Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
(Mubarak, 2008). Mobilisasi merupakan salah satu bentuk rehabilitas pada
penderita stroke. Melakukan mobilisasi sedini mungkin dapat mencegah berbagai
komplikasi seperti infeksi saluran perkemihan, kontaraktur, tromboplebitis,
dekubitus, sehingga mobilisasi dini penting secara rutin dan kontinyu. Mobilisasi
penderita stroke di rumah sakit tidak hanya dilakukan oleh fisiotherapis tetapi juga
menjadi kewajiban perawat. Mobilisasi sudah kebutuhan pokok seperti halnya
makanan dan minuman, bernafas, atau istirahat terlebih pada penderita sangat
diharapkan (Bustami, 2007)
Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2000 jumlah Lansia
sekitar 5.300.000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah
Lansia 24.000.000 (9,77%) dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah
Lansia mencapai 28.800.000 (11,34%) dari total populasi. Data Badan Pusat
Statistik menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia di Indonesia pada tahun 2007
berjumlah 18,7 juta jiwa selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23,9juta
jiwa (9,77 persen). Pada tahun 2020 diprediksikan jumlah lanjut usia mencapai 28,8
juta jiwa (11,34 persen) (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data lansia dari
berbagai sumber yang ada, dapat dipastikan bahwa semakin tahun pertambahan
jumlah penduduk semakin bertambah, begitupula bertambahnya usia angka lansia
akan semakin tinggi, dengan bertambanya angka lansia yang semakin tinggi maka
masalah-masalah kesehatan pada lansia akan semakin beragam dan komplek.
Masalah kesehatan lansia berdasarkan hasil laporan Badan Litbangkes
penyakit Stroke dan Ischaemic Heart Disease merupakan penyakit paling tinggi
dalam registrasi penyebab kematian di 15 kabupaten/kota pada tahun 2011
(Kemenkes, 2013). Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan
menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah otak yang terganggu.
Insiden stroke meningkat secara eksponesial dengan bertambahnya usia, dimana

1
akan terjadi peningkatan 100 kali lipat pada mereka yang berusia 80-90 tahun
adalah 300/10.000 dibandingkan dengan 3/10.00 pada golongan usia 30-40 tahun.
Paralisis (kelumpuhan) merupakan salah satu gejala klinis yang ditimbulkan oleh
penyakit stroke. Paralisis disebabkan karena hilangnya suplai saraf ke otot sehingga
otak tidak mampu menggerakkan ekstremitas. Hilangnya suplai saraf ke otot akan
menyebabkan otot tidak lagi menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan ukuran otot yang normal sehingga terjadi atropi (Junaidi, 2006).
Pencegahan dan pengobatan yang tepat pada penderita stroke merupakan hal yang
sangat penting, stroke yang tidak mendapatkan penanganan yang baik akan
menimbulkan berbagai tingkat gangguan seperti penurunan tonus otot, hilangnya
sensibilitas pada sebagian anggota tubuh, menurunnya kemampuan untuk
menggerakan anggota badan dan keterbatasan dalam melakukan aktifitas fisik.
Pasien stroke yang mengalami kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan
oleh karena penurunan tonus otot sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya
atau anggota gerak. Imobilisai yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat
akan menimbulkan komplikasi berupa abnormalitas tonus, atropi otot dan
kontraktur. Atropi otot karena kurangnya aktivitas dapat terjadi hanya dalam waktu
kurang dari satu bulan setelah terjadinya serangan stroke (Junaidi, 2006).
Tujuan dari terapi stroke adalah mengurangi kerusakan saraf, menurunkan
mortalitas dan kecacatan jangka panjang, mencegah komplikasi sekunder pada
imobilisasi serta mencegah stroke yang berulang. Pentingnya penanganan dan
perawatan bagi pasien dalam upaya pencegahan terjadinya kondisi cacat permanen
pada pasien pasca perawatan di rumah sakit sehingga dapat menurunkan tingkat
ketergantungan pada keluarga (Lewis, 2007). Salah satu bentuk latihan perawatan
dalam proses rehabilitasi yang dinilai masih cukup efektif untuk mencegah
terjadinya kecacatan pada pasien dengan stroke yaitu dengan latihan range of
motion (ROM). Sebaiknya latihan pada pasien stroke dilakukan beberapa kali
dalam sehari untuk mencegah komplikasi setelah kondisi hemodinamik pasien
sudah mulai stabil. Semakin dini proses rehabilitasi dimulai maka kemungkinan
pasien mengalami defisit kemampuan akan semakin kecil (National Stroke
Association, 2009).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum

2
Mahasiswa mampu memahami konsep teori imobilisasi pada lansia dengan
stroke serta dapat mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat secara nyata
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien lansia dengan imobilisasi
secara komprehensif.

2. Tujuan Khusus
Setelah membaca makalah ini, mahasiswa diharapkan dapat:
a) Menjelaskan pengertian, jenis, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
penatalaksanaan, komplikasi, pemeriksaan penunjang pada pasien
dengan Stroke.
b) Menjelaskan konsep teori imobilisasi dan latihan ROM.
c) Mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan imobilisasi pada
stroke.
d) Mampu menganalisa dan menentukan masalah keperawatan pada klien
dengan imobilisasi pada stroke.
e) Mampu melakukan intervensi dan implementasi untuk mengatasi
masalah keperawatan pada klien dengan imobilisasi pada stroke.
f) Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.

C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai konsep teori dan
asuhan keperawatan pada pasien dengan imobilisasi pada stroke.
2. Bagi Pembaca
Menambah ilmu serta wawasan mengenai imobilisasi pada stroke dan asuhan
keperawatannya.
3. Bagi Institusi
Diharapkan laporan ini dapat digunkan sebagai bahan masukan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan gerontik.

D. Sistematika Penulisan
Laporan ini disusun berdasarkan sumber yang diperoleh melalui buku. Referensi
yang kami ambil berasal dari perpustakaan Politekkes Kemenkes Jakarta 1 dan
EBook. Kami membutuhkan waktu 1 minggu untuk menyelesaikan laporan ini

3
dimulai tanggal 26 Februari 2018 sampai 2 Februari 2018. Adapun unsur masing-
masing bagian dan penjelasannya secara detail serta pengertian lengkap diuraikan
sebagai berikut :
1. Bagian awal Sistematika Penulisan terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut :
a. Lembar Judul adalah identitas yang memberikan gambaran mengenai isi
laporan.
b. Daftar Isi adalah suatu daftar yang membuat gambaran isi laporan secara
menyeluruh.
c. Kata Pengantar berisikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu pembuatan laporan.
2. Bagian Isi Sistematika Penulisan terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut :
a. Bab I Pendahuluan :
1) Latar Belakang Permasalahan adalah fenomena permasalahan dalam
lingkungan yang diamati.
2) Tujuan Penulisan Makalah adalah uraian tujuan dan hal yang ingin
dicapai mengenai penulisan makalah ini.
b. Bab II Tinjuan Pustaka :
Adalah teori yang diperoleh dari buku dan digunakan dalam pembuatan
makalah ini, penulis menggunakan teori yang bersumber dari buku
Keperawatan tentang Gerontik.
3. Bagian Penutup Sistematika Penulisan terdiri dari beberapa unsur sebagai
berikut :
a. Kesimpulan adalah jawaban atas permasalahan kasus.
b. Saran merupakan tindak lanjut dari kesimpulan.
4. Bagian Akhir dalam Format sistematika dalam penulisan terdiri dari beberapa
unsur sebagai berikut :
Daftar Pustaka memiliki pengertian sumber bacaan ilmiah yang digunakan
untuk penulisan laporan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Stroke


1. Definis Stroke
Stroke atau cerebral vasculer accident (CVA) adalah gangguan dalam
sirkulasi intraserebral yang berkaitan dengan vascular insuffiency, t0rombosis,
emboli, atau perdarahan. (Widagdo, 2008)

4
Stroke atau Cerebro Vasculer Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak ( Brunner dan Suddarth,
2002 : hal. 2131).
Stroke adalah deficit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah
fokal otak yang terkena (WHO, 1989).
Stroke atau cedera serebrovaskuler attack ( CVA) adalah kehilangan fungsi
otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Brunner and
Suddarth, 2001). Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak yang
berlangsung 24 jam atau lebih atau menimbulkan kematian dan semata-mata
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000)

2. Patofisiologi Stroke
Otak sangat tergangtung pada oksigen dan tidak mempunyai persediaan
suplai oksigen. Pada saat terjadi anoksia, sebagaimana pada CVA, metabolism
serebral akan segera mengalami perubahan dan kematian sel dan kerusakan
permanen dapat terjadi dalam 3 – 10 menit. Banyak kondisi yang merubah perfusi
serebral yang akan menyebabkan hipoksia atau anoksia. Hipoksia pertama kali
menimbulkan iskemia. Iskemia dalam waktu singkat (kurang dari 10 – 15 menit)
menyebabkan deficit sementara. Iskemia dalam waktu yang lama menyebabkan
kematian sel permanen dan infark serebral dengan disertai edema serebral.
Tipe defisit fokal permanen akan tergantung pada daerah dari otak yang
dipengaruhi. Daerah otak yang diperngaruhi tergantung pada pembuluh darah
serebral yang dipengaruhi. Paling umum pembuluh darah yang dipengaruhi adalah
middle serebral arteri ; yang kedua darah arteri karotis interna.
Stroke trombotik, adalah tipe stroke yang paling umtum, dimana sering
dikaitkan dengan tateroklerosis dan menyebabkan penyempitan lumen arteri,
sehingga menyebabkan gangguan suplai darah yang menuju ke otak. Fase awal dari
trombus terjadi selama tidur atau segera setelah bangun tidur. Hal ini berkaitan pada
orang tua aktifitas simpatisnya menurun dan sikap berbaring menyebabkan
menurunnya tekanan darah, yang akan menimbulkan iskemia otak. Pada orang ini
biasannya mempunyai hipotensi postural atau buruknya refleks terhadap perubahan
posisi. Tanda dan gejala neurologi sangat sering memperlihatkan keadaan yang
lebih buruk pada 48 jam pertama setelah trombosis.

5
Stroke embolik, yang disebabkan embolus adalah penyebab umum kedua dari
stroke. Klien yang mengalami stroke akibat embolus biasanya usianya lebih muda
dan paling umum embolus berasal dari trombus jantung. Miokardial trombus paling
umum disebabkan oleh penyakit jantung rhematik dengan mitral stenosis atau strial
fibrilasi. Penyebab yang lain stroke embolik adalah lemak, tumor sel embolik,
septik embolik, eksudat dari subakut .
Transient ischemic attack (TIA) berkaitan dengan iskemik serebral dengan
disfungsi neurologi sementara. Disfungsi neurologi dapat berupa hilang kesadaran
dan hilangnya seluruh fungsi sensorik dan motoric, atau hanya ada deficit fokal.
Defisit paling umum adalah kelemahan kontralateral wajah, tangan, lengan, dan
tungkai, disfasia sementara dan beberapa gangguan sensorik. Serangan iskemik
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. (Widagdo, 2008)

Pathway Stroke
Stroke hemoragi Hemoragi Stroke Non
Peningkatan tekanan sistemik trombus/emboli di cerebral

Aneurisma
suplai darah ke jaringan cerebral tidak adekuat
Perdarahan araknoid/ventrikel

Hematoma cerebral
Perfusi jaringan cerebral tidak adekuat
PTIK/Hemiasis cerebral

Penurunan penekanan saluran vasospasme arteri cerebral/


Kesadaran pernapasan saraf cerebral

6
hemisfer kiri
Pola napas tidak efektif iscemic/infark
hemiparese/plegi kanan
Defisit neurologi

Hemisfer kanan gang. mobilitas fisik


Area grocca
hemiparese/plegi kiri
Kerusakan fungsi N, VII N, XII
defisit perawatan diri
Kerusakan komunikasi Verbal
Resiko kerusakan integritas kulit

Resiko Resiko Resiko kurang


Aspirasi trauma jatuh Pengetahuan

3. Etiologi Stroke
Menurut Wahyu Widagdo, dkk (2008) penyebab stroke dapat diklasifikasikan
sebagi berikut :

1) Trombus
a. Aterosklerosis dalam arteri intracranial dan ekstrakranial
b. Keadaan yang berkaitan dengan perdarahan intraserebral
c. Arteritis yang disebabkan oleh penyakit kolagen (autoimun) atau arteritis
bakteri
d. Hiperkoagulasi seperti polistitemia
e. Thrombosis vena serebral
2) Emboli
a. Kerusakan katup karena penyakit jantung rematik
b. Infark miokardial
c. Fibrilasi arteri

7
d. Endocarditis bakteri dan endocarditis nonbakteri menyebabkan bekuan
pada endocardium. (Widagdo, 2008)
3) Perdarahan
a. Perdaraha intraserebral karena hipertensi
b. Perdarahan subaraknoid
c. Ruptur anurisma
d. Arteri venous malformation
e. Hipokoagulansi (pada klien dengan blood dyscrasias)

4. Tanda dan Gejala Stroke

Menurut Wahyu Widagdo, dkk (2008) tanda dan gejala stroke tergantung pada luas
dan lokasi yang dipengaruhinya. Arteri serebral yang tersumbat oleh thrombus atau
embolus dapat menperlihatkan tanda dan gejala sebagai berikut:
1) Sindroma arteri serebral media
a. hemiplegia (flaccid pada muka, lengan dan tungkai pada sisi kontralateral)
b. gangguan sensori (pada daerah yang sama sebagai hemiplegia)
c. aphasia (aphasia global jika hemisphere dominan yang dipengaruhi)
d. homonymous hemianopsia
e. bingung sampai dengan koma (makin buruk tingkat kesadaran)
f. ketidakmampuan menggerakkan mata terhadap sisi yang paralisis
g. denial paralisis
h. kemungkinan pernapasan cheynestokes
i. sakit kepala
j. paresis vasomotor
2) Sindroma arteri serebral anterior
a. Pharalisis dari telapak kaki dan tungkai
b. Gangguan dalam berjalan
c. Paresis kontralateral dari lengan
d. Kontralateral grasp reflek dan sucking reflek
e. Hilang fungsi sensori secara berlebihan pada ibu jari kaki, telapak kaki dan
tungkai.
f. Abulia (keidakmampuan melakukan kegiatan, pegerakan yang terkontrol
atau membuat keputusan)
g. Gangguan mental
h. Serebral paraplegia (bila keduanya dipengaruhi) sering dikombinasi
dengan ataksia dan akinetik mutism
i. Inontinen urin (biasanya berlangsung beberapa minggu)
3) Sindroma arteri serebral posterior
Daerah perifer :
a. Homonymous hemianopsia

8
b. Beberapa kelainan penglihatan seperti: buata warna, kurang dalam
persepsi, kegagalan melihat objek pada lokasi yang tidak central,
halusianasi penglihatan.
c. Berkurangnya daya ingat
d. Berkeringat
Daerah pusat:
a. Jika talamus yang dipengaruhi, aka nada sensorik yang hilang dari seluruh
modalits, nyeri spontan, intensional tremor dan hemiparesis ringan
b. Jika serebral penduncle yang dipengaruhi aka nada sindrom weber’s
(kelumpuhan saraf okulomotorik dengan kontralateral hemiplegia).
c. Jika batang otak dipengaruhi akan mempengaruhi conjungate gaze,
nistagmus, dan ketidaknormalan pupil dengan gejala-gejala yang lain
berupa tremor postural, ataksia.
4) Sindroma arteri karotis internal
a. Berulangnya serangan kebutaan atau penglihatan kabur pada ipsilateral
mata
b. Parastesia dan kelemahan lengan kontralateral, wajah dan tungkai.
c. Hemiplegia dengan hilangnya sensorik secara komplit dan hemianopsia
d. Kemungkinan atropi syaraf optic pada mata ipsilateral.
e. Dispasia intermittent
5) Sindroma arteri serebral inferior posterior
a. Disfagia dan dysarthria
b. Hilangnya rasa nyeri dan temperatur pada bagian sisi ipsilateral dari wajah
c. Hilangnya rasa nyeri dan temperatur pada sisi tubuh dan tungkai
d. Nistagmus horizontal
e. Sindroma horner’s ipsilateral
f. Tanda-tanda serebellar (ataksia dan vertigo)
6) Sindroma arteri serebral inferior anterior
Sisi ipsilateral
a. Tuli dan tinnitus
b. Paralisis wajah
c. Hilangnya sensasi pada wajah
d. Syndrome horner’s
e. Tanda0tanda serebellar (ataksia dan nistagmus)
Sisi kontralateral
a. Gangguan sensasi nyeri dan temperatur pada tubuh dan tungkai
b. Nistagmus horizontal.

5. Penatalaksanaan Stroke

9
Menurut Wahyu Widagdo, dkk (2008) penatalaksanaan medis pada klien dengan
stroke meliputi:
1) Non pembedahan
a. Terapi antikoagulan. Kontraindikasi pemberian terapi antikoagulan pada
klien dengan riwayat ulkus, uremia dan kegagalan hepar. Sodium heparin
diberikan secara subcutan atau melalui IV drip.
b. Phenytonin (Dilantin) dapat digunakan untuk mencegah kejang
c. Enteris-coated, misalnya spirin dapat digunakan untuk lebih dulu untuk
menghancurkan trombotik dan embolik
d. Epsilon-aminocaproic acid (amicar) dapat digunakan ntuk stabilkan
bekuan di atas anurisma yang rupture
e. Kalsium channel blocker (nimodipine) dapat diberikan untuk mengatasi
vasospasme pembuluh darah.
2) Pembedahan
a. Karotid endarterektomi untuk mengangkat plaque atherosclerosis.
b. Superior temporal arteri-middle serebral arteri anastomosis dengan melalui
daerah yang tersumbat dan meneapkan kembali aliran darah pada daerah
yang dipengaruhi.

B. Konsep Dasar Imbolisasi


1. Definis Imobilisasi
Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat
bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas),
misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada
ekstremitas, dan sebagainya. (Hidayat, 2009)
Perubahan dalam tingkat mobilitas fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan
gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat

10
bantu eksternal (mis. Gips atau traksi rangka), pembebasan gerak volunter, atau
kehilangan fungsi motorik. (Potter & Perry, 2005)

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imobilisasi

Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya imobilisasi menurut Tarwoto


& Wartonah, 2011 yaitu :
1) Gangguan muskuloskeletal
a. Osteoporosis
b. Atrofi
c. Kontraktur
d. Kekakuan sendi
2) Gangguan kardiovaskular
a. Hipotensi postural
b. Vasodilatasi vena
c. Peningkatan penggunaan valsava manuver
3) Gangguan sistem respirasi
a. Penurunan gerak pernapasan
b. Bertambahnya sekresi paru
c. Atelektasis
d. Pneumonia hipostasis

3. Jenis-jenis Imobilisasi

1) Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan


tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada
pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di
daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk
mengurangi tekanan.

2) Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami


keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak
akibat suatu penyakit.

3) Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami


pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam
menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stress berat dapat disebabkan

11
karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota
tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

4) Imobilitas sosial, keadaan idividu yang mengalami hambatan dalam melakukan


interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi
perannya dalam kehidupan sosial.

4. Etiologi Imobilisasi
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab
utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada
demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan
imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orangusia
lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun dirumah sakit
(Kozier, 2010).
Penyebab secara umum:

1) Gaya hidup
Gaya hidup sesorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya. Makin
tinggi tingkat pendidikan seseorang akan di ikuti oleh perilaku yang dapat
meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan
tetang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara
yang sehat misalnya; seorang ABRI akan berjalan dengan gaya berbeda dengan
seorang pramugari atau seorang pemambuk.
2) Proses penyakit dan injuri
Adanya penyakit tertentu yang di derita seseorang akan mempengaruhi
mobilitasnya misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan untukobilisasi
secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani operasi. Karena
adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada kalanya
klien harus istirahat di tempat tidurkarena mederita penyakit tertentu misallya;
CVA yang berakibat kelumpuhan, typoid dan penyakit kardiovaskuler.
3) Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengarumi poa dan sikap dalam melakukan aktifitas
misalnya; seorang anak desa yang biasa jalan kaki setiap hari akan berebda

12
mobilitasnya dengan anak kota yang biasa pakai mobil dalam segala
keperluannya. Wanita kraton akan berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan
seorang wanita madura dan sebagainya.
4) Tingkat energi
Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi, orang yang lagi
sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan orang sehat apalagi
dengan seorang pelari.
5) Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasny dibandingkan
dengan seorang remaja. Anak yang selalu sakit dalam masa pertumbuhannya
akan berbeda pula tingkat kelincahannya dibandingkan dengan anak yang
sering sakit.
6) Faktor resiko
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada usia lanjut. (Kozier, 2010)

5. Patofisilogi Imobilisasi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem
otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur
gerakan tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang
bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan
isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot
memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja
otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya,
menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi
dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak
menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus
mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi
irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik.
Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau
penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan
kepribadian dan suasana hati seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan
perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot

13
tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot
yang melawan gravitasi. Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang
seimbang.
Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang
bergantian melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh
dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung. Immobilisasi menyebabkan
aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal adalah rangka pendukung
tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak
beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital,
membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel
darah merah. (Potter, 2010)

6. Manifestasi Klinis Imobilisasi pada Lansia dengan Stroke


1) Perubahan metabolik
Sistem endokrin, merupakan produksi hormon-sekresi kelenjar, membantu
mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti :
a. respons terhadap stress dan cedera
b. pertumbuhan dan perkembangan
c. reproduksi
d. homeostasis ion
e. metabolisme energi.

Pada lansia produksi hampir semua hormon endokrin menurun, salah


satunya pada kelenjar pankreas yang mengalami penurunan sekresi hormon
insulin yang menyebabkan timbulnya penyakit diabetes mellitus, dimana
penyakit tersebut meningkatkan kadar gula darah, sehingga darah menjadi
kental dan mencetus timbulnya arterosklerosis yang jika plak pada
aterosklerosis lepas dan sampai pada pembuluh darah diotak yang dapat
menyebabkan sumbatan dan memicu terjadinya stroke iskemik.
Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses
anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Proses imobilitas dapat juga
menyebabkan penurunan eksresi urine dan peningkatan nitrogen. Pada
umumnya keadaan ini dapat dijumpai pada pasien yang mengalami imobilitas
pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme,
diantaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan
katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi
tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.

14
2) Perubahan sistem respirasi
Pada lansia pada tulang-tulag dinding dada mengalami osteoporosis, dan
osifikasi, otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atrofi, akibat
kelemahan otot saluran nafas dapat menyebabkan elastisitas jaringan bronkus
dan alveoli menyebabkan lumen bronkus mengecil dan pada gerak pernafasan,
karena terjadi perubahan bentuk, ukuran dada, maupun rongga dada akan
merubah mekanika pernapasan amplitudo pernafasan menjadi dangkal timbul
keluhan sesak nafas.
Klien yang mengalami imobilisasi berisiko tinggi pada terjadinya
komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah
atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi
tertutup oleh adanya sekresi dan kolpas alveolus sistal karena udara yang
diabsorbsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa
bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian
yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat
statisnya sekresi.
Klien pasca operasi dan imobilisasi berisiko tinggi mengalami
komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah
atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi
tertutup oleh adanya sekresi dan kolpas alveolus sistal karena udara yang
diabsorbsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa
bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian
yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat
statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama
menurunkan oksigenasi, memperlama penyembuhan, dan menambah
ketidaknyamanan klien (Perry&Potter, 2005).
3) Perubahan sistem kardiovaskuler
Pada lansia elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan
menjadi kaku sehingga kemampuan jantung memompa darah menurun 1%
setiap tahunya. Selain itu pembuluh darah juga kehilangan elastisitasnya
sehingga suplai oksigen kejaringan akan berkurang.
Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada klien imobilisasi terkait
sistem kardiovaskuler, yaitu :
a. Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg
dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau

15
duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi
volume cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan
penurunan respons otonom. Faktor- faktor tersebut mengakibatkan
penurunan aliran balik vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yang
terlihat pada penurunan tekanan darah,
b. Peningkatan beban kerja jantung,
c. Pembentukan trombus.
4) Perubahan sistem muskuloskeletal
Pada lansia Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya
aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya
usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena
penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon
lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur
berubah dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan
Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan
imobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien
melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan penurunan
stabilitas. Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sitem
muskuloskeletal adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan
mobilitas sendi.
Massa otot menurun akibat metabolisme dan tidak digunakan. Jika
imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa
yang berkelanjutan. Penurunan mobilisasi dan gerakan mengakibatkan
kerusakan muskuloskeletal yang besar, yang perubahan patofisiologi utamanya
adalah atrofi. Penurunan stabilitas terjadi akibat kehilangan daya tahan,
penurunan massa otot, atrofi dan kehilangan sendi yang aktual. Sehingga klien
tersebut tidak mampu bergerak terus-menerus dan sangat berisiko untuk jatuh.
Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet, yaitu :
gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena imobilisasi
berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat,
dan terjadi osteoporosis. Apabila osteoporosis terjadi maka klien berisiko
terjadi fraktur patologis. Imobilisasi dan aktivitas yang tidak menyangga tubuh
meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi Tulang juga menyebabkan
kalsium terlepas ke dalam darah, sehingga menyebabkan terjadi hiperkalsemia.

16
Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi, kontraktur sendi
adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksi
dan terfikasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan pemendekan
secara otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan
rentang gerak dengan penuh. Sayangnya kontraktur sering menjadikan sendi
pada posisi yang tidak berfungsi. Satu macam kontraktur umum dan lemah
yang terjadi adalah foot drop. Jika foot drop terjadi maka kaki terfiksasi pada
posisi plantar fleks secara permanen. Ambulasi sulit pada kaki dengan posisi
ini.

5) Perubahan sistem integumen


Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas
tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis
tangan dan kaki. Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih
menonjol. Poliferasi abnormal pada terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil,
bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan sinar matahari, biasanya
permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah.
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas
kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan terjadinya
inskemia, serta anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan
konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan
struktur di bawah kulit, sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi
mati.
6) Perubahan eliminasi urine
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder,
uretra, dan sistem nervus yang berdampak pada proses fisiologi terkait
eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol
berkemih, sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan akan memiliki
konsekuensi yang lebih jauh.
Pada keadaan imobilisasi, klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal
atau ureter membentuk garis datar seperti ginjal yang membentuk urine harus
masuk ke dalam kandung kemih melawan gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik
ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi
terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut stasis urine dan
meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal (Perry &

17
Potter, 2005). Batu ginjal dapat diakibatkan karena adanya gangguan
metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia.
Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang
terbatas, dan penyabab lain, seperti demam akan meningkatkan risiko
dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun sekitar pada hari kelima atau
keenam (Perry & Potter, 2005).
Selain mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh, imobilisasi juga
dapat menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan khususnya pada
lansia. Pada umumnya lansia akan mengalami kehilangan total massa tulang
progresif. Beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan kondisi tersebut,
meliputi aktivitas fisik, perubahan hormonal, dan resorpsi tulang aktual.
Dampak dari kehilangga massa tulang adalah tulang menjadi lebih lemah,
tulang belakang lebih lunak, dan tertekan, tulang panjang kurang resisten
ketika membungkuk.
Lansia berjalan lebih lambat dan tampak kurang terkoordinasi. Lansia
juga membuat langkah yang lebih pendek, menjaga kaki mereka lebih dekat
bersamaan, yang mengurangi dasar dukungan. Sehingga keseimbangan tubuh
tidak stabil, dan mereka sangat berisiko jatuh dan cedera.

18
WOC
Gangguan muskuloskeletal
Gangguan kardiovaskular
Gangguan sistem respirasi

Imobilisasi

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Kadar Hb turun Menurunnya Proses degenerasi


kemampuan saraf Motilitas usus ↓ Asupan cairan Penurunan massa
saraf yang terbatas otot
otonom
Ekspansi paru ↓ Penyerapan usus
Kecemasan terganggu Dehidrasi Penurunan stabilitas
Meningkatnya
Lemah otot kerja jantung
Haluaran urin ↓
Mekanisme koping Frekuensi defekasi ↓ Kerusakan
Penurunan aliran
O2 Hipotensi ortostatik menurun muskuloskeletal
Kesulitan BAB Urine pekat
Penurunan curah Ketidakefektifan Kekakuan otot
Ketidakefektifan jantung mekanisme koping Konstipasi Retensi urine
pola napas
Kontraktur sendi
Gangguan Gangguan
penurunan curah Hambatan mobilitas fisik eliminasi urine
jantung Sendi tidak dapat
mempertahankan
Intoleransi Aktivitas rentang gerak
Ketidaktepatan dengan penuh
19 mekanika tubuh
Risiko cedera
C. Konsep Range Of Motion (ROM)
1. Definis Latihan ROM
Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa
otot dan tonus otot. (Potter & Perry, 2005). Sedangkan Menurut (Ni Made Suarti
dkk, 2009:40) Latihan rentang gerak sendi adalah latihan yang diberikan untuk
mempertahankan dan meningkatkan fungsi sendi yang berkurang karena berbagai
macam proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan untuk aktivitas.
Mobilisasi sendi disetiap potongan dibatasi oleh ligamen, otot, dan konstruksi
sendi. Beberapa gerakan sendi adalah spesifik untuk setiap potongan. Pada
potongan sagital, gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jari-jari tangan dan siku)
dan hiperekstensi (pinggul). Pada potongan frontal, gerakannya adalah abduksi dan
adduksi (lengan dan tungkai) dan eversi dan inversi (kaki). Pada potongan
transversal, gerakannya adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi internal dan
eksternal (lutut), dan dorsifleksi dan plantarfleksi (kaki).

2. Tujuan ROM
Adapun tujuan dari range of motion menurut Ni Made Suarti dkk, 2009, yaitu :
1) Mempertahankan fungsi mobilitas sendi.
2) Memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot.
3) Mencegah komplikasi dari imobilisasi, seperti atropi otot dan kontraktur.
4) Melancarkan peredaran darah.
5) Mempersiapkan latihan lebih lanjut.

3. Manfaat ROM
Adapun manfaat dari range of motion, yaitu :
1) Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan
pergerakan.
2) Mengkaji tulang, sendi, dan otot.
3) Mencegah terjadinya kekakuan sendi.
4) Memperlancar sirkulasi darah.
5) Memperbaiki tonus otot.
6) Meningkatkan mobilisasi sendi.
7) Memperbaiki toleransi otot untuk latihan.

4. Prinsip Latihan ROM


Adapun prinsip latihan range of motion, diantaranya :
1) ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 1 kali sehari
2) ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.

20
3) Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien,
diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring.
4) Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah leher, jari,
lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
5) ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian
yang di curigai mengalami proses penyakit.
6) Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi atau
perawatan rutin telah di lakukan.

5. Jenis-jenis Latihan ROM


Range of motion dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1) Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif
Range of motion (ROM) Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang
(pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi,
dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri
sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75%.
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada ROM
aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien
sendiri secara aktif.
2) Latihan Range Of Motion (ROM) Pasif
Latihan range of motion (ROM) Pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk
latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan
gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien
pasif). Kekuatan otot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan
tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan
beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring
total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk, 2008).
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya
perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan
pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas
yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.

D. Konsep Asuhan Keperawatan Imbobilisasi pada Lansia dengan Stroke


1. Pengkajian Keperawatan
1) Identitas pasien

21
Anamnesa identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, status
perkawinan, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit.
2) Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang menyebabkan
terjadi keluhan atau gangguan dalam imobilitas, seperti adanya nyeri,
kelemahan otot, kelelahan, tingkat imobilitas, daerah terganggunya karena
imobilitas, dan lama terjadinya gangguan mobilitas.
3) Riwayat penyakit yang pernah diderita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit sistem neurologis (kecelakaan
cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan tekanan intrakranial, miastenia
gravis, guillain barre, cedera medula spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit
sistem kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat
penyakit sistem muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat
penyakit sistem pernapasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan
lain-lain), riwayat pemakaian obat seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem
saraf pusat, laksansia, dan lain-lain.
4) Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres
pada sendi; kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan
simetris. Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu
senggang, pekerjaan, keletihan.
Tanda : Malaise, keterbatasan rentang gerak; atrofi otot, kulit, kontraktor/
kelaianan pada sendi.
b. Kardiovaskular
Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki (mis: pucat intermitten,
sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).

c. Integritas Ego
Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan, keputusan dan
ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan), ancaman pada konsep diri,
citra tubuh, identitas pribadi (misalnya ketergantungan pada orang lain).
d. Makanan/Cairan
Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/
cairan adekuat : mual, anoreksia, kesulitan untuk mengunyah.

22
Tanda : Penurunan berat badan, kekeringan pada membran mukosa.
e. Hygiene
Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan
pribadi, ketergantungan.
f. Neurosensori
Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada
jari tangan.
Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Fase akut dari nyeri (mungkin tidak disertai oleh pembengkakan
jaringan lunak pada sendi).
h. Keamanan
Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, Lesi kulit, ulkus kaki.
Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah
tangga. Demam ringan menetap Kekeringan pada mata dan membran
mukosa.
i. Interaksi Sosial
Gejala : Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain;
perubahan peran; isolasi.

5) Pengkajian kesehatan lansia Imobilitas


a. Refleks Ekstermitas

Refleks Kanan Kiri


Biceps + +
Triceps + +
Knee + -
Achiles + +
Keterangan :
Refleks (+) : normal
Refleks (-) : menurun/meningkat

b. Pengkajian INDEKS KATZ (Indeks Kemandirian Pada Aktivitas


Kehidupan Sehari-hari)
(Indeks kemandirian pada aktivitas kehidupan sehari – hari )

Skor Kriteria
e
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar
kecil, berpakaian dan mandi.
B Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali

23
satu dari fungsi tersebut
C kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi dan dan satu fungsi tambahan.
D Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi, berpakaian, dan satu fungsi tambahan.
E Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi, berpakaian, ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan.
F Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi, berpakaian, ke kamar kecil, berpindah dan satu fungsi
tambahan.
G Ketergantungan pada ke enam fungsi tersebut.
Lain- Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak dapat
Lain diklasifikasikan sebagai C,D,E atau F.

Dari hasil pengkajian INDEKS KATZ pasien dapat diambil kesimpulan


bahwa pasien berada pada skore E yaitu pasien dapat melakukan semua
aktivitas kehidupan sehari-hari, kecuali mandi, berpakaian, ke kamar kecil,
dan fungsi tambahan.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan imobilisasi.

3. Intervensi Keperawatan

Rencana keperawatan
Diagnosa
Keperawatan Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Hasil

Hambatan NOC : NIC :


- Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation
mobilitas fisik
- Mobility Level  Monitoring vital sign sebelm/sesudah
berhubungan - Self care : ADLs
latihan dan lihat respon pasien saat
Transfer performance
dengan
Setelah dilakukan tindakan latihan
penurunan  Konsultasikan dengan terapi fisik
keperawatan selama 2 X 24
rentang gerak tentang rencana ambulasi sesuai
jam gangguan mobilitas fisik
teratasi dengan kriteria hasil: dengan kebutuhan
 Klien meningkat dalam  Bantu klien untuk menggunakan

aktivitas fisik tongkat saat berjalan dan cegah

24
 Mengerti tujuan dari terhadap cedera
 Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
peningkatan mobilitas
 Memverbalisasikan lain tentang teknik ambulasi
 Kaji kemampuan pasien dalam
perasaan dalam
mobilisasi
meningkatkan kekuatan
 Latih pasien dalam pemenuhan
dan kemampuan
kebutuhan ADLs secara mandiri
berpindah
sesuai kemampuan
 Memperagakan
 Dampingi dan Bantu pasien saat
penggunaan alat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.

 Berikan alat Bantu jika klien


memerlukan.
 Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan

Intoleransi NOC : NIC :


- Self Care : ADLs  Observasi adanya pembatasan klien
aktivitas
- Toleransi aktivitas
dalam melakukan aktivitas
berhubungan - Konservasi eneergi
Setelah dilakukan tindakan  Kaji adanya faktor yang menyebabkan
dengan
keperawatan selama 2 x 24 jam kelelahan
penurunan  Monitor nutrisi dan sumber energi
Pasien bertoleransi terhadap
imobilisasi. yang adekuat
aktivitas dengan  Monitor pasien akan adanya kelelahan
Kriteria Hasil :
 Berpartisipasi dalam fisik dan emosi secara berlebihan
 Monitor respon kardivaskuler
aktivitas fisik tanpa disertai
terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,
peningkatan tekanan darah,
sesak nafas, diaporesis, pucat,
nadi dan RR
 Mampu melakukan perubahan hemodinamik)
 Monitor pola tidur dan lamanya
aktivitas sehari hari
tidur/istirahat pasien
(ADLs) secara mandiri  Kolaborasikan dengan Tenaga
 Keseimbangan aktivitas
Rehabilitasi Medik dalam
dan istirahat
merencanakan progran terapi yang
tepat.

25
 Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan
 Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan sosial
 Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan
 Bantu untuk mendpatkan alat bantuan
aktivitas seperti kursi roda, krek
 Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi yang
aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
 Monitor respon fisik, emosi, sosial dan
spiritual

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah,
dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. (Mubarak, 2008).
Mobilisasi merupakan salah satu bentuk rehabilitas pada penderita stroke. Melakukan
mobilisasi sedini mungkin dapat mencegah berbagai komplikasi seperti infeksi saluran

26
perkemihan, kontaraktur, tromboplebitis, dekubitus, sehingga mobilisasi dini penting
secara rutin dan kontinyu. Mobilisasi penderita stroke di rumah sakit tidak hanya
dilakukan oleh fisiotherapis tetapi juga menjadi kewajiban perawat. Mobilisasi sudah
kebutuhan pokok seperti halnya makanan dan minuman, bernafas, atau istirahat terlebih
pada penderita sangat diharapkan.

B. Saran
Sebagai seorang calon perawat kita harus mampu mendeteksi secara dini
gangguan mobilisasi yang terjadi pada pasien dalam hal ini adalah seorang lansia
dengan stroke. Oleh sebab itu kita harus memahami setiap gejala-gejala yang
ditimbulkan dari keabnormalan yang terjadi dan mampu mengambil keputusan secara
cepat, tepat, dan efisien serta membuat intervensi yang dapat mencegahan komplikasi
lebih lanjut.
Secara khusus, seperti yang telah dipaparkan dalam makalah ini yaitu tentang
imobilisasi pada lansia dengan stroke. Sebagai seorang perawat harus memahami apa
saja akibat dari gangguan mobilisasi yang bisa terjadi dan mampu memberikan asuhan
keperawatan yang tepat serta mampu melakukan rujukan secara cepat apabila terjadi
suatu kegawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi, 2008, Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien, Jakarta: Salemba Medika

Alimul Aziz, 2008. Kebutuhan Dasar Manusia, Edisi 2. Jakarta; Salemba Medika.

Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep
dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Nugroho, Wahyudi. (1996). Perawatan Lanjut Usia. Penerbit Buku Kedokteran. EGC :
Jakarta.

27
Potter dan Perry. Fundamental Keperawatan, Edisi 4. Jakarta; 2005.

Tarwoto dan Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika

Wilkinson, Judith. M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dasar Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.

Stanley, Mickey, dkk. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC : Jakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai