Anda di halaman 1dari 3

Nama “Indonesia” sebagai suatu bangsa baru muncul secara resmi setelah adanya

“Sumpah Pemuda” tahun 1928. Kemudian, Indonesia sebagai nation state baru lahir
pada tahun 1945 melalui proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus.
Jika mengambil patokan adanya Indonesia sebagai bangsa setelah berdirinya Syarikat
Islam (1905), yang keanggotaannya hampir meliputi seluruh daerah Hindia Belanda,
maka bangsa Indonesia baru ada sejak tahun 1905. Namun kelahiran Syarikat Islam
tidak mempelopori adanya kebangsaan Indonesia. Syarikat Islam lahir lebih didorong
oleh faktor ukhuwah Islamiyah yang keberadaannya tertekan oleh Penguasa Hindia
Belanda. Walaupun demikian, Syarikat Islam yang kelahirannya merupakan kelanjutan
dari Syarikat Dagang Islam dapat dijadikan sebagai patokan awal adanya pemikiran
ekonomi Islam di Indonesia. Hal ini menjadi patokan karena salah satu tujuan
pergerakan SDI maupun SI adalah mengutamakan sosial ekonomi dan mempersatukan
pedagang-pedagang batik. Kemudian dengan istilah “mempertinggi derajat bumi putra”
implementasinya merupakan usaha politis hingga terbebas dari kekuasaan Hindia
Belanda. Hasil akhir dari pergerakan para bumi putra ini kemudian Indonesia sebagai
sebuah negara merupakan kesatuan dari berbagai kerajaan bekas kekuasaan Hindia
Belanda. Di mana beberapa kerajaan yang berada dalam kekuasaan Hindia Belanda
pada masa itu adalah sebahagiannya kerajaan Islam. Oleh karena itu, berbicara
sejarah ekonomi Islam di Indonesia tidak lepas kaitannya dengan perkembangan
ekonomi Islam yang berkembang dalam kerajaan-kerajaan Islam tersebut.
Kerajaankerajaan Islam yang pernah ada dalam wilayah Nusantara merupakan suatu
masyarakat dengan struktur yang lengkap. Kerajaan-kerajaan Islam dalam kenyataan
sejarah telah memiliki Pelabuahan sebagai pusat perdagangan ekspor dan import. Juga
telah memiliki bandar, pasar dan mata uang. Di kerajaan-kerajaan Islam di Aceh
misalnya, telah banyak mata uang dereuham (dirham) ditemukan.

Di Kerajaan Islam Sumenep sekalipun tidak dinamakan dinar atau dirham tetapi
dinamaka mata uang reyal (real) adalah berasa dari mata uang Spanyol. Kemudian
diadopsi menjadi mata uang Kerajaan Sumenep. Sebagai bukti bahwa mata uang ini
adalah bagian dari sistem ekonomi Islam yang berjalan dalam Kerajaan Sumenep
adalah mata uang reyal tersebut bertuliskan huruf Arab. Mata uang dinar juga
ditemukan pada kerajaan Gowa, uang dinar ini dikenal pada masa pemerintahan Sultan
Hasanuddin, sekitar abad ke-17 M. Di kerajaam Jambi pun telah dikenal mata uang
yang bercirikan bahwa sistem ekonomi Islam berjalan dalam kerajaan ini. Di mana
dalam mata uang Kerajaan Jambi terdapat tulisan “Sanat 1256” dengan mengggunakan
huruf dan angka arab. Adanya bukti sejarah berupa mata uang dinar dan dirham serta
mata uang lainnya yang bertuliskan huruf dan angka Arab di kerajaan-kerajaan Islam
merupakan sebuah bukti, bahwa sistem ekonomi yang berjalan dalam kerajaan-
kerajaan Islam tersebut adalah sistem ekonomi Islam. Kenyataan itu, sesuai dengan
keberadaan sistem perekonomian yang terbangun di masa Rasulullah dan para
sahabat. Sabda rasulullah yang menyatakan “...akan datang suatu masa di mana tidak
ada lagi yang berguna untuk dijadikan simpanan kecuali dinar dan dirham...” adalah
juga sebagai bukti bahwa sistem ekonomi yang berjalan di kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara adalah sama dengan sistem ekonomi di masa Rasulullah Muhammad. 4 Di
masa pemerintahah Khalifah Umar bin Khaththab, telah menetapkan standar
perbandingan dinar dan dirham yaitu dalam kadar berat dan nilai 7 dinar setara dengan
10 dirham.dimerdekakanlah Republik Indonesia.

Dalam sejarah Islam, kesadaran akan uang sebagai bagian dalam sistem ekonomi
telah muncul sebelum ekonomi itu itu diakui sebagai disiplin ilmu tersendiri. Peranan
uang dalam ekonomi Islam telah didiskusikan oleh Imam Ghazali (1058-1111 M) dalam
kitabnya yang terkenal “Ihya Ulumuddin”. Menurut Ghazali, manusia memerlukan uang
sebagai medium of exchange (alat perantara/pertukaran) untuk membeli barang dan
jasa. Ibnu Taymiyah menyebutkan bahwa uang itu tidak hanya berfungsi sebaga
medium of exchange. Dua pandangan yang bertolak belakang ini telah mewarnai
pemikiran ekonomi Islam. Sehingga Ibnu Qayyim dalam pembahasannya tentang
peranan uang sependapat dengan Imam Ghazali. Namun Ibnu Khaldun dalam
pandangannya terhadap uang lebih cenderung kepada pendapat Ibnu Taymiyah.6
Sebagai sebuah kesimpulan tentang fungsi uang dalam Islam, bahwa Islam melarang
memperlakukan uang sebagai commodity (barang) yang bisa diperjual-belikan. In
Islam, money is not identical with commodity that can be traded for the purpose of
making profit. Islam hanya melihat uang itu sebagai alat tukar, alat perantara, dan alat
untuk menentukan nilai, bukan sebagai barang yang bisa diperjual-belikan.

Sekalipun, Muhammad Rasulullah dikenal sebagai seorang yang berprofesi pedagang


sebelum diangkat sebagai utusan Allah. Dan apa yang dilakukannya tidak termasuk
bagian dari sebuah sunnah. Namun apa yang diperbuatnya sebelum menjadi nabi
adalah sebuah kebaikan. Di mana prinsip berniaga yang dilakukan oleh Muhammad bin
Abdullah adalah jujur dan adil. Prinsip ini hingga sekarang masih dimasukan dalam
kategori perbuatan selalu diidamkan oleh sema manusia, terlebih dalam Islam.
Sekalipun demikian apa yang dilakukan Muhammad bin Abdullah sebagai sesuatu yang
harus diikuti. Oleh karena itu tak sedikit umat Islam, bahkan menjadikan perbuatan
dagang yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah sebagai sunnah yang harus
diikuti.

Hal ini tidak berlebihan, bahkan profesi “dagang” adalah sesuatu yang mendapat
kehormatan, dan dianggap yang terbaik sejajar dengan pekerjaan bertani.
Penghormatan atas profesi itu banyak disebut dalam berbagai hadits. Rasulullah
bersabda “Rahmat Allah atas orang-orang yang berbaik hati ketika menjual dan
membeli. Dan ketika dia membuat keputusan”. Perihal niaga (perdagangan) di masa
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara merupakan suatu pekerjaan yang paling
menonjol. Bukan hanya masyarkatnya yang giat berdagang, akan tetap kerajaan
(Negara) punmengandalkan pendapatannya dari hasil perdagangan ekspor dan impor.
Hubungan Samudera-Pasai dan Mataram misalnya, adalah sudah lama terjalin. Banyak
bukti sejarah yang menunjukkan hubungan Samedra Pasai - Mataram, diantarnya pada
makam Sultan Agung di Imogiri, Yogya, terdapat guci air abad XVII kiriman Sultan
Iskandar Muda dari Samudera-Pasai. Belum lagi kita mendalami Serat Tajussalatin,
kodifikasi hukum tata pemerintah dan petunjuk memerintah dengan prinsip keadilan.
Buku berbahasa dan berhuruf Jawa yang dipakai di Keraton Yogya tersebut merupakan
salinan dari Kitab Tajussalatin, tulisan berhuruf Jawa berbahasa Pasai, berasal dari
masa pemerintah Sultan Alaad-Din Ri’ayat Syah (1589-1604). Dengan demikian,
meskipun zaman itu masih belum canggih, namun sudah terjalin jaringan
intelektual antara Aceh dan Jawa dan juga dengan seluruh Nusantara.

Hubungan antara Aceh dengan Jawa selalu mengalami naik-turun. Semula


berhubungan dalam niaga, akan tetapi pada perkembangannya perdagangan antara
dua kerajaan berkahir dengan keinginan saling menguasai. Dalam catatan
Negarakertagama dilukiskan bahwa Samudera- Pasai dikuasai Majapahit tahun 1360.
Dan sementara itu, menyinggung hal yang sama, Hikayat Raja-raja Pasai meyebutkan,
”...begitu banyak barang diangkut sehingga kapal-kapal Majapahit pulang dari Pasai
bagaikan itik berenang. Hanya kelihatan kapalnya, akibat membawa muatan terlalu
banyak.” Tidak hanya barang yang dibawa, juga sejumlah bangsawan Aceh
ikut pindah ke Majapahit dan kelak menyebar agama Islam pertama di Jawa. Antara
lain adik Putri Jeumpa bernama Pengeran Makhudum yang nantinya dikenal sebagai
Sunan Ampel. Dengan seizin kakak iparnya Raja Majapahit yang masih memeluk
agama Hindu, Makhudum diizinkan membuka pesantren. Dengan izin tersebut yang
telah diberikan kepada Makhudum, supaya Makhudum bersedia menetap di Majapahit,
dan dengan bertujuan menemani kakaknya tidak merasa kesepian. Makhudum memilih
Desa Ampel Gading di pinggir Sungai Mas, Surabaya, dan kemudian menjadi salah
seorang Wali. Dan sangat keliru kalau ada anggapan bahwa Putri Chempa yang
menikah dengan Raja Majapahit berasal dari Kamboja. Tetapi karena lidah orang Jawa
agak sulit untuk mengucapkan jeumpa, jadilah chempa.
Prof.Abdul Hadi Arifin, M.Si

Anda mungkin juga menyukai