Anda di halaman 1dari 7

Asesmen dalam Pembelajaran IPA Berbasis Inkuiri

Nuryani Y. Rustaman, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Untuk mendeteksi bagaimana seseorang telah menjadi seorang guru pebelajar
yang efektif, sebaiknya dilakukan refleksi apa yang menjadi tujuan belajarnya, termasuk
tujuan membelajarkan para siswanya dalam IPA. Relleksi membantu seseorang menjadi
fokus dan secara aktif berpartisiapsi dalam pengembangan diri sebagai pebelajar yang
kritis dan independen. Pebelajar reflektif secara berkesinambungan berpikir tentang 5W
(what, why, when, where, who) and 1H (how). Umpamanya: apa yang dipelajari,
mengapa mempelajari hal itu, bagaimana mempelajarinya, bagaimana menggunakan
yang sedang dipelajari, apa kekuatan dan kelemahan dalam belajar, apa yang menjadi
prioritas untuk dipelajari, bagaimana dapat meningkatkan dan membangun proses
belajar, seberapa baik mencapai tujuan berjangka (pendek, menengah, panjang).
Pebelajar reflektif mempertimbangkan motivasi, sikap dan gagasan beserta peru-
bahannya; keterampilan yang diperlukan untuk komponen belajar dan pembelajaran-
nya, apa yang menghambat belajarnya (jika ada), gap antara pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan. Pebelajar reflektif juga berhubungan dengan wacana
kepakaran materi subyeknya, konvensi spesifik disiplinnya serta cara-cara mengkonstruk
pengetahuan dan makna yang tercipta dalam materi subyek tertentu.
Akhir-akhir ini di banyak standard negara dimensi-dimensi tersebut dinyatakan
secara terpisah, baik dalam pembelajaran maupun dalam asesmennya. Padahal asesmen
adalah bagian dari pembelajaran atau pembelajaran memerlukan asesmen. Pada abad
ini ditekankan pentingnya keterampilan abad 21, khususnya dalam IPA, tetapi para siswa
memerlukan suatu “sense of contextual understanding” terkait dengan pengetahuan
saintifik, bagaimana mendapatkan dan menerapkannya, bagaimana menghubungkannya
melalui satu seri konsep yang membantu lebih jauh pemahaman mereka tentang alam
sekitar. Ekspektasi tentang kinerja siswa seyogianya melibatkan kemampuan siswa untuk
menunjukkan dan menerapkan sesuatu yang praktis terhadap pengetahuan konten,
sehingga terfokus pada pengertian dan aplikasi sebagai bantahan terhadap menghafal
fakta di luar konteks.
Literasi asesmen (Assessment literacy) menekankan perlunya keseimbangan antara
penggunaan asesmen bentuk tes dan asesmen non-tes. Asesmen non tes merupakan
bentuk asesmen yang tidak diberikan dalam bentuk pertanyaan dan skor atau angka
untuk jawaban yang benar. Bentuk asesmen non tes lebih sering dinyatakan dalam
bentuk rubrik yang lebih terbuka dalam rentang tertentu.

B. Literasi Asesmen Otentik (Authentic Assessment)


Asesmen otentik (authentic assessment) memiliki pengertian yang kadang-
kadang dipersamakan dengan asesmen kinerja atau asesmen performa (performance
assessment). Dalam performance assessment biasanya diperlukan tasks dan rubrik
(rubrics) untuk menilainya. Menurut Zainul (2001) dibedakan dua macam rubrik, yakni

1
rubrik holistik dan rubrik analitik atau specifik). Rubrik holistik menilai aspek-aspek yang
bersifat umum dan dapat digunakan untuk menilai kegiatan serupa (misalnya: presentasi,
simulasi), sedangkan rubrik analitik menilai aspek khusus atau spesifik, seperti aspek
yang terkait substansi atau keterampilan khusus atau menggunakan alat tertentu yang
memerlukan kecermatan tinggi, termasuk kegiatan lab yang memerlukan kondisi aseptik.
Menurut Baker et al. (dalam Anderson & Krathwohl, 2001) “… research on
authentic assessment suggests that the nature of process depends on the authenticity of
the task to which it is applied”. Sebagai contoh, belajar menghasilkan rencana atau
rancangan menulis (tanpa menghasilkan sebuat tulisan) berbeda dengan belajar untuk
menghasilkan rencana menulis dalam konteks benar-benar menghasilkan sebuah tulisan.
Jadi, asesmen otentik lebih menekankan pada keadaan atau situasi sesungguhnya.
Menilai siswa sedang simulasi dalam matapelajaran tertentu lebih merupakan
performance assessment bukan authentic assessment. Namun menilai siswa yang tampil
ketika merencanakan dan melaksanakan pembelajaran berbasis proyek (PjBL) pada
situasi sesungguhnya, barulah dapat dikatakan sedang melakukan asesmen otentik.
Dalam pembahasan tentang asesmen tes versus asesmen nontes, sering
digunakan istilah-istilah khusus seperti asesmen tradisional (untuk tes) dan asesmen
alternatif (untuk nontes). Asesmen alternatif biasanya berupa asesmen kinerja atau
performance assessment. Asesmen kinerja dapat menilai keterampilan pada saat
kegiatan atau prosesnya berlangsung, dapat pula menilai hasil atau produk dari hasil
kegiatan (prosesnya sudah selesai). Sebagian asesmen alternatif termasuk asesmen
otentik (Rustaman et al., 2016).
Lebih jauh Rustaman et al. (2016) menekankan bahwa termasuk asesmen
altenatif adalah portofolio. Portofolio biasanya berisi kumpulan hasil karya pihak yang
diases yang menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu setelah mendapat
feedback dari pihak yang meng-ases dan yang diases menindaklanjutinya dengan upaya
memperbaiknya sesuai saran aatu bahkan “beyond the feedback”. Portofolio dilakukan
berdasarkan kesepakatan antara pihak yang mengases dan yang diases, dengan kriteria
yang jelas deskriptornya. Jadi portofolio yang menampilkan karya siswa atau mahasiswa
juga termasuk asesmen otentik.
Dalam peraturan Menteri nomor 66 tahun 2013, penilaian otentik diartikan
sebagai penilaian pada real life situation yang mencakup input, proses dan output. Untuk
menilai afektif dapat dilakukan dengan observasi, penilaian diri, penilaian sebaya dan
jurnal. Selanjutnya menurut permen tersebut aspek pengetahuan dapat dinilai dengan
tes tertulis, tes lisan, dan penugasan. Adapun penilaian keterampilan dapat dilakukan
dengan tes praktek, penilaian kinerja, penilaian proyek.
Selain pengertian di atas, ada hal penting terkait dengan assessment literacy,
assessment for learning, dan assessment of learning. Assessment literacy berarti adanya
keseimbangan penerapan antara asessmen tes dan non tes. Assessment for learning
mencerminkan pelaksanaan asesmen yang mendorong siswa belajar selama
pembelajaran, sedangkan assessment of learning mencerminkan penilaian hasil belajar
pada akhir pembelajaran.
Selain pengertian di atas, ada hal penting terkait dengan assessment literacy,

2
assessment for learning, dan assessment of learning. Assessment literacy berarti adanya
keseimbangan penerapan antara asessmen tes dan non tes. Assessment for learning
mencerminkan pelaksanaan asesmen yang mendorong siswa belajar selama
pembelajaran, sedangkan assessment of learning mencerminkan penilaian hasil belajar
pada akhir pembelajaran.
Table 1 Format Rancangan Asesmen dalam Pembelajaran IPA (Stiggins, 1994)
Teknik Selected Personal
Essay Performance
Target Response Communication
Pengetahuan       ?
Penalaran       ?
Keterampilan ? ?  
Produk ? ?  
Afektif    

C. TANTANGAN ASESMEN BAGI GURU IPA DALAM PEMBELAJARAN IPA


1. Asesmen dalam pembelajaran IPA yang sesuai Hakikat IPA dan Hakikat Asesmen
Hasil analisis dan diskusi tentang gerakan Pendidikan STEM dalam Pendidikan IPA
(Kumano et al., 2013) menunjukkan bahwa ada trend yang mengarah pada Science,
Technology, Engineering and Mathematics (STEM) dalam pendidikan IPA di Amerika
Serikat sejak tahun 2012 dan di beberapa negara lainnya. Apabila dikaji kemungkinan
penerapannya di Indonesia, maka terlebih dahulu perlu dilakukan peletakan dasar
pembelajaran berbasis inkuiri pada tingkat pendidikan dasar dan menengah sebelum
dapat dilakukan peembelajaran berbasis STEM (Rustaman, 2015). Melalui kolaborasi
dalam bidang penelitian yang dimiliki masing-masing negara dimungkinkan dilakukan
peningkatan kemampuan siswa secara mandiri dan secara berkelompok belajar sains
melalui scientific inquiry dengan memperhatikan level-level dalam pendekatan inkuiri
(Wenning, 2011). Namun hasil analisis mendalam terhadap kondisi Indonesia, terlebih-
lebih penting untuk menginkuirikan para gurunya sebelum siswa mampu berinkuiri
(Rustaman, 2010)
Dari hasil penelitian tentang kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI) ditemukan
berbagai strategi pembelajaran inkuiri, yakni sebagai metode, pendekatan, model, alat
untuk mengembangkan kepribadian, kemampuan yang dikembangkan dan diukur
(Rustaman 2007). Lebih jauh dikemukakan bahwa untuk scientific skills dalam berinkuiri
ilmiah perlu dilakukan asesmen, baik secara formatif maupun secara sumatif (Rustaman,
2010). Asesmen formatif mendorong siswa untuk belajar lebih jauh setelah diases,
sementara melalui asesmen sumatif diketahui capaian atau penguasaan scientific
inquiry-nya. Karena perannya tersebut asesmen formatif dikenal dengan assessment for
learning, sedangkan asesmen sumatif dikenal dengan assessment of learning (Rustaman
et al., 2016).
Selain kedua istilah tersebut masih ada assessment as learning. Sebagaimana
assessment for learning yang mendorong siswa untuk belajar lebih jauh setelah diases,
assessment as learning juga mengarah pada asesmen formatif. Kedua tujuan asesmen
terkait pembelajaran ini sangat penting diperhatikan dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran berbais inkuiri.

3
2. Asesmen untuk Menanamkan Keterampilan Intelektual Saintifik
Keterkaitan pembiasaan pembelajaran untuk menanamkan dan mengembangkan
kebiasaan berinkuiri tidak dilakukan sekaligus, melainkan perlu dilakukan secara
bertahap. Penggunaan “levels of inquiry” dapat membantu merealisasikan dan
menginkuirikan berbagai topik mata pelajaran dalam IPA. Contoh materi Keaneka-
ragaman yang semula dinyatakan sulit bahkan hampir tidak mungkin dilakukan dengan
inkuiri biasa menurut Center of Inquiry di Ohio, setelah direncanakan melalui “learning
sequence” dalam merencanakan Levels of Inquiry menurut Wenning, RPP nya dapat
terealisasi.
Asesmen untuk pembelajaran berbasis inkuiri (IBL= Inquiry based Learning) dapat
dilakukan sebagai hasil belajar dan selama proses belajar. Asesmen hasil belajar lebih
dimungkinkan melalui asesmen sumatif dan assessment of learning, sedangkan asesmen
selama pembelajaran dimungkinkan oleh asesmen formatif, yaitu untuk tujuan
assessment for learning dan assessment as learning.
Hasil pengkajian tujuan pedagogi dan scientific practice and intelelctual skills
dalam masing-masing level of inquiry apabila dihubungkan dengan karakteristik
Kurikulum 2013 versi terbaru (2016) menunjukkan terdapat irisan yang sangat relevan
antara apa yang menjadi tuntutan kurikulum melalui KI dan KD-nya dengan aspek-aspek
yang terdapat dalam tujuan pedagogi dan scientific practice and intellectual skills-nya.
Tebel berikut menunjukkan hubungan antara keduanya.
Table 2 Aspek Rancangan Asesmen untuk Keterampilan Intelektual Saintifik
Levels of Inquiry (LOI)
Kurikulum Target Asesmen
Scientific Practice &
2013 (+bentuk asesmen) Tujuan Pedagogi
Intelelctual Skills
Pembentukan Karakter Implisit dalam RPP & Tidak eksplisit
KI-1
(tujuan komprehensif) selama pembelajaran
Sikap ilmiah & keterampilan Direncanakan sejak Direncanakan terintegrasi dalam
KI-2 sosial (suasana awal, dicek di asesmen pembelajaran
pembelajaran) kinerja (task & rubrics) (task & rubrics)
Penalaran, pengetahuan Membangun & Keterampilan bernalar bertahap
KI-3
(tes HOTS & Konsep mengembangkan pengetahuan menjadi konteks,
konsep
Keterampilan saintifik Membangun Keterampilan memproses
KI-4
(produk, asesmen kinerja) kemampuan saintifik bertahap

Keterampilan saintifik praktis dan intelektual dalam pembelajaran berbasis inkuiri


(IBL) secara keseluruhan menjadi fokus dari asesmen berskala besar (large scale
assessment), yaitu semacam tes baku. Untuk itu diperlukan upaya ekstra untuk
menyiapkannya. Hal tersebut sangat diperlukan apabila pembelajaran nya beroientasi
Scientific practice and intelectual skills, yang diperkenalkan sebagai scientific reasoning
skills Literacy (Hansen & Wenning, 2017; Rustaman, 2017). Tujuan pedagogi hendaknya
menjadi fokus dan prioritas dalam pembelajaran dan tercermin dari rumusan indikator
atau tujuan capaian pembelajarannya. Asesmen non tes untuk learning outcome IBL
tampaknya perlu memperhatikan berbagai bentuk asesmen alternatif.

4
3. Bentuk bentuk asesmen alternatif atau asesmen non-tes
Asesmen untuk menilai kinerja siswa selama pembelajaran berbasis inkuiri
seyogianya dialkukan melalui asesmen kinerja atau perfromance assessment. Asesmen
kinerja dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk seperti melaui metode observasi,
portofolio, peta konsep, peta pikiran dalam bentuk tasks dan rubrics. Task biasanya
terintegrasi dalam penugasan, lembar kegiatan dan pekerjaan rumah, sedangkan rubrik
perlu direncanakan dengan cermat dan matang. Sementara ini rubrik dapat dicermati
dari rincian dalam task, dan adanya kesepakatan bersama. Task dan rubrik tersebut perlu
diujicoba keterbacaan dan validitasnya untuk dijadikan instrumen yang valid.
Berikut ditampilkan beberapa contoh rubric sebagai pendamping tugas yang telah
diberikan pada akhir pembelajaran. Pemberian skor bervariasi bergantung kesepakatan
dan kompleksitas deskriptor.
Contoh I
Penilaian Keterampilan Pengamatan
Keterampilan yang dinilai Skor
No.
1 2 3
1 Merumuskan pertanyaan/masalah

2 Melakukan pengamatan dan menganalisis data

3 Mengomunikasikan

𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ


Nilai = x 100.
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠

Katagori baik apabila nilai peserta didik ≥ 75

Rubrik Penilaian Keterampilan Pengamatan


Penilaian
Aspek yang dinilai
1 2 3
Merumuskan Masalah tidak Perumusan masalah Perumusan masalah dilakukan
pertanyaan/ dirumuskan dilakukan dengan bantuan secara mandiri (individual atau
masalah guru kelompok)
Melakukan Pengamatan Pengamatan cermat, tetapi Pengamatan cermat dan bebas
pengamatan dan tidak cermat mengandung interpretasi interpretasi
menganalisis data (tafsiran terhadap
pengamatan)
Mengomunikasikan Dilakukan Lisan dan tertulis, namun Memadukan hasil tertulis
secara lisan tidak dipadukan sebagai bagian dari penyajian
secara lisan

Contoh 2 INSTRUMEN PENILAIAN KETERAMPILAN


(LEMBAR OBSERVASI)

4 = apabila MEMENUHI indikator 1; 3 = apabila MEMENUHI indikator 2


2 = apabila MEMENUHI indikator 3; 1 = apabila MEMENUHI indikator 4

5
No Butir Nilai Indikator
1. Menyiapkan 1. Menyiapkan semua alat/bahan yang diperlukan dengan sesuai.
alat/bahan 2. Menyiapkan semua alat/bahan yang diperlukan tapi sebagian tidak sesuai.
3. Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan tetapi tidak lengkap.
4. Tidak menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Melakukan 1. Langkah pengamatan dilakukan dengan metode yang benar dan teliti.
pengamatan 2. Langkah pengamatan dilakukan dengan metode yang benar,tapi kurang teliti.
3. Langkah pengamatan dilakukan dengan metode yang kurang benar.
4. Langkah pengamatan dilakukan dengan metode yang tidak benar.
3. Hasil 1. Memperoleh hasil pengamatan dengan tingkat kesesuaian tinggi.
pengamatan 2. Memperoleh hasil pengamatan dengan tingkat kesesuaian sedang.
3. Memperoleh hasil pengamatan dengan tingkat kesesuaian rendah.
4. Tidak memperoleh hasil pengamatan

Pembuatan Peta konsep dan peta pikiran memerlukan waktu dan latihan
tersendiri. Peta konsep berupa representasi peguasaan konsep seseorang dalam bentuk
dua dimensi yang menunjukkan hubungan antar konsep secara hierarkis dan ekspklisit
tercantum hubungannya melalui kata penghubung. Kebermaknaan peta konsep justru
terletak pada kata-kata penghubungnya. Peta pikiran merupakan cara mencatat dan
belajar yang menggunakan warna dan bentuk grafis lainnya dengan tujuan mengaktifkan
fungsi belahan otak kiri (fungsi imajinatif, musikal, intuisi) yang selama ini agak
terabaikan. Diperlukan cukup banyak waktu untuk menyiapkan diri melakukan asesmen
alternatif lainnya seperti portofolio dan metode observasi yang efektif dan bermakna.
Dalam observasi sebagai metode, aspek yang dinilai tidak hanya sekedar yang terlihat
saat pembelajaran, melainkan harus secara terencana dan sistematis dilakukan.
Penggunaan metode observasi dapat dilaksanan secara klasikal, secara kelompok dan
secara individual. Untuk itu perlu dianalisis kriteria kritis untuk ditentukan sebagai
deskriptor dalam rubrik.

D. PENUTUP
Sebagaimana telah dideskripsikan sebelumnya, apabila negara maju (Amerika
Serikat, Jepang) mengalami titik balik bukan saja dalam kebijakan pendidikan IPA,
melainkan juga semua sistem pendidikan IPA bergeser ke arah pendidikan STEM.
Pergerakan pendidikan STEM tidak hanya berdampak sempit seperti pada periode
National Science education Standard atau NSES (NRC, 1996), tetapi lebih mirip
mengubah cara pandang seperti saat peluncuran sputnik oleh Rusia (Bybee, 2013).
Interes para pendidik atau pengajar seyogianya bergeser ke tahap-tahap selanjutnya
yang merupakan kondisi pengembangan standard sains. Dengan perkataan lain harus
diketahui bagaimana masing-masing kondisi tersebut mengembangkan standar sainsnya
sendiri dengan kerangka kurikulumnya.
Para guru IPA di Indonesia seyogianya dapat lebih menyiapkan diri menghadapi
tantangan dan perspektif masa depan dengan cara yang lebih bijak, yakni: menjadi
pebelajar yang reflektif, mencoba melakukan reflective action serta mencoba
menyesuaikan diri dengan tuntutan kurikulum dan pengembangan kompetensi yang
memiliki nilai transfer dengan terus belajar (life long learning). Menjadi guru yang hanya
menguasai materi subyeknya saja (baca: content knowledge) tidaklah cukup, karena
pengetahuan berkembang sangat pesat dan sepanjang hidup sesorang belajar di bangku
6
sekolah, waktunya tidak akan mencukupi untuk memahami itu semua. Menggunakan
pengetahuan sebagai wahana mengembangkan nalar, berpikir tingkat tinggi (kreatif,
kritis, metakognisi, mengambil keputusan, mengelola resiko); membekali kebiasaan
berpikir saintifik dan produktif dalam rangka menyiapkan masa depan generasi
mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R.. (eds.) (2001). ). A Taxonomy for Learning, Teaching and
Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. A Bridged Edition.
New York: Longman.
Bybee, W. R. (2013). The Case for STEM Education, Challenges and Opportunities, NSTA press,
pp. 1-130.
Hanson, S. T., & Wenning C J. (2017). Framework for Science Reasoning Literacy Test (SciReLiT)
version 8, February 9.
Kumano, Y. et al. (2013). “Analysis and Discussion on STEM Education Movement in Science
Education in the US and Possible Implication to the Japanese and Indonesian Contexts”.
Paper presented in Collaborative Japan-Indonesia Seminar held in Bandung.
National Research Council. (2012). A Framework for k-12 Science Education, The National
Academies Press, 1-385.
National Research Council.(1996). National Science Education Standard. Washington D.C.:
National Academy Press.
National Research Council/NRC. (1996). Assessment in Science Education. In National Science
Education Standard. Washington D.C.: National Academy Press. (1996).
Next Generation Science Standards For States, By States, Achieve, Inc., Washington DC. 2013
http://www.nextgenscience.org/next-generation-science-standards
Rustaman,N.Y.(2017). ”Assessmen in Science Education”. Keynote paper for International
Conference in Mathematics and Science Education. with theme: Strengthening Math and
Science Education in Asia, held in Bandung, on 24th May 2017.
Rustaman, N. Y., Rusdiana, D., LIliawati, & Efendi, R. (2016). Authentic Assessment Program for
Science Teachers. Paper presented in MSCEIS 2016 terindeks Scopus untuk IOP.
Rustaman, N.Y. (2015). Basic Scientific Inquiry and Its assessment in relation to STEM Education
Movement. Paper presented in Graduate School on Science Education in Tsukuba University
Rustaman, N.Y. (2010). International Study on Science Assessment. Paper presented in Workshop
in Science Education, di Auditorium Sekolah Pascasarjana UPI di Bandung October 2010.
Rustaman, N.Y. (2007). “Basic Scientific Inquiry in Science Education and Its Assessment”. Paper
presented as Keynote speech in First International Seminar in Science Education. Held by
Science Education Study Program, Graduate School, Indonesia University of Education
Stiggins, R.J. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New York: Macmillan College.
Publishing Company.
Wenning, C.J. (2011). The Levels of Inquiry Model of Science Teaching. Journal of Physics Teacher
Education Online. 6, (2), Summer 2011, 9-16.
Zainul, A. (2001). Alternative Assessment. Jakarta: Pusat Antar Universitas (PAU) Universitas
Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai