Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal


Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak
retroperitonel dengan panjang ± 11-12 cm, di samping kiri kanan vertebra.
Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya
hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi
batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal kiri setinggi vertebra
lumbalis III. Pada fetus dan infant, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur,
lobulasi makin kurang, sehingga waktu dewasa menghilang. Parenkim
ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid
yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid
dipisahkan oleh columna bertini. Dasar piramid di tutup oleh korteks, sedang
puncaknya (papila marginalis) menonjol kedalam kaliks minor. Beberapa
kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap
ginjal. Kaliks mayor / minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis
renalis inilah keluar ureter. Korteks sendiri terdiri atas glomerulus dan tubuli,
sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan
membentuk nefron, satu unit nefron terdiri dari glomerulus, tubulus
proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang di masukkan pula
duktus koligentes).15
Tiap ginjal mempunyai ± 1,5 – 2 juta nefron, berarti pula ± 1,5 – 2 juta
juta glomeruli. Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada
glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isotonik dengan plasma pada
angka 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden
lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian
asenden,konsentrasi makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi

5
6

hipoosmotik pada ujung atas lengkung, saat filtrat bergerak sepanjang tubulus
distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotik dengan
plasma darah pada ujung duktus mengumpul. Ketika filtrat bergerak turun
melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada
akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya
sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih

Gambar 1 : anatomi ginjal

Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat


ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam
glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
7

ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output. Fungsi ginjal
yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun; mempertahankan
keseimbangan cairan; mempertahankan keseimbangan kadar asam dan
basa dari cairan tubuh; mempertahankan keseimbangan garam-garam dan
zat-zat lain dalam tubuh; mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari
protein ureum, kreatinin dan amoniak”. Tiga tahap pembentukan urine :16

a) Filtrasi glomerular

Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,


seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat
impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel
terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino,
glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood
Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200
ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit
dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan
laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). GFR
normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas permukaan tubuh). GFR
normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi
berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler
glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam
kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan
oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan
osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi
oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding kapiler.
8

b) Reabsorpsi

Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non


elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah
reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah
difiltrasi.

c) Sekresi

Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran


darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi
tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin).
Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat
dan kalium serta ion- ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif
natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-
ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa
natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion
kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk
setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus
disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi
tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion
ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation
dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa
hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita
dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan
hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan
kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.16
9

Pada anak-anak jumlah urine dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai
dengan umur :

Tabel 1 : Jumlah Urine Sesuai Umur

Umur Jumlah urine dalam 24 jam

1-2 hari 30-60 ml

3-10 hari 100-300 ml

10 hari - 2 bulan 250-450 ml

2 bulan – 1 tahun 400-500 ml

1 – 3 tahun 500-600 ml

3 – 5 tahun 600-700 ml

5 – 8 tahun 650-800 ml

8 – 14 tahun 800-1400 ml

2.2 Pengertian Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL),
edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL)8. Kadang disertai
dengan hematuria,hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Sindroma Nefrotik
(SN) Merupakan Kelainan glomeropati terbanyakan menimbulkan gangguan
ginjal pada anak. Mayoritas pada anak (SN) menderita tipe idiopatik atau
primer. Pada anak (SN) dengan kriteria kekambuhan < 3 kali di sebut
infrequent relaps. Sementara pada anak dengan kekambuhan > 3 kali di sebut
frequent relapse.
10

Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik,


antara lain 8:

Tabel 2 : Batasan Sindrom Nefrotik

1. Remisi Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2


LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps Proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
3. Relaps Relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan
jarang pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per
tahun pengamatan
4. Relaps relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama atau ≥ 4 kali
sering dalam periode satu tahun
(frequent
relapse),
5. Dependen Keadaan di mana terjadi relaps saat dosis steroid
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.

6. Resisten Suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan


steroid prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama
4 minggu.

2.3 Epidemiologi

Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita


(2:1) dan kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan
terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa.
SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun; Di Indonesia
11

dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta
(Wila Wirya) menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan
penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal.9

Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun


diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat
berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.14

2.4 Etiologi

Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu


kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder.

1) Kongenital

Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah

 Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)


 Denys-Drash syndrome (WT1)
 Frasier syndrome (WT1)
 Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
 Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
 Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
 Nail-patella syndrome (LMX1B)
 Pierson syndrome (LAMB2)
 Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
 Galloway-Mowat syndrome
 Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
12

2) Primer atau idiopatik


Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik adalah sebagai berikut :
 Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
 Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
 Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
 Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
 Nefropati Membranosa (GNM)
3) Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain
sebagai berikut :
 Lupus erimatosus sistemik (LES)
 Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
 Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik
dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik,
purpura Henoch Schonlein
 Immune complex mediated, seperti post streptococcal
(postinfectious) glomerulonephritis

2.5 Klasifikasi

Klasifikasi yang dianjurkan oleh Studi International mengenai penyakit


ginjal pada Anak/International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
didasarkan pada gambaran histopatologi hasil penemuan biopsi dan temuan
klinis pada SN dengan kelainan glomerulus primer seperti yang tertera di
bawah ini5 :
1. Kelainan minimal (SNKM)
2. Glomerulosklerosis (GS)
13

a. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)


b. Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
a. GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
b. GNMP tipe II dengan deposit intramembran
c. GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
7. Glomerulopati membranosa (GM)
8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Selain itu terdapat klasifikasi lain yang didasarkan pada respons
terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan
prognosis dibandingkan klasifikasi berdasarkan patologi anatomi.
Kelompok klasifikasi respons klinis steroid yang termasuk dalam SN
primer atau idiopatik antara lain6 :
1. SN Sensitif Steroid
2. SN Resisten Steroid
2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang menyertai sindroma nefrotik antara lain:

1) Proteinuria
2) Edema , Edema sering ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak
mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh edema
di daerah pretibial pada sore hari. Anak biasanya datang dengan keluhan
edema ringan, diamana awalnya terjadi disekitar mata dan ekstremitas
bawah. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan
asites, efusi pleura, dan edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut,
dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan.
14

Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah penyakit hati,


penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis, dan
malnutrisi protein.
3) Edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka).
Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya
ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah
genitalia dan ekstremitas bawah .Edema paling parah biasanya dijumpai
pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, edema
biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang
rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Edema bersifat
menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering
menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi
pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat edema kulit,
anak tampak lebih pucat.19,20
4) Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.atau
efusi pleura20
5) Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein
mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik
resisten-steroid17,19
6) Iritabel
7) Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang
disebabkan edema mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa
pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom
nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding perut atau
pembengkakan hati.17,19
15

8) Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada


penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik
terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua
pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta
perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan
dunia sosial anak menjadi terganggu.20
9) Tekanan darah normal atau rendah
Tekanan darah umumnya normal atau rendah, namun 21 % pasien
mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada
pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat.
Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan, sekresi aldosteron,
dan vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia.
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap.
Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney Diseases in
Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik,
15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin
dan ureum darah yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik perlu
diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah
splanchnik atau akibat peritonitis.8

2.7 Patofisiologi

1) Proteinuria
Proteinuria merupakan salah satu kelainan utama pada SN. Secara
klinis merupakan kelainan yang paling penting dalam penegakkan diagnosis
SN, oleh karena itu proteinuria pada SN dinyatakan “berat” untuk
membedakannya dengan kelainan proteinuria lain yang bukan disebabkan
oleh SN. Proteinuria berat telah ditetapkan dengan batasan > 40 mg/m2
16

LPB/jam. Atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++++. Oleh karena
proteinuria paralel dengan kerusakan mbg , maka proteinuria dapat dipakai
sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus.
Jadi yang diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat
ditentukan dengan cara mengukur ratio antara Clearance IgG dan Clearence
Transferin.

ISP = Clearance IgG


Clearance Transferin

Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang
secara klinik menunjukkan kerusakan glomerulus ringan dan respons terhadap
kortikosteroid baik. Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective
Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan
tidak adanya respons terhadap kortikosteroid.18,20

A. Selektivitas Protein

Kelainan dasar glomerulus menentukan variasi jenis protein yang


diekskresikan pada penderita SN. Pada SNKM proteinuria yang terjadi
bersifat selektif karena hampir seluruhnya terdiri dari albumin.
Sementara pada SN dengan kelainan glomerulus lain didapatkan
proteinuria non-selektif, dengan jenis protein yang diekskresi terdiri
atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul (BM) besar.
Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan dengan membagi rasio
IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma
transferin (BM 88.000). Rasio kurang dari 0,2 menunjukkan adanya
proteinuria selektif, biasanya terdapat pada penderita SNKM dan
responsif terhadap steroid. Namun pemeriksaan ini dianggap tidak
17

efektif karena sangat bervariasi untuk membedakan penderita SN dan


bukan SN.

B. Perubahan pada filter kapiler glomerulus

Perubahan permeabilitas membran basal juga tergantung terhadap


kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM terdapat penurunan klirens
semua protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat
peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Hal
inilah yang mendasari kelainan utama SN berupa hilangnya sawar
muatan negatif selektif. Namun pada SN dengan kelainan
glomerulonefritis proliferatif klirens molekul kecil menurun dan
molekul besar meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping
hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan sawar ukuran
celah pori atau kelainan dua-duanya.

Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada


lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat
keluarnya molekul muatan negatif, seperti albumin. Dengan hilangnya
proteoglikan sulfat heparan dengan heparatinase mengakibatkan
timbulnya albuminuria.

Di samping itu terdapat sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion


yang terdapat pada tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai
muatan negatif yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan
pemisahan tonjolan- tonjolan kaki sal epitel suatu protein dengan BM
140.000 disebut podocalyxin mengandung asam sialat terbanyak di
daerah tersebut. pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal
sebagai respons pengobatan steroid.
2) Hipoalbuminemia
Jumlah albumin ditentukan oleh proses sintesis oleh hepar dan
18

pengeluaran dari akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan


gastrointestinal. Pada anak dengan SN biasanya terdapat hubungan
terbalik antara laju ekskresi protein urin dengan derajat hipoalbuminemia.
Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya
katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme
absolut yang normal atau menurun. Jadi pada keadaan hipoalbuminemia
menetap, konsentrasi plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh
meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme
fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena peningkatan degradasi di
dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati.
3) Kelainan metabolism lemak
Pada pasien sindrom neefrotik primer timbul hiperkolesterolemia dan
hiperlipidemia terutama pada tipe kelainan SNKM. Umumnya terdapat
korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol.
Sementara kadar trigliserida lebih bervariasi bahkan dapat normal pada
pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN konsentrasi
lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah
(LDL) meningkat, dan terkadang sangat mencolok. Sementara lipoprotein
densitas tinggi (HDL) umumnya normal meskipun rasio kolesterol-HDL
terhadap kolesterol total tetap rendah. Hiperlipidemia dapat disebabkan
akibat sintesis yang meningkat atau degradasi yang menurun. Bukti dapat
menjelaskan kedua proses abnormal tersebut meningkatnya sintesis
lipoprotein di hati, akan diikuti oleh peningkatan produksi albumin secara
sekunder melalui jalur yang berdekatan. Namun peningkatan kadar lipid
juga dapat terjadi pada kondisi laju sintesis albumin yang normal.
Sementara penurunan degradasi dapat terjadi akibat menurunnya aktivitas
lipase lipoprotein secara sekunder yang disebabkan hilangnya α-
glikoprotein asam sebagai stimulan lipase. Pada dasarnya bila albumin
19

serum kembali normal maka seharusnya kelainan lipid dapat kembali


normal. Lipid dapat juga ditemukan dalam urin berbentuk titik lemak oval
dan maltese cross
4) Edema
Terdapat beberapa teori yang dianggap dapat menjelaskan
mekanisme timbulnya edema pada SN, yaitu underfilled theory dan
overfilled theory. Karena proses pembentukan edema bersifat dinamis
memungkinkan kedua proses dari dua teori berbeda berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama. Hal ini
disebabkan karena kelainan glomerulus dapat timbul akibat lebih dari satu
rangsangan.
a) Underfilled theory
Teori klasik pembentukan edema adalah menurunnya tekanan onkotik
intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial.
Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin
keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia akan menyebabkan turunnya tekanan onkotik koloid
plasma intravaskular. Hal ini yang mendasari meningkatnya transudasi
cairan melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang
interstisial hingga menyebabkan kondisi edema. Sebagai akibat
pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
dalam sirkulasi akan menurun dibanding volume sirkulasi efektif.

Penurunan tersebut merupakan stimulasi timbulnya retensi natrium dan


air di renal. Kondisi itu ditujukan sebagai kompensasi sekunder tubuh
untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular tetap normal. Retensi
cairan berkelanjutan menjaga volume plasma, akan mengencerkan
protein plasma sehingga menurunkan tekanan onkotik plasma. Pada
akhirnya akan mempercepat gerak cairan ke ruang interstisial yang
20

justru memperberat edema hingga tercapai keseimbangan pada kondisi


edema stabil. Berdasarkan teori ini diduga terjadi kenaikan kadar renin
plasma dan aldosteron sekunder. Namun hal tersebut tidak ditemukan
pada seluruh penderita SN.

Albuminuria masif

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik plasma

Intake air dan Na

Pergeseran cairan dari


Hipovolemi ruang intravaskuler ke Edema
a ruang intersitial

Retensi air dan Na

Penurunan laju filtrasi glomerulus

Reabsorpsi air dan Na

Aktivasi Renin-Angitensin-Aldosteron System

Stimulasi pelepasan Anti-Diuretik Hormone

Inhibisi Atrial Natriuretic Peptide

Gambar.2 : skema “underfilled theory”


21

b) Overfilled theory

Beberapa kondisi pada penderita SN ditemukan meningkatnya volume


dengan penekanan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron. Hal
tersebut yang mendasari timbulnya konsep ini, retensi natrium renal
dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak
bergantung pada stimulasi sitemik
perifer. Retensi ini yang mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
cairan ekstraselular. Pembentukan edema sebagai akibat dari peristiwa
overfilling cairan ke ruang interstisial. Teori ini dapat pula menjelaskan
adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan
aldosteron yang menurun secara sekunder terhadap kondisi
hipervolemia.
Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer
↓ Albuminuria
Volume plasma ↑ Hipoalbumine
mia

Edema

Gambar 3. Teori overfilled7

Selain gambaran dari dua teori di atas, Meltzer dkk mengusulkan


bentuk patofisiologi edema dengan menggunakan istilah berbeda yaitu
tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume
plasma rendah dan vasokontriksi perifer dengan kadar renin plasma
dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik
meski dengan kadar albumin rendah yang biasanya terdapat pada
SNKM. Karakteristik patofisiologi ini sesuai dengan teori klasik
22

underfillled yaitu retensi natrium renal dan air sebagai fenomena


sekunder. Tipe nefritik ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan
darah tinggi dan kadar renin plasma serta aldosteron yang rendah
kemudian dapat meningkat sesudah persediaan natrium habis.
Biasanya tipe nefritik ditemukan pada glomerulonefritis kronik dengan
LFG yang relatif rendah dan albumin plasma yang tinggi dibanding
tipe nefrotik. Karakteristik patofisiologi tipe ini sesuai dengan teori
overfilled bahwa retensi natrium renal dan air merupakan fenomena
primer intrarenal.

2.8 Diagnosis

Kriteria diagnosis SN antara lain 6,9:

1) Edema. Sebagai gejala klinis utama edema dapat terjadi mulai dari
derajat ringan dengan pembengkakan tungkai atau kelopak mata sampai
yang berat yaitu pembengkakan seluruh tubuh (anasarka). Umumnya
timbul secara perlahan dan sering timbul di tungkai bawah yang
kemudian menghilang pada malam hari dan berpindah ke daerah wajah
atau kelopak mata yang terlihat pada pagi harinya. Edema perlahan-
lahan menjalar ke tempat lain di tubuh sampai ke jaringan longgarnya
seperti pada vulva atau skrotum. Dapat ditemukan asites yang cukup
besar hingga menyebabkan mengganggu pernapasan.
2) Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau ≥ 0,05 g/kgBB/hari atau
rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2 +).
3) Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL.
4) Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.
2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara


lain :
23

1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin Biakan urin dilakukan apabila
terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi saluran kemih
(ISK). Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara
kualitatif +2 sampai +4.Secara kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari (
diperiksa memakai reagen ESBACH ). Padasedimen ditemukan oval
fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-butir
lemak,kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan
toraks eritrosit.17,18,19,20
2) Protein urin kuantitatif Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.

3) Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan


nafas untuk mencari penyebabnya apakah pneumonia atau edema
paru akut.17
4) Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal
secara perkutan atau pembedahan bersifat invasive, maka biopsy
ginjal hanya dilakukan atas indikasi tertentu dan bila orang tua dan
anak setuju.17
5) Pemeriksaan darah
 Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun
(N:6,2-8,1 gm/100ml), albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml),
α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2 globulin meninggi
(N:0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-09 gm/100ml), γ
globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1
(N:3/2), komplemen C3 normal/rendah (N:80-120 mg/100ml),
ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal kecuali ada
penurunan fungsi ginjal, hiperkolesterolemia, dan laju endap
darah yang meningkat. 17,18,19
24

 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,


trombosit, hematokrit, LED)
 Albumin dan kolesterol serum
 Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin Pengukuran dapat
dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz.
Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerulus (LFG).

eLFG = k x L/Scr

Gambar 4 : Rumus Schwartz

Keterangan :

eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2 )

L : tinggi badan (cm)

Scr : serum kreatinin (mg/dL)

k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;


remaja putra:0,7)

 Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

2.10 Komplikasi

Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan


sindrom nefrotik yang relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk
menderita infeksi bakterial karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B
25

properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi imunitas, terapi


imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial
peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia,
selulitis, dan infeksi traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun
Streptococcus pneumonia merupakan organisme tersering penyebab
peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga
ditemukan sebagai penyebab.8

2.11 Penatalaksanaan Umum

a) Pengukuran berat badan dan tinggi badan

b) Pengukuran tekanan darah

c) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala


penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-
Schonlein.

d) Pencarian fokus infeksi

Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada


setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena
kecacingan.

e) Pemeriksaan Uji Mantoux

Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan


isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan
tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT)8,9.

2.12 Pengobatan Kortikosteroid

1) Terapi inisial
26

Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children


(ISKDC), terapi inisial untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid adalah prednison dosis 60mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi inisial
diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam empat
minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi
40 mg/m2 LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan
diberikan satu hari sekali setelah makan pagi. Apabila setelah dilakukan
pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien dinyatakan
resisten steroid8.

Gambar 5 : Terapi inisial kortikosteroid


2) Pengobatan sindrom nefrotik relaps
Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis
penuh hingga terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan
pemberian dosis alternating selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi
remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif 2 dan tanpa
edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang
biasanya disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum
diberikan prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian protenuria menghilang maka pengobatan relaps
tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak awal yang
disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan
prednison pada pasien.
27

Gambar 6 : Pengobatan sindrom nefrotik relaps

3) Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid10


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid :
a) Pemberian steroid jangka panjang
Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen
steroid pada anak, setelah remisi dengan prednison dosis penuh,
pengobatan dilanjutkan dengan pemberian steroid dosis 1,5 mg/kgBB
secara alternating. Dosis lalu diturunkan perlahan atau secara bertahap
0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu hingga dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis
tersebut merupakan dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-
12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu dicoba untuk dihentikan.
Pada anak usia sekolah umumnya dapat menoleransi prednison dengan
dosis 0,5 mg/kgBB dan pada anak usia pra sekolah dapat menoleransi
hingga dosis 1 mg/kgBB secara alternating.
Apabila pada prednison dosis 0,1-0,5 mg/kgBB alternating terjadi
relaps, terapi diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi
diberikan setiap hari hingga remisi. Apabila telah remisi dosis
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB secara alternating. Setiap
2 minggu diturunkan 0,2 mg/kgBB hingga satu tahap (0,2 mg/kgBB)
di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya.
Apabila pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating
terjadi relaps tetapi pada dosis < 1,0 mg/kgBB alternating tidak
menimbulkan efek samping yang berat maka dapat diikombinasikan
28

dengan levamisol dengan selang satu hari 2,5 mg/kgBB selama 4-12
bulan atau dapat langsung diberikan siklofosfamid
Pemberian siklofosamid (2-3 mg/kgBB/hari) selama 8-12 minggu,
apabila pada keadaan berikut :
- Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB alternating, atau
- Dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai :
 Efek samping steroid yang berat
 Pernah relaps dengan gejala yang berat, yaitu hipovolemia,
trombosis, dan sepsis.

Gambar 7. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral

Gambar 8 : Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid

b) Pemberian levamisol
Peran levamisol sebagai steroid sparing agent terbukti efektif. Dosis
yang diberikan yaitu 2,5 mg/kgBB dosis tunggal, dengan selang satu
hari dalam waktu 4-12 bulan. Levamisol mempunyai efek samping
29

antara lain mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan


neutropenia yang reversibel.
c) Pengobatan dengan sitostatika
d) Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah atau kecacingan.
6) Pengobatan sindrom nefrotik dengan kontraindikasi steroid
Apabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau
kreatinin, infeksi berat, dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA
puls. Pemberian siklofosfamid per oral diberikan dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk pemberian CPA puls dosisnya adalah
500-750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan dalam 7 dosis dengan interval
1 bulan.
7) Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan Sindroma Nefrotik
resisten steroid yang memuaskan. Sebelum dimulai pengobatan pada SN
resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran
patologi anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi akan
mempengaruhi prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah:
a. Siklofosfamid (CPA)
b. Siklosporin (CyA)
c. Metilprednisolon puls

2.13 Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik

a) Infeksi
Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang
menyebutkan bahwa terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan
30

sindrom nefrotik sehingga menyebabkan pasien Sindom Nefrotik


mempunyai kerentanan terhadap infeksi. Apabila telah terbukti adanya
komplikasi berupa infeksi perlu diberikan antibiotik8.

Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah selulitis dan


peritonitis primer. Penyebab tersering peritonitis primer adalah kuman gram
negatif dan Streptococcus pneumoniae. Untuk pengobatannya diberikan
pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi
ketiga (sefotaksim atau seftriakson) selama 10-14 hari.

Pneumonia dan infeksi saluran napas atas karena virus juga


merupakan manifestasi yang sering terjadi pada anak dengan sindrom
nefrotik.

b) Trombosis

Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN


relaps terdapat defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang
berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik.
Pemeriksaan fisik dan radiologis perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosis trombosis. Apabila telah ada diagnosis trombosis, perlu diberikan
heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau
lebih. Saat ini tidak dianjurkan pencegahan tromboemboli dengan
pemberian aspirin dosis rendah.

c) Hiperlipidemia
Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada
sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun
atau normal. Kadar kolesterol yang meningkat tersebut mempunya sifat
aterogenik dan trombogenik. Hal ini dapat meningkatkan morbiditas
kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis. Untuk itu perlu
dilakukan diet rendah lemak jenuh dan mempertahankan berat badan
31

normal. Pemberian obat penurun lipid seperti HmgCoA reductase inhibitor


(contohnya statin) dapat dipertimbangkan. Peningkatan kadar LDL, VLDL,
trigliserida, dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sensitif steroid bersifat
sementara sehingga penatalaksanaannya cukup dengan mengurangi diet
lemak.
d) Hipokalsemia
Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena :
 Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia
 Kebocoran metabolit vitamin D

Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsium maka pada pasien SN


dengan terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) sebaiknya diberikan
suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125- 250 IU).
Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium glukonas 10% sebanyak
0,5 ml/kgBB intravena.

e) Hipovolemia
Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan
atau pasien dengan keadaan SN relaps. Gejala-gejalanya antara lain
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering juga disertai sakit
perut. Penanganannya pasien diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat
sebanyak 15-20 mL/kgBB dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin
1 g/kgBB atau plasma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes per menit).
Pada kasus hipovolemia yang telah teratasi tetapi pasien tetap oliguria,
perlu diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.
f) Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam
perjalanan penyakit SN akibat dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya
diawali dengan ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor, ARB
32

(angiotensin receptor blocker), calcium chanel blockers, atau antagonis β


adrenergik, hingga tekanan darah di bawah persentil 90.
g) Efek samping steroid
Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid
jangka lama, antara lain peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan,
perubahan perilaku, peningkatan resiko infeksi, retensi air dan garam,
hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pemantauan terhadap gejala-gejala
cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi
badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun
sekali pada pasien SN.

2.14 Terapi Suportif

a) Diet

Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan koantraindikasi, hal ini


karena pemberian diet tinggi protein akan menambahkan beban glomerulus
untuk mengeluarkan sisa metobolisme dari protein (hiperfiltrasi) sehingga
akan menyebabkan sklerosis glomerulus. Sedangkan jika diberikan diet
rendah protein akan, pasien akan terjadi malnutrisi energy protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet
protein normal sesuai dengan recommended daily allowances yaitu 1,5
2g/KgBB/hari. Selain itu, dapat juga diberi diet rendah garam (1-2g/hari)
tetapi hanya diperlukan selama anak menderita edema.
b) Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Biasanya diberikan


furosemid 1-3 mg/KgBB/hari, bila perlu kombinasi dengan spironolakton
2-4 mg/KgBB/hari. Jika pemberian diuretik tidak berhasil, maka dapat
deberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/KgBB selama 2-4 jam
33

untuk menarik cairan dari interstisial dan diakhiri dengan pemberian


furosemid IV 1-2 mg/KgBB.

Gambar.9 : Algoritma pemberian diuretik

c) Batasan Intake Cairan Peroral

Pasien dengan sindrom nefrotik harus dibatasi asupan cairannya, hal


ini dilakukan untuk mengurangi tingkat keparahan edema yang terjadi
seperti edem paru, dan peningkatan kerja jantung (cardiac overload).
Beberapa penelitian mengemukakan prinsip asupan cairan pada anak
dengan sindrom nefrotik. Prinsip yang dikemukakan adalah asupan
cairan yang dapat dikonsumsi harus seimbang dengan urine output
sehari sebelumnya ditambah dengan insensible water loss (IWL).

Anda mungkin juga menyukai