Anda di halaman 1dari 2

Luka

Dia, yang mengajari tentang hidup. Bukan sekedar menunjukan kebahagiaan, tapi juga luka
yang abadi. Mungkin, kala itu aku tak pernah memahami tentang kesakitan, tak pernah memahami
tentang kesedihan, tak pernah juga memahami tentang tak pernah diakui. Atau mungikin, hanya
eksplor keindahan dunia semata baginya. Yang aku tau saat itu, hanya kebahagiaan, semua ada
tentang keinginan, semua hadir tentang kerinduan, tiada pernah ada kesendirian maupun
kehampaan. Aku kira hidup ini terlalu indah untuk dikeluh kesahkan oleh manusia. Hingga
akhirnya diri ini tersadar sendiri dengan apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. Mungkin terlalu
angkuh untuk tidak mengakui kehinaan yang terjadi, karena hanya egoisme kebahagiaan sendiri
yang aku rasakaan sebelumnya. Tentang perasaan luka, aku tak mengerti sedikitpun. Karena aku
rasa itu hanya sekedar rasa yang akan hilang dengan sendirinya tanpa membutuhkan orang lain.
Dan tak akan pernah muncul kepermukaa menambpakan diri ketika diri ini tidak menerimanya.
Ternyata, aku salah. Luka itu bias hadir dengan sendirinya, karena kesalahan kita sendiri. Karena
harapan yang terlalu tinggi dan ekspektasi yang salah kaprah pengertiannya.
Mallam itu, aku tak pernah menyadari kehadirannya akan begitu bermakna. Yang aku tahu
dia hanya sekedar lelaki biasa tanpa ada cerita dalam kehidupanku. Mungkin aku terlalu menilai
kehidupan ini hanya sekedar permainan belaka. Tanpa tahu bahwa hidup ini terlalu serius untuk
dipermainkan. Dia, mengjarkanku untuk tidak menyiakan apapun dengan kessakitan yang di
berikan kepadaku. Dengan keinginanku yang tak pernah bias dipenuhi. Dengan kalimat-kalimat
indah penuh luka yang hanya sekedar permainan belaka. Selucu itukan persaan kita? Selucu itukah
kehidupan cinta manusia? Selucu itukah berharap kepada seseoarang? Terlalu berharap, terlalu
mencintai melebhi apapun. Kesadaranku kala itu benar-nbenar menghilang. Entah apa yang
terjadi, yang kutahu,aku hanya mencintainya, memilihnya, dan memilikinya utnuk selamanya.
Tanpa aku tahu, bukan itu yang dia harapkan barada di dekatku. Ada hal lain yang hanya untuk
menghiburnya. Tanpa aku perdulikan harga diriku sebagai manusia. Sebodoh itu kanh ketiika
manusia jatuh cinta?
Cada tawa itu hanyalah sekedar hiasan belaka, yang akan hancur oleh tangan-tangan jail
tak bertanggung jwab. Aku mengerti, tiada pernah ada cinta di hatimnya. Meski, dia katakana
kepada ribuan jiawa bahwa aku adalah miliknya. Tapi, itu hanyalah sandiwara belaka. Tak akan
pernha terjadi. Remuk hati ini mengingatnya, keindahan itu hanya bayangan yang tak pernah bias
kugenggam erat. Semudah itukah manusia saling menyakiti? Ketika keindahan sudah berlalu?
Dia, tak pernah percaya tentang air mata ini. Dia, tak pernah percaya tentang cinta ini. Dia,
tak pernah percaya dengan pengakuan ini. Yang dia tau, aku hanyalah pengganggunya yang harus
segera disingkirkan dari hidupnya. Entah setan apa kala itu yang merasukinya. Ketika berawal
dnegan cerita penuh cinta, dan berakhir cerita dnegan penuh luka yang tak akan pernah sembuh
seperti sedia kala.
Dulu, dengan mudah hatii ini mengekspresikan segalanya. Meski sedih, tak pernah bias se
hampa ini. Kini, aku takbisa membandingkan lagi bagaimana harus bahagia, sedih, menangis,
kecewa, yang aku tahu hanya diam. Tanpa air mata, tanpa kicauan tak jelas. Entahlah, sebenrnya
hati ku sekarang seperti apa. Bahkan cinta, tak lagi bias menggemku. Bahkan air mata kesedihan,
tak lagi mempan merasuki jiwaku. Apakah dunia ini akan terasa hampa seperti ini? Atau mungkin
kebahagian dan tangis bias lagi aku rasakan selayaknya orang normal lainnya?. Aku bukan tak
ingin menangis ataupun marah. Aku hanya tidak lagi bias mengekspresikan segalanya.
Mungkin hati terdalam bias menjawab, nyatanya tidak. Dia juga terdia membisu, tak
pernah berbicara sedikitpun. Lalu kutanya jiwaku, dia malah berpaling tak ingin berbicara. Ku
tanyakan kepada pikiran, dia malah kosonhg tiada informasi lagi tentang emosi. Beribu kata cinta
yang kudengar, tak pernah bias menggetarkan hati. Beribu rengekan tangis tak pernah bias
menyayat hati. Beribu tusukan taja, tak pernah bias lagi menyadarkanku dari kehampaan.
Hai kamu, bagaimana denganmu? Apakah kamu merasakan hal yang sama? Aku rasa
tidak. Aku tau, bahagianya dirimu lepas dari kehidupanku. Aku tak akan lagi membawamu ke
dalam sebuah permasalahanku. Semoga kamu baik-baik saja. Oh benar aja, itu hanyalah kata-kata
tipuanku saja. Tak pernah aku berdoa seperti itu untuknya. Karena aku tak peduli dengan apapun
lagi.
Kisah ini, akhirnya selesai dengan luka. Namun, kenapa ini berbeda? Kenapa aku tak bias
lagi merasakan emosi lain? Kenapa hatiku tak bias lagi bergetar seperti sedia kala ketika
mendengar kata cinta? Tapi, aku mencobanya. Akan selalu kupendam semua ini, dan mencoba
untuk kembali memberika jiwa ke dalam hatiku yang mungkin sudah mulai mati.

Anda mungkin juga menyukai