PERITONITIS
1. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan
meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans
muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang melingkupi
kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi
peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti rupture appendiks atau
divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat
diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu
dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Padawanita sangat dimungkinkan peritonitis
terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus
peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal.
2. Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah SpontaneousBacterial Peritonitis (SBP) dan
peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena ninfeksi intra abdomen,tetapi biasanya terjadi pada
pasien yangasites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingganmenjadi translokasi
bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran
hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena
ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering
menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%,
spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif
yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%,dan golongan
Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis
sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi
transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritonealterutama disebabkan
bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena
infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang
adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasienperitonisis tersier biasanya timbul abses
atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis
steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan
substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya
penyakit Crohn)
3. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha
untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaituobstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya
terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,
batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum
yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung
dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu
dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut
pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis
kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam
garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian
terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
4. Klasifikasi
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis
yangfatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi
ini. Bakteriianaerob,khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri
aerob dalam menimbulkan infeksi.
1) Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal.
2) Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis
yang disebabkan oleh bahankimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
3) Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
c. Peritonitis tersier
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur. Peritonitis yang sumber kumannya tidak
dapat ditemukan.Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien
yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak
sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karenairitasi peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi,
atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik,
syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric.
6. Komplikasi
a. Eviserasi Luka
b. Pembentukan abses
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Test laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
2. Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :Illeus merupakan penemuan yang
tak khas pada peritonitis.Usus halus dan usus besar dilatasi.Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat
pada kasus perforasi.
STUDI KASUS
Ny.D 26 th post partum 4 hari yang lalu mengeluh badannya terasa panas, nyeri pada betis, kaki
kiri bengkak dan kemerahan,keadaan Umum Ibu tampak letih, TD 10/70 mmHg Nadi
80x/menit,temperatur 37,5 oC,pernafasan 22x / menit. Ekstrimitas bawah : Ada oedema, kaki kiri
bengkak dan kemerahan, nyeri pada betis, kaki kiri sulit digerakkan.
BAB III
PENGKAJIAN DATA
1. Identitas
Nama istri : Ny.P Nama suami : Tn. S
Umur : 36 th Umur : 40 th
Agama : Islam Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa/Indo Suku/bangsa : Jawa/Indo
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : swasta
Alamat : Bengkong Palapa 2 Alamat : Bengkong Palapa 2
2. Keluhan utama
ibu mengatakan merasakan nyeri perut bagian bawah kanan sampai mengganggu aktivitas, badan terasa
panas dan menggigil
3. Riwayat Kesehatan
Ibu Mengatakan Tidak Memiliki Riwayat Penyakit Menular Seperti Hiv,Tbc, Hepatitis Dan
Riwayat Penyakit Keturunan Seperti Asma , Jantung, Hipertensi.
Ibu Mengatakan Keluarga Tidak Memiliki Riwayat Penyakit Menular Seperti Hiv,Tbc, Hepatitis Dan
Riwayat Penyakit Keturunan Seperti Asma , Jantung, Hipertensi.
4. Riwayat Menstruasi
5. Status perkawinan
• Istri
Perkawinan ke : I (satu)
Lama perkawinan : ± 8 tahun
Umur kawin : 27 tahun
6. Riwayat kebidanan
a. Riwayat Menstruasi
Menarche : 16 th
Siklus : Teratur, 28 hari
Lamanya : ± 6-7 hari
Banyaknya : ± 2-3 kotex / hari
Warna : Merah
Bau : Anyir
Keluhan : Disminorea (+), flor albus (-)
HPHT : 4 – 2 -16.
HPL : 11 – 11- 16
B. Objektif
Kesadaran : Compsmatis
2. Tanda-Tanda Vital
Suhu : 37
Nadi : 77 X/I
Pernapasan : 20 X/I
Berat Badan : 60 Kg
3. Pemeriksaan Fisik
Ekstremitas :
Atas : simetris, tidak ada pembengkan, tidak ada nyeri tekan.
Bawah : simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembengkakan, tidak ada varies.
C. ANALISA
Ny P usia 36 tahun GII P10A0 UK 42-43 minggu T/H let kep, post date + bekas sc.
Kebutuhan :
- Dukungan emosional
- meningkatkan personal hiegine ibu
- peningkatan pola nutrisi
IV. INTERVENSI
Tanggal : 27 November 2016 Jam : 13.30 WIB
Dx : Ny P usia 36 tahun GII P10A0 UK 42-43 minggu T/H let kep, post date + bekas sc.
Tujuan : Setelah dilakukan askeb diharapkan dalam waktu 2 jam ibu dalam keadaan baik dan ibu
mengerti keadaannya saat ini.
Kriteria : - TTV dalam batas normal (T : 110/70 – 130/90 mmHg, S : 36 – 37 ºC, N : 76 – 88 x/menit, RR
: 16 – 20 x/menit).
Intervensi :
R/ Terjalin hubungan baik dengan pasien sehingga pasien lebih kooperatif terhadap setiap tindakan yang
kita lakukan.
3. Observasi TTV.
V. IMPLEMENTASI
VI. EVALUASI
Tanggal 27 November 2026 Jam 14.20 WIB.
S : Px mengatakan nyeri pada bekas operasi.
O : - K/U Ibu :
Kesadaran : Composmenitis
- T : 120/80 mmhg
- N : 84 x/menit
- S : 36º C
- RR : 22 x/menit
- Perdarahan : ± 250 cc
A : Dapat teratasi.
P : -Perawatan luka operasi
- Nutrisi di tingkatkan ( tidak pantang makanan )
- Minum obat secara teratur
Daftar Pustaka
Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ; JakartaDiagnosa
Keperawatan NANDA 2005-2006 Prima Medika : Jakarta
Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7&UID 200705.
BAB II
TINJAUAN TEORI
D. ENDOMETRITIS
1. PENGERTIAN
Radang selaput lendir rahim atau endometritis adalah peradangan yang terjadi
pada endometrium, yaitu lapisan sebelah dalam pada dinding rahim, yang terjadi akibatinfeksi. Jenis
infeksi yang paling sering ialah endometritis. Kuman-kuman memasuki endometrium, biasanya pada
luka bekas Insersio plasenta, dan dalam waktu singkat mengikutsertakan seluruh endometrium.
2. KLASIFIKASI
a. Endometritis akut
Terutama terjadi pada masa post partum / post abortum.Pada endometritis post partum
regenerasi endometrium selesai pada hari ke-9, sehinggaendometritis post partum pada umumnya
terjadi sebelum hari ke-9. Endometritis post abortumterutama terjadi pada abortus
provokatus.Pada endometritis akuta, endometrium mengalami edema dan hiperemi, dan pada
pemeriksaanmikroskopik terdapat hiperemi, edema dan infiltrasi leukosit berinti polimorf yang
banyak, serta perdarahan-perdarahan interstisial. Sebab yang paling penting ialah infeksi gonorea
dan infeksi pada abortus dan partus.Infeksi gonorea mulai sebagai servisitis akut, dan radang
menjalar ke atas dan menyebabkanendometritis akut. Infeksi gonorea akan dibahas secara
khusus.Pada abortus septik dan sepsis puerperalis infeksi cepat meluas ke miometrium dan
melalui pembuluh-pembuluh darah limfe dapat menjalar ke parametrium, ketuban dan ovarium,
dan ke peritoneum sekitarnya.
Gejala-gejala endometritis akut dalam hal ini diselubungi oleh gejala-gejala penyakit
dalam keseluruhannya. Penderita panas tinggi, kelihatan sakit keras, keluar leukorea yang
bernanah, dan uterus serta daerah sekitarnya nyeri pada perabaan.Sebab lain endometritis akut
ialah tindakan yang dilakukan dalam uterus di luar partus atauabortus, seperti kerokan,
memasukan radium ke dalam uterus, memasukan IUD (intra uterinedevice) ke dalam uterus, dan
sebagainya.Tergantung dari virulensi kuman yang dimasukkan dalam uterus, apakah endometritis
akut tetap berbatas pada endometrium, atau menjalar ke jaringan di sekitarnya.Endometritis akut
yang disebabkan oleh kuman-kuman yang tidak seberapa patogen padaumumnya dapat diatasi
atas kekuatan jaringan sendiri, dibantu dengan pelepasan lapisanfungsional dari endometrium
pada waktu haid. Dalam pengobatan endometritis akuta yang paling penting adalah berusaha
mencegah, agar infeksi tidak menjalar.
Gejalanya :
a) Demam
b) Lochea berbau : pada endometritis post abortum kadang-kadang keluar flour yang purulent
c) Lochea lama berdarah malahan terjadi metrorrhagi.
d) Kalau radang tidak menjalar ke parametrium atau parametrium tidak nyeri
Terapi :
a) Uterotonika.
b) Istirahat, letak fowler.
c) Antibiotika.
d) Endometritis senilis perlu dikuret untuk menyampingkan corpus carsinoma. Dapat
diberiestrogen.
b. Endometritis Kronik
Endometritis kronika tidak seberapa sering terdapat, oleh karena itu infeksi yang tidak
dalammasuknya pada miometrium, tidak dapat mempertahankan diri, karena pelepasan
lapisanfungsional darn endometrium pada waktu haid. Pada pemeriksaan mikroskopik
ditemukan banyak sel-sel plasma dan limfosit. Penemuan limfosit saja tidak besar artinya karena
sel itu jugaditemukan dalam keadaan normal dalam endometrium.
a) Pada tuberkulosis.
b) Jika tertinggal sisa-sisa abortus atau partus.
c) Jika terdapat korpus alineum di kavum uteri
d) Pada polip uterus dengan infeksi.
e) Pada tumor ganas uterus.
Gejalanya :
3. PENYEBAB / PREDISPOSISI
1) Aborsi
2) Kelahiran kembar
3) Kerusakan jalan lahir
4) Kelanjutan retensio plasenta yang mengakibatkan involusi pasca persalinan menjadi menurun
5) Adanya korpus luteun persisten.
6) Persalinan Pervaginam,
7) Persalinan SC
SC merupakan faktor predisposisi utama timbulnya endometritis dan erat kaitannya
dengan status sosial ekonomi penderita. Faktor resiko penting untuk timbulnya infeksi adalah
lamanya proses persalinan dan ketuban pecah, pemeriksaan dalam berulang dan pemakaian alat
monitoring janin internal. Karena adanya faktor resiko tersebut america college of obsetricians
andgynekologists menganjurkan pemberian antibiotika profilaksis pada tindakan secsio caesarea.
8) Bakteriologi
Meskiun pada serviks umumnya terdapat bakteri, kavum uteri biasanya steril sebelum
selaput ketuban pecah. Sebagai akibat proses persalinan dan manipulasi yang dilakukan selama
proses persalinan tersebut, cairan ketuban dam mungkin uterus akan terkontaminasi oleh bakteri
aerob dan anaerob.
Bakteri anaerob :
a. peptosreptococcus sp
b. peptococcus sp
c. bakterioides sp
d. klostridium sp
Bakteri aerob gram positif:
a. enterococcus
b. grub B streptococcus
Bakteri gram negatif:
Echerichia coli.
4. PATOGENESIS
Infeksi uterus pasca operasi sesar umumnya akibat infeksi pada luka operasi selain infeksi
yang terjadi pada tempat implantasi plasenta.
5. GEJALA KLINIK
1) Suhu tubuh berkisar melebihi 38 -39 0c
2) Menggigil
3) Demam biasanya timbul pada hari ke-3 disertai nadi yang cepat.
4) Nadi cepat
5) Nyeri abdomen
6) Pada pemeriksaan bimanual teraba agak mem besar, nyeri dan lembek.
7) Lokhea berbau menyengat namun ada juga yang tidak yaitu yang disebabkan olek sreptococcus
lokheanya bening dan tidak berbau.
8) Lendir vagina berwarna keputihan sampai kekuningan yang berlebihan
9) Rahim membesar
6. DIAGNOSIS.
Endometritis dapat terjadi secara klinis dan subklinis. Diagnosis endometritis dapat
didasarkan pada riwayat kesehatan, pemeriksaan rektal, pemeriksaan vaginal danbiopsi. Keluhan
kasus endometritis biasanya beberapa kali dikawinkan tetapi tidak bunting, siklus birahi diperpanjang
kecuali pada endometritis yang sangat ringan. Pemeriksaan vaginal dapat dilakukan dengan
menggunakan vaginoskop dengan melihat adanya lendir, lubang leher rahim (serviks) agak terbuka
dan kemerahan di daerahvagina dan leher rahim. Pada palpasi per rektal akan teraba dinding rahim
agak kaku dan di dalam rahim ada cairan tetapi tidak dirasakan sebagai fluktuasi (tergantung derajat
infeksi).
7. TERAPI
Terapi endometritis, dapat dilakukan melalui pemberian antibiotik sistemik, irigasi rahim,
pemberian hormon estrogen untuk menginduksi respon rahim, dan injeksiprostaglandin untuk
menginduksi estrus. Pengobatan yang direkomendasikan untuk endometritis yang agak berat adalah
memperbaiki vaskularisasi dengan mengirigasiuterus mempergunakan antiseptik ringan
seperti lugol dengan konsentrasi yang rendah. Irigasi diulangi beberapa kali dengan interval 2-3
hari. Antibiotik diberikan secara intra uterin dan intra muskular. Leleran dapat dikeluarkan dengan
menyuntikkan preparatestrogen. Untuk endometritis ringan cukup diberikan antibiotika intra uterin.
8. PENATALAKSANAAN
1) Pada penderita endometritis ringan pasca persalinan normal pengobatan dengan antibiotika oral
biasanya memberikan hasil yang baik.
2) Pada penderita sedang dan berat , termasuk panderita pasca secsio caesarea, perlu diberikan
antibiotik spektrum luas secara intravena, dan biasanya penderita akan membaik dalam waktu
48 – 72 jam.
3) Bila setelah 72 jam demam tidak membaik perlu dicari dengan lebih teliti penyebabnya karena
demam yang menetap ini jarang yang disebabkan oleh resistensi bakteri terhadap antibiotika
atau suatu efek samping obat.
4) Penyulit endometritis yang sering menimbulkan demam yang menetap ini diantaranya
parametrial flegmon, abses pelvis atau tempat insisi, infeksi pada hematom dan pelvik trombo
flebitis. Oleh karenanya, pada kasus endometritis yang berat dan disertai penyulit perlu
dipertimbangkan intervensi bedah untuk drainase abses atau evakuasi jaringan yang rusak.
2.9 PENYULIT
Pada sebagian besar kasus endometritis akan membaik dalam 49 – 72 jam pasca terapi, tetapi pada
sebagian kecil kasus dapat timbul penyulit berat.
A. Identitas/biodata
a. Identitas klien
b. Identitas penanggung
B. Data subjektif
a. Didata tanggal
c. Keluhan utama
d. Riwayat menstruasi
C. Data Objektif
c. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan laboratorium
DAFTAR PUSTAKA
Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in Cattle 3rd Edition. Oxford: Blackwell Publishing
Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia. (hlm: 97-115).
Saleha, 2009.
Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika (hlm: 71-76).
Suherni, 2007
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Endometritis
1. Endometritis adalah suatu peradangan endometrium yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri
pada jaringan ( Ben-zion Tuber, 1994 ).
2. Endometritis adalah infeksi pada endometrium atau yang disebut lapisan dalam dari rahim. (
Prof.dr.Ida Bagus, ).
3. Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari rahim). (Manuaba, I.B. G.,
1998).- Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di endometrium, merupakan
komplikasi pascapartum, biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan.
4. Endometritis adalah infeksi atau desidua endometrium, dengan ekstensi ke miometrium dan
jaringan parametrial. Endometritis dibagi menjadi kebidanan dan nonobstetric endometritis. Penyakit
radang panggul (PID) adalah sebuah Common nonobstetric pendahulunya dalam populasi.
5. Endometritis dapat juga terjadi karena kelanjutan dari kelahiran yang tidak normal, seperti
abortus, retensi sekundinarum, kelahiran premature, kelahiran kembar, keahiran yang sukar (distokia),
perlukaan yang disebabkan oleh alat-alat yang dipergunakan untuk pertolongan pada kelahiran yang
sukar.
B. Tipe Endometritis
2. Endometritis sinsitial (peradangan dinding rahim akibat tumor jinak disertai sel sintitial dan
trofoblas yang banyak)
3. Endometritis tuberkulosa (peradangan pada dinding rahimendometrium dan tuba fallopi, biasanya
akibat Mycobacterium tuberculosis.)
C. Etiologi
Macam jalan kuman masuk ke dalam alat kandungan seperti eksogen (kuman datang dari luar),
autogen (kuman masuk dari tempat lain dalam tubuh) dan endogen (dari jalan lahir sendiri). Penyebab
yang terbanyak dan lebih dari 50% adalah streptococcus anaerob yang sebenarnya tidak patogen sebagai
penghuni normal jalan lahir. Kuman-kuman yang sering menyebabkan infeksi antara lain adalah :
Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi berat. Infeksi ini biasanya eksogen (ditularkan dari
penderita lain, alat-alat yang tidak suci hama, tangan penolong, infeksi tenggorokan orang lain).
2. Staphylococcus aureus
Masuknya secara eksogen, infeksinya sedang, banyak ditemukan sebagai penyebab infeksi di rumah sakit
dan dalam tenggorokan orang-orang yang nampaknya sehat. Kuman ini biasanya menyebabkan infeksi
terbatas, walaupun kadang-kadang menjadi sebab infeksi umum.
3. Escherichia Coli
Sering berasal dari kandung kemih dan rektum, menyebabkan infeksi terbatas pada perineum, vulva, dan
endometrium. Kuman inimerupakan sebab penting dari infeksi traktus urinarius.
4. Clostridium Welchii
Kuman ini bersifat anaerob, jarang ditemukan akan tetapi sangat berbahaya. Infeksi ini lebih sering terjadi
pada abortus kriminalis dan partus yang ditolong oleh dukun dari luar rumah sakit.
Endometritis sering ditemukan pada wanita setelah seksio sesarea terutama bila sebelumnya ada
riwayat koriomnionitis, partus lama, pecah ketuban yang lama. Penyebab lainnya dari endometritis adalah
adanya tanda jaringan plasenta yang tertahan setelah abortus dan melahirkan.
Menurut Varney, H. (2001), hal-hal yang dapat menyebabkan infeksi pada wanita adalah:
D. Faktor Predisposisi
1. Aborsi
2. Kelahiran kembar
4. Kelanjutan retensio plasenta yang mengakibatkan involusi pasca persalinan menjadi menurun
6. Persalinan Pervaginam
Jika dibandingkan dengan persalinan perabdominan/sc, maka timbulnya endometritis pada tersalinan
pervaginam relatif jarang.Bila persalinan pervaginam disertai penyulit yaitu pada ketuban pecah prematur
yang lama, partus yang lama dan pemeriksaan dalam berulang, maka kejadian endometritis akan
meningkat sampai mendekati 6%. Bila terjadi korioamniotis intrapartum, maka kejadian endometritis
akan lebih tinggi yaitu mencapai 13%.
7. Persalinan SC
SC merupakan faktor predisposisi utama timbulnya endometritis dan erat kaitannya dengan status sosial
ekonomi penderita. Faktor resiko penting untuk timbulnya infeksi adalah lamanya proses persalinan dan
ketuban pecah, pemeriksaan dalam berulang dan pemakaian alat monitoring janin internal. Karena adanya
faktor resiko tersebutamerica college of obsetricians andgynekologists menganjurkan pemberian
antibiotika profilaksis pada tindakan secsio caesarea.
1. Peningkatan demam secara persisten hingga 40 derajat celcius. Tergantung pada keparahan
infeksi.
2. Takikardia
6. Subinvolusi
7. Lokhia sedikit, tidak berbau atau berbau tidak sedap, lokhia seropurulenta
8. Hitung sel darah putih mungkin meningkat di luar leukositisis puerperium fisiologis
9. Perdarahan pervaginam
F. Klasifikasi Endometritis
1. Endometritis akuta
Terutama terjadi pada masa post partum / post abortum. Pada endometritis post partum regenerasi
endometrium selesai pada hari ke-9, sehingga endometritis post partum pada umumnya terjadi sebelum
hari ke-9. Endometritis post abortum terutama terjadi pada abortus provokatus.
Pada endometritis akuta, endometrium mengalami edema dan hiperemi, dan pada pemeriksaan
mikroskopik terdapat hiperemi, edema dan infiltrasi leukosit berinti polimorf yang banyak, serta
perdarahan-perdarahan interstisial. Sebab yang paling penting ialah infeksi gonorea dan infeksi pada
abortus dan partus.
Infeksi gonorea mulai sebagai servisitis akut, dan radang menjalar ke atas dan menyebabkan
endometritis akut. Infeksi gonorea akan dibahas secara khusus.
Pada abortus septik dan sepsis puerperalis infeksi cepat meluas ke miometrium dan melalui
pembuluh-pembuluh darah limfe dapat menjalar ke parametrium, ketuban dan ovarium, dan ke
peritoneum sekitarnya. Gejala-gejala endometritis akut dalam hal ini diselubungi oleh gejala-gejala
penyakit dalam keseluruhannya. Penderita panas tinggi, kelihatan sakit keras, keluar leukorea yang
bernanah, dan uterus serta daerah sekitarnya nyeri pada perabaan.
Sebab lain endometritis akut ialah tindakan yang dilakukan dalam uterus di luar partus atau
abortus, seperti kerokan, memasukan radium ke dalam uterus, memasukan IUD (intra uterine device) ke
dalam uterus, dan sebagainya.
Tergantung dari virulensi kuman yang dimasukkan dalam uterus, apakah endometritis akut tetap
berbatas pada endometrium, atau menjalar ke jaringan di sekitarnya.
Endometritis akut yang disebabkan oleh kuman-kuman yang tidak seberapa patogen pada
umumnya dapat diatasi atas kekuatan jaringan sendiri, dibantu dengan pelepasan lapisan fungsional dari
endometrium pada waktu haid. Dalam pengobatan endometritis akuta yang paling penting adalah
berusaha mencegah, agar infeksi tidak menjalar.
Gejalanya :
a. Demam
b. Lochea berbau : pada endometritis post abortum kadang-kadang keluar lochea yang purulent.
Penatalaksanaan :
a. Dalam pengobatan endometritis akut yang paling penting adalah berusaha mencegah agar infeksi
tidak menjalar.
Terapi :
a. Uterotonika.
d. Endometritis senilis perlu dikuret untuk menyampingkan corpus carsinoma. Dapat diberi estrogen.
2. Endometritis kronika
Radang ini jarang dijumpai , namun biasanya terjadi pada wanita yang masih menstruasi. Dimana
radang dapat terjadi pada lapisan basalis yang tidak terbuang pada waktu menstruasi. Endometritis kronik
primaria dapat terjadi sesudah menopauase, dimana radang tetap tinggal dan meluas sampai ke bagian
endometrium lain. Endometritis kronik ditandai oleh adanya sel-sel plasma pada stroma. Penyebab yang
paling umum adalah Penyakit Radang Panggul (PID), TBC, dan klamidia. Pasien yang menderita
endometritis kronis sebelumnya mereka telah memiliki riwayat kanker leher rahim atau
kanker endrometrium. Gejala endometritis kronis berupa noda darah yang kotor dan keluhan sakit perut
bagian bawah, leukorea serta kelainan haid seperti menorhagia dan metrorhagia. Pengobatan tergantung
dari penyebabnya.
a. Pada tuberkulosis.
Pada abortus inkomplitus dengan sisa-sisa tertinggal dalam uterus terdapat desidua dan vili
korealis di tengah-tengah radang menahun endometrium.
Pada partus dengan sisa plasenta masih tertinggal dalam uterus, terdapat peradangan dan
organisasi dari jaringan tersebut disertai gumpalan darah, dan terbentuklah apa yang dinamakan polip
plasenta.
Endometritis kronika yang lain umumnya akibat ineksi terus-menerus karena adanya benda asing atau
polip/tumor dengan infeksi di dalam kavum uteri.
Gejalanya :
Terapi :
G. Patogenesis
Infeksi uterus pada persalinan pervaginam terutama terjadi pada tempat implantasi plesenta,
desidua, dan miometrium yang berdekatan.bakteri yang berkoloni diserviks akan dan vagina akan
menginvasi tempat implantasi plasenta saat itu biasanya merupakan sebuah luka dengan diameter kurang
lebih 4 cm dengan permukaan luka berbenjol–benjol karena banyaknya vena yang ditutupi trombus.
Daerah ini merupakan tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman-kuman patogen
Infeksi uterus pasca operasi sesar umumnya akibat infeksi pada luka operasi selain infeksi yang
terjadi pada tempat implantasi plasenta.
H. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari endometritis tergantung pada jenis dan virulensi kuman, daya tahan
penderita dan derajat trauma pada jalan lahir. Kadang-kadang lokhea tertahan oleh darah, sisa-sisa
plasenta dan selaput ketuban. Keadaan ini dinamakan lokiometra dan dapat menyebabkan kenaikan suhu
yang segera hilang setelah rintangan dibatasi. Uterus pada endometrium agak membesar, serta nyeri pada
perabaan, dan lembek.
Pada endometritis yang tidak meluas penderita pada hari-hari pertama merasa kurang sehat dan
perut nyeri, mulai hari ke 3 suhu meningkat, nadi menjadi cepat, akan tetapi dalam beberapa hari suhu
dan nadi menurun, dan dalam kurang lebih satu minggu keadaan sudah normal kembali, lokhea pada
endometritis, biasanya bertambah dan kadang-kadang berbau. Hal yang terakhir ini tidak boleh
menimbulkan anggapan bahwa infeksinya berat. Malahan infeksi berat kadang-kadang disertai oleh
lokhea yang sedikit dan tidak berbau.
a. Miometritis
b. Parametritis
c. Salpingitis
d. Ooforitis
3. Menggigil.
6. Sub involusi.
7. Distensi abdomen.
8. Lokea sedikit dan tidak berbau/banyak, berbau busuk, mengandung darah seropurulen.
9. Awitan 3-5 hari pasca partum, kecuali jika disertai infeksi streptococcus.
I. Diagnosis
Endometritis dapat terjadi secara klinis dan subklinis. Diagnosis endometritis dapat didasarkan
pada riwayat kesehatan, pemeriksaan rektal, pemeriksaan vaginal dan biopsi. Keluhan kasus endometritis
biasanya beberapa kali dikawinkan tetapi tidak bunting, siklus birahidiperpanjang kecuali pada
endometritis yang sangat ringan. Pemeriksaan vaginal dapat dilakukan dengan
menggunakan vaginoskop dengan melihat adanya lendir, lubang leher rahim (serviks) agak terbuka dan
kemerahan di daerah vagina dan leher rahim. Pada palpasi per rektal akan teraba dinding rahim agak kaku
dan di dalam rahim ada cairan tetapi tidak dirasakan sebagai fluktuasi (tergantung derajat infeksi).
Secara klinis karakteristik endometritis dengan adanya pengeluaran mucopurulen pada vagina,
dihubungkan dengan ditundanya involusi uterus. Diagnosa endometritis tidak didasarkan pada
pemeriksaan histologis dari biopsy endometrial. Tetapi pada kondisi lapangan pemeriksaan vagina dan
palpasi traktus genital per rectum adalah teknik yang sangat bermanfaat untuk diagnosa endometritis.
Pemeriksaan visual atau manual pada vagina untuk abnormalitas pengeluaran uterus adalah penting untuk
diagnosa endometritis, meski isi vagina tidak selalu mencerminkan isi dari uterus. Flek dari pus pada
vagina dapat berasal dari uterus, cervik atau vagina dan mukus tipis berawan sering dianggap normal.
Sejumlah sistem penilaian telah digunakan untuk menilai tingkat involusi uterus dan cervik, pengeluaran
dari vagina alami. Sistem utama yang digunakan adalah kombinasi dari diameter uterus dan cervik,
penilaian isi dari vagina.
Sangat penting untuk dilakukan diagnosa dan memberi perlakuan pada kasus endometritis di awal periode
post partum. Setiap ibu harus mengalami pemeriksaan postpartum dengan segera pada saat laktasi sebagai
bagian dari program kesehatan yang rutin. Kejadian endometritis dapat didiagnosa dengan adanya purulen
dari vagina yang diketahui lewat palpasi rektal. Diagnosa lebih lanjut seperti pemeriksaan vaginal dan
biopsi mungkin diperlukan. Yang harus diperhatikan pada saat palpasi dan pemeriksaan vaginal meliputi
ukuran uterus, ketebalan dinding uterus dan keberadaan cairan beserta warna, bau dan konsistensinya.
Sejarah tentang trauma kelahiran, distosia, retensi plasenta atau vagina purulenta saat periode postpartum
dapat membantu diagnosa endometritis. Pengamatan oleh inseminator untuk memastikan adanya pus,
mengindikasikan keradangan pada uterus. Sejumlah kecil pus yang terdapat pada pipet inseminasi dan
berwarna keputihan bukanlah suatu gejala yang mangarah pada endometritis.
Keradangan pada cervix (cervisitis) dan vagina (vaginitis) juga mempunyai abnormalitas seperti itu. Bila
terdapat sedikit cairan pada saat palpasi uterus, penting untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya yaitu
dengan menggunakan spekulum. Untuk beberapa kasus endometritis klinis atau subklinis, diagnosa
diperkuat dengan biopsy uterin. Pemeriksaan mikroskopis dari jaringan biopsy akan tampak adanya
peradangan akut atau kronik pada dinding uterus. Pemeriksaan biopsi uterin dapat untuk memastikan
terjadinya endometritis dan adanya organisme di dalam uterus. Tampak daerah keradangan menunjukkan
terutama neutrofil granulocyte dan dikelilingi jaringan nekrosis dengan koloni coccus.
Cara sederhana juga adalah dengan melakukan pemeriksaan manual pada vagina dan mengambil mukus
untuk di inspeksi. Keuntungan teknik ini adalah murah, cepat, menyediakan informasi sensory tambahan
seperti deteksi laserasi vagina dan deteksi bau dari mukus pada vagina. Satu prosedur adalah pembersihan
vulva menggunakan paper towel kering dan bersih, sarung tangan berlubrican melalui vulva ke dalam
vagina. Pinggir, atas dan bawah dinding vagina dan os cervik eksterna dipalpasi dan isi mukus vagina
diambil untuk diperiksa. Tangan biasanya tetap di vagina untuk sekurangnya 30 detik. Pemeriksaan
vagina manual telah sah dan tidak menyebabkan kontaminasi bakteri uterus, menimbulkan phase respon
protein akut atau menunda involusi uterus. Tetapi operator sadar bahwa vaginitis dan cervicitis mungkin
memberikan hasil yang salah. Vaginoscopy dapat dilakukan dengan menggunakan autoclavable plastik,
metal atau disposable foil- lined cardboard vaginoscope, yang diperoleh adalah inspeksi dari isi vagina.
Tetapi mungkin ada beberapa resistensi menggunakan vaginoscop karena dirasa tidak mudah, potensial
untuk transmisi penyakit dan harganya. Alat baru untuk pemeriksaan mukus vagina terdiri dari batang
stainless steel dengan hemisphere karet yang digunakan untuk mengeluarkan isi vagina.
J. Komplikasi
1. Luka infeksi
Infeksi luka biasanya terjadi pada hari kelima pasca operasi sebagai demam menetap meskipun
pasien mendapat terapi antimikroba yang adekuat. Biasanya dijumpai eritema, indurasi, dan drainase
insisi
2. Karena peritonitis
Peritonitis pasca sesar mirip dengan peritonitis bedah, kecuali rigiditas abdomen biasanya tidak
terlalu mencolok karena peregangan abdomen yang berkaitan dengan kehamilan. Nyeri mungkin hebat.
Jika infeksi berawal di uterus dan meluas hanya ke peritonium di dekatnya (peritonitis panggul),terapi
biasanya medis. Sebaliknya peritonitis abdomen generalisata akibat cedera usus atau nekrosis insisi
uterus, sebaiknya diterapi secara bedah .
3. Parametrial phlegmon
Pada sebagian wanita yang mengalami metritis setelah sesar , terjadi selulitis parametrium yang
intensif. Hal ini menyebabkan terbentuknya daerah indursi yang disebut flegmon, di dalam lembar-lembar
ligamentum latum (parametria)atau dibawah lipatan kandung kemih yang berada di atas insisi uterus.
Selulitis ini umumnya unilateral dan dapat meluas ke lateral ke dinding samping panggul. Infeksi ini
harus dipertimbangkan jika demam menetap setelah 72 jam meskipun pasien sudah mendapat terapi untuk
endomiometritis pasca sesar.
4. Panggul abses
Flegmon parametrium dapat mengalami supurasi, membentuk abses ligamentum latum yang
fluktuatif. Jika abses ini pecah, dapat timbul peritonitis yang mengancam nyawa. Dapat dilakukan
drainase abses dengan menggunakan tuntunan computed tomography, kolpotami, atau melalui abdomen,
bergantung pada lokasi abses.
Kompilkasi serius endometritis pada wanita yang melahirkan sesar adalah terbukanya insisi akibat
infeksi nekrosis disertai perluasan ke dalam ruang subfasia di sekitar dan akhirnya pemisahan insisi fasia .
Hal ini bermanifestasi sebagai drainase subfasia pada wanita dengan demam lama. Di perlukan eksplorasi
bedah dan pengangkatan uterus yang terinfeksi.
Di dahului oleh infeksi bakteri di tempat implantasi plasenta atau insisi uterus. Infeksi dapat
meluas di sepanjang rute vena dan mungkin mengenai vena-vena di ovarium.
K. Penatalaksanaan
1. Antibiotika ditambah drainase yang memadai merupakan pojok sasaran terapi. Evaluasi klinis dari
organisme yang terlihat pada pewarnaan gram, seperti juga pengetahuan bakteri yang diisolasi dari infeksi
serupa sebelumnya, memberikan petunjuk untuk terapi antibiotik.
2. Cairan intravena dan elektrolit merupakan terapi pengganti untuk dehidrasi ditambah terapi
pemeliharaan untuk pasien-pasien yang tidak mampu mentoleransi makanan lewat mulut. Secepat
mungkin pasien diberikan diit per oral untuk memberikan nutrisi yang memadai.
3. Pengganti darah dapat diindikasikan untuk anemia berat dengan post abortus atau post partum.
4. Tirah baring dan analgesia merupakan terapi pendukung yang banyak manfaatnya.
5. Tindakan bedah: endometritis post partum sering disertai dengan jaringan plasenta yang tertahan
atau obstruksi serviks. Drainase lokia yang memadai sangat penting. Jaringan plasenta yang tertinggal
dikeluarkan dengan kuretase perlahan-lahan dan hati-hati. Histerektomi dan salpingo – oofaringektomi
bilateral mungkin ditemukan bila klostridia telah meluas melampaui endometrium dan ditemukan bukti
adanya sepsis sistemik klostridia (syok, hemolisis, gagal ginjal)
Kuretase
Histerektomi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jenis infeksi yang paling sering ialah endometritis. Endometritis adalah suatu peradangan
endometrium yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri pada jaringan. Kuman-kuman memasuki
endometrium, biasanya pada luka bekas Insersio plasenta, dan dalam waktu singkat mengikutsertakan
seluruh endometrium.
Endometritis ini terjadi karena karena kurangnya kesadaran ibu nifas dalam hal personal higiene
dan merawat luka perineum. Padahal infeksi ini dalam jangka pendek dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kesuburan dan dalam jangka panjang menggannggu sistem reproduksi karena perubahan
saluran reproduksi. Pengobatan dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam kasus endometritis.
B. Saran
Kepada mahasisiwi kebidanan agar lebih dapat memahami jenis infeksi pada ibu nifas terutama
endometritis.
Bagi petugas kesehatan khususnya bidan dapat mengetahui tindak lanjut penanganan endometritis
pada ibu nifas, dan bidan dapat mengenali tanda dan gejala terjadinya endometritis.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta: EGC
Saifuddin, A. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan KesehatanMaternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiro Harjo
LANDASAN TEORI
Infeksi nifas adalah semua peradangan yang disebabkan olehkuman yang masuk ke dalam organ genital
pada saat persalinan dan masa nifas.
Infeksi nifas adalah infeksi bakteri pada traktus genitalia yang terjadi setelah melahirkan, ditandai dengan
kenaikan suhu sampai 38 derajat Celsius atau lebih selama 2 hari dalam 10 hari pertama pascapersalinan,
dengan mengecualikan 24 jam pertama (Joint Committee onMaternal Welfare, AS).
Infeksi nifas dapat disebabkan oleh masuknya kuman ke dalam organ kandungan maupun kuman dari luar
yang sering menyebabkaninfeksi. Berdasarkan masuknya kuman ke dalam organ kandunganterbagi
menjadi:
2. Staphylococcus Aerus
3. Escheria Coli
4. Clostridium Welchii
Tempat yang baik sebagai tempat tumbuhnya kuman adalah di daerah bekas insersio (pelekatan) plasenta.
Insersio plasenta merupakan sebuah luka dengan diameter 4 cm, permukaan tidak rata, berbenjol-benjol
karena banyaknya vena yang ditutupi oleh trombus. Selain itu, kuman dapat masuk
melalui servik, vulva, vagina dan perineum.
5. Infeksi intrapartum.
Tanda dan gejala yang timbul pada infeksi nifas antara lain demam, sakit di daerah infeksi, warna
kemerahan, fungsi organ terganggu. Gambaran klinis infeksi nifas adalah sebagai berikut:
1. Infeksi lokal
2. Infeksi umum
Infeksi lokal
Warna kulit berubah, timbul nanah, bengkak pada luka, lokia bercampur nanah, mobilitas terbatas, suhu
badan meningkat.
Infeksi umum
Sakit dan lemah, suhu badan meningkat, tekanan darah menurun, nadi meningkat, pernafasan meningkat
dan sesak, kesadaran gelisah sampai menurun bahkan koma, gangguan involusi uteri, lokia berbau,
bernanah dan kotor.
2. Semua alat dan kain yang berhubungan dengan daerah genital harus suci hama.
3. Penderita dengan infeksi nifas sebaiknya diisolasi dalam ruangan khusus, tidak bercampur dengan
ibu nifas yang sehat.
5. Mobilisasi dini.
1. Sebaiknya segera dilakukan kultur dari sekret vagina dan servik, luka operasi dan darah, serta uji
kepekaan untuk mendapatkan antibiotika yang tepat.
4. Pengobatan mempertinggi daya tahan tubuh seperti infus, transfusi darah,makanan yang
mengandung zat-zat yang diperlukan tubuh, serta perawatan lainnya sesuai komplikasi yang dijumpai.
H. Pengertian
1. Rupture
Rupture adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan secara alamiah karena
proses desakan kepala janin atau bahu pada saat proses persalinan. Bentuk rupture biasanya tidak teratur
sehingga jaringan yang robek sulit dilakukan penjahitan.
2. Episiotomi
Episiotomi adalah sebuah irisan bedah pada perineum untuk memperbesar muara vagina yang dilakukan
tepat sebelum keluarnya kepala bayi.
Saat MandiPada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut. Setelah terbuka maka akan
kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada cairan yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka
perlu dilakukan penggantian pembalut.
2. Mencuci tangannya
3. Buang pembalut yang telah penuh dengan gerakan kebawah mengarah ke rectum dan letakan
pembalut tersebut kedalam kantung plastic
DAFTAR PUSTAKA
.
khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/03/askep-klien-dengan-infeksi-nifas.html diunduh 4 Oktober 2011.
01:04 AM.
.
Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta: ECG.
Saleha, S. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika.
silvinna.files.wordpress.com/…/infeksi-nifas-post-partum diunduh 4 Oktober 2011. 01:22 AM.
Sulistyawati, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta: Andi Offset.
INFEKSI
Definisi
Infeksi adalah masuknya mikroorganisme patogen atau kuman ke dalam tubuh dan jaringan yang terjadi
pada individu. Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering
menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus, organisme ;gram positif. Stapilokokus mengakibatkan
pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang pali penting adalah perawatan luka dengan
mempertahankan aseptik dan antiseptik.
Penyebab Infeksi
a. Adanya benda asing atau jaringan yang sudah mati didalam luka
b. Luka terbuka dan kotor
c. Gizi Buruk
d. Daya tahan tubuh yang lemah
e. Mobilisasi terbatas atau kurang gerak
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala infeksi meliputi:
a.Merasa panas pada daerah luka atau suhu badan panas
b.Merasa sakit atau nyeri pada daerah luka
c.Ada kemerahan pada kulit daerah luka
d.Terjadinya bengkak pada area luka
e.Gangguan fungsi gerak pada daerah luka
f.Luka berbau tidak sedap
g. Terdapat cairan berupa nanah pada luka
ASKEB TEORI
I. PENGKAJIAN
DATA SUBYEKTIF
1. Biodata
Keadaan sosial ekonomi rendah menimbulkan kurangnya pemenuhan gizi ibu nifas sehingga kurang
mengkonsumsi makanan yang tinggi protein sebagai pemulihan luka operasi
2. Keluhan utama
Ditanyakan untuk mengetahui apakah persalinan yang lalu dilakukan secara normal atau SC
dengan penyulit apa yang berkaitan dengan keadaan ibu sekarang.
Pengeluaran dari vulva sebagai tanda persalinan telah mulai sudah ada sejak permulaan kadang –
kadang di keluarkan bila persalinan sudah lebih jelas.
Untuk mengetahui hal – hal yang membuat tidak nyaman dan di lakukan tindakan segera bila hasil
pengawasan itu ternyata ada kelainan.
( Ibrahim,Christina 1987 : 88 )
o Status bayi yang dilahirkan ( hidup / mati ) bila bayi masih hidup bagaimana keadaan sekarang dan
bila meninggal apa penyebab kematiannya.
Untuk mengetahui apakah placenta lengkap ( Tidak ada kelainan – kelainan bentuk,ukuran –
ukuran,warna )
a. TFU
Masa nifas ibu dengan SC biasanya fundus uteri terletak setinggi pusat
5. Riwayat penyakit keluarga
Untuk mengetahui apakah dari keluarga ibu / orang yang tinggal bersama ibu mempunyai penyakit
menular seperti AIDS,Penyakit kronis,keturunan dan adanya kehamilan kembar.
Untuk mengetahui penyakit yang pernah dialami ibu karena penyakit yang pernah dialami ibu bisa
timbul kembali karena keadaan ibu pada waktu kehamilan dan setelah melahirkan.
7. Riwayat KB
Jenis dan lama pengguna KB ibu hamil untuk mengetahui jarak kehamilan
8. Riwayat perkawinan
Ditanyakan kepada ibu berapa lama dan berapa kali kawin untuk membantumenentukan bagaimana
keadaan alat kelamin dalam ibu.
9. Riwayat psikososial
Pola aktifitas
- Istirahat : istirahat ibu nifas dengan SC biasanya kurang dari ibu nifas dengan spontan karena
rasa nyeri yang ada
- Aktifitas : ibu nifas dengan SC biasanya kurang gerak dan lebih lambat untuk memulai
mobilisasi dini karena masih harus beradaptasi dengan keadaan dirinya
- Personal Higine : Untuk mengetahui kebersihan alat reproduksi ibu dan apakah ibu sudah benar dalam
merawat alat reproduksinya terutama luka bekas operasi
- Nutrisi : Untuk mengetahui asupan gizi nifas ,supaya ibu siap dalam menyusui dan untuk
perbaiakn kondisi ibu
2. Kesadaran : Composmentis
3. TTV
4.Pemeriksaan fisik
A. Inspeksi
a. Muka : muka ibu terlihat lemas dan meringis menahan nyeri luka
d. Mamae : Keadaan buah dada diawasi setiap ibu akan menyusui anak dan pada waktu
mengadakan perawatan buah dada secara khusus dalam perawatan buah dada di temukan yang perlu
diperhatikan keadaan puting susu, pembengkakan buah dada dan pengeluaran ASI.
e. Abdomen : bagaimana keadaan luka bekas operasi apakah masih bagus atau mengeluarkan pus
B. Palpasi
- Perut
UC : Dalam pengawasan ini hendaknya diperhatikan apakah uterus bundar dan keras, maka
menandakan kontraksi uterus baik
VU : Kandung kemih yang penuh terjadi pengawasan proses persalinan kurang baik. Pada kandung
yang penuh akan mendesak fundus uteri. Lebih ke atas dan mempengaruhi kontraksi uterus kurang baik
dan mengakibatkan nadanya perdarahan.
Mamae : tidak terdapat massa abnormal, payudara teraba keras karena tidak menyusui bayinya
Auskultasi : Bising parut : Normal / Tidak
Pemeriksaan Laboratorium :
DS : Ibu mengatakan : merasa panas dan nyeri pada daerah luka, kemerahan pada kulit, bengkak
pada daerah luka, luka berbau tidak sedap
DO : k/u lemah
TTV : TD : normal
Rr : 16 – 20 x/menit
UC : Baik / tidak
VU : Penuh / Kosong
Masalah :
Kecemasan : Ibu mengatakan cemas dengan keadaanya, seperti nyeri luka dan keadaan lukanya
Ditandai : pada tempat luka yang mengalami infeksi keluar pus terus menerus dan keadaan luka terbuka
Bendungan payudara
Ditandai : Payudara mengeras dan membesar dikeduanya, bengkak dan terasa berat
Antisipasi : Kompres hangat pada payudara, susui bayi untuk mengosongkan payudara, jika masih
belum penuh, perah dengan tangan ( manual ) pijat payudara mulai dari luar kearah puting susu “ Z “ pada
daerah yang mengeras. Gunakan BH, lalu kompres dingin, Bila nyeri minum parasetamil 1 tablet setiap 4
– 6 jam.
Kolaborasi dengan dokter OBGIN untuk tindakan lebih lanjut sesuai keadaan klien
V. INTERVENSI
Rasional : agar memudahkan proses komunikasi tentang hasil pemeriksaan pada ibu diperlukan agar ibu
mengetahui keadaan / sesuatu yang terjadi padanya
4. Perbaiki posisi ibu dan ajari ibu teknik mobilisasi yang benar
Rasional : Agar luka cepat sembuh dan keadaan ibu kembali pulih
IV. IMPLEMENTASI
V. EVALUASI
Sesuai dengan tujuan kriteria hasil, mengevaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah di berikan.
TINJAUAN KASUS
I. PENGKAJIAN
DATA SUBYEKTIF
1. Biodata
Alamat : Hayam wuruk baru II/49 Alamat : Hayam wuruk baru II/49
2. Keluhan Utama
Ibu mengatakan jahitan luka operasi terbuka sejak tanggal 3-12-2009
2 9 bln dokter SC 2 mg
Ibu mengatakan telah melahirkan anak kedua pada tanggal 24 November di RS Bhakti Rahayu Surabaya
secara SC atas indikasi bekas SC. Bayi berjenis kelamin laki-laki.
Ibu tidak pernah menderita penyakit akut / kronis seperti : TBC, Hipertensi, Jantung
Ibu tidak pernah menderita penyakit menular seperti : HIV / AIDS, Hepatitis.
Dalam keluarga tidak ada riwayat penyakit akut / kronis seperti : TBC, Hipertensi, Jantung
Dalam keluarga tidak ada riwayat penyakit menular seperti : HIV / AIDS, Hepatitis
Dalam keluarga tidak ada riwayat penyakit keturunan seperti DM, Asma.
7. Riwayat perkawinan
Status : Kawin
Lama : 10 Tahun
8. Riwayat KB
Jenis : suntik
Lama : 6 th
9. Riwayat Psikososial
Ibu, suami dan keluarga cemas akan keadaan yang dihadapi ibu saat ini
Ibu berharap semoga dapat segera sembuh dan segera bertemu bayinya
Aktivitas
DATA OBYEKTIF
1. k/u : lemah
2. Kesadaran : Composmentis
4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Muka : muka ibu terlihat lemas dan meringis menahan nyeri luka
Abdomen : keadaan luka bekas operasi terbuka, berbau tidak sedap dan mengeluarkan pus
C. Palpasi
- Perut
VU : Kosong
Pemeriksaan Laboratorium :
leukosit = 12.500/cmm3
trombosit = 315.000
hematokrit = 39,7%
VU : Penuh
Masalah :
Kecemasan : Ibu mengatakan cemas dengan keadaanya yaitu nyeri luka dan keadaan lukanya
Nekrosis jaringan
Bendungan ASI
V. INTERVENSI
Rasional : agar memudahkan proses komunikasi tentang hasil pemeriksaan pada ibu diperlukan agar ibu
mengetahui keadaan / sesuatu yang terjadi padanya
4. Perbaiki posisi ibu dan ajari ibu teknik mobilisasi yang benar
Rasional : Agar luka cepat sembuh dan keadaan ibu kembali pulih
Rasional : Dengan observasi keadaan ibu dapat di pantau, sehingga dapat mengetahui perkembangan
kemajuan kesehatan ibu
V. IMPLEMENTASI
1. Melakukan pendekatan terapeutik pada ibu dan keluarga yaitu tentang keadaan ibu perihal perawatan
ibu selama di rumah sakit
2. Menjelaskan pada ibu tentang penyebab nyeri luka yaitu kurang bersih saat merawat luka, kurang
makan bergizi, dan kurang mobilisasi
3. Menjelaskan pada ibu untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi protein seperti telur dan ikan-ikan
laut
4. Memperbaiki posisi ibu dan ajari ibu teknik mobilisasi yang benar yaitu sering melakukan aktivitas
seperti dimulai dari hal yang ringan seperti mulai belajar mandi sendiri tanpa bantuan suami dan berjalan-
jalan di sekitar ruangan rawat inapnya
5. Menyarankan dan mengajari ibu untuk mengosongkan payudara minimal 2 kali sehari atau jika ibu
merasa payudara teraba keras agar tidak terjadi bendungan ASI
6. Melakukan kolaborasi dengan dokter SPOG bila ada masalah infeksi lebih lanjut
7. Melaksanakan terapi yang diberikan oleh dokter obgin secara intravena yaitu :
Ciprofloxacin 2x1
Cefixim 3x1
9. Melakukan rawat luka 2 kali sehari tiap pagi dan sore yakni ganti balut kasa dan disinfeksi dengan
cairan garam fisiologik
VII. EVALUASI
Ibu menghabiskan porsi makan yang disarankan oleh tim gizi rumah sakit
Ibu sudah mulai belajar ke kamar mandi sendiri tanpa bantuan suami
S : 37,5 C R : 20x/menit
Ibu mengatakan lebih nyaman setelah dilakukan perawatan luka dengan mengganti balutan kasa
Keadaan luka bersih dan tidak berbau setelah dilakukan perawatan luka
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien
yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak
sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi,
atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik,
syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
tanda gejala yang lain juga terjadi :
1) Nyeri seluruh perut spontan maupun pada palpasi
2) Demam menggigil
3) Pols tinggi, kecil
4) Perut gembung tapi kadang-kadang ada diarrhea
5) Muntah
6) Pasien gelisah, mata cekung
7) Pembengkakan dan nyeri di perut
8) Demam dan menggigil
9) Kehilangan nafsu makan
10) Haus
11) Mual dan muntah
12) Urin terbatas
13) Bisa terdapat pembentukan abses.
14) Sebelum mati ada delirium dan coma
Peritonitis yang tidak menjadi peritonitis umum, terbatas pada daerah pelvis tanda dan
gejalanya ; demam, Perut bawah nyeri, keadaan umum tetap baik, pada pelvioperonitis bisa
terdapat pertumbuhan abses, nanah yang biasanya terkumpul dalam kavum douglas harus
dikeluarkan, ibu dengan peronitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas,
atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Pada pelvioperitonitis bisa terdapat
pertumbuhan abses. Nanah yang biasanya terkumpul dalam kavum douglas harus dikeluarkan
dengan kolpotomia posterior untuk mencegah keluarnya melalui rektum atau kandung kencing.
Diagnosis peritonitis ditegakan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneun visceral) yang
makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relatif sama
dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia,
takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi, nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki
punctum maksimum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang
karena mekainsme antisipasi penderita secara tidak sadar utnuk menghindari palpasinya yang
meyakinakan/tegang karena iritasi peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat
pelvic inflammatory disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatranspalntasi, atau hiv), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial,
enselofati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesik), penderita dengan paraplegia dan
penderita geriatric.
Peritonitis umum disebabkan oleh kuman yang sangat patogen dan merupakan penyakit
berat. Suhu meningkat menjadi tinggi, nadi cepat dan kecil, perut kembung dan nyeri, ada
defense musculaire. Muka penderita, yang mula-mula kemerah-merahan, menjadi pucat, mata
cekung, kulit muka dingin; terdapat apa yang dinamakan facies hippocratica. Mortalitas
peritonitis umum tinggi.
2.7 Penatalaksanaan
a. Pencegahan
1) Selama kehamilan
Oleh karena anemia merupakan predisposisi untuk infeksi nifas, harus
diusahakan untuk memperbaikinya. Keadaan gizi juga merupakan factor penting,
karenanya diet yang baik harus diperhatikan. Coitus pada hamil tua sebaiknya
dilarang karena dapat mengakibatkan pecahnya ketuban dan terjadinya infeksi.
2) Selama persalinan
Usaha-usaha pencegahan terdiri dari membatasi sebanyak mungkin kuman-
kuman dalam jalan lahir, menjaga supaya persalinan tidak berlarut-larut,
menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin, dan mencegah
terjadinya perdarahan banyak. Semua petugas dalam kamar bersalin harus
menutup hidung dan mulut dengan masker, alat-alat, kain-kain yang dipakai dalam
persalinan harus suci hama. Pemeriksaan dalam hanya boleh dilakukan jika perlu,
terjadinya perdarahan harus dicegah sedapat mungkin dan transfusi darah harus
diberikan menurut keperluan.
3) Selama nifas
Sesudah partus terdapat luka-luka dibeberapa tempat pada jalan lahir. Pada
hari pertama postpartum harus dijaga agar luka-luka ini tidak dimasuki kuman-
kuman dari luar. Tiap penderita dengan tanda-tanda infeksi nifas jangan dirawat
bersama dengan wanita-wanita dalam nifas.
b. Penatalaksanaan Medis
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut :
1) Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
2) Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
3) Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
4) Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi.
5) Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan.
6) Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
7) Tujuan utama tindakan bedah adalah untuk membuang materi penginfeksi dan
diarahkan pada eksisi, reseksi, perbaikan, dan drainase.
8) Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.
c. Pengobatan
Antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi
nifas. Adanya antibiotika sangat merubah prognosa infeksi puerperalis dan pengobatan
dengan obat-obat lain merupakan usaha yang terpenting.
Dalam memilih satu antibiotik untuk mengobati infeksi, terutama infeksi yang
berat harus menyandarkan diri atas hasil test sensitivitas dari kuman penyebab. Tapi
sambil menunggu hasil test tersebut sebaiknya segera memberi dulu salah satu antibiotik
supaya tidak membuang waktu dalam keadaan yang begitu gawat.
Pada saat yang sekarang peniciline G atau peniciline setengah syntesis (ampisilin)
merupakan pilihan yang paling tepat karena peniciline bersifat baktericide (bukan
bakteriostatis) dan bersifat atoxis. Sebaiknya diberikan peniciline G sebanyak 5 juta S
tiap 4 jam jadi 20 juta S setiap hari. Dapat diberikan sebagai iv atau infus pendek selama
5-10 menit.
Dapat juga diberikan ampiciilin 3-4 gr mula-mula iv atau im. Staphylococ yang
peniciline resisten, tahan terhadap penicilin karena mengeluarkan penicilinase ialah
oxacilin, dicloxacilin dan melbiciline. Di samping pemberian antibiotic dalam
pengobatannya masih diperlukan tindakan khusus untuk mempercepat penyembuhan
infeksi tersebut. Karena peritonitis berpotensi mengancam kehidupan. Penderita
disarankan mendapat perawatan di rumah sakit.
2. Klasifikasi Luka
Risiko terjadinya infeksi bervariasi, tergantung pada lokasi dilakukannya operasi.
Sebagai contoh, tindakan invasif yang menembus daerah tubuh yang mengandung banyak
koloni bakteri, seperti usus, akan lebih rentan untuk mengalami infeksi. Klasifikasi luka
menurut CDC dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan tingkat kontaminasinya, yaitu:
a. Luka bersih
Luka dianggap bersih ketika tindakan operasi tidak masuk ke dalam lumen tubuh
yang mengandung koloni bakteri normal. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada kelas ini
kurang dari 2%, tergantung pada berbagai variabel klinis. Kontaminan sering berasal dari
lingkungan kamar operasi, tim bedah, dan yang paling umum adalah kontaminasi dari kulit.
b. Luka bersih terkontaminasi
Luka dianggap bersih terkontaminasi ketika prosedur operasi masuk ke dalam rongga
tubuh dengan koloni bakteri, namun prosedur operasi masih dalam situasi yang dapat
dikontrol dan direncanakan (elektif). Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada kelas ini
berkisar dari 4% hingga 10%.
c. Luka terkontaminasi
Ketika kontaminasi nyata didapatkan namun tidak ditemukan adanya tanda-tanda
infeksi yang jelas, maka luka dianggap terkontaminasi. Seperti halnya pada luka bersih
terkontaminasi, yang menjadi kontaminan adalah bakteri yang ada pada daerah operasi itu
sendiri. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada kelas ini dapat melebihi 20%.
d. Luka kotor
Jika tanda-tanda infeksi aktif telah didapatkan secara nyata pada daerah operasi, maka
luka dianggap sebagai luka kotor. Bakteri patogen terlibat dalam terjadinya proses infeksi
pada luka. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada kelas ini dapat melebihi 40%.
Menurut klasifikasi luka yang dimodifikasi, luka operasi section caesarean
diklasifikasikan sebagai berikut:7
Kelas I: jika ketuban tidak pecah atau persalinan tidak memanjang
Kelas II: jika didapatkan pecah ketuban kurang dari 2 jam
Kelas III: jika pecah ketuban lebih dari 2 jam
Kelas IV: jika didapatkan cairan ketuban yang purulen
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM), khususnya DM tipe 2, prevalensinya semakin meningkat di
Amerika, dengan perkiraan sekitar 7%, atau 20 juta orang menderita penyakit ini, dengan
sepertiga dari mereka tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit DM. Persentase
pasien dengan DM yang menjalani operasi tinggi pada beberapa jenis operasi. Satu studi
mencatat bahwa 44% dari pasien yang menjalani bedah jantung menderita DM, dimana 48%
dari penderita tidak terdiagnosis DM pada saat preoperatif. Diketahui bahwa 25% sampai
30% pasien yang menjalani operasi CABG (coronary artery bypass graft) menderita DM.
DM merupakan prediktor utama yang menentukan morbiditas dan mortalitas pasien post
operasi CABG, dimana sekitar 35% sampai 50% komplikasi terjadi pada pasien dengan DM.
Hasil yang buruk pasca operasi pada pasien dengan DM diyakini terkait dengan komplikasi
yang sudah ada akibat adanya hiperglikemia kronis, yang meliputi penyakit aterosklerosis
pada pembuluh darah dan autonomik neuropati perifer. Sangat penting untuk melakukan
evaluasi preoperatif pada semua pasien yang akan menjalani operasi agar tidak terjadi kasus
DM yang tidak terdiagnosis dan/atau DM yang tidak terkontrol. Pasien yang akan menjalani
operasi harus dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa (GDP) dan juga sebaiknya
dilakukan pemeriksaan kadar Hemoglobin A1c (HbA1c) untuk mengevaluasi apakah pasien
memiliki penyakit DM sebelumnya. Jika hasil dari salah satu atau kedua tes ini menunjukkan
adanya diabetes yang tidak terkontrol (GDP > 110 mg/dL atau HbA1c ≥ 7% ), maka kadar
glukosa pasien harus dikontrol terlebih dahulu sebelum dilakukan operasi.
Hiperglikemia perioperatif
Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar pasien yang menjalani operasi mayor
mengalami keadaan hiperglikemia pada saat perioperatif. Tidak seperti DM, beberapa
ilmuwan masih mempertanyakan apakah hiperglikemia perioperatif merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk terjadinya efek samping yang merugikan pasca operasi. Perioperatif
hiperglikemia pada pasien non diabetes baru-baru ini diketahui sebagai faktor risiko potensial
untuk hasil yang merugikan post operasi besar.12 Namun hal ini masih belum diketahui secara
pasti apakah orang tersebut sebenarnya merupakan penderita diabetes namun tidak
terdiagnosis atau memang orang tersebut bukan penderita diabetes dan mengalami
hiperglikemia perioperatif sebagai respon terhadap stres operasi. Juga tidak diketahui secara
pasti apakah hiperglikemia merupakan penyebab terjadinya hasil operasi yang buruk ataukah
hiperglikemia memperburuk efek samping yang telah terjadi, karena selama ini kadar
glukosa serum sering diukur ketika hasil operasi yang buruk telah terjadi. Studi lain berusaha
untuk mengklarifikasi masalah ini dengan secara khusus mengamati penderita hiperglikemia
perioperatif yang mengalami infeksi pasca operasi. Para peneliti ini beranggapan bahwa
sewaktu terjadinya peningkatan kadar glukosa serum perioperatif menunjukkan bahwa ini
merupakan faktor risiko terjadinya infeksi pasca operasi atau pertanda
dari suatu proses infeksi. Para penulis mengamati bahwa periode awal pasca operasi, dimana
pasien berada pada fase stres fisiologis terbesar, merupakan waktu dengan risiko tertinggi
untuk terjadinya ILO. Periode waktu ini juga merupakan periode dimana kadar glukosa
serum mencapai kadar tertinggi, baik pada pasien diabetes maupun pada pasien non-diabetes.
Mereka menyimpulkan bahwa tingkat terjadinya infeksi nosokomial akan lebih tinggi ketika
hiperglikemia ditemukan pada dua hari pertama pasca operasi, terlepas dari diabetes yang
sudah ada sebelumnya.
Ada dua mekanisme utama yang menempatkan pasien pada keadaan hiperglikemia
akut perioperatif yang berakibat meningkatnya risiko terjadinya ILO. Mekanisme pertama
adalah menurunnya sirkulasi di pembuluh darah, yang berakibat berkurangnya perfusi
jaringan dan terganggunya fungsi sel.13 Mekanisme kedua adalah menurunnya aktivitas dari
imunitas seluler dalam fungsi kemotaksis, fagositosis dan membunuh pada sel
polimorfonuklear serta monosit/makrofag yang telah terbukti terjadi pada kondisi
hiperglikemia akut. Kedua gangguan pertahanan host alami ini meningkatkan risiko
terjadinya infeksi jaringan pada pasien bedah dengan atau tanpa diabetes.
Mengontrol hiperglikemia perioperatif membutuhkan koordinasi terpadu oleh bagian
anestesi, bedah, keperawatan dan farmasi. Bagian anestesi harus siap untuk memeriksa GDS
pasien preoperatif dan menerapkan terapi insulin sedini mungkin bila diindikasikan. Dokter
bedah harus bersiap untuk melanjutkan kontrol glukosa darah sampai minimal 48 jam pasca
operasi. Staf perawat harus memantau, mengkalibrasi dan harus mengontrol agar
normoglikemia tetap bertahan selama pasien menjalani rawat inap. Perawat juga perlu
memberikan edukasi kepada pasien mengenai cara mengontrol kadar glukosa ketika pasien
akan dipulangkan, terutama pada pasien yang baru saja diketahui mengalami hiperglikemia
preoperatif. Pengobatan penting untuk pasien diabetes selama fase perawatan, dengan peran
serta apoteker di lini depan dalam upaya ini.
Kegemukan
Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana indeks massa tubuh seseorang
lebih dari atau sama dengan 30 kg/m2. Telah dilaporkan tingkat terjadinya infeksi pasca
operasi section caesarean lebih besar kemungkinannya pada wanita dengan obesitas.
Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya ILO yang terbukti sulit untuk ditekan. Seringkali
tidak ada cukup waktu sebelum operasi untuk secara signifikan menurunkan tingkat obesitas
pasien. Namun, evaluasi mengenai adanya diabetes dan pengontrolan kadar glukosa serum,
akan meminimalkan risiko terjadinya ILO pada pasien dengan obesitas. Selain itu, operasi
besar sering dipandang sebagai peristiwa yang mengubah hidup dan mungkin dapat
memotivasi pasien agar menerapkan pola makan dan gaya hidup positif lainnya. Edukasi
secara perorangan dan pengaturan diet dari ahli gizi, serta dukungan dari komunitas yang
berusaha untuk menurunkan berat badan juga menunjukkan efek positif jangka panjang.
Malnutrisi
Malnutrisi telah lama diidentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya infeksi
nosokomial, termasuk ILO, pada pasien yang menjalani operasi. Pasien yang kekurangan gizi
diketahui memiliki respon imun yang lebih rendah terhadap infeksi. Pengukuran level
albumin serum paling umum digunakan sebagai penanda untuk mengidentifikasi status gizi
seseorang, dengan kisaran normal 3,4 - 5,4 g/dL.
Ketika pasien didiagnosis dengan malnutrisi, penting untuk mengidentifikasi etiologi
dari keadaan ini. Pada umumnya pasien tua dengan kekurangan energi-protein disebabkan
oleh berbagai alasan, antara lain kemiskinan dan mobilitas yang terbatas, isolasi sosial dan
depresi, kondisi gigi geligi yang buruk, anoreksia, serta penurunan kognitif dan status
fungsional. Intervensi yang mungkin dilakukan mencakup diskusi terhadap keluarga,
konsultasi dengan ahli gigi, konseling diet dan pelayanan sosial. Tergantung pada tingkat
urgensi operasi, penundaan pembedahan sampai status gizi pasien membaik mungkin dapat
dilakukan. Puasa preoperatif dan postoperatif harus dilakukan seminimal mungkin pada
kelompok pasien ini.
Merokok
Tak disangka, malnutrisi dan merokok menunjukkan bukti adanya interaksi. Merokok
dikaitkan dengan terhambatnya penyembuhan luka dan penurunan sirkulasi ke kulit akibat
obstruksi mikrovaskuler oleh agregasi platelet dan menurunnya fungsi hemoglobin. Selain
itu, merokok telah diketahui menurunkan sistem imun dan sistem respirasi. Merokok sebagai
faktor risiko pada host banyak dilaporkan dengan pendapat yang saling bertentangan. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena beberapa studi yang mengevaluasi faktor ini hanya
mempertimbangkan kondisi merokok saat ini yang meningkatkan risiko terjadiya ILO.
Beberapa pasien berhenti merokok segera sebelum operasi, yang mungkin dilakukan dalam
beberapa hari atau minggu sebelum operasi, dan kemudian menganggap diri mereka sebagai
bukan perokok di saat operasi. Hasil yang bertentangan ini mungkin dikarenakan belum
adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok perokok dan bukan perokok.
Merokok yang mungkin menjadi salah satu faktor risiko yang sudah ada sebelumnya
pada pasien, dapat diintervensi dengan penggunaan penghenti merokok yang saat ini tersedia
seperti patch nikotin atau bupropion hidroklotida. Setidaknya satu bulan sebelum operasi,
pasien harus didorong untuk menghentikan penggunaan tembakau. Pasien juga harus
memperbaiki status gizi dan status fisik dengan cara mengkonsumsi seperti vitamin A, B, C,
D, E dan K dan suplemen zinc, magnesium, kuprum dan besi.
Infeksi yang Telah ada di Lokasi Tubuh yang Jauh dari Lokasi Operasi
Tak jarang, pasien memiliki infeksi pada gigi, saluran kemih atau jaringan longgar
pada kulit pada saat dilakukan operasi. Masalah utama yang menjadi perhatian tentang
adanya infeksi yang sudah ada sebelumnya adalah infeksi tersebut mungkin dapat:
menjadi sumber penyebaran infeksi secara hematogen, menyebabkan infeksi lambat pada
kasus-kasus operasi prostesis persendian atau katup jantung
menjadi lokasi yang kontagius untuk terjadinya transfer bakteri
Infeksi yang jauh dari luka operasi dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan
terjadinya ILO menjadi 3 - 5 kali lipat. Setiap infeksi yang jauh dari lokasi operasi harus
diidentifikasi dan diterapi sebelum operasi. Tidak jarang dilakukan ekstraksi gigi multipel
preoperatif dalam rangka mengeleminasi infeksi rongga mulut. Beberapa kasus bedah
tertentu, terutama yang berhubungan dengan pemasangan implan, operasi mungkin ditunda
sampai infeksi telah teratasi.
Kolonisasi Mikroorganisme
Sumber infeksi utama pada sebagian besar kejadian ILO adalah mikroorganisme
endogen yang ada pada pasien itu sendiri. Semua pasien memiliki koloni bakteri, jamur dan
virus sampai dengan 3 juta kuman per sentimeter persegi kulit. Namun, tidak semua pasien
memiliki koloni bakteri, jamur dan virus dalam jumlah berimbang. Pasien dengan riwayat
DM, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang mengharuskan penggunaan steroid jangka
panjang, atau penyakit kronis lainnya yang mengharuskan pasien untuk dilakukan rawat inap
dan/atau penggunaan antibiotik berulang cenderung akan mengalami kolonisasi bakteri yang
lebih berat, terutama dengan bakteri yang resisten terhadap antibiotik seperti methicillin-
resisten Staphylococcus aureus (MRSA). Setiap luka operasi akan terkontaminasi dengan
bakteri selama operasi, tetapi hanya sebagian kecil yang akan mengalami infeksi. Hal ini
dikarenakan sebagian besar pasien memiliki pertahanan dalam mengendalikan dan
mengeleminasi organisme penyebab infeksi.
Staphylococcus aureus tercatat ditemukan pada 30% populasi sehat, dan terutama
methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA), merupakan predisposisi pasien berisiko
lebih tinggi mengalami ILO. Adanya sumber bakteri endogen yang mungkin bertanggung
jawab dalam menimbulkan kemungkinan terjadinya infeksi 10 kali lipat pada satu dari tiga
luka operasi.
Bagaimanapun intervensi yang dilakukan, kulit pasien tidak akan pernah steril,
namun banyak cara dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah bakteri tersebut. Pasien harus
berendam atau mandi dengan larutan antiseptik seperti chlorhexidine setidaknya satu kali
sebelum dilakukan operasi. Rambut di daerah tubuh yang akan dioperasi harus dibiarkan
kecuali diperlukan karena mengganggu prosedur operasi. Jika rambut harus dihilangkan,
maka pengasuh harus melakukannya dengan gunting segera sebelum operasi. Strategi
tambahan yang digunakan untuk mengurangi migrasi bakteri ke daerah insisi termasuk
penggunaan perekat yang mengandung antiseptik dan/atau yang berbahan dasar
cyanoacrylate yang digunakan pada kulit untuk melumpuhkan flora normal kulit, termasuk
yang tertanam di folikel rambut.
Hipotermia perioperatif
Penurunan suhu tubuh di bawah 36ºC atau 96,8ºF, merupakan salah satu faktor risiko
yang paling umum untuk terjadinya ILO. Setiap satu dari dua pasien bedah tercatat memiliki
suhu tubuh di bawah 36ºC, dan satu dari tiga pasien bedah memiliki suhu tubuh inti di bawah
35ºC atau 95ºF selama interval perioperatif. Ketika suhu tubuh 1,5°C di bawah normal, dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan risiko ILO, penurunan tekanan oksigen dalam
jaringan, disfungsi jantung, koagulopati, perubahan metabolisme obat, pemulihan
normotermia yang lambat dan peningkatan mortalitas. Hilangnya panas tubuh adalah hasil
dari kombinasi banyak faktor dan sering terjadi pada saat perioperatif. Faktor risiko pasien
yang terkait meliputi kakeksia atau kesehatan umum yang buruk, jenis kelamin perempuan,
usia ekstrim, jenis anestesi, dan lama operasi.
Faktor yang turut berkontribusi dalam terjadinya hipotermia antara lain puasa
preoperatif, suhu yang rendah di ruang operasi, penggunaan solusio dingin pada kulit, meja
operasi yang dingin, dan cairan IV yang dingin. Anestesi umum menyebabkan terjadinya
vasodilatasi sehingga terjadi redistribusi cepat darah hangat dari pusat tubuh menuju ke
daerah ekstremitas yang dingin, penurunan metabolisme yang memproduksi panas dan
hilangnya respon menggigil. Operasi mayor seperti bedah thorax dan/atau abdominal juga
terjadi kehilangan panas tubuh inti yang besar.
Cara terbaik untuk mengatasi hipotermia adalah dengan mencegah terjadinya
kehilangan panas. Strategi noninvasif yang terbukti secara efektif dapat mengatasi hipotermia
antara lain dengan menggunakan cairan IV yang dihangatkan, selimut penghangat, lampu
termal, matras air berpenghangat, sistem penghangat udara dan bantalan konduksi termal.
4. Pencegahan ILO
Beberapa langkah yang terkait dalam menurunkan kemungkinan terjadinya ILO
berdasarkan pedoman dari NICE (National Institute for Health and Clinical Excellence),
antara lain:
a. Insisi dinding abdomen
Section caesarean harus dilakukan dengan menggunakan sayatan perut melintang
karena cara ini menimbulkan nyeri pasca operasi yang lebih minimal dan efek kosmetik
yang lebih baik dibandingkan dengan insisi garis tengah. Insisi melintang menurut Joel
Cohen (insisi lurus, 3 cm di atas simfisis pubis, lapis demi lapis jaringan berikutnya
dibuka dan diperluas dengan gunting, bukan pisau) merupakan pilihan karena terkait
dengan waktu operasi yang lebih pendek dan mengurangi morbiditas demam pasca
operasi.
b. Instrumen untuk insisi kulit
Penggunaan pisau bedah yang berbeda untuk menginsisi kulit dan jaringan yang
lebih dalam tidak dianjurkan karena terbukti tidak menurunkan kemungkinan terjadinya
ILO.
c. Penutupan dinding perut
Penutupan dinding perut pada insisi garis tengah dilakukan dengan cara jahitan
kontinu menggunakan benang yang lambat diserap karena dengan cara ini insidensi
terjadinya hernia insisional dan wound dehiscence lebih rendah dibandingkan dengan
cara penutupan berlapis.
d. Penutupan jaringan subkutan
Penutupan jaringan subkutan tidak rutin dilakukan, kecuali pada wanita yang
memiliki tebal lemak subkutan lebih dari 2 cm, karena penutupan jaringan subkutan tidak
menurunkan insidensi terjadinya ILO.
e. Penggunaan drain superficial
Penggunaan drain superficial tidak boleh digunakan pada operasi section
caesarean. Penggunaan drain superficial terbukti tidak menurunkan kemungkinan
terjadinya ILO.
f.
Pemberian antibiotik
Berikan antibiotik profilaksis sebelum dilakukan insisi kulit pada operasi section
caesarean. Hal ini akan lebih menurunkan risiko terjadinya infeksi maternal pasca
operasi jika dibandingkan bila antibiotik profilaksis diberikan setelah insisi kulit, dan
terbukti tidak menimbulkan adanya efek pada bayi.
Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk diberikan pada semua
operasi yang melibatkan organ berongga. Pemberian antibiotik profilaksis diketahui
merupakan faktor protektif yang paling signifikan dalam menurunkan kejadian ILO pasca
operasi section caesarean. Antibiotik harus diberikan sebelum operasi, idealnya dalam
waktu 30 menit dari induksi anestesi. Konsentrasi antibiotik yang adekuat dalam serum
dan jaringan akan menurunkan risiko berkembangnya bakteri selama periode post
operatif. Namun, pemberian antibiotic profilaksis tidak akan mencegah kontaminasi yang
terjadi selama operasi karena teknik operasi yang buruk.
Dalam praktiknya, ditemukan variasi yang beragam mengenai cara pemberian
antibiotik profilaksis. Classen dkk membuktikan bahwa waktu diberikannya antibiotik
profilaksis sangat penting dalam mencegah ILO pasca operasi. Antibiotik profilaksis
preoperatif sering tidak diberikan pada waktu yang optimal sehingga konsentrasi obat
selama periode operasi tidak menimbulkan hasil yang efektif. Pedoman yang
dipublikasikan dalam Surgical Infection Prevention Guideline mengusulkan antibiotik
profilaksis harus diberikan 60 menit sebelum dilakukannya insisi dan dihentikan dalam
waktu 24 jam setelah operasi.
Redisinfeksi kulit di sekitar daerah insisi sebelum penutupan kulit telah
dilaporkan dapat mengurangi kejadian ILO pasca operasi. Telah dilaporkan pula bahwa
irigasi dengan larutan antibiotik pada daerah insisi aman untuk dilakukan, tidak
menunjukkan adanya efek samping, dan merupakan metode yang efektif dalam
menurunkan morbiditas infeksi dan ILO pasca bedah section caesarean.
g. Perawatan luka
Perawatan luka pada operasi section caesarean meliputi:
Dressing luka 24 jam setelah operasi
monitoring adanya demam
nilai tanda-tanda infeksi pada luka (seperti rasa sakit yang meningkat, kemerahan atau
keluarnya discharge) dan tanda-tanda luka yang tidak menutup (dehiscence)
beritahukan pada pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar, nyaman, dan
berbahan katun agar mudah menyerap keringat
bersihkan luka secara lembut dan keringkan luka setiap hari
jika diperlukan, rencanakan untuk melepas jahitan
Risiko infeksi berlanjut bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit. Tenaga
medis harus memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai cara merawat
luka bekas operasi, bagaimana mengenali tanda-tanda terjadinya ILO dan pentingnya
melaporkan gejala tersebut ke dokter bedah mereka sebagai penyedia perawatan primer.3