Anda di halaman 1dari 19

A.

Hadis Mutawatir
1. Pegertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’
(berturut-turut).[1]
Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis adalah

‫ب فللحي اَلععلاَعدحة اَحعحاَلعللةط اَحمجتحعمللاَحعحهمم و تعللعواَططئحححمم ععلَلى‬


‫س عرعواَهط ععلعددد عجلمم يطحجلل ط‬ ‫طحعو عخمبدر ععمن عممح ط‬
‫سمو س‬
‫اَملعكحذ ح‬
‫ب‬
Khabar yang di dasarkan pada pancaindra yang di kabarkan oleh sejumlah orang yang
mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta
Ada juga yang mengartikan hadis mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak
orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga
akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap
tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta
dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang
dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.[2]

2. Pembagian Hadis Mutawatir


Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni Mutawatir
Lafzi dan Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi tiga, yakni Hadis
Mutawatir Lafzi, Ma’nawi, dan ‘Amali.
a. Hadis mutawatir lafzhi
Yang dimaksud hadis mutawatir lafzi adalah:

‫ماَ تواَترت رواَيته علَى لفظ واَحد‬


“Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzi.” [3]
Hadis mutawatir lafzi ialah hadis yang makna dan lafadznya memang mutawatir.
Contohnya :

‫من كذب علَي متعمداَ فلَيتبوأ مقعده من اَلناَر‬


“Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka kehendaknya ia bersiap-siap
menempati tempatnya di neraka.”
Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat.[4]
b. Hadis mutawatir maknawi
Hadis mutawatir ma’nawi ialah:

‫ماَ تواَتر معناَه دون لفظه‬


“Hadis yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.”
Contoh hadis ini adalah:

‫وقاَل اَبو موسى اَلشأعرى دعاَ اَلنللبي صلللَى الل علَلله وسلللَم ثللم رفللع يللديه ورأيللت‬
‫بياَض اَبطيه‬

“Abu Musa Al-‘Asyari berkata: Nabi SAW berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya
dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.”[5]
Hadis-hadis yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar 100
hadis. Masing-masing hadis menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya
ketika berdoa, meskipun masing-masing (hadis) terkait dengan berbagai perkara (kasus) yang
berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak bersifat mutawatir. Penetapan bahwa
mengangkat kedua tangan ketika berdoa itu termasuk mutawatir karena pertimbangan
digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut.[6]
c. Hadis mutawatir ‘amali
Yang dimaksud dengan hadis ini ialah:

‫ماَ علَم من اَلدين باَاَلضرورة وتواَتر بين اَلمسلَمين اَن اَلنبي صلَى ا علَيه وسلللَم فعلَلله‬
َ‫اَو اَمربه اَو غير ذلك وهو اَلذي ينطبق علَيه تعريف اَلجماَع إنطباَقاَ صحيحا‬

“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah
mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau selain
dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.”

Macam hadis mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan
waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar
zakat harta, dan lain-lain.[7]
Contents
No table of contents entries found.

Hadis mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (ufid ila ‘ilmi al’dhururi), yakni
keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis
tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).[8]
Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh sebagian
golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak
bagi golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib
baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi
orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya
mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang disepakati oleh para ulama
sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh
imam.[9]

V. Keberadaan Hadist Mutawatir


Hadits mutawatir pada kenyataanya jumlahnya cukup banyak, namun bila dibandingkan
dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Salah satu contoh hadist mutawatir adalah:

Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga,
dan hadits : "Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku....." "Al-
Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf", hadits "Barangsiapa yang membangun masjid karena
Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga", hadits "Setiap yang
memabukkan adalah haram", hadits "Tentang melihat Allah di akhirat", dan hadits "tentang
larangan menjadikan kuburan sebagai masjid.”

Meskipun ada di kalangan muhaditsin yang menyatakan hadist mutawatir itu hanya sedikit
jumlahnya. Itu hanya berkisar pada keberadaan hadit mutawatir lafzi, sedangkan hadist
mutawatir ma’nawi banyak jumlahnya. Dengfan demikian perbedaan pandangan ini hanya
berkisar tentang banyak atau tidaknya hadist mutawatir lafzi saja.
BAB I

PENDAHULUAN

Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak
dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an,
maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang
membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan
cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama
setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad
kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah.
Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan
bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan
selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist
dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun
dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan
dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu
disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang
dialami ilmu hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles
dalam berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu
yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa pendapat itu
betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadist. Ulama
demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad
yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh
karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir, Masyhur
dan Ahad.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadist Mutawatir
1. Pengertian
a. Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”al-tawatur´
semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atau beriring-iringan seperti kata
“tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun berturut-turut.
b. Menurut istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada
semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak mungkin mereka
bersepakat untuk berdusta.1[1]

Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan banyak sanad
yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu untuk
berdusta mengadakan hadist itu.

Pengertian di atas, kalau kita pecah-pecah akan terdapat tiga syarat bagi Mutawatir
yaitu:

a. Mesti banyak sanadnya.


b. Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad,
umpamanya: dipermulaan sanad yang mencatat 50 orang, maka dipertengahan sanadnya,
sedikitnya mesti 50 rawi dan diakhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW pun
sedikitnya mesti 50 orang.
c. Mesti menurut pertimbangan akal bahwa tidak bias jadi rawi-rawi itu berkumpul bersama-
sama, lalu mereka berdusta mengatakan itu sabda Nabi kita, maupun berkumpulnya itu
dengan disengaja atau kebetulan.2[2]

2. Syarat-syarat Hadist Mutawatir

Dengan definisi di atas, dipahami bahwa suatu hadist bias dikatakan mutawatir
apabila telah memenuhi 4 syarat, yakni:

a. Jumlah perawinya harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah
minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimal sepuluh perawi.
b. Perawi yang banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad.

1[1] Dr. Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007). H. 31-32

2[2] A. Qadir Hassan. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2. (Bangil:Al-Muslimun, 1966). H 37
c. Secara rasional dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil sepakat
untuk berdusta.
d. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan
dalam meriwayatkan sebuah hadist, seperti kata: ‫( سمعنا‬kami telah mendengar), ‫( رأينا‬kami
telah melihat), ‫( لمسسسنا‬kami telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika sandaran
beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts
(baru), maka hadist tersebut tidak dinamakan mutawatir.

3. Nilai Hadist Mutawatir

Hadist mutawatir itu mengandung nilai “dlaruriy”. Yakni suatu keharusan bagi
manusia untuk mengakui kapasitas kebenaran suatu hadist, seperti halnya seseorang yang
telah menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri. Bagaimana mungkin dia ragu-
ragu atas kebenaran sesuatu yang disaksikan itu? Demikian juga dengan nilai hadis
mutawatir, semua hadist mutawatir bernilai maqbul (dapat diterima sebagai dasar hukum) dan
tidak perlu lagi diselidiki keadaan perawinya.3[3]

4. Hukum Hadist Mutawatir

Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan informasi yang


pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari
hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist
mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas
dan pasti bersumber dari Rasulullah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak


membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup denga bersandar pada jumlah, yang dengan
jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang
menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita
belum pernah melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.

5. Keberadaan Hadist Mutawatir

3[3] Dr. Mahmud Thahhan. Op.cit. H. 32-33


Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadist mutawatir jumlahnya tidak banyak. Pendapat
ini dibantah keras oleh Ibn Hajar, “orang yang mengatakan bahwa hadist mutawatir
jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji hadist”.

Para ulama kemudian berusaha mengakurkan dua pendapat ini. Apabila yang
dimaksud oleh Ibn Shalah adalah hadist mutawatir lafdzi, maka pendapat itu ada benarnya,
karena keberadaan hadist mutawatir lafdzi realitanya memang tidak banyak. Ibn Hajar tatkala
mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya banyak, juga ada benarnya, jika yang
dimaksud adalah hadist mutawatir maknawi atau mutawatir secara umum.4[4]

6. Macam-macam Hadist Mutawatir

Hadist mutawatir terdiri dari 2 macam, yakni :

a. Mutawatir Lafdzi
Lafdzi artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi itu ialah Mutawatir yang lafadz
hadistnya sama atau hampir bersamaan atau hadist mutawatir yang berkaitan dengan lafal
perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang
banyak.
Contoh :
‫من كذب علي متعمدافليتبوأمقعده من النار‬
Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya dari neraka
Keterangan :
1) Hadist ini diriwayatkan orang dari jalan seratus sahabat Nabi SAW.
2) Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut tersebut,
diantaranya ada yang berbunyi begini :
(‫من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار )ابن ماجه‬
Artinya : Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang
aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka (Ibnu
Majah)
Dan ada lagi begini :
(‫ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار )الحاكم‬
Artinya : Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak
pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka (Hakim)
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi
mengucapkannya beberapa kali.
3) Dari ketiga contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak mesti
lafadznya semua sama betul-betul.
4[4] Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang,
UIN- Malang Press). H. 42
4) Hadist tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya: Bukhari,
Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani
dan Hakim.

Gambaran sanadnya dari 10 imam yang tersebut, kalau kita susun akan terdapat begini :

AL-BUKHARI MUSLI AD-DARIMY ABU IBNU


(1) (3)
M DAWU MAJAH
Musa Muhammad ibn Isa
(2) (5)
Abu ‘Awanah Haitsam D
‘Ali ibn Muham
Abu Hushain Abu Zubair (4)
Abu Shalih Al-Hidjr ‘Amr mad ibn
‘Ali ibn
ibn Ramh
Musir Al-Laits
‘Aun
Muham Ibnu
Musad
mad ibn Shihab
dad
Anas
Abu Hurairah Qais Wabrah
‘Ali ibn ‘Amir
Zabir
‘Abdull
Rabi’ah
ah ibn
Al-
Az-
Mughira
Zubair
h
Az-
Zubair

SABDA NABI : “Barang siapa berdusta atas


(nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah
menyediakan tempat duduknya dari neraka
At-Tirmidzi Ath-Thajalisy Abu Hanifah Ath- Al-Hakim
(6) (7) (8) (10)
Thabarani
Abu Hisyam Abdurrahman ‘Athijah Abul Fad-l
(9)
Abu Bakar Abi Zinad Abi Sa’ied
Abu Ishaq ibn Al-Husain
Amir ibn
ibn Ajjaz Al-Khudri Ibrahim Muhammad
‘Ashim Sa’ied Nubaith ibn
ibn A.
Zirr Utsman
Syarieth
Ibnu Mas’ud Wahhab
Ja’far ibn
‘Aun
Abu Hajjan
Jazid ibn
Hajjan
Zaid ibn
Arqam

5) Cobalah perhatikan 10 gambaran sanad di atas, diantara rawi-rawinya tidak ada seorang
pun yang sama, semua berlainan.
6) Selain dari hadits tersebut, ada banyak lagi yang temasuk dalam mutawatir lafdzi,
sebagaimana kata imam Sayuti
Berikut ini disebutkan enam hadist :
(‫نضر ا امرء سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها )رواه الترميذي‬
Artinya : Mudah-mudahan Allah akan berbuat baik kepada orang yang mendengar
sabdaku, lalu ia peliharanya dan menjaganya serta menyampaikannya (kepada manusia).
(HR. Turmudzi)
(‫إ ن القرﺁن انزل علي سبعة احرف )رواه النسائ‬
Artinya : Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf (HR. Nasai)
(‫من بني ل مسجدا بني ا له بيتا في الجنة )رواه التبراني‬
Artinya : Barang siapa mendirikan sebuah mesjid karena Allah, maka Allah akan
mendirikan baginya sebuah rumah di surga (HR. Thabarani)
(‫كل شراب اسكر فهو حرام )رواه البخاري‬
Artinya : Tiap-tiap minuman yang memabukkan , maka dia itu haram (HR. Bukhari)
(‫إن اللسلم غريبا وسيعوده غريبا )رواه الدارمي‬
Artinya : Sesungguhnya agama Islam itu timbul dengan keadaan asing dan akan
kembali dengan asing (juga) (HR. Darimi)
(‫كل ميسر لما خلق له )رواه البخاري‬
Artinya : Tiap-tiap orang dimudahkan kepada apa yang sudah ditakdirkan baginya
(HR. Bukhari)
7) Mutawatir Lafdzi ini sebenarnya tidak termasuk dalam pembelajaran ilmu Hadist, karena
rawi-rawi yang menceritakan Hadist itu tidak perlu diperiksa dan dibahas lagi, sebab tida
syarat Mutawatir 37 sudah memadai untuk menetapkan keyakinan kita akan benarnya dari
Nabi SAW.
b. Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi artinya secara ma’na. mutawatir ma’nawi ialah mutawatir pada ma’na, yaitu
beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu perbuatan.
Ringkasnya, beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu ma’na atau tujuan atau hadist
mutawatir ialah hadist yang menyangkut amal perbuatan nabi, artinya perbuatan nabi yang
diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak lagi.

Contoh:
Sembahyang maghrib tiga rakaat.
Keterangan :
1) Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri sendiri) nabi sembahyang tiga
rakaat.
2) Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang maghrib tiga rakaat.
3) Satu riwayat membayangkan bahwa di Mekkah nabi sembahyang maghrib tiga rakaat.
4) Satu riwayat mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah tiga rakaat.
5) Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat., diketahui oleh
nabi.
6) Dan lain-lain lagi.
Semua cerita tersebut ceritanya berlainan, tetapi maksudnya satu yakni menunjukkan dan
menetapkan bahwa sembahyang maghrib itu tiga rakaat.5[5]
Menurut para ulama, sebuah hadist mutawatir diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi di setiap generasi sudah cukup bukti sebagai riwayat yang terpercaya atau shahih.
Jadi, tawatur bukanlah bagian “ilm al-isnad” yang menguji watak perawi dan cara
periwayatan hadist, dan mendiskusikan keshahihan hadist atau kelemahannya untuk diterima
atau ditolak. Sebuah hadist mutawatir, menurut para ulama, hanya untuk dipraktikkan, sedang
historisasinya tidak perlu didiskusikan.
5[5] A. Qadir Hassan. Loc.cit. H. 37-42
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah perawi pada setiap tingkatan yang
harus dipenuhi oleh sebuah hadist mutawatir. Beberapa ulama menentukan jumlah sampai
tujuh puluh, ada yang empat puluh, ada yang dua belas, dan bahkan ada ulama yang
mengatakan cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana muslim tentang kehujahan (otoritas
argumentasi) hadist mutawatir, karena dianggap meghasilkan ilmu dan keyakinan dan bukan
praduga (zhanni).6[6]

B. Hadist Ahad
1. Pengertian
a. Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu
(hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
b. Menurut istilah, hadist ahad adalah:
‫هو مالم يجمع شروط المتواتر‬
Artinya: Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir. 7
[7]
Yang dimaksud hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang
jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan
dari Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist ahad.8[8]
2. Nilai Hadist Ahad
Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”. Yakni ia masih merupakan ilmu yang masih
memerlukan penyelidikan dan pembuktian lebih lanjut.9[9]

Menurut Ibn Ash-Shalah, riwayat perawi tunggal tsiqah (Hadist gharib dan hadist
fard) diklasifikasi ke dalam tiga kategori:

Pertama, riwayat perawi tsiqah yang bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah.
Riwayat seperti ini harus ditolak dan dianggap syadzdz. Kedua, riwayat perawi yang
bertentangan dengan riwayat perawi tsiqah lainnya. Riwayat jenis ini diterima. Ketiga,
riwayat yang berada diantara dua jenis kategori di atas. Contoh, menambah sebuah kata
dalam hadist yang tidak disebutkan oleh semua perawi lain yang turut meriwayatkan hadist
tersebut. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Anna rasul
Allah faradha zakat al-fithr min ramadhan ala kulli hurrin au ‘abdin dzakarin au untsa min

6[6] Dr. phil. H. Kamaruddin Amin, MA. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009). H. 44-
46

7[7] Dr. Mahmud Thahhan. Loc.cit. H. 36

8[8] Zeid B. Smeer. Loc.cit. H. 43

9[9] Dr. Mahmud Thahhan. Op.cit. H. 36


al-muslimin”. Dilaporkan bahwa Malik adalah satu-satunya perawi diantara para perawi yang
menambah kata “min al-muslimin”.

Ubaidillah Ibn Umar, Ayyub dan lain-lain meriwayatkan hadist tersebut dari Nafi’
tanpa tambahan tersebut. Untuk kategori ketiga ini, Ibn Ash-Shalah tidak memberikan
penilaian sama sekali. Al-Khathib Al-Baghdadi tidak keberatan dengan tambahan tersebut,
dengan syarat dilakukan oleh perawi yang tsiqah. Dalam hal ini, ia bahkan mengklaim
mengikuti pendapat mayoritas fukaha dan ahli hadist. Menurut Ibn Katsir (701-774),
tambahan yang dilakukan oleh perawi tsiqah diterima oleh mayoritas fukaha dan ditolak oleh
mayoritas para ahli hadist. Namun, At-Tarmidzi dalam Al-‘Ilal menganggap shahih apabila
tambahan tersebut dilakukan oleh orang yang kuat hafalannya (dhabith).

Hadist gharib atau fard (tunggal) dapat diketahui melalui tiga cara: 1) dari aspek
lokalitas, hadist tersebut diriwayatkan oleh perawi tunggal dari sebuah daerah; 2) perawi
tunggal dari seorang imam yang terkenal; 3) perawi dari sebuah daerah tertentu
meriwayatkan hadist dari orang Madinah. Al-Khitab Al-Baghdadi, Ibn Ash-Shaleh, As-
Suyuthi, dan Ibn Katsir mengikuti pendapat Asy-Syafi’I bahwa keshahihan sebuah riwayat
tunggal tergantung pada ke-tsiqah-an perawinya. Dengan kata lain, untuk menilai ke-tsiqah-
an hadis gharib tergantung pada apakah hadist tersebut memenuhi syarat-syarat hadist shahih
ataukah tidak. Jadi, historitis riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi. Jumlah
perawi dalam setiap tingkatan adalah penting, tetapi tidak menentukan historisitas dan
kepalsuan riwayat tersebut. Dengan kata lain, status “ketunggalan” perawi tsiqah dalam
setiap tingkatan tidak berarti bahwa riwayatnya tertolak atau palsu.10[10]

3. Sebab-sebab Hadist Ahad Dinyatakan sebagai Zhanni Al-Wurud dan Menjadi Obyek
Pembahasan Ilmu Hadist

Jumlah periwayat yang terlibat pada hadist ahad untuk setiap (tsabaqah) sanadnya
tidak sebanyak jumlah periwayat pada hadist mutawwatir. Akibatnya, tingkat keakuratan
riwayat hadist ahad tidak setinggi hadist mutawwatir. Untuk hadist mutawatir tingkat
keakuratan riwayatnya mencapai qath’i (meyakinkan kebenaran beritanya), sedang untuk
hadist ahad, tingkat keakuratan riwayatnya hanya mencapai zhanni (dugaan keras).
Karenanya, untuk mengetahui apakah wurud (kedatangan) hadist ahad dapat dipercaya
ataukah tidak, maka terlebih dahulu sanad dan matannya harus diteliti. Untuk hadist

10[10] Dr. phil. H. Kamaruddin Amin, MA. Loc.cit. H. 36-37


mutawatir, penelitian yang demikian itu tidak diperlukan karena sudah pasti kebenaran
wurud-nya.11[11]

4. Macam-macam Hadist Ahad

Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya dibagi menjadi 3
macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan Hadist Gharib.

a. Hadist Masyhur
1) Pengertian Hadis tMasyhur
Hadist masyhur menurut bahasa yaitu kata “Masyhur” berbentuk isim maf’ul dari kata
“syaharats Al-Amru” yang berarti sesuatu yang telah terkenal setelah disebarluaskan dan
ditampakkan dipermukaan.12[12]
Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum
mencapai batasan mutawatir. Apabila dalam salah satu thabaqahnya (jenjang) dari thabaqat
sanad terdapat tiga perawi maka hadist tersebut dikategorikan hadist masyhur, sekalipun pada
thabaqah sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.13[13]
Hadist masyhur terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, hadist masyhur yang shahih, hasan,
dan dha’if. Kedua, hadist masyhur yang hanya dikenal dikalangan terbatas, seperti hadist
yang populer dikalangan ahli hadist atau hadist yang telah cukup populer dikalangan
masyarakat.
Di antara kelompok hadist masyhur adalah hadist mutawatir yang hanya populer, misalnya
dalam disiplin ilmu fiqih dan ushul fiqih, di mana hadist itu tidak pernah disebutkan secara
khusus oleh ahli hadist. Hadist seperti ini sedikit sekali dan hampir tidak ditemukan pada
periwayatan-periwayatan ahli hadist. Hadist ini seperti pada hadist yang dinukil oleh
seseorang yang memperoleh ilmu dengan kejujuran, sesuai kebutuhan dari orang-orang yang
selevel dengannya, mulai dari awal sanadnya sampai akhir sanadnya.
Karenanya hadist Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa maq’adahu min al-nar
(Barangsiapa yang berdusta pada ku secara sengaja, maka bersiaplah untuk menempati
tempat tinggalnya yang telah disiapkan untuknya nanti di neraka) adalah hadist mutawatir.
Dan hadist Innama al-a’malu bi al-niyyat (Sesungguhnya semua amal perbuatan itu

11[11] Dr. M. Syuhudi Ismail. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA


Islam, 1993). H. 36

12[12] Dr. Mahmud Thahhan. Loc.cit. H. 36

13[13] Zeid B. Smeer. Loc.cit. H. 43


tergantung pada niatnya), menurut sudut pandang ini, adalah bukan hadist mutawatir. 14[14]
Hadis Nabi SAW:
‫إن ا ل يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد‬
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan menggenggam ilmu pengetahuan dengan
mencabutnya dari para hamba.15[15]
Istilah masyhur sering juga digunakan untuk mengungkapkan hadist-hadist yang populer di
masyarakat atau komunitas tertentu. Namun istilah ini tidak berkaitan dengan definisi
masyhur di atas. Seperti misalnya hadis yang populer dikalangan ahli hadist ‫المسلم اخو المسلم‬,
populer di kalangan ahli fiqih ‫لضرر ول ضرر‬, populer di kalangan ulama usul fiqih ‫إذا حكم الحاكم‬
‫ ثم اجتحدفأصاب فله اجران‬dan lain sebagainya16[16]
2) Hadist Mustafidl (nama lain dari hadist masyhur)
Menurut bahasa kata “mustafidl” berbentuk isim fail dari kata “istifadla”, kata pecahan dari
kata “Faadla”. Artinya sesuatu yang tersebar.17[17]
Menurut istilah, definisi hadist mustafidl ada tiga pendapat. Pertama, hadist mustafidl searti
dengan hadist masyhur. Kedua, mustafidl lebih khusus daripada masyhur, karena bagi
mustafidl disyaratkan jumlah perawi pada dua ujung sanadnya sama, yakni pada awal dan
akhir sanad terdiri dari tiga perawi, sedang masyhur tidak. Ketiga, mustafidl lebih umum dari
pada masyhur, yakni kebalikan pendapat kedua.
3) Pengertian lain tentang hadist masyhur, maksudnya yaitu hadist masyhur dipahami sebagai
suatu hadist yang telah dikenal dikalangan para ahli ilmu tertentu atau dikalangan masyarakat
umum tanpa memperhatikan ketentuan syarat di atas, yakni banyaknya perawi yang
meriwayatkannya, sehingga kemungkinannya hanya mempunyai satu jalur sanad saja atau
bahkan tidak berasal (bersanad) sekalipun.

4) Macam-macam hadist masyhur:


a) Masyhur menurut ahli hadist saja, seperti hadist yang diriwayatkan Anas ra:
‫قنت النبي صلي ا عليه وسلم بعد الركوع شهرا يدعو علي رعل وذكوان‬
Artinya: Bahwa Nabi saw pernah membaca doa qunut setelah ruku’ selama satu
bulan untuk mendoakan keluarga Ri’il dan Dzakwan (HR. Bukhari Muslim).
b) Masyhur menurut ahli hadist, ulama lain, dan masyarakat umum, seperti hadist:
‫المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده‬

14[14] Imam Al-Nawawi. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001). H. 115-
116

15[15] Dr. Mahmud Thahhan. Loc.cit. H. 37

16[16] Zeid B. Smeer. Loc.cit. H. 44

17[17] Dr. Mahmud Thahhan. Op.cit. H. 37


Artinya: Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama orang muslim
dari gangguan lisan dan tangannya (HR. Muttafaq ‘alaih)
c) Masyhur menurut ulama fiqih, seperti hadist:
‫أبغض الحلل إلي ا الطلقا‬
Artinya: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talaq
d) Masyhur menurut ulama ushul fiqih, seperti hadist:
‫رفع عن أمتي الخطاء و النسيان وما استكرهوا عليه‬
Artinya: Terangkat (dosa) dari umatku, kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka
kerjakan karena terpaksa
e) Masyhur menurut ahli nahwu, seperti hadist:
‫نعم العبد صهيب لولم يخف ا لم يعصه‬
Artinya: Sebaik-baik hamba Allah Shuhaib, walaupun dia tidak takut Allah, dia tidak
berbuat maksiat
f) Masyhur menurut masyarakat umum, seperti hadist:
‫العجلة من الشيطان‬
Artinya: Sikap (tindakan) tergesa-gesa adalah sebagian dari (perbuatan) syaitan
5) Hukum Hadist Masyhur
Hukum hadist masyhur adakalanya shahih, hasan, atau dha’if bahkan ada yang bernilai
maudhu’. Akan tetapi hadist masyhur yang berkualitas shahih memiliki kelebihan untuk
ditarjih (diunggulkan) bila ternyata bertentangan dengan hadist aziz dan hadist gharib.18[18]

b. Hadist Aziz
Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi dalam salah
satu thabaqahnya. Ini adalah definisi Ibn Shalah dan diikuti pula oleh Imam Nawawi. Hadist
riwayat dua atau tiga perawi dapat dikategorikan aziz. Ibn Hajar lebih condong pada riwayat
dua orang untuk definisi aziz dan tiga orang untuk definisi masyhur.
Contoh hadist yang dikategorikan aziz, di antaranya:
‫ل يؤمن احدكم حتي أكون أحب إليه من والده و الناس اجمعين‬
Artinya: Belum sempurna iman seseorang jika ia belum mencintaiku melebihi
cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan semua orang.
c. Hadist Gharib
Hadist gharib adalah hadist yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah satu
thabaqahnya. Dinamakan demikian karena ia nampak menyendiri, seakan-akan terasing dari
yang lain atau jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh
terasing dari sanak keluarganya. Para ulama membagi hadist gharib menjadi dua berdasarkan
letak keterasingannya:
1) Gharib Mutlak, dikatakan demikian jika dalam salah satu tingkatan sanadnya terdapat
hanya seorang perawi yang meriwayatkan. Misalnya hadist shahih yang berbunyi:
‫كلمتان خفيفتان علي اللسان ثقيلتان في الميزان حبيبتان إلي الرحمن سبحان ا العظيم سبحان ا وبحمده‬

18[18] Ibid. H. 40-50


Artinya: Ada dua kalimat yang ringan untuk diucapkan oleh lidah namun berat bobot
timbangannya dan sangat dicintai oleh Allah, kalimat itu adalah subhanallah wa bihamdih.
Hadist ini pada tingkatan sahabat diriwayatkan hanya oleh Abu Hurairah, demikian pula pada
tingkatan berikutnya yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.
2) Gharib Nisbi, yaitu hadist yang dalam sanadnya terdapat perbedaan yang membedakan
dengan kondisi mayoritas sanad. Gharib nisbi tidak berkaitan dengan jumlah perawi, namun
lebih pada kondisi yang asing atau beda bila dibanding dengan kondisi sanad lain. Perbedaan
tersebut bisa berkaitan dengan tempat atau sifat perawi. Misalnya dalam sebuah sanad hadist
seluruh perawinya berasal dari kota yang sama, Bashrah misalnya. Atau mereka memiliki
predikat sifat yang sama, yaitu tsiqah.
Istilah lain yang sering disepadankan dengan gharib adalah munfarid. Sebagian ulama
membedakan dua istilah tersebut seperti Al-Qoriy yang kemudian dianut oleh Nuruddin ‘Itr.
‘Itr menilai ada sisi-sisi tertentu yang tidak bisa disepadankan, terutama yang berkaitan
dengan contoh pembagiannya.
Sebagian ulama lain justru menyamakan dua istilah tersebut, baik secara etimologi maupun
terminologi. Mereka menilai bahwa perbedaan sebenarnya bukan pada masalah yang
esensial, namun sebatas pengkategorian kasus. Pendapat ini dianut oleh Muhammad Adib
Sholeh.

5. Kehujjahan Hadist Ahad

Hadist ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau
dha’if bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad,
jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis
tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist.

Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Di antara dalil-
dalil yang mereka gunakan adalah:

a. Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala menyebarkan Islam kepada para
pemimpin negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang sahabat.
Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas
pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang
disampaikan atau dibawa oleh satu dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya
Rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan
tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit
tersebut. Demikian kata Imam Syafi’i.
b. Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu
orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan
tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula
menghadap Baitul Maqdis di Palestina kemudian dipindah ke arah kiblat (Ka’bah) di
Mekkah. Info pengalihan seperti ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan
bersama Nabi SAW kemudian datang ke salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan
shalat subuh lalu memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi
seperti itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke Ka’bah padahal mereka tidak
mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya
khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan
menggubris informasi pemindahan arah kiblat tersebut.
c. Termasuk dalil yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadist ahad
adalah hadist yang berbunyi:
‫نضر ا امرا سمع منا شيئا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعي من سامع‬
Artinya: Semoga Allah membaguskan wajah orang yang mendengar dari kami
sebuah hadis lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar, bias jadi orang yang
disampaikan lebih memahami dari pada orang yang mendengar.
Anjuran Rasulullah SAW untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang lain menunjukkan
bahwa khabar atau hadist yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat
dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum
halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist dapat
dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.19[19]
Namun demikian, pembelaan kaum ahlu sunnah wa al jama’ah terhadap hadist ahad,
bukan berarti tanpa alasan. Mereka yakin bahwa memanfaatkan hadist sekalipun ahad, jauh
lebih bernilai dibandingkan dengan ketiadaan rujukan dalam penetapan hukum.20[20]

BAB III

PENUTUP

19[19] Zeid B. Smeer. Loc.cit. H. 44-48

20[20] Drs. Yusuf Saefullah, M. Ag dan Drs. Cecep Sumarna, M. Ag. Pengantar Ilmu Hadist.
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). H. 68
Kesimpulan

Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari segi
jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.

Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari
thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at thabi’un). Dengan
demikian penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas perawi
dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir
dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:

1. Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat dan
maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayatan lainnya.
2. Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang rawi-rawinya berlainan dalam susunan
redaksinya, tetapi di antara perbedaan itu, masih menyisakan persamaan dan persesuaian
yakni pada prinsipnya. Dengan kata lain hadist yang dalam susunan redaksi kalimatnya
menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad yakni hadist yang dilihat dari sisi
penutur dan perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir atau terkadang mendekati jumlah
hadist mutawatir.. berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan.
Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat. Dalam
hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.
1. Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi hadist
tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
2. Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud
hanya terdapat dalam satu thabaqat., kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3. Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.

Anda mungkin juga menyukai