S1 2014 302294 Chapter1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi pemasaran berbagai produk
minuman kemasan. Menurut Triyono, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman
Ringan (ASRIM) dalam Gustiawati (2013), alasan perusahaan-perusahaan tersebut
tertarik untuk berjualan minuman ringan di Indonesia karena melihat pangsa pasar
minuman sangat bagus dengan populasi penduduk yang banyak sehingga dari segi
konsumsi pun besar, selain itu juga daya beli dan pola hidup masyarakat yang
meningkat juga menjadi dasar perusahaan-perusahaan tersebut memilih Indonesia.
Mereka tergiur untuk menikmati gurihnya kue industri makanan dan minuman yang
nilainya lebih dari Rp 700 triliun (Triyono dalam Ria, 2013). Dari nilai tersebut
rupanya separuh lebih dimiliki oleh industri minuman ringan. Minuman ringan adalah
minuman yang tidak mengandung alkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk
bubuk atau cair yang mengandung bahan makanan atau bahan tambahan lainnya baik
alami atau sintetis yang dikemas dalam kemasan siap untuk dikonsumsi (Cahyadi,
2008). Seluruh jenis minuman kemasan non alkohol yang ditemui di lokasi
perbelanjaan dapat diketegorikan sebagai minuman ringan, termasuk minuman
berkarbonasi. Di kelas ini, pertarungan sengit terjadi untuk memperebutkan Rp 500
triliun (Palupi, 2009). Wajar saja jika berbagai brand terus bermunculan untuk
berlomba-lomba merebut pasar.
Kemunculan sekian banyak brand tersebut tentu membuat persaingan menjadi
semakin meluas, tak hanya persaingan dalam satu kategori minuman saja. Minuman
isotonik tak hanya bersaing dengan minuman isotonik lainnya, minuman bersoda tak
hanya bersaing dengan minuman bersoda lainnya. Tidak menutup kemungkinan
minuman isotonik bersaing dengan minuman bersoda, atau bahkan bersaing dengan
susu cair siap minum. Seorang konsumen yang haus setelah berolahraga bisa saja

1

meletakkan pilihannya pada susu cair siap minum meskipun sewajarnya dia memilih
minuman isotonik untuk menggantikan cairan tubuhnya yang hilang. Oleh karena itu,
harus ada kekuatan tersendiri untuk berlomba-lomba ”menunjukkan diri” agar dapat
menjadi pilihan konsumen. Kekuatan brand-lah yang menjadi senjata untuk dapat
memenangkan persaingan tersebut karena meskipun kualitas produk memiliki nilai
tambah, kekuatan brand yang berada di tataran mindset konsumen memiliki porsi
lebih besar. Brand sebagai kosmetik mampu memainkan pemikiran konsumen dan
membuat sebuah produk lebih unggul dari produk lain sehingga perusahaan pemilik
brand haruslah jeli dalam mengelola brandnya. Berbagai strategi pun diterapkan
untuk memastikan brand mereka tetap eksis dan menjadi pilihan konsumen.
Strategi tersebut dapat berupa spesialisasi yang hanya memegang kendali
penuh atas satu produk seperti yang dilakukan oleh Pocari Sweat. Pocari Sweat
mengukuhkan dirinya sebagai minuman isotonik, dan tetap konsisten dengan asosiasi
tersebut. Tidak ada brand ataupun produk lain yang diciptakan untuk memperluas
pasar. Konsumen pun hanya mengenal Pocari Sweat sebagai minuman isotonik.
strategi lain yang menjadi pilihan adalah diversifikasi, sebuah strategi memperluas
portfolio untuk memperluas pasar. Keller (1998) memberikan istilah brand extension
untuk strategi diversifikasi ini dan membaginya menjadi dua kategori yaitu line
extension dan category extension. Line extension berlaku ketika perusahaan yang
melakukan diversifikasi hanya dalam tataran sort, dengan memperbanyak variasi rasa
produk seperti Freshtea yang menciptakan Freshtea Green, Freshtea Markisa,
Freshtea Jasmine dan berbagai rasa lainnya. Sementara category extension berlaku
ketika terdapat produk baru dalam satu brand induk. Strategi ini dilakukan oleh
Lifebuoy. Lifebuoy yang sebelumnya hanya memiliki produk sabun mandi, kini
memperluas pasar dengan menciptakan sampo Lifebuoy. Secara ekstrim ABC juga
telah sukses melakukan ekstensi yang pada awalnya produk ABC hanyalah batu
baterai kini menciptakan kecap ABC, sirup ABC, mie instan dan berbagai produk
lainnya. Ekstensi yang dilakukan ABC dikatakan ekstrim dan sukses karena ABC

2

mengekstensi brandnya melalui produk baru yang jauh berseberangan dengan
kategori batu baterai, padahal secara teori akan sangat sulit, bahkan hampir tidak
mungkin ekstensi dapat berhasil jika produk baru yang diciptakan memiliki portofolio
yang terlalu jauh dari produk awal (Trump dalam Sexton, 2009).
Strategi brand extension tersebut tak selamanya berhasil. Kegagalan dalam
menjalankan strategi ini pernah dialami oleh Harley Davidson yang berusaha
mengekstensi brandnya dengan menciptakan produk rokok. Sama halnya dengan
yang dihadapi Aqua saat meluncurkan Aqua Splash of Fruit. Air mineral dengan rasa
buah ini didaulat untuk mengekstensi Aqua. Pada awal peluncurannya Aqua Splash
of Fruit mendapat sambutan positif, tetapi semakin lama produk ini tidak dapat
bertahan dan kemudian hilang dari pasar. Konsumen yang selama ini sudah
terasosiasi sangat kuat dengan Aqua sebagai air mineral tanpa rasa yang dapat
diminum setiap saat sebagai pengganti air putih tidak dapat menerima jika Aqua
berubah, tidak seperti yang mereka pikirkan selama ini.
Setelah berhasil bersaing dengan Pocari Sweat sebagai first mover dalam
kategori minuman istonik dan menguasai hampir sebagian pasar minuman isotonik
dengan rata-rata top brand index mencapai 40%, Mizone melakukan gebrakan
dengan mengambil strategi brand extension. Alih-alih mencoba merebut pasar Pocari
Sweat yang selalu menjadi kampiun karena mutlak menguasai separuh pasar untuk
kategori minuman isotonik, Mizone lebih memilih untuk mengambil resiko dengan
taruhan nama besar brand Mizone demi memperluas pasar mereka. Pada tahun 2014
Mizone menghadirkan Mizone Fres’in. Berbeda dengan Mizone sebagai minuman
isotonik, Mizone Fres’in bukanlah minuman isotonik. Produk tersebut dijanjikan
mampu memberikan kesegaran berbeda. Di awal kehadirannya, Mizone Fres’in hadir
dalam 2 varian yaitu Juicy Strawberry dan Crispy Apple.
Terobosan yang dilakukan oleh Mizone tersebut cukup mencengangkan
karena selama ini upaya branding yang dilakukan adalah membangun mindset
konsumen bahwa Mizone adalah minuman isotonik yang mampu mengembalikan

3

pikiran dan semangat konsumen dalam menjalani aktifitas menjadi 100%. Kini
konsumen telah terasosiasi dengan brand Mizone sebagai minuman isotonik, terbukti
dari hasil top brand award yang senantiasa mencantumkan brand Mizone sebagai top
brand untuk kategori minuman isotonik di bawah Pocari Sweat selama lima tahun
terakhir.
Sesungguhnya brand extension sangat menarik dan efektif untuk menjauhkan
perusahaan dari ancaman kegagalan produk karena brand extension menyediakan
cara untuk mengambil keuntungan dari ketenaran nama brand induk untuk
meminimalisir resiko dalam memasuki pasar baru, brand extension juga menekan
biaya promosi (Morein dalam Keller & Aaker, 1990), namun strategi ini sangat
beresiko. Jika tidak berhati-hati maka dapat merusak nama besar brand induk. Hasil
dari penerapan strategi ini juga sulit diprediksi karena menyangkut asosiasi dalam
benak konsumen yang sudah melekat sebelumnya.
Ancaman resiko yang membayangi brand pendahulu juga membayangi
Mizone. Bisa saja Mizone akan bernasib sama seperti yang pernah dialami oleh
Aqua. Asosiasi minuman isotonik yang sangat kuat melekat dengan Mizone membuat
Mizone tidak mampu mempopulerkan Mizone Fres’in. Konsumen Mizone sudah
memiliki pengalaman dan sudah sangat terbiasa dengan Mizone sebagai minuman
isotonik sehingga tidak dapat menerima jika harus dihadapkan pada Mizone yang
bukan minuman isotonik. Mengingat pengalaman dan kebiasaan sangat berpengaruh
pada bagaimana seseorang memilih, menginterpretasikan atau menahan pesan
(Ruben, 1992:135) dan sangat sulit untuk mengubah kebiasaan itu. Padahal Mizone
sudah menjadi brand yang ‘mapan’ dan untuk mencapainya bukanlah hal yang
mudah. Mizone juga telah mengeluarkanRp 250 miliar di tahun 2011 (Sumaryati,
2011) untuk melakukan belanja iklan dalam rangka menguatkan brandnya. Atau bisa
saja Mizone Fres’in sangat populer, tetapi mengambil ceruk Mizone karena
konsumen menganggap tidak ada perbedaan diantara keduanya sehingga terjadi
kanibalisasi.

4

B. Rumusan Permasalahan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sikap konsumen terhadap kehadiran
Mizone Fres’in sebagai brand extension Mizone. Sikap konsumen sangatlah penting
dalam mengelola sebuah brand karena sikap konsumen merupakan penentu akhir
kesuksesan brand tersebut. Segala upaya yang dilakukan untuk membentuk,
mengelola maupun memasarkan sebuah brand akan menjadi sia-sia jika konsumen
menolak kehadiran brand tersebut. Dengan demikian, berdasar latar belakang
permasalahan yang telah dipaparkan, rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
“Bagaimana sikap konsumen terhadap kehadiran Mizone Fres’in sebagai brand
extension Mizone?”

C. Tujuan
Hadirnya Mizone Fres’in dalam industri minuman di Indonesia sangatlah
menarik untuk disimak. Hal ini dikarenakan konsumen telah terbiasa dengan asosiasi
minuman isotonik. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Mengetahui sikap konsumen terhadap kehadiran Mizone Fres’in sebagai
brand extension dari Mizone.
2. Mengetahui peluang Mizone Fres’in untuk dapat berkembang di industri
minuman Indonesia.
3. Memperkaya khasanah kajian tentang manajemen brand, khususnya
fenomena ekstensi brand.

D. Manfaat
Melalui penelitian ini dapat diperoleh beberapa manfaat:
1. Setelah mengetahui sikap konsumen terhadap kehadiran Mizone Fres’in (non
isotonik) sebagai brand extension dari Mizone yang selama ini telah dikenal
sebagai minuman isotonik, Mizone dapat menilai dan mengevaluasi
keberhasilan terobosan yang sedang dilakukan.

5

2. Dapat digunakan sebagai early warning untuk merumuskan strategi baru jika
sikap konsumen menunjukkan adanya penolakan terhadap Mizone Fres’in dan
membahayakan brand induk.

E. Objek Penelitian
Penelitian ini berada di ranah audiens dan berusaha meneliti sikap konsumen
terhadap kehadiran Mizone Fres’in (non isotonik) sebagai brand extension dari
Mizone yang terasosiasi dengan kuat sebagai minuman isotonik. Peneliti mencoba
melihat sikap konsumen setelah mendapat paparan produk baru dengan spesifikasi
berbeda dalam brand yang sama. Konsumen diharapkan dapat memberikan reaksi
positif atas kehadiran Mizone Fres’in dalam industri minuman di Indonesia
sebagaimana reaksi yang diberikan kepada Mizone Isotonik.
Sikap tersebut cukup sulit ditebak karena selama ini konsumen sudah terbiasa
dengan Mizone sebagai minuman isotonik. Tidak menutup kemungkinan konsumen
menganggap Mizone tidak konsisten dan kemudian menolak Mizone Fres’in
sehingga upaya ekstensi menjadi gagal.

F. Kerangka Teori
1. Brand extension
Brand merupakan aset vital dalam sebuah bisnis, tak heran jika berbagai
brand besar yang sudah terkenal saling berinovasi untuk mengelola brand mereka
demi memastikan agar brand mereka tetap berada di puncak kejayaan. Lars-Haue
(2004) menjelaskan urgensi brand dalam menarik konsumen melalui sebuah bagan.
Lars menjeaskan bahwa tidak hanya dibutuhkan produk saja untuk membentuk nilai
yang kuat. Dibutuhkan adanya pengelolaan brand dengan segala atributnya agar
mampu meningkatkan konsumsi dan meraih konsumen lebih banyak. Semakin
pengelolaan brand tersebut baik, maka akan semakin tinggi nilai brand mereka dan
semakin tinggi pula tingkat partisipasi konsumen dalam mengonsumsi sebuah

6

produk. Jika ingin mendapatkan hasil tertinggi, maka produsen harus menanamkan
nilai-nilai tertentu dalam brand mereka sehingga nilai tersebut menjadi sebuah
keyakinan di dalam diri konsumen. Dengan demikian hal tersebut akan lebih kuat
mengikat loyalitas konsumen.

Gambar 1.1 Values of The Brand. Sumber: Pedersen, Lars-Haue. (2004, Oktober).
Why is Branding so Important? FIBA Assist Magazine. Hlm 47.

Dalam topik manajemen brand, terdapat konsep brand extension yang harus
dipahami oleh pembelajar maupun praktisi. Brand extension adalah sebuah cara
untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis dengan menggunakan kemapanan sebuah
brand terkenal untuk meluncurkan produk baru dalam kategori berbeda, strategi ini
digunakan ketika sebuah perusahaan sudah merasa yakin dengan kekuatan brand
miliknya untuk memperkenalkan produk baru (Keller, 1998). Brand pendahulu yang
menciptakan brand baru disebut parent brand. Sementara brand ciptaannya disebut
sub brand. Konsep ini sangat sering digunakan oleh brand-brand terkenal untuk
memperluas koverasi pemasaran.
Donald Trump dalam Sexton (2009:153) juga menyatakan hal senada: ”Brand
extension are one means for growing your business, using your carefully built brand
equity to move into new product or service areas”. Trump menambahkan bahwa

7

untuk melakukan ekstensi pada sebuah brand, seorang praktisi harus menemukan
atribut yang terasosiasi dengan brand induk. Jika tidak, maka ekstensi pada brand
tidak akan berhasil. Meski demikian, brand yang menjadi ekstensi tidak harus selalu
memiliki konsumen yang selalu sama dengan brand induk.
Penerapan salah satu strategi dalam mengelola brand ini juga sering terjadi di
Indonesia. Sebut saja Lifebuoy, brand yang cukup terkenal dengan produk sabun
mandi batang ini mengekstensi brandnya dengan menciptakan sampo. Faber Castell
yang sudah mantap dengan produk pensil juga melakukan hal yang serupa dengan
menciptakan penghapus, penggaris dan alat tulis lainnya. Dewasa ini penerapan
brand extension sangat gencar dilakukan oleh brand papan atas di kategori alat
elektronik seperti Acer dan Lenovo. Kedua brand tersebut sudah sangat terkenal
dengan produk laptop dan netbook, tetapi mereka tak cukup puas hanya menjadi
kampiun di satu kategori, saat ini keduanya melakukan ekstensi dengan menciptakan
smartphone.
Konsep brand extension berbeda dengan brand augmentation. Brand
extension adalah penciptaan sebuah produk baru dalam satu brand induk, sehingga
dapat ditemukan produk yang berbeda kategori, wujud maupun manfaatnya.
Sementara brand augmentation adalah upaya untuk memberikan dorongan kepada
brand agar terhindar dari titik tertinggi kematangan melalui kemasan, baru, promosi,
maupun asosiasi baru (Cheverton, 2004). Dengan demikian upaya augmentasi
dilakukan pada produk yang sama, perodusen hanya menginovasi dan memberikan
”formula” khusus kepada produk tersebut. Seperti Coca-Cola yang aktif meremajakan
produknya melalui iklan-iklan baru dan kemasan ukuran baru sehingga Coca-Cola
terhindar dari titik tertinggi kematangan produk yang kapan saja dapat menemui fase
penurunan (decline). Hal serupa juga dilakukan oleh Pepsodent yang senantiasa
gencar melucurkan kampanye sosial bersama Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI).

8

Brand extension juga berbeda tipis dengan product extension. Product
extension adalah strategi menempatkan nama brand yang sudah mapan pada produk
baru yang ada di kategori yang sama (Hirsh, 2004). Seperti contoh Susu Ultra yang
mengekstensi produknya melalui Ultra Low Fat untuk menjangkau konsumen yang
ingin menjauhi gula untuk menjaga bentuk tubuhnya.
Brand extension bukanlah produk yang membentuk sebuah brand. Penghapus
Faber Castell tidak membentuk brand baru, tetapi memiliki soul yang sama dengan
pensil Faber Castell, hanya produk dan manfaat produk yang berbeda. Meskipun
demikian, perusahaan Faber Castell harus benar-benar jeli dalam menyampaikan
produk baru mereka karena konsumen yang sudah terbiasa dan terasosiasi kuat
dengan pensil Faber Castell tidak akan mudah menerima pesan baru yang dibawa
oleh penghapus Faber Castell.
Kendati demikian, asosiasi yang terlalu kuat hendaknya dihindari karena akan
menjadi bumerang bagi brand itu sendiri. Asosiasi yang terlalu kuat akan membentuk
pemikiran statis sehingga konsumen tidak bisa menerima kehadiran produk baru.
Seperti yang pernah terjadi dengan Aqua. Aqua selama ini hanya memproduksi air
minum dalam kemasan (AMDK), atau biasa disebut air mineral dan konsumen telah
terasosiasi dengan kuat bahwa Aqua adalah brand air mineral tanpa rasa yang dapat
diminum setiap saat sebagai pengganti air putih. Kemudian Aqua menciptakan Aqua
Splash of Fruit, sebuah air mineral dengan rasa buah yang dikemas dalam kemasan
botol 330 ml. Sebenarnya kehadiran Aqua Splash of Fruit cukup menarik karena di
masanya, kehadiran minuman dengan rasa masih belum se-variatif sekarang. Terlebih
didukung botol yang handly, tidak terlalu besar sehingga sangat mudah dibawa
kemanapun. Produk ini pun cukup booming ketika pertama dipasarkan, tetapi
semakin lama Aqua Splash of Fruit tidak mampu bertahan dan menghilang dari pasar
minuman meskipun Aqua telah melakukan promosi yang cukup gencar. Secara
ekstrim dapat dikatakan Aqua Splash of Fruit adalah produk gagal.

9

Fenomena kegagalan Aqua tersebut dapat dipahami karena asosiasi air
mineral tanpa rasa, sangat bahkan terlalu kuat melekat dalam ”diri” Aqua. Konsumen
tidak dapat menerima keberadaan Aqua Splash of Fruit karena tidak seharusnya Aqua
memiliki rasa. Jika ada air minum dengan rasa, maka air minum itu bukan Aqua.
Respon positif yang sempat diberikan oleh konsumen di awal kehadiran Aqua Splash
of Fruit hanyalah euforia sesaat ketika mengetahui adanya sesuatu yang baru dan
kemudian mundur teratur setelah mengetahui sesuatu yang baru tersebut adalah
sesuatu yang tidak semestinya.
Keller (1998) memetakan keuntungan besar yang dapat diperoleh dari
penerapan strategi brand extension yaitu strategi ekstensi dapat memfasilitasi
penerimaan konsumen terhadap produk baru. Produk yang baru saja lahir
membutuhkan dorongan kuat agar tetap bertahan di pasar. Diperlukan usaha lebih
untuk memperkenalkan produk tersebut kepada konsumen. Upaya tersebut akan
menjadi sangat sulit bagi pendatang baru karena pasar industri minuman sudah
dipenuhi oleh berbagai perusahaan ternama yang sudah sangat berpengalaman.
Adanya strategi ekstensi ini dapat memberi kekuatan kepada produk baru agar mudah
mendapat tempat di hati konsumen. Kekuatan ini berasal dari ketenaran parent brand
yang disalurkan kepada sub-brand, layaknya seorang presiden yang mengangkat
ketenaran putranya agar bisa menduduki posisi vital dalam pemerintahan.
Kekuatan parent brand dalam mengawal sub-brand akan meminimalisir
kemungkinan salah terima oleh konsumen karena konsumen sudah sangat mengenal
brand induknya. Dengan demikian tidak perlu upaya yang sulit dengan pertaruhan
biaya besar untuk membentuk kesan dan memperkenalkan produk baru itu. Pola
distribusi produk baru tersebut pun akan dengan sangat mudah dalam menjajaki
pasar. Seorang anak presiden tidak perlu melakukan branding atas dirinya, karena
segala kesan tentangnya sudah terlebih dahulu dibentuk oleh orangtuanya. Otomatis
dia akan dihormati oleh masyarakat sebagaimana masyarakat menghormati ayahnya.
Akses untuk menduduki posisi vital dalam pemerintahan juga bukan menjadi hal

10

yang sulit baginya karena pada dasarnya posisi itu sudah disediakan oleh
orangtuanya.
Keuntungan tersebut tak hanya dirasakan oleh ’si anak’. Parent brand juga
memperoleh timbal balik atas kelahiran anaknya. Kehadiran sub-brand akan semakin
memperjelas posisi parent brand melalui kejelasan posisi dan image-nya. Silverqueen
melalui beberapa ekstensinya yang juga memiliki core coklat akan semakin
memperjelas posisi dan image Silverqueen sebagai perusahaan coklat. Tak hanya itu,
hadirnya sub-brand akan membawa konsumen baru bagi parent brand dan semakin
memperluas pasar sehingga semakin menguatkan brand mereka dan menghindarkan
parent brand dari siklus kemunduran. Seorang anak presiden yang sukses di
pemerintahan akan mengharumkan nama orangtuanya dan semakin mempertegas
keberhasilan presiden baik sebagai pemimpin negara karena telah melahirkan
generasi yang mampu membawa negara ke arah yang lebih baik, maupun sebagai
orangtua yang telah berhasil mendidik anaknya.
Pada dasarnya strategi dijalankan untuk memperoleh keuntungan tertentu,
tetapi tetap akan ada kerugian yang membayangi strategi tersebut. Salah langkah
sedikit saja dapat membawa kerugian besar. Bahkan sebuah brand besar dapat salah
langkah dalam menerapkan strategi dalam mengelola brandnya. Sub-brand yang
’goyah’ dapat membingungkan konsumen, membuat konsumen tidak dapat
memetakan posisi parent brand. Semakin lama kegoyahan itu akan berubah menjadi
kegagalan. Kegagalan tersebut sangat berbahaya karena dapat mengaburkan posisi
parent brand. Image yang telah dibangun selama ini oleh parent brand juga dapat
rusak. Sebagai contoh, seorang konsumen kecewa dengan smartphone yang
diciptakan oleh Acer. Bisa saja kekecewaan itu akan merusak kepercayaan konsumen
terhadap laptop Acer, padahal selama ini produk laptop yang dimiliki oleh Acer
digadang sebagai produk yang baik.
Tidak menutup kemungkinan pula sub-brand sukses di pasar, tetapi tetap
membahayakan parent brand karena pangsa pasar parent brand turut dirambah oleh

11

sub brand. Kondisi ini disebut sebagai brand cannibalism. Atau sub-brand sukses di
pasar, tetapi menjatuhkan parent brand. Hal ini bisa disebabkan adanya pemujaan
berlebihan terhadap sub-brand dianggap jauh lebih memberikan kepuasan dan
manfaat jika dibandingkan dengan parent brand.
Strategi ekstensi ini bagai pisau bermata dua. Di satu sisi dapat memberikan
keuntungan yang begitu besar, tetapi di sisi lain juga dapat menjatuhkan hingga
sejatuh-jatuhnya.

2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan ungkapan perasaan tentang suka atau tidak suka terhadap
suatu objek. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Schiffman and Kanuk (1994:
240), ”attitudes are an expression of inner feelings that reflect whether a person is
favorably or unfavorably predisposed to some object (e.g., a brand, a service)”.
Sikap yang dimiliki oleh seorang individu sangatlah mempengaruhi keputusan yang
akan diambil oleh individu tersebut. Idealnya jika seorang individu bersikap menolak
sebuah objek maka dia akan menjauhi objek tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika
seorang individu menyukai sebuah objek maka dia akan berupaya untuk senantiasa
dekat dengan objek tersebut.
Sikap merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka atau tingkah laku
terbuka, dengan kata lain sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek (Efendi dan
Makhfudli, 2009: 103). Konsep sikap berbeda dengan konsep respon, seperti yang
dikatakan oleh Eilers (1995) bahwa respon diungkapkan melalui persepsi, sikap dan
perilaku. Jadi sikap adalah salah satu cara untuk merespon suatu objek.
Sikap konsumen menduduki posisi vital dalam pengelolaan brand karena
bagaimana konsumen bersikap akan menentukan bagaimana sebuah brand akan
hidup. Akan menjadi sia-sia seluruh upaya yang dilakukan perusahaan dengan

12

taruhan uang yang tidak sedikit dalam membentuk, membangun dan mengelola brand
mereka jika pada akhirnya konsumen bersikap menolak.
Solomon (2011: 283) memperkenalkan tricomponent model atau model sikap
ABC (ABC model of attitudes) untuk mengetahui sikap seseorang. Dalam model
sikap ABC tersebut, sikap memiliki tiga komponen yaitu:

a. Affect (Afektif)
Afektif menggambarkan perasaan atau emosi seseorang terhadap suatu objek
sikap. Perasaan tersebut merujuk pada penilaian apakah objek tersebut baik atau
buruk. Perasaan terebut juga menggambarkan preferensi seseorang terhadap suatu
objek. Bagaimana suatu objek disukai atau tidak disukai. Perasaan yang diberikan
individu terhadap objek sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh
individu tersebut. Seperti contoh, seorang wanita lahir di lingkungan keluarga
pelukis. Dia memiliki perasaan suka terhadap sebuah lukisan abstrak. Berarti dia
memberikan perasaan positifnya kepada lukisan abstrak tersebut sebagai objek
sikap. Penilaian itu sangat dipengaruhi oleh nilai dalam pribadinya yang sudah
terbiasa bersinggungan dengan lukisan abstrak.
Dalam konteks sikap konsumen, komponen afektif melihat bagaimana
konsumen memberikan perasaan dan penilaiannya kepada suatu brand. Jika ingin
melihat perasaan atau emosi konsumen terhadap Kapal Api, maka variabel yang
disajikan bukanlah variabel atribut seperti warna, dan kemasan, tetapi apakah
Kapal Api memuaskan atau mengecewakan, apakah memberikan kebanggaan
prestis ketika mengonsumsinya atau memalukan. Sama halnya dengan melihat
perasaan konsumen terhadap suatu produk smartphone Sony Xperia Z. Instrumen
yang disajikan langsung merujuk kepada keseluruhan produk tersebut, apakah
produk tersebut canggih atau kuno, mewah atau sederhana, baik atau buruk.

b. Behavioral atau Konatif

13

Komponen konatif adalah komponen sikap yang membawa individu untuk
bertindak atau kecenderungan seseorang untuk bertindak. Seperti contoh yang
diberikan dalam poin afektif, seorang wanita pecinta lukisan abstrak jika dia
berada di sebuah penjualan lukisan abstrak maka dia akan bereaksi dan berpotensi
untuk melakukan sesuatu. Bisa jadi wanita tersebut hanya memuji atau bereaksi
lebih aktif dengan ingin memiliki dan berusaha membeli salah satu lukisan
tersebut.
Komponen konatif dalam riset konsumen ini mengungkapkan kecenderungan
konsumen dalam melakukan pembelian, apakah konsumen tersebut akan
melakukan pembelian atau tidak. Di sinilah keberhasilan perusahaan dalam
menyampaikan pesan kepada konsumen berada di posisi satu langkah sebelum
finish. Jika komponen ini mengarah ke arah positif maka upaya untuk
membangun atau mengelola merek akan mendapatkan titik terang. Jika sikap
positif ini kemudian membentuk perilaku membeli, maka perusahaan dapat
dikatakan sukses menyampaikan pesannya kepada konsumen.

c. Cognitive (Kognitif)
Sikap tidak hanya dinilai dari perasaan dan kecenderungan bertindak, tetapi
juga pengetahuan individu tentang objek sikap. Komponen kognitif melibatkan
pengetahuan dan persepsi individu terhadap suatu objek sikap. Komponen ini
menjelaskan seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki oleh individu, sebagai
modal individu tersebut untuk bertindak. Pengetahuan yang dimiliki oleh individu
tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti informasi yang beredar di
masyarakat, media, edukasi yang berasal dari lingkungan keluarga, buku bacaan,
maupun pengalaman pribadi dengan objek sikap tersebut.
Seorang wanita pecinta lukisan abstrak yang lahir dari keluarga pelukis akan
memiliki banyak pengetahuan baik dari keluarganya, pengalaman pribadi,
maupun dari upaya wanita tersebut mencari literatur sehubungan dengan lukisan
abstrak kegemarannya. Dari modal pengetahuan tersebut, wanita itu memiliki

14

kepercayaan bahwa lukisan abstrak adalah karya yang memiliki nilai seni tinggi
dan dia akan berpikir rasional serta selektif dalam memilih lukisan terbaik untuk
dijadikan sebagai koleksi.

Dari model sikap ABC Solomon tersebut dapat dilihat kompleksitas proses
yang terjadi pada diri manusia sebelum pada akhirnya manusia tersebut memutuskan
untuk memberikan suatu sikap dalam merespon objek. Meskipun di dalamnya
terdapat tiga komponen yang berbeda, hendaknya tetap menjadikan komponen
tersebut menjadi satu kesatuan karena ketiga elemen tersebut saling berhubungan.
Seorang konsumen tidak melakukan pembelian jika dia tidak menyukai dan
tidak memiliki pengetahuan apapun tentang produk yang akan dibeli. Pembelian juga
tidak akan terjadi jika dia memiliki pengetahuan, tetapi tidak menyukai produk
tersebut. Kendati saling berhubungan, tidak dapat dilihat komponen mana yang akan
muncul pertama karena ketiganya berpotensi untuk muncul di awal proses ini. Akan
ada kesempatan dimana komponen konatif akan muncul pertama ketika seorang
konsumen ingin membeli sebuah kamera DSLR, tetapi tidak memiliki kapasitas
untuk memilih produk mana yang akan dipilih. Kemudian dia mencari pengetahuan
tentang beberapa brand kamera DSLR (terjadi proses kognitif) yang membawa
afektif nya menyukai salah satu diantara beberapa brand tersebut dan akhirnya
terjadilah pembelian. Akan ada pula proses kognitif muncul pertama kali, saat
seorang konsumen terpapar iklan maupun edukasi lainnya dari media kemudian
menyukai produk tersebut dan akhirnya memutuskan untuk membeli.
Dapat dikatakan bahwa, momen kemunculan komponen tersebut dapat
berbeda tergantung pada situasi. Untuk menjelaskan situasi yang berbeda ini,
Solomon membaginya ke dalam tiga kategori yang disebut hirarki efek (hierarchies
of effects).

15

Standard Learning Hierarchy
Attitude
Based on
Cognition Affect Behavior cognitive
information
processing

Low-Involvement Hierarchy
Attitude
Based on
Cognition Behavior Affect behavioral
learning
processes

Experimental Hierarchy

Attitude
Affect Behavior Cognition Based on
hedonic
consumption
Gambar 1.2 – Hierarchies of Effects
Sumber: Solomon (2011: 283)

Dari bagan diatas dapat dilihat bahwa sikap seorang individu terjadi melalui
sebuah proses evaluasi yang berjalan terus menerus, namun proses tersebut tidak
selalu melalui fase yang sama. Ada kalanya komponen afektif memulai terjadinya
proses pembentukan sikap diikuti oleh konatif yang akhirnya membentuk komponen
kognitif. Seperti ketika seorang konsumen pergi ke pusat perbelanjaan, kemudian dia
menemukan sepatu cantik dari sebuah brand yang belum pernah didengar
sebelumnya. Konsumen tersebut merasa suka (afektif) dan ingin membeli (konatif).
Sayangnya diantara rasa ingin membelinya itu terselip keingintahuan tentang kualitas
sepatu, kemudian dia mencari tahu dan akhirnya mengambil keputusan untuk
membeli karena berdasar informasi yang didapat kualitas sepatu itu baik. Sikap yang
muncul dari proses ini dilatarbelakangi oleh pola konsumsi yang cenderung hedonis.

16

Ada kalanya kognisi mengawali proses diikuti konatif seperti ketika seorang
konsumen mendapat informasi dari berbagai sumber bahwa sebuah brand laptop
mengeluarkan produk terbaru dilengkapi spesifikasi menarik. Tertarik dengan berita
yang diperoleh, dia ingin membeli, namun ketika sampai di tempat penjualan ternyata
tidak menyukai warna asli laptop tersebut karena berbeda dengan yang tergambar di
brosur. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari produk lain.
Ada kalanya pula kognisi diikuti afektif baru kemudian konatif. Proses ini
terjadi ketika seorang konsumen telah terpapar iklan produk secara terus menerus
yang membuat dia memiliki pengetahuan cukup tentang produk tersebut. Akhirnya
dia suka dan kemudian memutuskan untuk membeli.
Tak menututp kemungkinan ketiga fase ini terjadi secara bersamaan dalam
proses panjang. Misalnya, seorang konsumen melihat kemasan produk makanan yang
sangat jelek sehingga di matanya produk tersebut tidak layak konsumsi (afektif)
sehingga dia sama sekali tidak berminat untuk membeli (konatif). Selang beberapa
hari kemudian, perusahaan makanan tersebut gencar mengiklankan produknya
(kognitif). Dalam iklan itu, produk digambarkan sebagai makanan ringan enak penuh
gizi sehingga menggoyahkan keyakinan konsumen tersebut (konatif). Sedikit tertarik,
konsumen itu mencoba mencari tahu lebih dalam tentang seluk beluk makanan ringan
itu (kognitif), akhirnya dia ingin membeli (konatif) dan terjadilah proses pembelian
(sikap).

3. Industri minuman Ringan di Indonesia


Sektor industri minuman ringan terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Dalam situs resmi milik Agro Kementrian Perindustrian dijelaskan bahwa nilai
ekspor industri ini terus meroket bahkan mencapai 100% pada tahun 2012. Seperti
yang terlihat dalam diagram berikut:

17

Tabel 1.1 Nilai Ekspor Industri Minuman Indonesia

Pertumbuhan industri minuman ringan ini terus melonjak. Lonjakan yang


hampir selalu menunjukkan angka dua digit. Berikut pertumbuhan industri minuman
ringan di Indonesia hingga tahun 2009:

Tabel 1.2 Pertumbuhan Industri Minuman Ringan di Indonesia


Tahun Omset (Rp triliun) Pertumbuhan (%)
2005 248.87 20.1
2006 326.07 31
2007 383.01 17.5
2008 440 14.9
2009 493 12
Sumber: Palupi, Dyah Hasto. (2009, Februari 19). Pertarungan Elegan
Merebut 500 T. Swa, 04/XXV. Hlm 30.

Lonjakan pertumbuhan tak hanya berhenti hingga tahun 2009, Kemenperin


mencatat terjadi lonjakan sebesar 8% di tahun 2012 dan 11% di tahun 2013. Tak
heran jika laju pertumbuhan industri ini sangat cepat karena konsumsi minuman RTD
di Indonesia tergolong besar dan terus meningkat setiap tahunnya, dari 13 miliar liter
pada tahun 2005 hingga 17,4 miliar liter pada tahun 2008 (Annisa, 2010). Menurut
Anastasia Sutadji dalam Mardiani (2014), minuman kemasan ready to drink adalah
pasar terbesar kedua dalam minuman setelah air mineral. Adanya pergeseran gaya
hidup konsumen yang ingin serba cepat dan praktis memberikan peluang besar bagi

18

perkembangan industri minuman ringan, terutama untuk kategori minuman ringan
ready to drink (RTD). Istilah ready to drink digunakan untuk membedakan dengan
minuman kemasan lain yang cara penggunaannya harus diolah terlebih dahulu seperti
sirup atau minuman berbentuk bubuk.
Besarnya angka konsumsi ini bukan serta merta hanya kebetulan saja.
Penelitian terdahulu oleh Alamsyah (2011) yang mengukur keterlibatan konsumen ke
dalam minuman ringan menunjukkan hasil yang mencengangkan. Rata-rata
responden meletakkan minuman ringan dalam penilaian antara penting dan sangat
penting. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukan pembelian minuman
ringan oleh reponden bukan sekedar aktifitas yang didasarkan pada rutinitas tanpa
pertimbangan, melainkan ada tujuan-tujuan tertentu pada setiap aktifitas konsumsi
minuman ringan seperti menghilangkan dahaga, mencuci mulut, menambah
keakraban, mengganti cairan tubuh, menahan lapar, dan menjaga kesehatan.
Alamsyah juga mendapati implikasi minuman ringan adalah produk dengan
keterlibatan tinggi yang artinya konsumen melakukan pengumpulan informasi dan
pembandingan alternatif sebelum melakukan pembelian. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa permintaan dan konsumsi minuman ringan sangat tinggi, meski
demikian konsumen mampu bersikap selektif dalam memilih.
Tingginya permintaan dan nilai yang menjanjikan ini menjadi cambuk
tersendiri bagi perusahaan dalam mengelola brandnya dan menciptakan inovasi
terkini untuk bertarung memenangkan hati konsumen. Salah satu hasil nyata inovasi
perusahaan produsen minuman ringan yang dapat segera dilihat dengan mata
telanjang yaitu hadirnya beragam jenis dan brand minuman.
Dari seluruh kategori minuman ready to drink, terdapat tiga kategori
minuman yang paling laris di pasar Indonesia. Ketiga kategori minuman tersebut
adalah jenis air mineral dalam kemasan, minuman jus dan minuman isotonik. Ketiga
minuman tersebut persentase pertumbuhannya mencapai mencapai 2 digit, sedang

19

jenis minuman lain persentase kenaikannya masih pada kisaran 1 digit yaitu antara
1%-8% (Triyono, 2013).

G. Kerangka Konsep
Penelitian ini berada di ranah audiens dan berusaha meneliti sikap konsumen
terhadap kehadiran Mizone Fres’in (non isotonik) sebagai brand extension dari
Mizone yang terasosiasi dengan kuat sebagai minuman isotonik. Peneliti mencoba
melihat sikap konsumen setelah mendapat paparan produk baru dengan spesifikasi
berbeda dalam brand yang sama. Dalam penelitian ini peneliti memilih mahasiswa
dan first jober dengan rentang usia 19-24 tahun sebagai subjek penelitian
(responden). Pemilihan tersebut berdasar pasar Mizone yang menembak segmen
generasi muda yang aktif dan dinamis. Melalui berbagai iklannya, Mizone
merepresentasikan generasi muda aktif dan dinamis tersebut dengan mahasiswa dan
first jober.
Persaingan yang begitu ketat dengan tawaran omset bernilai triliunan rupiah
membuat setiap perusahaan yang bergerak di industri minuman berupaya sekeras
mungkin untuk memenangkan pasar. Berbagai strategi pun dijalankan. Demikian
halnya dengan Mizone yang memilih menerapkan strategi brand extension.
Penerapan strategi ini dapat mendatangkan keuntungan besar karena dengan strategi
ekstensi ini dapat memberi kekuatan kepada produk baru agar mudah mendapat
tempat di hati konsumen. Brand extension juga dapat meminimalisir biaya pemasaran
dan mempermudah pendistribusian produk baru. Keuntungan tersebut bersifat timbal
balik karena parent brand juga dapat merasakan keuntungan tersbeut. Dalam timbal
baliknya, kehadiran sub-brand akan semakin memperjelas posisi parent brand
melalui kejelasan posisi dan image-nya. Sub-brand juga akan membawa konsumen
baru bagi parent brand dan semakin memperluas pasar sehingga semakin
menguatkan brand mereka dan menghindarkan parent brand dari siklus kemunduran.

20

Di balik keuntungan besar tersebut, terdapat beberapa resiko yang sangat
membahayakan jika perusahaan tidak memiliki konsep yang matang dan tidak
berhati-hati dalam menjalankan strategi ini. Tanpa kehati-hatian dan perencanaan
yang matang, bisa jadi sub-brand yang dikenalkan kepada masyarakat tidak memiliki
pijakan kuat dan kemudian menjadi goyah. Sub-brand yang ’goyah’ dapat
membingungkan konsumen, membuat konsumen tidak dapat memetakan posisi
parent brand. Semakin lama kegoyahan itu akan berubah menjadi kegagalan dan
mengaburkan posisi parent brand. Image yang telah dibangun selama ini oleh parent
brand juga dapat rusak. Tidak menutup kemungkinan pula sub-brand sukses di pasar,
tetapi tetap membahayakan parent brand karena pangsa pasar parent brand turut
dirambah oleh sub brand dan terjadilah brand cannibalism. Terdapat kemungkinan
pula adanya pemujaan berlebihan atas sub-brand sehingga parent-brand tidak dapat
berkembang.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep model sikap ABC
Solomon (Solomon’s ABC model of attitudes) dengan pola standard learning
hierarchy sebagai dasar untuk memetakan fenomena penerimaan konsumen terhadap
strategi brand extension yang dilakukan oleh Mizone ini. Sikap konsumen yang
sudah terbentuk ketika Mizone hanya menghadirkan Mizone isotonik dikejutkan
dengan adanya Mizone Fres’in yang berbeda dengan Mizone Isotonik yang selama
ini dikenal masyarakat. Kehadiran Mizone Fres’in yang berbeda dengan Mizone
sebelumnya membuat pengetahuan tentang brand Mizone tersebut bergeser. Dengan
adanya pergeseran tersebut belum dapat diketahui bagaimana komponen afektif
konsumen, otomatis tidak dapat diketahui pula konatif maupun sikap akhir (intention
to buy) konsumen. Adapun Kerangka konsep ini diilustrasikan dengan gambar
sebagai berikut:

21

SIKAP
x Cognition
Pengetahuan konsumen tentang objek sikap. Objek sikap
dalam konsep ini adalah Mizone Fres’in.
x Affect
Perasaan atau emosi konsumen (rasa suka/tidak suka)
terhadap objek sikap.
x Behavior
Keinginan untuk melakukan pembelian.

Gambar 1.3 Kerangka Konsep

Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini terdapat satu jenis
variabel yaitu variabel sikap konsumen dalam mengahadapi fenomena kehadiran
Mizone Fres’in. Untuk mengetahui variabel dari kerangka konsep di atas akan
dijelaskan dalam tabel operasionalisasi konsep berikut:

22

Tabel 1.3
Operasionalisasi Konsep
Konsep Variabel Dimensi Indikator Skala
x Pengetahuan konsumen tentang Mizone
Kognitif Pengetahuan x Pengetahuan konsumen tentang Mizone Fres’in
Interval
(cognition) (knowing) x Pengetahuan konsumen tentang perbedaan
antara Mizone dan Mizone Fres’in

Perasaan x Perasaan konsumen tentang Mizone.


Sikap Afektif (affect) Interval
(feeling) x Perasaan konsumen tentang Mizone Fres’in
(Attitude)

x Perilaku konsumen dalam melakukan


Konatif keputusan pembelian Mizone Fres’in. Interval
Perilaku (doing)
(behavioral) x Perilaku konsumen dalam melakukan
pengulangan pembelian Mizone Fres’in.

23

H. Definisi Operasional
Definisi perasional adalah pembedahan konsep dan pemberian makna kepada
variabel-variabel tertentu agar bisa diukur dengan rumus statistik. Cara membuat
suatu variabel dapat diukur atau cara mengukur variabel ini di satu sisi menjelaskan
cara dan ukuran variabel yang diteliti (Prajarto, 2010: 86).
Penelitian ini hanya menggunakan konsep sikap konsumen yang diturunkan ke
dalam tiga variabel berdasar komponen sikap Solomon:
a. Variabel Kognitif
Variabel ini menjelaskan pengetahuan konsumen tentang produk ekstensi
sebagai komoditi dari brand extension. Dimensi dalam variabel ini adalah
pengetahuan (knowing). Indikator dari dimensi ini adalah:
- Pengetahuan konsumen tentang Mizone
- Pengetahuan konsumen tentang Mizone Fres’in
- Pengetahuan konsumen perbedaan antara Mizone dan Mizone Fres’in
b. Variabel Afektif
Variabel ini menggambarkan perasaan atau emosi seseorang terhadap suatu
objek sikap (produk ekstensi). Dimensi dalam variabel ini adalah perasaan
(feeling). Indikator dari dimensi ini adalah:
- Perasaan konsumen tentang Mizone.
- Perasaan konsumen tentang Mizone Fres’in
- tentang perbedaan antara Mizone dan Mizone Fres’in
c. Variabel Konatif
Variabel ini menjelaskan kecenderungan individu melakukan tindakan kepada
produk ekstensi. Dimensi dalam variabel ini adalah perilaku (doing). Indikator
dari dimensi ini adalah:
- Perilaku konsumen dalam melakukan keputusan pembelian Mizone
Fres’in.

24

- Perilaku konsumen dalam melakukan pengulangan pembelian Mizone
Fres’in

I. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini mencoba untuk mengetahui respon konsumen terhadap
kehadiran Mizone Fres’in. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang mampu
menjeneralisasi gambaran tentang respon tersebut dibutuhkan penelitian
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis deskriptif. Metode deskriptif
adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian
yang terjadi pada saat sekarang (Sudjana dan Ibrahim, 1989:65). Sementara metode
survei adalah metode tepat yang dianggap mampu menjawab pertanyaan dalam
penelitian ini karena survei mampu membaca fenomena sosial secara umum.
Penelitian survei adalah bentuk pengumpulan data menggunakan kuesioner yang
disebarkan kepada sekelompok orang, respon dari sekelompok orang tersebut
memungkinkan peneliti untuk mengambil kesimpulan mengenai keseluruhan kategori
orang-orang yang diwakili responden (Turner&West, 2008: 79).
Penggunaan metode survei deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan sikap konsumen dalam menanggapi fenomena deversifikasi brand
yang dilakukan oleh Mizone melalui strategi brand extension dengan menghadirkan
Mizone Fres’in.

2. Lokasi Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah pemuda aktif dan dinamis seperti
target konsumen yang dimiliki oleh Mizone. Hal ini dikarenakan target konsumen
Mizone Fres’in sama dengan target konsumen Mizone. Pemuda aktif dan dinamis ini
diwakili oleh pelajar SMA, mahasiswa atau first jobber dengan usia 18-27 tahun yang
sudah pernah mengonsumsi Mizone dan Mizone Fres’in sehingga mampu merasakan
perbedaan di antara keduanya.

25

Lokasi penelitian berada di Jakarta untuk mengakomodir responden dengan
status first jobber dan Yogyakarta untuk mengakomodir responden SMA dan
mahasiswa. Jakarta dan Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena
berdasarkan data statistik provinsi dalam sensus penduduk tahun 2010, kedua kota
tersebut dianggap sesuai dan mampu mewakili keadaan konsumen yang
sesungguhnya.

DKI Jawa DI Jawa


Hal Jawa Barat Banten Bali
Jakarta Tengah Yogyakarta Timur
Pekerja
Perkotaan 4.650.780 10.991.489 6.819.727 1.095.296 7.995.440 2.851.276 1.195.640
Penduduk
Bersekolah 249.786 2.810.229 2.838.226 319.625 4.271.112 707.043 430.038
Angka
Partisipasi
Sekolah
(APS)
16-18 th 70,36% 45,08% 51,02% 75,96% 52,80% 51,39% 63,31%
Angka
Partisipasi
Sekolah
(APS)
19-24 th 20,34% 9,29% 10,45% 47,07% 11,59% 11,05% 10,75%
Tabel 1.4 Data statistik provinsi di Jawa dan Bali. Diolah dari sumber www.bps.go.id

Jakarta memiliki angka partisipasi kerja yang tinggi, masuk dalam 5 besar
provinsi dengan angka pekerja tertinggi di Indonesia (www.bps.go.id). Kendati angka
partisiasi kerja tersebut tidak lebih tinggi dari Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa
Tengah, namun Jakarta tetap terhitung lebih tinggi lantaran dari perhitungan yang
dilakukan yang dilakukan BPS diakumulasi dari seluruh wilayah di provinsi tersebut.
Jakarta juga merupakan kota metropolitan, pusat pemerintahan dan pusat industri
yang sudah tentu banyak sekali lapangan kerja tersedia. Terlebih lagi, Jakarta masuk
dalam kategori 10 provinsi terkaya di Indonesia diatas Jawa Timur, Jawa Barat dan
Jawa Tengah (www.tataruangindonesia.com). Tak jarang para pencari kerja terutama
first jobber menjadikan Jakarta sebagai kiblat harapan dalam mencari kerja.

26

Angka Partisipasi Sekolah (APS) Jakarta yang tinggi membuktikan bahwa
rakyat Jakarta memiliki tingkat pendidikan yang baik. Hal tersebut turut
mengindikasikan adanya kecenderungan pekerja di Jakarta bukanlah pekerja kasar.
Dalam menyeleksi calon pekerja pun, industri di Jakarta akan melakukan seleksi
dengan ketat sehingga kualitas calon pekerja mereka tetap terjaga. Tak seperti Jawa
Barat yang meskipun memiliki angka pekerja tinggi, namun APS Jawa Barat sangat
rendah sehingga orientasi pekerjaan bagi masyarakat Jawa Barat mayoritas adalah
pekerja kasar atau pegawai tingkat rendah. Dengan demikian Jakarta adalah lokasi
yang paling tepat untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian yang mampu
mengakomodir responden dari kalangan first jobber.
Sementara itu, Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian untuk
mengakomodir responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Secara statistik
jumlah pelajar di Yogyakarta tidak sebanyak di Jawa Barat, Jawa Timur atau Jawa
Tengah. Hal ini dikarenakan luas daerah dan jumlah penduduk yang memang berbeda
jauh dan juga dalam sensus yang dilakukan oleh BPS memasukkan pelajar TK, SD
dan SMP dalam hitungannya, namun sebagai kota pelajar dan kota pendidikan
Yogyakarta memiliki persentase APS tertinggi tak hanya se Jawa, tetapi juga se
Indonesia. Angka 75,9% untuk APS 16-18 tahun dan 47% untuk APS 16-18 tahun
membuktikan bahwa mayoritas penduduk Yogyakarta berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pendidikan di taraf SMA dan perguruan tinggi. Adapun partisipasi
pelajar Yogyakarta saja, tetapi juga diminati oleh seluruh pelajar lulusan SMA dari
seluruh daerah di Indonesia. Dengan demikian Yogyakarta adalah lokasi yang paling
tepat untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian yang mampu mengakomodir
responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

3. Populasi dan Sampel


Populasi adalah kumpulan dari keseluruhan pengukuran, objek atau individu
yang sedang dikaji (Harinaldi, 2005:2). Populasi dalam penelitian ini adalah target

27

pasar Mizone yaitu pemuda rentang usia 18-27 tahun yang menyasar pada pelajar,
mahasiswa dan first jober dengan yang tinggal baik sementara ataupun menetap
permanen di DI Yogyakarta atau di DKI Jakarta ketika penelitian dilakukan. Adapun
jumlah penduduk masih sekolah (pelajar) di DI Yogyakarta berjumlah 319.625 jiwa
(www.bps.go.id) dan jumlah pekerja di DKI Jakarta berjumlah 4.650.780 jiwa.
Berikut data sensus jumlah pekerja di Jakarta berdasar laporan BPS.

Tabel 1.5 Data Jumlah Pekerja DKI Jakarta tahun 2013


Tahun 2013 Pria Wanita Jumlah
Pekerja 2.898.980 1.751.800 4.650.780
Sumber: http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2013_05_06_16_04_08

Dengan demikian populasi berjumlah 4.970.405 jiwa. Sampel adalah himpunan


dari populasi (Harinaldi, 2005:2), sehingga tidak bersifat menyeluruh dan
mengambil beberapa perwakilan yang diharapkan mampu mewakili populasi.
Dalam penelitian ini, sampel ditentukan menggunakan rumus Slovin. Rumus ini
digunakan untuk menentukan pengukuran sampel dari populasi yang diketahui
jumlahnya (Kriyantono,2007:160):
N
n=
1 + N (e)2

4.970.405
n=
1 + 4.970.405 (0,1)2

4.970.405
n=
49.705,05

n = 99,998  100

n = Ukuran Sampel

28

N = Ukuran Populasi
e = Persentase batas kesalahan. Dalam penelitian ini batas kesalahan adalah
10%.

Angka 99,998 akan dibulatkan menjadi 100, sehingga sampel dalam penelitian
ini berjumlah 100 orang. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan 100 orang
pemuda usia 18-27 tahun yang sudah pernah mengonsumsi minuman isotonik,
pernah mengonsumsi Mizone dan Mizone Fres’in, berstatus pelajar atau mahasiswa
yang tinggal di DI Yogyakarta serta first jober yang tinggal di DKI Jakarta.

5. Metode dan Teknik Pengambilan Sampel


Penelitian ini menentukan subjek penelitian dengan metode nonprobability
sampling, sebuah metode yang tidak memilih sampel secara acak. Semua anggota
populasi belum tentu memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi
sampel, disebabkan pertimbangan-pertimbangan tertentu oleh peneliti (Kriyantono,
2007:160). Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik
purposive sampling. Teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar
kriteria tertentu yang dibuat peneliti beerdasar tujuan penelitian
(Kriyantono,2007:160). Pemilihan ini dikarenakan tidak semua populasi dapat
bersifat representatif untuk mencapai tujuan penelitian.
Demikian pula dengan penelitian ini, peneliti memberikan kriteria tertentu
untuk menentukan sampel. Kriteria tersebut adalah: mahasiswa atau first jober,
sudah pernah mengonsumsi minuman isotonik, pernah mengonsumsi Mizone dan
Mizone Fres’in. Kriteria ini menjadi pegangan peneliti karena peneliti ingin
meneliti sikap konsumen dalam menanggapi fenomena brand extension untuk
brand yang sudah bertahun-tahun menjadi top brand. Sampel yang acuh atau tidak
memiliki pengetahuan dan tidak pernah mengonsumsi produk yang menjadi
komoditi misi ekstensi ini tidak dapat dijadikan sampel karena tanpa adanya
pengetahuan atau pengalaman, proses penyikapan tidak dapat berjalan.

29

5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data baik primer maupun sekunder, peneliti
menggunakan dua teknik pengumpulan data:
a. Data primer, adalah data utama dalam penelitian yang diperoleh langsung dari
subjek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang
disebarkan kepada 100 sampel penelitian yang telah ditetapkan berdasar
beberapa kriteria kepada mahasiswa atau first jober rentang usia 18-27 tahun di
Yogyakarta dan di Jakarta.
b. Data sekunder, data penunjang penelitian yang didapatkan dari literatur, seperti
buku, jurnal, makalah, artikel, dan sebagainya.

6. Uji Validitas dan Reliabilitas


Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mempu
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesoner tersebut (Ghazali,
2006:45). Uji validitas akan dilakukan dengan mengujicoba kuesioner pada 30
orang menggunakan Pearson Correlation. Dengan jumlah minimal 30 orang,
distribusi skor akan lebih mendekati kurva normal (Umar, 2002:110)
Reliabilitas adalah alat untuk mengukur kuesioner yang merupakan indikator
dari variabel atau konstruk, kuesioner ini dikatakan reliabel jika jawaban sampel
terhadap pertanyaan adalah konsisten dari waktu ke waktu (Ghazali, 2006:45).
Pengujian kuesioner menggunakan teknik Alpha Cronbach. Zulganef (2006)
menyatakan bahwa suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel jika koefisien
Alpha Cronbach lebih besar atau sama dengan 0,70. Mengacu pada pertanyaan
tersebut, penelitian ini juga menempatkan nilai batas Cronbach Alpha  0.7 untuk
menyatakan reliabilitas kuesioner penelitian.

7. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang akan digunakan adalah analisis deskriptif.
Penggunaan teknik tersebut didasarkan pada alasan dalam penelitian ini hanya

30

menggunakan satu jenis variabel yaitu variabel sikap konsumen dalam menghadapi
fenomena kehadiran Mizone Fres’in sehingga analisis dengan statistik deskriptif
adalah teknik analisis data yang tepat untuk mendapatkan hasil penelitian yang tepat.

8. Timeline Penelitian
Tabel 1.6 Timeline Penelitian
Tanggal Kegiatan
1-8 September Penyebaran Uji Kuesioner
9-15 September 2014 Uji Validitas & Uji Reliabilitas
15 September-8 Oktober 2014 Penyebaran Kuesioner
8-25 Oktober 2014 Pengolahan Data
26 Oktober-9 November 2014 Analisis Data

31


Anda mungkin juga menyukai