Anda di halaman 1dari 19

PPH BADAN

8.1 Konsep Dasar PPh Badan


Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Misalnya: PT, CV, perseroan lainnya,
BUMN/D dengan nama dan dalam bentuk apapun, Fa, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun,
Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Ormas, Orsospol, atau Organisasi yang sejenis,
Lembaga, Bentuk usaha tetap dan Bentuk badan lainnya termasuk reksadana
Dasar pemotongan pajak dibedakan menjadi penghasilan bruto dan penghasilan neto.
Dasar pemotongan pajak adalah jumlah penghasilan bruto untuk penghasilan sebagai berikut:

a. Deviden
b. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian piutang
c. Royalti
d. Hadiah dan penghargaan
e. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
Dasar pemotongan pajak adalah penghasilan neto untuk penghasilan sebagai berikut :

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta


b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
Subjek Pajak Badan, terdiri dari:
a. Dalam Negeri
Badan didirikan di Indonesia atau bertempat kedudukan di Indonesia
b. Luar Negeri
- Badan yg tdk didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
- Menjalankan usaha/kegiatan melalui BUT di Indonesia
- Menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tanpa melalui BUT
- Bentuk Usaha Tetap
- Bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak OP LN dan SP Badan LN untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan (pekerjaan bebas) di Indonesia
Bukan Subyek Pajak Badan
a. Badan perwakilan Negara asing
b. Organisasi Internasional
Yang ditetapkan oleh Menkeu dengan syarat Indonesia menjadi anggotanya dan tidak
menjalankan usaha / kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota
c. Unit tertentu dari badan pemerintah dg syarat:
- Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
- Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah;
- Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara

8.2 Dasar Hukum PPh Badan


Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh tahun 2009) mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2009 dan sebagian besar aturan pelaksanaannya telah diterbitkan.
Perubahan ketentuan peraturan perpajakan ini mengakibatkan berubahnya bentuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT PPh Badan). Sebagai
tindak lanjut penyampaian SPT PPh Badan, akan dilaksanakan penelitian SPT dan atas SPT
yang memenuhi kriteria akan dilakukan pemeriksaan.
Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak
Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini
dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri.
Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak, maka jumlah
Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan dahulu ke bawah ribuan rupiah penuh. Misalnya
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke
bawah menjadi Rp120.324.000,00.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final
atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2)
Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif
umum pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut
didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan
pajak.
Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-
undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan
menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam bagian di bawah ini.
Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri
dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00 10%
Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan 15%
Rp100.000.000,00
Di atas Rp100.000.000,00 30%

8.3 Variabel-variabel Dalam Perhitugan PPh Badan


Pendapatan usaha dan penghasilan kena pajak
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang
yaitu sebagai berikut:
PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak
b. Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka
penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
tidak memperoleh fasilitas.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas yaitu:
(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.
Namun, mulai tahun 2010, tariff PPh Badan adalah 25% dari penghasilan bruto

Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap


Tahun Tarif Pajak

2009 28%

2010 dan selanjutnya 25%

PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek 5% lebih rendah dari yang
seharusnya

Peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000 Pengurangan 50% dari yang
seharusnya

Biaya-biaya yang dapat dikurangkan


Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dihitung berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi :
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga,
sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi,
dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.
b. Penyusutan atas harta berwujud dan amortisasi atas hak dan biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
- Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial; dan
- Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang / pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; dan
- Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP, yang
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, biaya administrasi kantor pusat yang
boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang
besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Untuk dapat dikurangkan atau dibebankan dalam penghitungan Penghasilan Kena
Pajak, biaya atau pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha
atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
Objek Pajak Dengan demikian biaya atau pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dikurangkan atau
dibebankan. Biaya bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak
boleh dikurangkan atau dibebankan, apabila dividen yang diterimanya bukan merupakan
Objek Pajak. Akan tetapi dalam hal ini biaya bunga pinjaman tersebut dapat dikapitalisasi
sebagai penambah harga perolehan saham.

Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan


Dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan
BUT, tidak boleh dikurangkan :
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti : dividen, dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
b. Biaya atau pengeluaran untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk
usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan yang bukan merupakan Objek
Pajak, kecuali zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya atau pengeluaran pribadi Wajib Pajak yang bersangkutan atau orang yang menjadi
tanggungannya.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, pembayaran kepada kantor pusat yang
tidak boleh dikurangkan adalah :
a. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya;
b.imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Penyusutan serta amortisasi


Biaya yang boleh dikurangi dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai
hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan, biaya-biaya dan penyusutan. Biaya yang
tidak boleh dikurangi dari penghasilan bruto adalah biaya yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan usaha atau kegiatan, biaya-biaya dan penyusutan.
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan
sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap
penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun
lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Contoh : pada bulan April 2007
wajib pajak menyewa sebuah kantor untuk jangka waktu lima tahun sebesar Rp.60 juta. Maka
biaya sewa tahun 2007 hanya sebesar Rp.60 juta x (9/60) atau sebesar Rp.9 juta saja.
Walaupun demikian, tidak ada larangan jika wajib pajak melakukan amortisasi atas
biaya sewa tersebut. Larangan hanya untuk pembebanan sekaligus. Metode untuk penyusutan
dan amortisasi untuk keperluan pajak sebagai berikut :
a. Garis Lurus (GL), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa
manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
b. Saldo Menurun (SM), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa
manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan
pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara
taat asas.

Berikut tarif yang berlaku untuk penyusutan :


Garis Lurus :
[1] kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 25%; [2] kelompok 2
untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 12,5%; [3] kelompok 3 untuk aktiva
dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 6,25%; dan [4] kelompok 4 untuk aktiva dengan
masa manfaat 20 tahun, tarifnya 5%.
Saldo Menurun :
[1] kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 50%; [2] kelompok 2
untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 25%; [3] kelompok 3 untuk aktiva
dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 12,5%; dan [4] kelompok 4 untuk aktiva dengan
masa manfaat 20 tahun, tarifnya 10%.
Jadi tarif penyusutan SM dua kali tarif penyusutan GL. Harap diingat, untuk
keperluan pajak, penyusutan dihitung per bulan. Seandainya kita beli aktiva tanggal 30 pun
maka pada bulan tersebut sudah boleh disusutkan. Selain itu, tarif diatas tidak berlaku untuk
bangunan. Bangunan hanya boleh dihitung dengan GL dan tarifnya 5%, kecuali jika bukan
bangunan permanen maka tarifnya 10% saja. Jika terjadi pengalihan aktiva atau kejadian luar
biasa, seperti kebakaran atau banjir, maka aktiva tersebut disusutkan sekaligus. Artinya, nilai
buku yang ada langsung dibiayakan. Sebaliknya, jika dijua maka harga jual merupakan
penghasilan, jika mendapat penggantian asuransi kerugian maka penggantian asuransi
tersebut merupakan penghasilan.
8.4 Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan
Perhitungan PPh Badan dilakukan pada setiap akhir tahun pajak. Jika ada kekurangan
pembayaran pajak, maka wajib disetorkan paling lambat tanggal 25 pada bulan ketiga setelah
tahun pajak berakhir. Pelaporan PPh Badan terutang setiap tahunnya dilaporkan dengan cara
membuat SPT Tahunan PPh Badan, dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat
paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. PPh tsb disetor paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak perolehan penghasilan yang berakhir
(untuk Masa). Dan paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak
perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Tahunan). Pembayaran PPh tersebut dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) paling lambat tgl 20 bulan berikutnya setelah masa pajak
perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Masa). Dan paling lambat tgl 31 Maret tahun
berikutnya setelah tahun pajak perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Tahunan).
Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan Kantor Penerima Pembayaran dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) atau KP4 terdekat, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik.
Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan saran Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal
yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan. SPT harus diisi dengan benar, lengkap, dan
jelas dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin dan angka arab, satuan mata
uang rupiah dan menandatangani serat menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak atau
tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak.
Tata cara perhitungan PPh Pasal 25 untuk wajib pajak badan adalah sebagai berikut :
PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu xx
Pengurangan/kredit pajak :
PPh Pasal 22 xxx
PPh Pasal 23 xxx
PPh Pasal 24 xxx
Total kredit pajak xx (-)
Dasar penghitungan angsuran xxx

Angsuran PPh Pasal 25 = Dasar penghitungan angsuran


12 (atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak)
9.1 Penghasilan Netto
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting
untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis
Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus
menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu
menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya
penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto,
dibuat /disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan
memperhatikan kewajaran. disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara
tidak benar.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto


Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto
1. wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung
penghasilan neto.
2. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
3. Wajib Pajak memperoleh penghasilan bruto tidak melebihi jumlah sesuai ketentuan.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan,
atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;
atau
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya
pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan
neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan
dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.

9.2 Kompensasi Kerugian Fiskal


Apabila penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya didapat kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan netto atau laba fiskal selama 5 tahun berturut-
turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT Anugerah dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00.
Dalam 5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT Anugerah sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp.200.000.000,00
2011 : laba fiskal (Rp.300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp NIHIL
2013 : laba fiskal Rp.100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp.800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.200.000.000 )
Laba fiskal tahun 2010 Rp. 200.000.000 +
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp. 300.000.000)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2012 Rp NIHIL +
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2013 Rp. 100.000.000 +
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Rp. 900.000.000)
Laba fiskal tahun 2014 Rp. 800.000.000 +
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp. 100.000.000)

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp.100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2014
tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun
2011 sebesar Rp.300.000.000 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015
dan tahun 2016, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada
akhir tahun 2016.

9.3 Penghasilan Kena Pajak


Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang.
Bagi wajib pajak badan yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya
dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto Rp. 6.000.000.000
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan (Rp.5.400.000.000)
- Laba usaha (penghasilan netto usaha) Rp. 600.000.000
- Penghasilan lainnya Rp.50.000.000
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut (Rp. 30.000.000)
Rp. 20.000.000
- Kompensasi Kerugian (Rp. 10.000.000)
- Penghasilan Kena Pajak Rp. 610.000.000

9.4 PPh Badan Terutang


 Dasar Pengenaan Pajak. Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus
diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk wajib pajak dalam negeri dan BUT yang
menjadi dasar pengenaan pajaknya adalah penghasilan kena pajak (PKP). Jika PKP
untuk wajib pajak orang pribadi adalah sebesar penghasilan neto dikurangi dengan
PTKP maka lain halnya dengan perhitungan Penghasilan Kena Pajak untuk wajib
pajak badan. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk wajib pajak badan dihitung
sebesar penghasilan netto nya.

 PKP WP Badan = Penghasilan Netto

Cara Menghitung PKP. Perhitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak badan
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan pembukuan atau menggunakan norma
perhitungan penghasilan netto.

Menghitung PKP dengan menggunakan pembukuan


Untuk wajib pajak badan besarnya PKP sama dengan penghasilan nettonya yaitu penghasilan
bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-Undang PPh .
PKP WP Badan = Penghasilan Netto
= Penghasilan Bruto - Biaya yang diperkenankan UU PPh

Menghitung PKP dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan netto


PKP WP Badan = Penghasilan Netto – Kompensasi Kerugian
= ( Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh ) – kompensasi Kerugian

Apabila dalam menghitung PKP nya wajib pajak yang menggunakan norma
perhitungan penghasilan netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya dengan
persentase norma perhitungan penghasilan netto dikali dengan jumlah peredaran
usahanya.Dalam hal terdapat rugi tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan
maka

 Tarif PPh Wajib Pajak Badan


Pada Pasal 17 ayat 1 huruf (b) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan : “b. Wajib
Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan
persen)”.
Pada Pasal 17 ayat 2 huruf (a) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan “a. Tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (b) menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang
mulai berlaku sejak tahun pajak 2010”.
Kemudian pada pasal 17 (2b) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 dikatakan “ Wajib
Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif
sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b


Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu
sebesar 28%.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.
Contoh:
Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = 28% x Rp 4.000.000.000
= Rp 1.120.000.000

b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)


Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib
Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.
Contoh:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = (28% - 5%) x Rp1.250.000.000
= Rp 287.500.000.
Lihat : Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.
c. Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang
yaitu sebagai berikut:
PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak
2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka
penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
tidak memperoleh fasilitas
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas yaitu:
(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang memperoleh fasilitas.
Contoh 1):
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.
Penghitungan pajak yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari
peredaran bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang
berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000
= Rp 70.000.000
Contoh 2
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000
= Rp 480.000.000
jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang
= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x Rp2.520.000.000)
= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000
= Rp772.800.000

9.5 Kredit Pajak PPh Badan


Ketentuan pasal 25 Undang-undang pajak penghasilan mengatur tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam
tahun berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:

1. Wajib pajak membayar sendiri pajaknya (PPh pasal 25).


2. Melalui pemotongan atau pemungutan pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, dan 24).
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib
pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat
pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23,
serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.
b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Penghitungan Angsuran PPh pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Badan
PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu xxx
Pengurangan/Kredit pajak:
PPh pasal 22 xxx
PPh pasal 23 xxx
PPh pasal 24 xxx
Total kredit pajak xxx (-)
Dasar penghitungan angsuran xxx
Angsuran PPh pasal 25 = dasar penghitungan angsuran/12 (atau jumlah bulan dalam bagian
tahun pajak)
Contoh
Pajak penghasilan yang terutang untuk PT Perdana berdasarkan surat pemberitahuan
tahunan pajak penghasilan tahun 2009 sebesar Rp125.000.000.
Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di
luar negeri dalam tahun 2009 adalah sebagai berikut:

 Pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh pasal 22) sebesar
Rp30.000.000
 Pajak penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh pasal 23) sebesar
Rp15.000.000
 Pajak penghasilan yang dibayar di luar negeri sebesar Rp42.500.000 tetapi berdasar
ketentuan yang dapat dikreditkan (PPh pasal 24) sebesar Rp40.000.000
Pajak penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain, dan yang dibayarkan
atau terutang di luar negeri tersebut untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 8 bulan
dalam \tahun 2009.
Angsuran PPh pasal 25 untuk tahun 2010 adalah:
PPh terutang berdasar SPT Tahunan PPh tahun 2009 Rp 125.000.000
Kredit pajak:
PPh pasal 22 Rp30.000.000
PPh pasal 23 Rp15.000.000
PPh pasal 24 Rp40.000.000
Total kredit pajak Rp 85.000.000
Dasar penghitungan angsuran Rp 40.000.000
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan (PPh pasal
25) dalam tahun 2010 adalah:
Rp40.000.000 : 8 = Rp5.000.000

9.6 PPh Kurang Bayar


Menurut UU PPh Pasal 29 yang berbunyi: “Apabila pajak yang terutang untuk suatu
tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.”

Untuk memberikan kepastian batas waktu pembayaran PPh kurang bayar pada SPT
Tahunan PPh untuk tahun pajak 2008 (PPh Pasal 29), maka Dirjen Pajak telah mengeluarkan
Surat Edaran Nomor SE-35/PJ/2009 Tentang Penegasan Mengenai Batas Waktu
Penyampaian dan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Yang Terutang Berdasarkan
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2008. Berdasarkan SE-35/PJ/2009 tersebut ditegaskan
bahwa:
1. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi,
paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
2. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling
lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
3. Vb Pelunasan kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan terutang berdasarkan SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan harus
dilakukan sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan tersebut disampaikan, paling lama sesuai
dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dan angka 2.
Berarti untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 maka kekurangannya
harus dilunasi tanggal 31 Maret 2009, sedangkan untuk SPT Tahunan PPh Badan tahun 2008
maka kekurangannya harus dilunasi paling lama tanggal 30 April 2008 (jika tahun buku
adalah Jan s.d.Des).

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 )

SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang
masih harus dibayar.
SKPKB dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun dalam hal:
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan/keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar. Atas pajak yang tidak/kurang dibayar tersebut ditambah sanksi administrasi bunga
sebesar 2% per bulan maksimum 24 bulan (berlaku baik atas PPh, PPN, maupun PPn BM).
2. SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran. Atas
jumlah pajak yang terutang dikenakakan sanksi kenaikan sbb:
a. PPh Sendiri (Badan/Orang Pribadi/BUT), kenaikan sebesar 50%
b. PPh Pemotongan/Pemungutan, kenaikan sebesar 100%
c. PPN/PPn BM, kenaikan sebesar 100%.
d. Berdasarkan hasil pemeriksaan PPN/PPn BM disimpulkan bahwa ; terdapat PPN yang
seharusnya tidak dikompensasikan atau tidak dikenakan tarif 0%. Atas jumlah pajak yang
terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar 100%.
e. Kewajiban Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (perihal pembukuan) dan
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (berkenaan dengan pemeriksaan) tidak
dipenuhi. Atas jumlah pajak yang terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar:
 100% untuk PPh sendiri (PPh Orang Pribadi/Badan/BUT).
 50% untuk PPh Pemotongan/Pemungutan.
f. SKPKB dapat diterbitkan meskipun jangka waktu 10 tahun telah lewat, dalam hal wajib
pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan oleh pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas jumlah pajak yang terutang dikenakan sanksi
bunga 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

9.7 Angsuran PPh Pasal 25 tahun Barjalan


Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dikenal adanya satu sistem
pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan di awal tahun pajak, sebelum suatu
penghasilan yang menjadi objek pajak dapat ditentukan (baca: dihitung). Sistem ini diatur
dalam Pasal 25 UU PPh. Pembayaran pajak yang diatur dalam pasal ini (biasanya diistilahkan
sebagai PPh Pasal 25) akan diperlakukan sebagai pembayaran pajak di muka dan akan
diperhitungkan sebagai kredit pajak pengurang atas PPh terutang yang dihitung pada akhir
tahun pajak.

Rumus untuk menentukan besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib
Pajak (baik orang pribadi maupun badan) setiap bulannya dalam tahun berjalan adalah
besarnya PPh terutang tahun pajak sebelumnya (PPh terutang tahun berjalan diasumsikan
akan sama dengan PPh terutang tahun sebelumnya) dikurangi dengan kredit pajak yang telah
dipotong oleh pihak ketiga (yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24
dan PPh Pasal 26) dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak (berdasarkan
Pasal 25 ayat (1) UU PPh).

PPh Pasal 25 ini harus disetorkan oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya (misalkan untuk masa Januari, maka harus disetor paling lambat tanggal 15
Februari) serta dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (misal untuk masa
Januari, maka paling lambat lapor adalah tanggal 20 Februari).

Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPh, ditegaskan bahwa besarnya angsuran
pajak (PPh Pasal 25) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum
batas waktu SPT Tahunan PPh disampaikan besarnya adalah sama dengan angsuran PPh
Pasal 25 untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu (bulan Desember tahun sebelumnya).

Dengan adanya perbedaan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh antara orang
pribadi dengan badan di tahun 2009 ini, menyebabkan perlakuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh
ini akan berbeda untuk orang pribadi dan badan.

Mulai tahun pajak 2009 ini, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh orang
pribadi tahun pajak 2008 adalah tanggal 31 Maret 2009. Oleh sebab itu, untuk PPh Pasal 25
masa Januari 2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2009) dan masa
Februari 2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Maret 2009) batas waktu
pelaporannya adalah sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008
disampaikan, sehingga tidak dapat dihitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan
menggunakan Pasal 25 ayat (1) UU PPh. Maka untuk kedua masa ini, dasar untuk
menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetorkan adalah berdasarkan
setoran untuk masa Desember 2008).

Untuk Wajib Pajak badan, selain PPh Pasal 25 masa Januari 2009 dan masa Februari
2009 yang angsurannya tetap menggunakan angsuran berdasarkan masa Desember 2008,
untuk masa Maret 2009 (yang harus disetorkan paling lambat tanggal 15 April 2009 dan batas
penyetorannya ini masih sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh badan) PPh
Pasal 25-nya juga mengikuti besarnya angsuran masa Desember 2008.

Barulah untuk setoran PPh Pasal 25 masa April 2009, Wajib Pajak badan harus
menyesuaikannya berdasarkan perhitungan pada angsuran Pasal 25 ayat (1).

http://hastari-hayu.blogspot.co.id/2012/01/pph-badan.html

Anda mungkin juga menyukai