Anda di halaman 1dari 33

A.

Menghitung PPN Keluaran Atas Penjualan ke PKP Pemerintah dan ke Bonded Zone
Area

Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan
penjualanterhadap barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong
dalambarang mewah. Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
seringkalidisebut sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang pertama kali ditekankan adalah
objekpajak yang akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak yang terkena. Misalnya, barang-
barangmewah, kendaraan mewah, dan sebagainya. Yang pertama dikenakan adalah tarif pada tiap-
tiap barang tersebut. Kemudian, barulah wajib pajak pengonsumsi barang tersebut yangdikenai
beban pajaknya sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.

Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu,pajak
keluaran dan pajak masukan. Dalam hal ini, subjek pajak yang dimaksud adalahpengusaha kena
pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli barang. Artinya, PKPmengambil atau memungut
rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP)miliknya yang dibeli konsumen.
Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit ataupengurang pajak. Menjadi kredit atau
pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telahdikenai tarif pajak yang sama atas pembelian
barang tersebut yang di kemudian hari dijualolehnya. Jadi, PPN dalam hal ini hanya terjadi
pelimpahan beban.

Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalahtiga
bulan setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup leluasauntuk
melakukan pengkreditan pajaknya.

Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang Dasar No.42 tahun 2009 pasal 7 :

1) Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).


2) Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
- Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
- Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud3.Ekspor Jasa Kena Pajak
3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah5%
(lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh
Peraturan Pemerintah.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang
terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN
yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak.

2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor Jasa Kena Pajak,
atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud.

3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN.

4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir.

5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor;

2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;

3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata.

4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;

5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;

6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah
harga pasar wajar;

7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga
perolehan;

8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;

9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau

10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak yang Melapor dan Menyetorkan

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pihak yang wajib menyetor dan melaporkan PPN.
Setiap tanggal di akhir bulan adalah batas akhir waktu penyetoran dan pelaporan PPN oleh
PKP. Sesuai dengan ketentuan PMK No.197/PMK.03/2013, suatu perusahaan atau seorang
pengusaha ditetapkan sebagai PKP bila transaksi penjualannya melampaui jumlah Rp 4,8
miliar dalam setahun. Jika pengusaha tidak dapat mencapai transaksi dengan jumlah Rp 4,8
miliar tersebut, maka pengusaha dapat langsung mencabut permohonan pengukuhan sebagai
PKP.
Dengan menjadi PKP, pengusaha wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN
yang terutang. Dalam perhitungan PPN yang wajib disetor oleh PKP, ada yang disebut dengan
pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran ialah PPN yang dipungut ketika PKP
menjual produknya. Sedangkan, pajak masukan ialah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh maupun membuat produknya.

Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM

1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.

2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “B”.

3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00

4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan
Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut
selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp5.000.000,00


= Rp500.000,00

c. PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00


= Rp1.000.000,00

5. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu
BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya
35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga
BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn
BM yang terutang adalah :

a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00


= Rp5.000.000,00

c. c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00


= Rp17.500.000,00

PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP
“D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan
PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar
Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.

B. Menghitung PPN Keluaran Atas masukan yang dapat dikreditkan

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak
dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak”
Mengingat pengenaan PPN hanya atas nilai tambah dan penanggung beban pajak yang
sesungguhnya adalah konsumen akhir, maka dalam setiap rantai produksi dan distribusi BKP atau
JKP berlaku mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran yang dihitung per
masa pajak dengan hasil akhir sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) UU PPN
sebagai berikut :

- Pasal 9 ayat (3) : ”Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari
pada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
disetor oleh Pengusaha Kena Pajak”.
- Pasal 9 ayat (4) : ”Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak
yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya”.

mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran menjadikan produsen dan
distributor hanya berfungsi sebagai pemungut pajak saja dan sama sekali tidak menanggung beban
Pajak Pertambahan Nilai. Selain mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran
terdapat metode penghitungan Pajak Masukan secara deemed yang berlaku untuk Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dan Pengusaha Kena Pajak yang peredaraan
usahanya dalam satu tahun tidak melebihi jumlah tertentu. Dengan adanya metode deemed Pajak
Masukan ini maka penanggung beban Pajak Pertambahan Nilai tidak lagi hanya dipikul oleh
konsumen akhir tapi terbagi kepada dua pihak yaitu pengusaha dan konsumen.

Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, Dalam rangka


penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, mempunyai beberapa cara penghitungan tergantung
dari kondisi tertentu yang terjadi pada Pengusaha Kena Pajak. Sama halnya dengan metode
pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, pada metode deemed Pajak Masukan
penghitungan penghkreditan Pajak Masukan juga terdapat beberapa cara yang berbeda tergantung
kriteria dari Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. Berikut ini adalah berbagai metode dan
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan :

1) Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran :


- Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan
Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.
Ketentuan yang mengatur kondisi Pengusaha Kena Pajak tersebut ada pada Pasal 9 ayat
(6) UU PPN sebagai berikut :
”Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan
yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti,
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak
dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan”
Pada dasarnya pengkreditan Pajak Masukan bisa dilakukan selama berkaitan
dengan adanya Pajak Keluaran yang dihasilkan sebagai kelanjutan adanya Pajak Masukan
tersebut atau dengan kata lain pengeluaran WP untuk membeli Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak harus ada hubungannya dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak oleh WP tersebut, keadaan jadi membingungkan apabila ketika Pengusaha
Kena Pajak membeli BKP dan/atau JKP dikenai Pajak Masukan namun produk/jasa yang
dihasilkan olehnya adalah barang dan/atau jasa yang tidak terutang PPN atau tidak
dipungut PPN. Terhadap Pengusaha Kena Pajak tersebut berlaku Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak
Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak
Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.
Untuk mengetahui perbedaan penyerahan terutang PPN dengan penyerahan tidak
terutang PPN, perlu kita cermati bunyi Pasal 1 angka 6 dan angka 7 UU PPN sebagai
berikut :
 Pasal 1 angka 6 UU PPN : ”Penyerahan yang Terutang Pajak adalah penyerahan barang
atau jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak termasuk penyerahan yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai”
 Pasal 1 angka 7 UU PPN : ”Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak adalah penyerahan
barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan yang dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai”
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentudalam
kelompok barang sebagai berikut:

1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering; dan
4. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentudalam kelompok
jasa sebagai berikut:

1. jasa pelayanan kesehatan medis;


2. jasa pelayanan sosial;
3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
4. jasa keuangan;
5. jasa asuransi;
6. jasa keagamaan;
7. jasa pendidikan;
8. jasa kesenian dan hiburan;
9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
11. jasa tenaga kerja;
12. jasa perhotelan;
13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum;
14. Jasa penyediaan tempat parkir;
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
17. Jasa boga atau katering
Pada dasarnya barang dan jasa tersebut diatas adalah barang dan jasa kena pajak, namun
disebabkan kondisi tertentu dari fungsi dan sifat dari barang dan jasa tersebut sedemikian
rupa hingga menjadi tidak dikenakan PPN.
Bunyi Pasal 16B sebagai berikut :
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan
pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean; dan
5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Perhitungan:

Contoh 1 :

1) Pengusaha Kena Pajak A yang bergerak di bidang usaha real estate yang menghasilkan rumah
yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan rumah sederhana yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
2) Pada bulan Februari 2011 Pengusaha Kena Pajak A membeli barang modal berupa truk dengan
nilai perolehan Rp200.000.000,00 dan Pajak Pertambahan Nilai Rp 20.000.000,00.
3) Pada saat perolehan truk tersebut, Pengusaha Kena Pajak A belum dapat menentukan berapa
penyerahan rumah yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan rumah sederhana yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
4) Berdasarkan perkiraan Pengusaha Kena Pajak A, jumlah rumah sederhana yang akan dibangun
pada tahun 2011 adalah sebanyak 30% dari total rumah yang dibangun.
5) Berdasarkan data-data tersebut Pengusaha Kena Pajak A dapat mengkreditkan Pajak Masukan
atas perolehan truk dengan perhitungan sebagai berikut :
Rp 20.000.000,00 x 70% = Rp 14.000.000,00

Contoh 2 :
1) Pengusaha Kena Pajak B adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri pembuatan
sepatu.
2) Pada bulan Januari 2011 membeli generator listrik dengan nilai perolehan sebesar Rp
100.000.000,00 dan Pajak Pertambahan Nilai Rp 10.000.000,00.
3) Generator listrik tersebut dimaksudkan untuk digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.
4) Maka Pajak Masukan atas perolehan generator listrik yang dapat dikreditkan pada Masa Pajak
Januari 2011 adalah Rp 10.000.000,00.
5) Selama tahun 2011 ternyata generator listrik tersebut digunakan :
a) untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2011 :
- 10% untuk perumahan karyawan dan direksi;
- 90% untuk kegiatan pabrik, dan
b) untuk bulan Juli sampai dengan Desember 2011 :
- 20% untuk perumahan karyawan dan direksi;
- 80% untuk kegiatan pabrik. Berdasarkan data tersebut di atas, rata-rata penggunaan
generator listrik untuk kegiatan pabrik adalah :

90% + 80%

--------------- = 85%

2
6) Masa manfaat generator listrik tersebut sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk
penghitungan kembali Pajak Masukan ini masa manfaat generator listrik tersebut ditetapkan 4
(empat) tahun.
7) Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku 2011 yang
dilakukan pada Masa Pajak Februari 2012 adalah sebagai berikut :

Rp 10.000.000,00

85% x ---------------------- = Rp 2.125.000,00

8) Pajak Masukan atas perolehan generator listrik yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku
sesuai masa manfaat generator listrik tersebut adalah :
Rp 10.000.000,00

----------------------- = Rp 2.500.000,00

9) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (mengurangi Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Februari 2012) adalah sebesar :
Rp 2.500.000,00 – Rp 2.125.000,00 = Rp 375.000,00
10) Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas dilakukan sampai dengan
masa manfaat generator listrik berakhir.

Contoh 3:

1) Pengusaha Kena Pajak C adalah perusahaan integrated (terpadu) yang bergerak di bidang
perkebunan jagung dan pabrik minyak jagung.
2) Pada bulan April 2011 membeli truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun
untuk pabrik minyak jagung dengan harga perolehan sebesar Rp 200.000.000,00 dan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp 20.000.000,00.
3) Berdasarkan data-data yang dimiliki, diperkirakan persentase rata-rata jumlah penyerahan
yang terutang pajak terhadap penyerahan seluruhnya adalah sebesar 70%.
4) Berdasarkan data tersebut maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam SPT Masa PPN
Masa Pajak April 2011 sebesar : Rp 20.000.000,00 x 70% = Rp 14.000.000,00
5) Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2011 adalah Rp
100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp 40.000.000.000,00 dan
penjualan minyak jagung sebesar Rp 60.000.000.000,00.
6) Masa manfaat truk sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk tujuan penghitungan Pajak
Masukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan 4 (empat) tahun.
7) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama tahun
buku 2011 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2012 adalah :

Rp 60.000.000.000,00 Rp 20.000.000,00

------------------------------ x -------------------------- = Rp 3.000.000,00

Rp 100.000.000.000,00 4
8) Pajak Masukan atas perolehan truk yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah :

Rp 14.000.000,00

----------------------- = Rp 3.500.000,00

9) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (mengurangi Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2012) adalah sebesar : Rp 3.500.000,00 – Rp 3.000.000,00 = Rp 500.000,00
10) Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas dilakukan setiap tahun
sampai dengan masa manfaat truk berakhir.

Contoh 4 :

1) Kelanjutan dari contoh 3, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2012
adalah Rp 100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp
10.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp 90.000.000.000,00.
2) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama tahun
buku 2012 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2013 adalah :

Rp 90.000.000.000,00 Rp 20.000.000,00

------------------------------- x --------------------------- = Rp 4.500.000,00

Rp 100.000.000.000,00 4

3) Pajak Masukan atas perolehan truk yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah :

Rp 14.000.000,00

--------------------- = Rp 3.500.000,00

4) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (menambah Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2013) adalah sebesar : Rp 4.500.000,00 – Rp 3.500.000,00 = Rp
1.000.000,00
Contoh 5 :

1) Kelanjutan dari contoh 4, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2013
adalah Rp 100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp
30.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp 70.000.000.000,00.
2) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama tahun
buku 2013 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2014 adalah :

Rp 70.000.000.000,00 Rp 20.000.000,00

------------------------------ x -------------------------- = Rp 3.500.000,00

Rp 100.000.000.000,00 4

3) Pajak Masukan atas perolehan truk yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah :

Rp 14.000.000,00

----------------------- = Rp 3.500.000,00

4) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali adalah sebesar :

Rp 3.500.000,00 – Rp 3.500.000,00 = Rp 0,00

Contoh 6 :

1) Kelanjutan dari contoh 5, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2014
adalah Rp 100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp
50.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp 50.000.000.000,00.
2) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama tahun
buku 2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2015 adalah :

Rp 50.000.000.000,00 Rp 20.000.000,00

------------------------------ x ------------------------- = Rp 2.500.000,00

Rp 100.000.000.000,00 4
3) Pajak Masukan atas perolehan truk yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah :

Rp 14.000.000,00

----------------------- = Rp 3.500.000,00

4) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (mengurangi Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2015) adalah sebesar :

Rp 3.500.000,00 – Rp 2.500.000,00 = Rp 1.000.000,00

5) Penghitungan Pajak Masukan sebagaimana perhitungan di atas tidak perlu lagi dilakukan pada
tahun 2016.

Contoh 7 :

1) Pengusaha Kena Pajak C tersebut di atas pada bulan Mei 2011 membeli bahan bakar solar
untuk truk yang digunakan baik untuk sektor perkebunan dan distribusi jagung maupun untuk
sektor pabrikasi dan distribusi minyak jagung sebesar Rp 50.000.000,00 dan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00;
2) Pengusaha Kena Pajak mengkreditkan Pajak Masukan tersebut berdasarkan perkiraan
persentase perbandingan jumlah penyerahan yang terutang Pajak terhadap penyerahan
seluruhnya sebesar 70%, sehingga Pajak Masukan yang dikreditkan dalam SPT Masa PPN
Masa Pajak Mei 2011 adalah sebesar : Rp 5.000.000,00 x 70% = Rp 3.500.000,00
3) Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2011 adalah Rp
100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp 40.000.000.000,00 dan
penjualan minyak jagung sebesar Rp 60.000.000.000,00.
4) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang dapat
dikreditkan selama tahun buku 2011 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2012 adalah :

Rp 60.000.000.000,00

------------------------------- x Rp 5.000.000,00 = Rp 3.000.000,00


Rp 100.000.000.000,00

5) Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang telah dikreditkan pada Masa
Pajak Mei tahun 2011 adalah Rp 3.500.000,00.
6) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (mengurangi Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2012) adalah sebesar :

Rp 3.500.000,00 – Rp 3.000.000,00 = Rp 500.000,00

Contoh 8 :

1) Sama dengan contoh 7, namun diketahui total peredaran usaha selama tahun buku 2011 adalah
Rp 100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp 10.000.000.000,00 dan
penjualan minyak jagung sebesar Rp 90.000.000.000,00.
2) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang dapat
dikreditkan selama tahun buku 2011 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2012 adalah :

Rp 90.000.000.000,00

------------------------------- x Rp 5.000.000,00 = Rp 4.500.000,00

Rp 100.000.000.000,00

3) Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang telah dikreditkan pada Masa
Pajak Mei tahun 2011 adalah Rp 3.500.000,00
4) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (menambah Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2012) adalah sebesar :

Rp 4.500.000,00 – Rp 3.500.000,00 = Rp 1.000.000,00

C. Menghitung PPN Membangun sendiri, PPN atas Penjualan Aset, PPN impor dan ekspor

PPN Membangun Sendiri

Landasan Peraturan Perpajakan


Berikut ini adalah peraturan perpajakan yang akan kita jadikan dasar acuan dalam pembahasan
kali ini, yaitu:

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.Perlu diinformasikan
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan yaitu 30 hari sejak tanggal 22 Oktober 2012 dan dengan diberlakukannya
ketentuan ini maka Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan
Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012 tentang Penetapan Secara Jabatan
atas Jumlah Biaya Yang Dikeluarkan Dan / Atau Yang Dibayarkan Untuk Membangun
Bangunan Dalam Rangka Kegiatan Membangun Sendiri.

Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri

`Kegiatan Membangun Sendiri itu terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hal tersebut
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 1 dan Pajak
Pertambahan Nilai tersebut terutang bagi badan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan
membangun sendiri.

Definisi Kegiatan Membangun Sendiri

Sebelum memulai membahas lebih jauh mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) atas kegiatan membangun sendiri tersebut, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu
tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri dalam Peraturan Menteri
Keuangan tersebut sehingga kita dapat mengetahui apakah pembangunan yang mungkin sedang
kita rencanakan atau lakukan itu termasuk dalam kategori kegiatan membangun sendiri yang
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Definisi Kegiatan Membangun Sendiri yang dikutip dari Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 adalah “Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain”.
Kemudian dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4
dijelaskan mengenai bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 yaitu bangunan tersebut berupa satu atau lebih konstruksi teknik
yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan
kriteria sebagai berikut:

a) Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan
sejenis, dan/atau baja;
b) Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c) Luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).

Jadi kegiatan membangun sendiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila
memenuhi definisi dan kriteria sebagaimana yang dijelaskan diatas.

Sebagai contoh, apabila kita sebagai orang pribadi membangun rumah baik dilakukan
secara pribadi, baik dengan mempekerjakan pekerja atau buruh bangunan dimana rumah yang
dibangun itu untuk ditempati secara pribadi atau oleh anggota keluarga lain misalkan anak, apakah
termasuk kedalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) atasnya? Jika hanya melihat secara definisi, kasus pembangunan rumah pribadi diatas dapat
memenuhi definisi kegiatan membangun sendiri yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 karena pembangunan rumah yang dilakukan
dalam kasus ini tidak berkaitan dengan kegiatan usaha serta untuk dimanfaatkan atau digunakan
sebagai keperluan pribadi, namun untuk menentukan apakah terhadap pembangunan rumah
tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau tidak, kita tidak cukup hanya dengan
melihat definisi saja, kita harus melihat terlebih dahulu, apakah bangunan yang kita bangun (dalam
kasus ini rumah) itu memenuhi kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 sebagaimana telah dijelaskan diatas. Jika memang
kegiatan membangun sendiri yang kita lakukan itu sesuai dengan penjelasan definisi serta kriteria
bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 maka kita
wajib menyetorkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. Setelah
memahami yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri, mari kita bahas lebih lanjut
mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atasnya.
Tarif Dan Dasar Pengenaan Pajak PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 1 dan 2, diatur bahwa:

1. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10 %


(sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

2. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh
persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri

Jadi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 yang
disebutkan diatas, perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri
adalah sebagai berikut :

PPN = Tarif x DPP

PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk
membangun bangunan)

Berikut ini adalah contoh sederhana untuk perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
kegiatan membangun sendiri:
Contoh:

Pada Bulan Desember 2012 Bapak Andi memulai membangun sebuah rumah untuk
tempat tinggal pribadinya. Luas keseluruhan dari rumah tersebut adalah sebesar 200 m2, biaya-
biaya yang dikeluarkan oleh Bapak Andi dalam upaya membangun rumah tersebut sampai dengan
selesainya bangunan tersebut adalah sebagai berikut: pembelian tanah sebesar Rp 200.000.000,
pembelian bahan baku bangunan keseluruhan Rp 180.000.000, biaya upah mandor dan pekerja
bangunan Rp. 70.000.000. Maka berapakah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
pembangunan rumah tersebut?
Jawab:
Sesuai dengan PMK No. 163/PMK.03/2012 tarif PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang
terhutang adalah:

= 10% X DPP
= 10% X (20% X Total biaya Pembangunan)
= 10% X (20% X (Rp 180.000.000 + Rp 70.000.000)
Sehingga PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah
= 10% X 20% X Rp 250.000.000
= Rp 5.000.000

Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak atas perhitungan PPN Kegiatan Membangun Sendiri
diatas hanyalah pembelian bahan baku material bangunan dan biaya upah pekerja dalam rangka
pembangunan rumah tersebut, hal ini sesuai dengan Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan
membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau
yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah”.

Saat Dan Tempat dimana PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri Terutang
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 4 ditentukan bahwa:

1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat mulai dibangunnya bangunan.

2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan


satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut
tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

3. Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan
tersebut didirikan.

Penyetoran Dan Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri


Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5, 7 dan 8 diatur bahwa:
* Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri
dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh
persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan
pada setiap bulannya

* Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri wajib disetor ke
kas negara seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama
orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri melalui
Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak.

* Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib
melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang tersebut ke Kantor
Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan
dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyetoran PPN atas Kegiatan Membangun
Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5,7, dan 8 terdapat
hal yang harus diperhatikan dalam penyetoran PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:

* Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak
Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun
sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan
NPWP orang pribadi atau badan tersebut.

* Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak
Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak
diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Kolom NPWP diisi dengan :

1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;

2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi
tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan

3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

b. Pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau
badan yang

melakukan kegiatan membangun sendiri

* Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum
memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Kolom NPWP diisi dengan :

1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;

2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi
tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan

3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

b. pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 8 terdapat hal yang
harus diperhatikan dalam proses pelaporan PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:

* Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di
wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut
terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib
melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

* membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat
bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang
berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut
terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain
wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud
pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar
ketiga Surat Setoran Pajak.

* Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor
Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak
Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan
penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat
(1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran
Pajak.

Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

1. Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak
lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak
asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang
menggunakan bangunan tersebut;

2. Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan
pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan
Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut
bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang.

3. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak
melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya
meliputi tempat bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.

4. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan
membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat
Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menerbitkan surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dari Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.

5. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama
yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi
atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas
kegiatan membangun sendiri tersebut.

6. Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan
membangun sendiri.
7. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum
memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan
NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

8. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan

Penetapan Secara Jabatan Untuk PPN terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 6 disebutkan bahwa:

* Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak
atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang ke kas negara, Direktorat
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan
hasil pemeriksaan atau verifikasi.

* Selanjutnya, jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri :

1. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau
yang dibayarkan untuk membangun bangunan; atau

2. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang
dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak
lengkap,

Maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan
dalam rangka kegiatan membangun sendiri dapat ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Penetapan secara jabatan untuk jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri ini diatur dalam Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 yang merupakan Perubahan Atas Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012.

Dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tersebut diatur bahwa:

* Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun


bangunan dalam rangka membangun sendiri ditetapkan secara jabatan berdasarkan
nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing-
masing daerah sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan perubahannya.

* Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri memberikan data atau bukti pendukung
biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan,
namun tidak benar atau tidak lengkap, sehingga:

1. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun


bangunan lebih rendah dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan
Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung
berdasarkan data nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara
(HSBGN) tersebut; atau

2. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun


bangunan lebih tinggi dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung
Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data
atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan.

* Penetapan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan
Gedung Negara (HSBGN) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) huruf a
mengacu pada Pedoman Penggunaan Harga Satuan Bangunan Gedung Negara
(HSBGN) Dalam Rangka Penetapan Secara Jabatan Jumlah Biaya yang Dikeluarkan
dan/atau yang Dibayarkan untuk Membangun Bangunan yang Digunakan untuk
Menghitung Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
sebagaimana terdapat dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Jadi Cara Perhitungan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang ditentukan secara jabatan
adalah sebagai berikut :

PPN = Tarif x DPP

 Tarif = 10%

 DPP = 20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun
bangunan

PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk
membangun bangunan)

Jumlah biaya
yang Nilai Terendah Harga

dikeluarkan Satuan tertinggi


Luas
dan/atau berdasarkan
x Koefisien x bangunan
dibayarkan Klasifikasi Bangunan
=
keseluruhan
untuk Gedung Negara

membangun
bangunan

PPN Atas Penjualan Aset

Untuk penjualan aktiva atau penyerahan Barang Kena Pajak yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan diatur lebih lanjut dalam Pasal 16D Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam pasal 16D Undang-Undang PPN dikatakan
bahwa:
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

Untuk itu penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva dalam kasus diatas merupakan penyerahan
Barang Kena Pajak yang dikenakan PPN apabila penyerahannya dilakukan oleh Pengusaha yang
sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas penyerahan Barang Kena Pajak ini,
PKP wajib menerbitkan faktur pajak dengan kode transaksi 09 pada Faktur Pajak yang diterbitkan.

Namun, PPN Pasal 16D tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan apabila:

 Perolehan Barang Kena Pajak berupa aktiva tersebut tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha, dan

 pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu
kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon

yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.

PPN Atas Eksport dan Import

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor

Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 ditetapkan objek pajak PPN yang
berkaitan dengan ekspor, meliputi :

1) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.


2) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
3) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Salah satu kegiatan transaksi yang dikenakan PPN adalah atas ekspor Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf h UU Nomor 42 Tahun 2009. Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa
ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN akan
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Untuk menindaklanjuti ketentuan ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 70/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena
Pajak yang atas Ekspornya Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Pada prinsipnya kegiatan Kegiatan Ekspor Barang dan Jasa dikenai PPN 10%. Namun
dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha Indonesia dan meningkatkan daya saing kita,
maka Pemerintah menetapkan fasilitas PPN 0% atas kegiatan ekspor. Namun fasilitas ini hanya
diberikan bagi Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak Tidak Berwujud”

1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model,rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk
hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.

2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah.

3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial.

4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebutpada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut
pada angka 3, berupa:

a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa.
b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radiokomunikasi.
5) Penggunaan atau hak menggunakan filmgambar hidup (motion picture films), film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.

6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian
hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN 0%.

Sebagaimana yang diatur dalam PMK-70/PMK.03/2010 Batasan Kegiatan dan Jenis JKP
yang atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% meliputi :

1. Jasa Maklon, yaitu pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu
yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan
pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang
setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau
seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.

Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi syarat berikut:

a. Pemesan atau penerima JKP berada di Luar Daerah Pabean dan merupakan Wajib Pajak
Luar Negeri (WPLN) serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
b. Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau Penerima JKP.
c. Bahan adalah bahan baku, bahan setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang
akan diproses menjadi BKP yang dihasilkan.
d. Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima JKP.
e. Pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan
pemesan atau penerima JKP ke luar daerah Pabean.
2) Jasa Perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi syarat:

a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah
Pabean.
3) Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan
konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi syarat:
a) Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah
Pabean.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor

Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor

Impor merupakan proses pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara lain
atau setiap kegiatan memasukkan barang barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.

Daerah pabean adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia dan tempat-tempat tertentu
di wilayah yurisdiksi nasional Republik Indonesia yang didalamnya berlaku peraturan perundang-
undangan di bidang kepabeanan.

Pada prinsipnya semua kegiatan impor barang dikenai PPN. Namun dalam rangka
mendorong perkembangan dunia usaha Indonesia dan meningkatkan daya saing kita, maka
Pemerintah menetapkan jenis-jenis Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang bertujuan untuk menjamin tersedianya
barang-barang yang bersifat strategis tersebut. Pemberian fasilitas perpajakan ini hanya bersifat
sementara.

PPN yang Dibebaskan atas Impor

Perlu diketahui bahwa tidak semua barang yang dibeli atau dijual dikenakan PPN, dan PPN
yang dibebaskan atas Impor itu sendiri tidak bisa dikreditkan. Sebagaimana yang telah diatur oleh
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 370/KMK/2003 Tentang Pelaksanaan
Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa:

1) Barang Kena Pajak Tertentu adalah:


a. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara,
alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan
khusus lainnya, serta suku cadangnya.
b. Komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri yang digunakan dalam pembuatan
senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan atau Tentara Nasional
Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
c. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
d. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
e. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku
cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia.
f. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan.
g. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana.
h. Komponen atau bahan yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan
untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT
(PERSERO) Kereta Api Indonesia.
i. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI
untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional.
j. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama
mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.

Jasa Kena Pajak Tertentu adalah:

a) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan penangkapan ikan
nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, atau Perusahaan Penyelenggara
Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi:

 Jasa persewaan kapal.


 Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh.
 Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.

b) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:

 Jasa pesewaan pesawat udara.


 Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.

c) Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api
Indonesia.

d) Jasa yang diserahkan oleh Kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 huruf j dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah.

e) Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana.

f) Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka
penyediaan data batas photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung
pertahanan nasional.

Peraturan Menteri Keuangan Terbaru

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2016 tanggal 3 Maret 2016, tentang


Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor213/PMK.011/2011 tentang
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.010/2015 tanggal 28 Desember 2015, tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kpada Perwakilan Negara Asing dan Badan
Internasional serta Pejabatnya.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010/2015 tanggal 24 Juli 2015, tentang
Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor
Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pungutan Bea Masuk.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.03/2015 tanggal 4 Maret 2015,
tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor

Tarif PPN adalah 10%.

Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan


JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5%
dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat
disebabkan berbagai faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian Indonesia,
sehingga tarif PPN bisa diturunkan. Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah membutuhkan
penerimaan pajak yang besar, sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.

Anda mungkin juga menyukai