Anda di halaman 1dari 8

AGAMA ADALAH CANDU RAKYAT

KRITIK KARL MARX TERHADAP AGAMA


Makalah

Disusun untuk memenuhi syarat ujian akhir semester ( UAS )

Pada mata kuliah bahasa Indonesia

Oleh:

Ikbal alimuddin

Nim:11170331000040

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ( UIN )

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017
Abstraks : ikbal alimuddin, “agama adalah candu rakyat “, aqidah dan filsafat islam,
universitas islam negri ( uin ) syarif hidayatullah, Jakarta, 2017.

Makalah ini membicarakan tentang apa yang di maksud dengan “agama adalah
candu rakyat“.dengan menggunakan metode library riset (metode perpustakaan ).
Selain itu dalam makalah ini juga manggunakan beberapa pendekatan, salah satunya
adalah pendekatan social, historis, psikologis, psikologis dan lain sebagainya.
Pendekatan-pendekatan tersebut di gunakan untuk mengetahui studi tentang
hubungan agama dan masyarakat dan juga bentuk-bentuk interaksi social yang
terjadi, akibat adanya dialektika yang terjadi di dalam masyarakat maka semua hal
yang terkait dengan realitas social, kolerasinya dengan agama dan bagaimana yang
demikian bisa berlaku dalam konteks social masyarakat.

Kesimpulan: agama dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat, manusia
perlu terhadap agama begitu juga dengan agama, agama adalah candu rakyat

Kata kunci: agama adalah candu rakyat

A.Pendahuluan
Karl marx (1818-1883) adalah tokoh besar historis materialisme dianggap
mewakili salah satu madzhab materialisme sehingga madzhabnya di sebut
‘marxisme’. Di berlin ia menjadi penganut filsafat hegel dan menempati bagian
utama di antara murid-murid hegel. Marx memadukan antara politik dan social jadi
keseluruhannya dengan filsafat dan ilmu. Seorang filsuf yang berasal dari jerman ini,
juga menaruh perhatian terhadap persoalan agama dengan sudut pandang fenomena
social seperti halnya kita lihat pada masa sekarang ini. dengan ucapannya yang
terkenal dalam mengkritik agama bahwa “ agama adalah candu rakyat “.1

Ketika manusia atau seseorang mulai menyadari eksistensi dirinya, maka timbullah
tannda Tanya dalam hatinya sendiri tentang banyak hal. Dalam lubuk hati yang paling
dalam, memancar kecendrungan untuk tahu berbagai rahasia yang masih merupakan
misteri yang terselubung. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain, dari mana saya ini?
Mengapa saya tiba-tiba ada? Hendak kemana saya ?dan lain sebagainya dalam
bisikan kalbu.Dari arus pertanyaan yang mengalir dalam bisikan hati itu, terdapat
suatu cetusan yang mempertanyakan tentang penguasa tertinggi alam raya ini yang
harus terjawab.ketika pandangan di arahkan ke lazuardi biru, maka hatipun bergetar,

1
DR.H.Hamzah ya’kub, filsafat ketuhanan (bandung: PT alma’arif)cet,iv. Hlm, 112.
siapa yang menatah langit dan membangunnya demikian kekar dan indah. ketika
malam kelam membelam langit dihiasi dengan pesta cahaya bintang, mengalir
perasaan romantic mengaguminya. Tetapi di balik kekaguman akan romantika itu,
hati mencoba menelusuri siapa dia yang menempatkan letak-letak bintang itu begitu
permai, serasi dan memukau. Tatkala seorang beranjak lebih dewasa dan mengenyam
lebih banyak lagi pengalaman, maka kecendrungan untuk ingin tahu itu lebih keras
lagi. Nampak kian banyak misteri yang terselubung di balik kehidupan ini. Banyak
keinginan tidak selamanya terpenuhi. Sebaliknya banyak kejadian yang mendadak tak
diduga sebelumnya. Maka siapakah penguasa di balik iradah dan kemampuan insane
yang terbatas ini?. Pada tahap ini, bukan saja naluri yang bergolak tetapi otak dan
logika mulai main untuk membentuk pengertian dan mengambil kesimpulan tentang
adanya tuhan.

Demikianlah fitrah manusia bergolak mencari dan merindukan tuhan, mulai dari
bentuk yang dangkal dan bersahaja berupa perasaan sampai ke tingkat yang lebih
tinggi berupa penggunaan akal (filsafat). Boleh jadi fitrah ini sekali-kali tertutup
kabut kegelapan sehiungga Nampak manusia tidak mau tau siapa penciptanya, namun
kekuatan fitrah ini tidak dapat di hapuskan sama sekali. Dia sewaktu-waktu muncul
ke permukaan lautan kesadaran memanifestasikan kecendrungannya merindukan
tuhannya yang begitu baik budi. Dan betapa bahagianya pencari-pencari tuhan yang
merindukan penciptanya itu, ketika mereka di sambut mesra oleh tuhan sendiri dalam
bentuk petunjuk yang di wahyukannya melalui rasul-rasulnya. Disanalah terdapat
perpaduan antara naluri, akal dan wahyu yang membuahkan ma’rifah, pengenalan
terhadap allah dengan sebenar-benarnya.2

manusia seakan terlena degan khayalan-khayaln yang di janjikan agama pada


kehidupan akhirat, hikmah-hikmah, dan mistik. Agama seperti candu,
menghancurkan, menjerumuskan dan merusak tatanan kehidupan manusia di muka
bumi dengan janji-janji yang tidak rasional. orang-orang yang terpuruk di dunia
nyata, missal dalam hal ekonomi maupun kesejahtraan hidup lainnya, selalu
melarikan diri kepada agama. Manusia mencari ketenangan dalam agama, seakan
agama memberikan kesejahtraan dan uang yang banyak, padahal tidak. Orang hanya
akan ketergantungan dengan agama. Semakin manusia menkonsumsi agama, maka
akan semakin gila atau bahkan sudah lebih gila sebelumnya. Itulah yang selama ini di
gunakan oleh marx.

2
DR.H.Hamzah ya’kub, filsafat ketuhanan (bandung: PT alma’arif)cet,iv. Hlm, 112.
Manusia tidak memperdulikan perihal-perihal materi yang sudah nyata hadir dalam
kehidupan manusia. Agama justru manjauhkan manusia dari dimensi
kemanusiaannya itu sendiri. Ajaran agama tidak sesuai dengan problematika manusia
yang konkrit. Rumusan pada agama sering tidak berpihak pada kenyataan di dunia
sehingga agama menjadi terpisahkan dengan realitas.3

akibatnya fenomena pada saat ini seakan manusia lari dari dunia nyata ke dunia
khayalan, inilah yang di sebut oleh karl marx agama adalah keluh kesah makhluk
tertindas. Jantung hati yang tak berperasaan dan jiwa dari situasi yang tak berjiwa.
Agama adalah candu bagi masyarakat, teknis ini adalah pernyataan marx yang paling
tegas dan jelas soal agama. Tetapi teks tersebut sering kali di salah artikan, karena
para pembaca tidak masuk ke dalam seluruh rangkaiannya dengan jeli. Kalimat “
agama adalah candu baghi masyarakat” sering di kutip dengan arti yang serampangan
dan cekak dan dipahami sebagai sikap anti agama marx yang vulgar. Padahal,
eksposisi yang sesungguhnya, pernyataan di atas merupakan kritik marx terhadap
kapitalisme yang menempatkan agama sebagai pembangkit semangat bagi rakyat
yang tertindas agar tetap bertahan di dalam penindasan terlepas dari pandangan anti
metafisikanya yang telah banyak di tulis. Marx tidak menjadikan agama sebagai
musuh utama dalam karya-karyanya.

B.Agama adalah candu rakyat


Perlu di pahami bahwa ajaran materialisme pada prinsipnya menginkari adanya
tuhan (atheisme) antara lain dapat di lihat dalam pandangan-pandangn mereka
dimana friedrich engels dalam salah sati pembahasannya tentang ketuhanan
menyatakan: “hingga sekarang yang menjadi pertanyaan ialah, apakah tuhan itu?
menurut filsafat idealism jerman, manusia itulah tuhan.” Diakatakan oleh engels,
bahwa tidak ada yang perlu bagi manusia selain pada dirinya sendiri. Hendaklah
dunia ini mereka susun fitrahnya sendiri sebagai manusia.dengan demikian
terbukalah baginya rahasia itu. demikian engels. Feuerbach mengatakan, bahwa
manusia yang membuat agama dan bukan sebaliknya. Bukan tuhan yang menjadikan
manusia, melainkan sebaliknya, yaitu manusia yang menjadikan tuhan. Kaum yang
beriman adalah hasil fantasi manusia dan bayangan wujud manusia. Teologi adalah
antropologi dan tuhan adalah impian manusia semata-mata.

3
Masyukur Arif Rahman, sejarah filsafat barat (Jakarta: DIVA press)cet, iv. Hlm,343
Disini dapat dipahami bahwa tujuan utama dari perjuangan kaum Marxis adalah
melakukan transformasi sistem kehidupan masyarakat dari kapitalisme ke arah
Sosialisme Komunisme, baik pada skala nasional maupun internasional. Kapitalisme,
sebagai sebuah sistem ekonomi politik, dalam pandangan Marxisme, berwatak
menindas, tidak adil, dan tidak manusiawi. Watak beringas dan eksploitatif dari
sistem kapitalisme ini harus dihentikan dan penciptaan tatanan dunia baru yang
manusiawi harus diperjuangkan.4

Kaum Marxis akan terus menabuh genderang perang melawan sistem yang menindas
ini dan ilusi-ilusi yang telah diciptakannya. Dan kami, sebagai representasi paling
kuat dari organisasi-organisasi berhaluan Marxis, akan sepenuh hati menyambut baik
segala bentuk partisipasi dari semua elemen revolusioner, terlepas dari kebangsaan,
warna kulit, dan keyakinan agama. Kami juga membuka ruang seluas-luasnya untuk
berdialog mengenai agama misalnya, mengenai bagaimana membangun sebuah
paradigma yang revolusioner dan memfungsikan agama sebagai instrumen
perjuangan kelas. Dalam kata pengantar untuk A Contribution to the Critique of
Hegel’s Philosophy of Right Marx menulis, “Penderitaan religius, pada saat yang
bersamaan, adalah ekspresi dari penderitaan riil dan protes terhadap penderitaan riil
tersebut.

Kalimat yang saya kutip dari kata pengantar untuk A Contribution di atas
menjelaskan bahwa tujuan diciptakannya institusi agama adalah untuk memberikan
harapan tentang kehidupan yang indah penuh bunga selepas mati. Realitas hidup yang
penat, sebuah kenyataan bahwa kaum miskin tidak mampu mendapatkan kebahagiaan
ekonomi di jagad raya yang sekarang didiami, memberikan peluang bagi agama
untuk mengatakan bahwa mereka akan menemukan kebahagiaan sejati di kehidupan
kelak, yaitu di alam setelah kematian. Ini memang teks yang paling pedas dari Marx
dalam melukiskan agama. Agama, dalam pandangan ini, adalah seperangkat ide, dan
ide-ide merupakan ekspresi dari realitas material. Agama merupakan gejala dari suatu
penyakit, tetapi bukan penyakit itu sendiri.Meskipun Marx mengkritik agama dengan
sangat pedas, tetapi bukan berarti ia berkata tanpa simpati. Bagi Marx agama telah
berkontribusi memberikan penghiburan kepada rakyat yang tengah berada dalam
kesulitan, seperti seseorang yang sedang mengalami cidera fisik lalu mendapatkan
obat pereda sakit. Tetapi, masalahnya, obat-obatan pereda sakit itu tidak mampu
menyembuhkan hanya meredakan. Demikian pula dengan agama, ia tidak mampu
memperbaiki penyebab rasa sakit dan penderitaan rakyat. Agama malah membantu
mereka untuk melupakan mengapa mereka menderita dan mengajaknya untuk melihat
kehidupan masa depan yang imajiner.

4
https://www.militanindonesia.org/teori-4/lainlain/8600-komunisme-dan-agama.html
Lebih jauh, Lenin, dalam tulisannya yang berjudul Sosialisme dan Agama,
mengembangkan perspektif Marx-Engels tentang agama ke dalam konteks Rusia.
Agama, menurut Lenin, merupakan salah satu bentuk penindasan spiritual yang
teramat membebani masyarakat; membentuk kultur mengabdi kepada orang lain, dan
menumpulkan perspektif perjuangan kelas. Tumpulnya perjuangan kelas tertindas
melawan penindasnya membangkitkan keyakinan adanya eksistensi super-natural,
yakni keyakinan kepada tuhan-tuhan, jin-jin, keajaiban-keajaiban dan sejenisnya;
membangkitkan kepercayaan atas adanya kehidupan yang lebih baik setelah
kematian. Agama mengajari mereka untuk menjadi patuh dan sopan dalam kehidupan
di atas bumi dan berharap akan mendapatkan ganjaran surgawi di kehidupan setelah
mati. Namun demikian Lenin menyerahkan agama sebagai urusan pribadi. “Agama
harus dinyatakan sebagai urusan pribadi,” tulis Lenin. “Setiap orang sudah
seharusnya bebas mutlak menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa
agama sekalipun Diskriminasi di antara para warga sehubungan dengan keyakinan
agamanya sama sekali tidak dapat ditolerir.”

Untuk memahami filsafat Marxis tentang agama, dan kritik pedas Marx terhadap
agama, secara kronologikal, kita harus memahami gagasan Marx tentang ‘alienasi’
(keterasingan). Secara sederhana, alienasi dapat didefinisikan sebagai proses yang
membatasi kesadaran manusia, yang menahan potensi besar kesadaran manusia untuk
memahami realitas hidup yang sesungguhnya. Dalam tulisannya mengenai alienasi,
Marx menyuguhkan beberapa tipe alienasi, menjelaskan bagaimana alienasi-alienasi
itu terjadi dan bagaimana penyelesaiannya. Marx, selanjutnya, mengelompokkan
alienasi-alienasi tersebut menjadi dua kategori alienasi: pertama, “product-
alienation” (keterasingan dari hasil kerja); kedua, “self-alienation” (keterasingan
diri). Apa itu “product-alienation”? Dalam tulisan-tulisannya mengenai tema ini,
Marx menjelaskan bahwa kerja telah menjadi sesuatu yang eksternal dengan pekerja.
Pekerja merasa tidak menyatu dengan pekerjaannya. Pekerja merasa menderita
ketimbang sejahtera. Mereka merasa tidak bebas mengembangkan energi fisik dan
mentalnya, malah lelah secara fisik dan direndahkan secara mental. Pekerja merasa
dirinya bisa berada di rumah hanya saat waktu senggang, sedangkan di tempat kerja
ia merasa tunawisma. Karakter eksternal dari kerja ini secara vulgar juga ditunjukkan
oleh fakta bahwa pekerja tidak bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi bekerja untuk
orang lain, bahwa hasil kerjanya tidak menjadi miliknya, tetapi milik orang lain. Apa
itu “self-alienation”? Agama terkait erat pada kategori alienasi yang kedua ini.
Agama, menurut Marx, merupakan penenang saraf sesaat bagi rakyat tertindas untuk
mengalihkan rasa sakit ketika mendapati dirinya dieksploitasi, direndahkan dan tidak
memiliki apa-apa. Agama menjadi jalan pintas yang tepat untuk bersembunyi dari
kekalahan, bentuk pelarian sesaat dari kepenatan.5

5
https://www.militanindonesia.org/teori-4/lainlain/8600-komunisme-dan-agama.html
Pandangan Marx mengenai agama di atas memunculkan dua pokok penilaian:
pertama, Marx memandang agama sebagai tindakan protes yang ilusif, yang berbisik
tentang harapan-harapan palsu, yang mengajak untuk melupakan penindasan dalam
kehidupan yang sesungguhnya. kedua, Marx memandang agama sebagai ideologi,
sebagai bangunan suprastruktur yang berusaha mendistorsi dan menutupi realitas
sosio-ekonomi di kehidupan nyata. Dari sini, sebagai kesimpulan, saya akan menarik
garis pemikiran yang sangat jelas, bahwa agama, sebagaimana bangunan
suprastruktur lain, keberadaan dan coraknya sangat tergantung pada realitas material
dari suatu masyarakat tertentu. Agama tidak memiliki sejarah yang independen,
melainkan kreasi dari kekuatan-kekuatan produktif. “Dunia religius adalah refleksi
dari dunia nyata” tulis Marx dalam Das Kapital Vo. 1. Dengan begitu, agama hanya
dapat dipahami dalam kaitannya dengan sistem sosial dan struktur ekonomi dari suatu
masyarakat. Bahkan, secara ekstrem, bisa dikatakan bahwa agama hanya tergantung
penuh pada sistem sosial dan ekonomi masyarakat, tidak pada yang lain, sehingga
banyak doktrin-doktrin agama yang sama sekali tidak relevan di masa kini. Tetapi, di
sini, bukan itu persoalannya, melainkan bagaimana memfungsikan agama sebagai
instrumen dalam perjuangan kelas tertindas, sebab Marxisme tidak menolak praktek
agama apapun, bahkan ketika tatanan masyarakat Sosialis-Komunis sudah terwujud.
Mengingat posisi agama subordinat terhadap ekonomi, dan lahir karena adanya
praktek dari suatu sistem ekonomi dan kepentingan tertentu, maka agama bukanlah
musuh bagi Marxisme.6

Marxisme telah membuat telaah ilmiah mengenai hal ini, bahwa ketika penghapusan
kelas-kelas di dalam masyarakat sudah terjadi, dalam kata lain ketika Sosialisme-
Komunisme sudah terwujud, agama sebagai pelipur lara bagi rakyat tertindas akan
lenyap dengan sendirinya; agama dalam konteks kapitalisme akan hilang karena
sudah tidak dibutuhkan lagi agama sebagai kebahagiaan ilusif diganti dengan
kebahagiaan sejati di dalam praksis masyarakat Komunis.

C.Problem kritik agama marx dan nilai positifnya


Kritik agama yang di lancarkan marx tersebut merupakan satu tantangan besar
terhadap para agamawan. Mereka di tuntut untuk meyakinkan bahwa agama bukanlah
pelarian dari dunia kenyataan. Selain itu, mereka perlu menyuarakan bahwa agama
juga dapat membebaskan dan menyadarkan masyarakat untuk menemukan haknya

6
Anthony brewer, das capital karl marx (Yogyakarta: narasi)cet,v. hlm 75
yang sejati. Agama yang membebaskan dan memberdayakan inilah, menurut lois
leahy. Yang dilupakan oleh marx. Marx tidak mengakui terhadap agama-agama yang
juga mempunyai ucapan membebaskan dan memberdayakan manusia keluar dari
ketertindasan. Padahal, sudah banyak contoh-contoh nyata bagaimana agama
membebaskan manusia dari ketertindasan dan mengentaskan manusia dari
kemiskinan.7

Dalam pandangan franz (2006), kritik agama marx menimbulkan dua pertanyaan.
Pertama, benarkah agama pada hakekatnya merupakan pelarian? Kedua, benarklah
bahwa manusia, agar dapat mengembangkan diri sebagai makhluk yang social dan
politik, harus berhenti tunduk kepada tuhan ?dalam menjawab dua pertanyaan ini,
franz tidak hanya berkutat pada teori, namun bertolak pada praksis agama, karena
marx memang menginginkan yang demikian. Dalam bukunya, franz menulis sebagai
berikut:”agama bukan pelarian apabila agama agama justru memberdayakan para
penganutnya untuk membangun masyarakat yang solider dengan mereka yang miskin
dan lemah, masyarakat yang positif, damai, saling menghormati, serta melawan
ketidakadilan dan penindasan meraka yang tidak berdaya. Dan, profil para agamawan
harus memperlihatkan bahwa mencari allah bukan hanya tidak mengasingkan
manusia dari dirinya sendiri, melainkan justru akan mengembangkan identitas dan
hakikatnya yang positif. Menjkawab panggilan sang pencipta memang tidak mungkin
mengasingkan ciptaan dari hakikatnya, tetapi hal itu hanya akan meyakinkan apabila
kaum agamawan adalah manusia-manusia yang terbuka, positif, toleran, yang
memperlihatkan sodara dan solider, yang mencintai keadilan dan melawan ketidak
adilan tampa menjadi keras di dalm hati”. Meski demikian, kritik agama marx
bukannya tidak berguna sama sekali.

Marx telah menyadarkan orang-orang beragama untuk tidak pasrah dan menyerah
pada nasib yang belum mereka ketahui dengan pasti agama jangan hanya di jadikan
tempat untuk berdoa dan membangun harapan serta bermalas malasan, tetapi
penganutnya di tuntut untuk merealisasikan dalam bentuk kerja-kerja konkrit.8

7
Masyukur Arif Rahman, sejarah filsafat barat (Jakarta: DIVA press)cet, iv. Hlm,345
8
Masyukur Arif Rahman, sejarah filsafat barat (Jakarta: DIVA press)cet, iv. Hlm,346

Anda mungkin juga menyukai