lemah lesu, nyeri dada, sesak nafas, keringat
malam, nafsu makan menurun, dan penurunan berat badan (Najoan &
Suryawan, 2007).
Keluhan-keluhan tersebut diatas sama dengan keluhan-keluhan pasien
tuberkulosis paru tanpa kehamilan. Begitu juga dengan kelainan pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya ronki terutama di apeks paru. Seringkali
malah tidak ditemukan kelainan apa-apa pada pemeriksaan parunya (Najoan
& Suryawan, 2007).

2.5 Patofisiologi Tuberkulosis Paru pada Kehamilan

5
2.6 Efek Tuberkulosis Paru pada Kehamilan
Pengaruh TBC pada kehamilan tergantung dari beberapa faktor antara
lain lokasi penyakit (intra atau ekstrapulmonal), usia kehamilan, status gizi
ibu dan ada tidaknya penyakit penyerta (Aroro & Gupta, 2003). Beberapa
studi menyatakan terdapat hubungan antara TBC dan meningkatnya risiko
berat badan lahir rendah, kelahiran preterm, kehidupan perinatal sampai pada
kematian bayi (Small & Fujiwara, 2001). Jika pemberian OAT dimulai pada
awal kehamilan akan memberikan hasil yang sama seperti pasien yang tidak
hamil, tetapi bila diagnosis dan penanganan terlambat terjadi peningkatan
angka morbiditas bayi 4 kali lipat dan peningkatan kelahiran preterm sebesar
9 kali lipat (Figueroa & Arredondo, 1998).
Selama kehamilan dapat terjadi transmisi basil TBC ke janin.
Transmisi biasanya terjadi secara limfatik, hematogen atau secara langsung.
Janin dapat terinfeksi melalui darah yang berasal dari infeksi plasenta melalui
vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion, komplikasi seperti ini jarang
terjadi. TBC yang terjadi disebut sebagai TBC kongenital (Ormerod, 1994)
TBC kongenital harus dibedakan dengan TBC postnatal. Kriteria diagnosis
TBC pada bayi dengan salah satu kriteria berikut yaitu adanya lesi, kompleks
primer di hati, infeksi TBC pada plasenta atau endometrium pada minggu
pertama kehidupan serta dapat disingkirkannya transmisi postnatal (Cantwell
et al, 1994).
Gejala mungkin terlihat saat lahir tetapi biasanya pada minggu kedua
dan ketiga. Pada pemeriksaan fisis didapatkan hepatomegali (76%), gangguan
pernafasan (72%), demam (48%) dan limfadenopati (38%). Gambaran foto
toraks mungkin normal segera setelah lahir tetapi berjalan progresif dengan
cepat disertai pembentukan kavitas. Apabila memungkinkan, maka dilakukan
biakan tuberkel basil pada plasenta. (Omerod, 2001)
Uji tuberkulin tidak banyak membantu karena hasil negatif pada
awalnya dan menjadi positif dalam waktu 1-2 bulan. Pemeriksaan lain seperti
basil tahan asam (BTA) dan biakan pada jaringan atau cairan lambung.
Deteksi TBC pada ibu merupakan hal penting untuk pemberian pengobatan

6
adekuat sehingga risiko serius yang terjadi pada janin dan bayi baru lahir
dapat dikurangi (Meiyanti, 2007).

2.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru pada Kehamilan


Diagnosis TBC pada kehamilan sama dengan TBC tanpa kehamilan.
Diagnosis mungkin terlambat ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak
khas, tertutup oleh gejala-gejala pada kehamilan( Frieden, 2003). Efferen
(2010) melaporkan bahwa dari 27 wanita hamil dengan pemeriksaan biakan
sputum yang positif, didapatkan 74 % gejala batuk, 41% penurunan berat
badan, 30% demam, malaise dan lelah, 19% batuk darah dan 20% tanpa gejala.
Oleh karena itu perlu dilakukan penapisan pada perempuan hamil dengan
risiko tinggi terkena TBC melalui pemeriksaan antenatal. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah uji tuberkulin, sputum BTA dan pemeriksaan biakan
(Omerod, 2001).

2.8 Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis Paru pada Kehamilan


a. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya
kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik.
Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran kekiri. Jumlah
limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah
limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kearah normal lagi
(Karen et al, 2003).
b. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman bakteri tahan asam, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan.
Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi
terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan
murah, tetapi sulit dilaksanakan di lapangan (puskesmas) karena tidak

7
mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau
batuk yang nonproduktif (Prawiroharjo, 1999).
c. Uji Tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara mantoux (penyuntikan
intracutan) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum no 26. Tuberkulin yang
dipakai adalah tuberkulin PPD 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan
48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter tranversal dari indurasi
yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter. Uji tuberkulin positif
bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik) atau 5 mm pada gizi buruk. Tes
tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. Tuberculosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan
Micobacterium patogen lainnya (Robert et al, 2003).
d. Pemeriksaan Radiologis
Rontgen foto dada sering diperlukan bila pasien tidak dapat
mengeluarkan sputum, atau hasil pemeriksaan BTA langsung memberikan
nilai negatif (tidak ditemukan BTA). Pemeriksaan radiologi dada harus
memakai pelindung timah pada abdomen, sehingga bahaya radiasi
terhadap janin jadi lebih minimal. Jika usia kehamilan masih dalam
trimester pertama, sebaiknya pemeriksaan radiologi dada tidak dikerjakan
dan sedikitpun masih berdampak negatif pada sel-sel muda janin. Dengan
pemeriksaan radiologi dada diagnosis TB paru lebih banyak ditemukan
dibandingkan pemeriksaan bakteriologi sputum. Gambaran radiologi yang
diberikan hampir sama dengan TB paru tanpa kehamilan, yakni infiltrat,
kalsifikasi, fibrotik, kavitas, efusi pleura dll. Pemeriksaan radiologi
sebaiknya dilakukan pada umur kehamilan >28 karena sinar rontgen dapat
berpengaruh buruk terhadap janin (Arora et al, 2002).

8
2.9 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru pada Kehamilan
Penatalaksanaan tuberkulosis paru berdasarkan trimester I, trimester
II, dan trimester III, yaitu : (Najoan & Suryawan, 2007)
a. Masa Kehamilan Trimester I
Beberapa hal yang harus dipehatikan pada trimester I ini adalah :
1) Kurangi aktivitas fisik (bedrest), terpenuhinya kebutuhan nutrisi (tinggi
kalori tinggi protein), pemberian vitamin dan Fe, dukungan keluarga &
kontrol teratur.
2) Dianjurkan penderita datang sebagai pasien permulaan atau terakhir dan
segera diperiksa agar tidak terjadi penularan pada orang-orang
disekitarnya.
3) Pasien sejak sebelum kehamilan telah menderita TB paru, maka
pengunaan obat diteruskan tetapi penggunaan rifampisin di hentikan.
4) Bila pada pemeriksaan antenatal ditemukan gejala klinis tuberkulosis
paru (batuk-batuk/batuk berdarah, demam, keringat malam, nafsu
makan menurun, nyeri dada,dll) maka sebaiknya diperiksakan PPD
(Purified Protein Derivate), bila hasilnya positif maka dilakukan
pemeriksaan foto dada dengan pelindung pada perut, bila tersangka
tuberkulosis maka dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3 kali dan
biakan BTA. Diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala klinis dan
kelainan bakteriologis, tetapi diagnosis dapat juga dengan gejala klinis
ditambah kelainan radiologis paru.
5) Lakukan pemeriksaan PPD, jika didapatkan hasil PPD positif (+), maka
lakukan pemeriksaan radiologis dengan pelindung pada perut. Bila
radiologi (-), maka berikan INH profilaksis 400 mg selama 1 tahun.
Bila radiologi suspek TB, maka lakukan periksa sputum. Jika hasil
pemeriksaan sputum BTA (+), maka pemberian obat-obatan yaitu:
a) INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2 kali seminggu
5-8 bln
b) Etambutol 1000 mg/hr selama 1 bulan

9
c) Rifampisin sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester
pertama
6) Pada penderita dengan proses yang masih aktif, kadang-kadang
diperlukan perawatan, untuk membuat diagnosis serta untuk
memberikan pendidikan. Perlu diterangkan pada penderita bahwa
mereka memerlukan pengobatan yang cukup lama dan ketekunan serta
ada kemauan untuk berobat secara teratur. Penyakit akan sembuh
dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita.
Penderita dididik untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk,
bersin dan tertawa. Pengobatan terutama dengan kemoterapi, dan sangat
jarang diperlukan tindakan operasi. TBC paru tidak merupakan indikasi
untuk abortus buatan dan terminasi kehamilan
b. Masa Kehamilan Trimester II dan III
Pada penderita TB paru yang tidak aktif, selama kehamilan tidak
perlu dapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif, hendaknya jangan
dicampurkan dengan wanita hamil lainnya pada pemeriksaan antenatal dan
ketika mendekati persalinan sebaiknya dirawat di rumah sakit; dalam
kamar isolasi. Gunanya untuk mencegah penularan, untuk menjamin
istirahat dan makanan yang cukup serta pengobatan yang intensif dan
teratur. Dianjurkan untuk menggunakan obat dua macam atau lebih untuk
mencegah timbulnya resistensi kuman. Untuk diagnosis pasti dan
pengobatan selalu bekerja sama dengan ahli paru-paru. Penatalaksanaan
sama dengan masa kehamilan trimester pertama tetapi pada trimester
kedua diperbolehkan menggunakan rifampisin sebagai terapi. Terapi
medikamentosa dilakukan setelah berkonsultasi dengan ahlinya.
Jika hasil pemeriksaan PPD (+) tanpa kelainan radiologis maupun
gejala klinis, maka diberikan INH 400 mg selama 1 tahun. Jika TBC aktif
(BTA +), maka dilakukan pemberian rifampisin 450-600 mg/hr selama 1
bulan, dilanjutkan 600 mg 2x seminggu selama 5-8 bulan. Dan dilakukan
juga pemberian INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2x

10
seminggu selama 5-8 bulan, serta pemberian etambutol 1000 mg/hr selama
1 bulan

2.10 Peran Perawat dalam Menghadapai Tuberkulosis Paru pada Kehamilan


Dalam perawatan pasien hamil dengan TB perawat harus mampu
memberikan pendidikan pada pasien dan keluarga tentang penyebaran
penyakit dan pencegahannya, tentang pengobatan yang diberikan dan efek
sampingnya, serta hal yang mungkin terjadi jika penyakit TB tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat. Pasien dan keluarga harus tahu
system pelayanan pengobatan TB sehingga pasien tidak mengalami drop out
selama pengobatan dimana keluarga berperan sebagai pengawas minum obat
bagi pasien. Pemantuan kesehatan ibu dan janin harus selalu dilakukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang mungkin terjadi akibat TB (Mochtar,
2002).
Perbaikan status nutrisi ibu dan pencegahan anemia sangat penting
dilakukan untuk mencegah keparahan TB dan meminimalkan efek yang
timbul terhadap janin. Pendidikan tentang sanitasi lingkungan pada keluarga
dan pasien penting diberikan untuk menghindari penyebaran penyakit lebih
luas (Mochtar, 2002).

2.11 Analisa Jurnal


Jurnal ini berjudul “Multidrug-Resistant Tuberculosis during
Pregnancy:Two Case Reports and Review of the Literature” yang ditulis dan
diteliti oleh Minakshi Rohilla, Bharti Joshi, Vanita Jain, Jasvinder Kalra, dan
G. R. V. Prasad pada tahun 2016
Kurangnya data dan kurangnya konsensus mengenai manajemen
MDR-TB selama kehamilan menjadikannya sebagai isu kontroversial. Hanya
laporan kasus yang memberikan panduan untuk penatalaksanaan tuberkulosis
multidrug-resistant (MDR) pada kehamilan. Banyak dokter telah membuat
pasien berkecil hati dari yang baru saja hamil atau melanjutkan dengan
kehamilan yang ada. Dalam beberapa waktu pasien ini mendapat perawatan

11
oleh penyedia layanan kesehatan karena tantangan manajemen yang diajukan,
yaitu, ketidakcukupan data mengenai keamanan profil, menahan penggunaan
rifampicin dan isoniazid, waktu dimulainya pengobatan, bukti kuat dari
toksisitas, dan takut komplikasi pasca perawatan.
Penatalaksanaan tuberkulosis yang resistan terhadap banyak obat
(MDR-TB) pada kehamilan ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, obat
antituberkulosis lini kedua yang digunakan untuk pengobatan berpotensi
teratogenik, kurang efektif, dan lebih berbahaya; di sisi lain, perawatan
suboptimal pada pasien tersebut dapat berbahaya. Oleh karena itu,
manajemen pasien ini melibatkan pendekatan multidisipliner dengan tim yang
terdiri dari ahli obsetrik, neonatologist, pulmonologist, dan kesehatan
masyarakat. Regimen pengobatan dan durasi terapi untuk pasien seperti itu
membutuhkan individualisasi sesuai dengan pola kerentanan strain
infektif. Terapi biasanya ditunda sampai trimester kedua untuk menghindari
efek teratogenik obat kecuali pasien HIV positif atau dalam kondisi kritis.
Beberapa pertimbangan dan modifikasi diperlukan untuk
menggunakan obat-obatan ini selama kehamilan. Aminoglikosida dihindari
dalam rejimen pasien hamil karena takut ototosisitas pada janin yang sedang
berkembang. Penggunaan prothinamide dan ethionamide diperdebatkan
dalam kehamilan karena menyebabkan retardasi pertumbuhan, aborsi,
malformasi, dan sebagainya.

12
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN IBU HAMIL DENGAN TBC PARU

13

Anda mungkin juga menyukai