Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan
kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi
telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara
ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed
Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda
kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet,
kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman
sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga
kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya
perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam
perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di
indonesia.
Perkawinan dengan perbedaan kewarganegaraan (Campuran) bukanlah hal
yang asing lagi saat ini. Terutama dengan keadaan dan perkembangan masyarakat
yang terjadi saat ini. Bahkan permasalahan mengenai perkawinan yang di dalam
perkara tersebut terdapat unsure-unsur perdata internasional telah terjadi dari dulu.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran
didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal
57 : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam
perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing,
mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya
waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak
dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah
masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut
prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan
campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut
ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya.
Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan

1
orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang
warga negara asing.
B. Rumusan Masalah
Dalam kasus ini ada beberapa maslah hukum yang akan Penulis uraikan,
permasalah-permasalahan tersebut sebagai berikut:
1. Contoh Kasus Perceraian Antara Manohara Odelia dengan Tengku
Muhammad Fakhry Petra di tinjau dari Hukum Perdata Internasional?
2. Analisis mengenai Kasus Perceraian Antara Manohara Odelia dengan
Tengku Muhammad Fakhry Petra di tinjau dari Hukum Perdata
Internasional?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana Kasus Perceraian Antara Manohara Odelia
dengan Tengku Muhammad Fakhry Petra di tinjau dari Hukum Perdata
Internasional.
2. Untuk mengetahui analisis kasus Perceraian Antara Manohara Odelia
dengan Tengku Muhammad Fakhry Petra di tinjau dari Hukum Perdata
Internasional

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Defenisi Hukum Perdata Internasional


Menurut Van Brakel dalam buku “Grond en beginselen van nederland
internationaal privatrecht” menyatakan bahwa internationaal privatrecht is a
national recht voor internationale recht verhouding geschreven. Maksudnya
bahwa HPI adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-
hubungan hukum internasional. Sedangkan menurut Prof. DR. S. Gautama. S.H.
HPI adalah keseluruhan peraturan atau keputusan hukum yang menunjukkan
stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum jika
hubungan-hubungan atau peristiwa antar warga negara pada suatu waktu tertentu
memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah dari dua
atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-
soal.
Berdasarkan pendapat kedua ahlil tersebut, dapat disimpulkan bahwa HPI
adalah hukum nasional, bukanlah hukum internasional. Sumber hukum HPI
adalah hukum nasional dan yang internasional adalah hubungan-hubungan atau
peristiwa-peristiwanya. Contohnya adalah kasus pernikahan antar warga negara
satu dengan warga negara lain. Masalah-masalah pokok yang dibahas dalam HPI
adalah sebagai berikut:
1. Hakim/ badan hukum peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan
perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing. (chioce of
yuridiction) merupakan hukum acara dalam HPI.
2. Hukum manakah yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan maasalah
HPI (the appropriate legal system).
3. Sejauh mana suatu peradilan harus memperahatikan dan mengakui putusan
hukum asing (recognition of foreign judgements)
Luas lingkup HPI menurut negara yang pertama, HPI merupakan
Rechtstoepassingrecht/ choice of law (paling sempit). Artinya, istilah HPI terbatas
pada masalah-masalah hukum mana yang diberlakukan. Contoh: negara Jerman,
negara Nederland. Kedua, HPI adalah choice of law choice of juridiction (lebih
luas). Maksudnya, mengenai hukum mana yang berlaku ditambah dengan
kompetensi wewenang hakim untuk mengadili perkara yang bersangkutan.
Contoh: negara Anglo Saxon, Inggris, dan Amerika Serikat. Ketiga, HPI
merupakan choice of law chioce of juridiction condition des estranges (lebih luas).
Maknanya, mengenai hukum mana yang berlaku kompetensi wewenang hakim
status orang asing. Contoh: Italia dan Spanyol. Keempat, HPI adalah choice of

3
law chioce of juridiction condition des estranges natonalite (terluas). Artinya,
mengenai hukum mana yang berlaku kompetensi wewenang hakim status orang
asing kewarganegaraan. Contoh: Perancis.

B. Titik Pertalian
Titik pertalian adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat
menunjukkan adanya kaitan antara-antara fakta-fakta yang ada di dalam suatu
perkara dengan suatu tempat/ sistem hukum yang harus atau mungkin untuk
dipergunakan.
Untuk mengetahui hukum apa yang harus diberlakukan di dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur asing, hakim harus
mencari titik taut yang ada atau berkaitan di dalam masalah HPI tersebut dengan
melihat kepada titik-titik pertalian yang ada.
1. Titik Pertalian Primer
Titik pertalian primer merupakan titik taut yang menentukan bahwa
peristiwa tersebut merupakan HPI. Jadi, TPP melahirkan HPI. Fungsi TPP adalah
untuk menentukan ada tidaknya peristiwa HPI. Titik pertalian primer disebut juga
Titik Taut Pembeda/Point of Contact/Aanknoping Spunten. TPP (foreign element)
meliputi :
a. Kewarganegaraan;
b. Bendera kapal;
c. Domisili;
d. Tempat kediaman;
e. Tempat kedudukan;
f. Hubungan hukum di dalam hubungan intern.
Contoh hubungan hukum di dalam hubungan intern : Dua orang WNI di
Indonesia melakukan perjanjian bisnis mengenai barang yang berasal dari Luar
Negeri.
2. Titik Pertalian Sekunder
Titik pertalian sekunder adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang
menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu di dalam hubungan HPI.
Titik taut penentu ini menentukan hukum apa yang harus diberlakukan di dalam
menyelesaikan masalah-masalah HPI. Dalam persoalan HPI dimungkinkan juga
Titik Taut Primer (TTP) merupakan TTS dalam hal mengenai :

4
a. Kewarganegaraan;
b. Bendera kapal;
c. Domisili;
d. Tempat kediaman;
e. Tempat kedudukan;
Sebenarnya TTS dalam HPI amat sangat banyak, terutama selain hal-hal di
atas :
f. Letak dari benda;
g. Tempat dilaksanakan kontrak (ditandatangani kontrak);
h. Tempat pelaksanaan dari pada perjanjian (realisasi perjanjian); - Lex Loci
Solutionis –
i. Tempat di mana perbuatan melanggar hukum itu dilakukan (Tatort);
j. Party Autonomy – Choice of Law – Pilihan Hukum/ Rechtskause; Pilihan
hukum yang ditentukan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian. Kecuali,
bila pilihan hukum itu melanggar Order Public/ kepentingan umum maka
hakim dapat menyimpang dari pilihan hukum tersebut. Pilihan hukum
hanya untuk perbuatan hukum kontrak.
C. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional
1. Asas Lex Loci Celeberation yaitu suatu asas yang menyataka dimana
tempat perkawinan diresmikan atau dilangsungkan maka menggunakan
sistem hukum dimana tempat perkawinan tersebut diresmikan.
2. Asas Domicili yaitu asas yang menentukan dimana subyek hukum tersebut
berkedudukan atau bertempat tinggal secara sah menurut hukum
3. Asas Nasionalitas yaitu asas mengenai kewarganegaraan seseorang.
4. Lex Fori (tempat Gugatan) yaitu apbila obyek gugatan benda bergerak
maka dalam hal mengajukan gugatan berdasarkan dimana beda bergerak
tersebut berada
5. Lex Situs yaitu apabila obyek gugatan benda tidak bergerak maka dalam
hal megajukan gugatan dimana obyek tersebut berada
6. Lex Loci Contractus adalah asas mengenai dimana suatu perjanjian
kontrak dibuat dan disepakati oleh pihak-pihak.

5
7. Lex Loci Solutionis yaitu asas dimana perjanjian dibuat dan pihak-pihak
bebas dalam hal menentukan pilihan hukum apabila terjadi wanprestasi
atau sangketa yang akan terjadi dibelakang hari.
8. The Fredom of Contract yaitu asas kebebasan berkontrak yang artinya
setiap orang dapat menentukan isi dan bentuk dari perjanjian, selagi isi
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang maka
perjanjian tersebut adalah sah.
9. Lex Causae yaitu penentuan bagaimana suatu perbuatan hukum dibatasi
oleh system hukum yang akan diberlakukan

D. Pengertian Perkawinan
Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di
mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian,
sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi
unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai
Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering
diartikan pula sebagai perkawinan. Mulanya kata “nikah” berasal dari bahasa
Arab. Sedangkan di dalam Al-Quran menggunakan kata“zawwaja” dan kata
“zauwj”, yang berarti pasangan. Hal ini dikarenakan pernikahan menjadikan
seseorang memiliki pasangan.
Para pakar hukum perkawinan Indonesia juga memberikan definisi tentang
perkawinan antara lain menurut :
1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah Peraturan yang
digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan
pengertian perkawinan.
2. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan
luas dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
3. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli kata dapat juga
berarti akad dengannya menjadi halal kelamin antara pria dan wanita,
sedangkan menurut arti lain bersetubuh.
4. Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

6
Secara umum AlQuran hanya menggunakan 2 kata ini, untuk
menggambarkan terjadinya hubungan suami isteri secara sah. Kata-kata ini
mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima).
Ijab kabul pernikahan pada hakekatnya adalah ikrar dari calon isteri melalui
walinya dan dari calon suami untuk hidup seia sekata, guna mewujudkan keluarga
sakinah dengan melaksanakan segala tuntunan ajaran agama serta melaksanakan
segala kewajiban sebagai seorang suami.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang
Perkawinan dirumuskan pengertian Perkawinan yang di dalamnya terkandung
tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Jika diperhatikan bagian pertama pasal tersebut perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
isteri. Dari kalimat di atas jelas bahwa perkawinan itu baru ada apabila dilakukan
oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan. Seiring dengan perkembangan
jaman sering dijumpai di dalam masyarakat terdapat hubungan antara seorang pria
dengan seorang pria yang disebut homo seksual atau seorang wanita dengan
seorang wanita yang disebut lesbian, hubungan ini tidak dapat dilanjutkan ke
jenjang perkawinan, karena di Negara Indonesia tidak mengatur perkawinan
sesama jenis dan di dalam hukum agamapun tidak diperbolehkan adanya
perkawinan sesama jenis.
Sedangkan ketentuan-ketentuan yang tedapat dalam KUHPdt/BW tidak
ada satu Pasal pun yang memberikan pengertian tentang arti perkawinan itu
sendiri. oleh karena itulah, maka untuk memahami arti perkawinan kita melihat
pada ilmu pengetahuan / pendapat para sarjana. Ali Afandi, mengatakan bahwa, “
perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Persetujuan kekeluargaan
yang dimaksud disitu bukanlah seperti persetujuan biasa, tetapi mempunyai cirri-
ciri tertentu:
“Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seoreang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh Negara.”

E. Perkawinan Campuran
1. Pengertian Perkawinan Campuran
Menurut Pasal 57 UU No. I/1974 pengertian perkawinan campuran
adalah:Perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum

7
yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah
sebagai berikut:
a. Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
b. Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan
c. Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
d. Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Contoh: seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang
laki-laki warga Negara asing atau sebaliknya
2. Syarat-syarat Perkawinan Campuran
Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi
syarat-syarat yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1
UU No. 1/1974) Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974
yang menyebutkan:
a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu.
b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya
beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di
kantor Catatan sipil.
3. Akibat perkawinan Campuran.
Menurut Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang
berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara
yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang berlaku.
Pasal 59 ayat (1) UU No. I/1974 menyebutkan:
“Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum public
maupun mengenai hukum perdata.”

8
Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan
mengikuti kewarganegaraan ayah dan ibunya dengan siapa ia mempunyai
hubungan hukum keluarga. Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan No 12
tahun 2006 anak hasil dari perkawinan campuran adalah warga Negara Indonesia,
apabila:
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
WNA (Pasal 4 sub c).
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan
ibu WNI (Pasal 4 sub d)
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi
ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum senaga asal
ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak tersebut
(Pasal 4 sub e).
d. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI
(Pasal 4 sub 9)
e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI
(Pasal 4 sub g)
f. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang
diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin (Pasal 4 sub h)
g. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya (Pasal 4 sub i)
h. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui (Pasal 4 sub j)
i. Anak yang baru lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah
dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
kewarganegaraan (Pasal 4 sub k)
j. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia (Pasal 4 sub m)
Pasal 5 UU No. 22 Tahun 2006 menyatakan:
a. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18
tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing tetap diakui WNI

9
b. Anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak
oleh WNA berdasarkan pengadilan tetap diakui sebagai WNI.
Pasal 6 ayat 1 menyatakan;
Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak
sebagai dimaksud dalam Pasal 4 sub c, sub d, sub h, sub I dan pasal 5 berakibat
anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Seperti telah
disebutkan sebelumnya akibat dari perkawinan campuran terhadap suami/istri
akan kehilangan atau mendapat kewarganegaraan.
a. Perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan
kewarganegaraan republic Indonesia jika menurut hukum Negara asal
suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami
sebagai akibat perkawinan tersebut.
b. Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal
istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai
akibat perkawinan tersebut.
c. Perempuan (dalam ayat 1) atau laki-laki (dalam ayat 2) di atas jika ingin
tetap menjadi WNI dapat mengajukan kepada Pejabat yang wilayahnya
meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.
Pasal 19 antara lain menyatakan sebagai berikut;
a. WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan
menjadi warga Negara dihadapan Pejabat.
b. Pernyataan tersebut (ayat 1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah
bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 tahun
berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan
kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
4. Akibat perkawinan Campuran.
Menurt Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang
berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara
yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang berlaku. Pasal 59 ayat (1) UU No. I/1974 menyebutkan:
“ Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum

10
public maupun mengenai hukum perdata ”. Kedudukan anak yang belum berumur
18 tahun dan belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan ayah dan ibunya
dengan siapa ia mempunyai hubungan hukum keluarga.
Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 anak hasil
dari perkawinan campuran adalah warga Negara Indonesia, apabila:
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
WNA (Pasal 4 sub c).
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan
ibu WNI (Pasal 4 sub d)
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi
ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum senaga asal
ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak tersebut
(Pasal 4 sub e).
d. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI
(Pasal 4 sub 9)
e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI
(Pasal 4 sub g)
f. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang
diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin (Pasal 4 sub h)
g. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya (Pasal 4 sub i)
h. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui (Pasal 4 sub j)
i. Anak yang baru lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah
dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
kewarganegaraan (Pasal 4 sub k)
j. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia (Pasal 4 sub m)
Pasal 5 UU No. 22 Tahun 2006 menyatakan:

11
a. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18
tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing tetap diakui WNI
b. Anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak
oleh WNA berdasarkan pengadilan tetap diakui sebagai WNI
Pasal 6 ayat 1 menyatakan;
Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak
sebagai dimaksud dalam Pasal 4 sub c, sub d, sub h, sub I dan pasal 5 berakibat
anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya
Seperti telah disebutkan sebelumnya akibat dari perkawinan campuran
terhadap suami/istri akan kehilangan atau mendapat kewarganegaraan.
a. Perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan
kewarganegaraan republic Indonesia jika menurut hukum Negara asal
suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami
sebagai akibat perkawinan tersebut.
b. Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal
istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai
akibat perkawinan tersebut.
c. Perempuan (dalam ayat 1) atau laki-laki (dalam ayat 2) di atas jika ingin
tetap menjadi WNI dapat mengajukan kepada Pejabat yang wilayahnya
meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.
Pasal 19 antara lain menyatakan sebagai berikut;
a. WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan
menjadi warga Negara dihadapan Pejabat.
b. Pernyataan tersebut (ayat 1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah
bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 tahun
berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan
kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
5. Asas-asas tentang akibat perkawinan
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami
istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri

12
- Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan
rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
- Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
- Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(ayat 2).
- Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
- Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
- Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
saling setia.
- Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
sesuai dengan kemampuannya.
- Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
b. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan
- Timbul harta bawaan dan harta bersama.
- Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya
terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.
- Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
c. Akibat perkawinan terhadap anak
- Kedudukan anak
Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
- Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai
anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45). Anak wajib
menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik. Anak yang
dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan
ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya
(Pasal 46).
- Kekuasaan orang tua

13
Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di
bawah kekuasaan orang tua. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan
hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. Orang tua dapat
mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun
atau belum pernah kawin Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh
pengadilan apabila: ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak Ia
berkelakuan buruk sekali Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah:
Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Isi
kekuasaan orang tua adalah: Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi
maupun harta kekayaannya.
Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di
dalam maupun di luar pengadilan. Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak
kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya. Kekuasaan orang tua berakhir
apabila:
- Anak itu dewasa
- Anak itu kawin
- Kekuasaan orang tua dicabut
6. Perihal putusnya perkawinan karena perceraian
a. Perihal putusnya perkawinan karena perceraian menurut kuh perdata
Di dalam Bab II sub A di atas penulis membahas pengertian perkawinan,
tujuan perkawinan dan syarat-syarat perkawinan maka dalam Bab III sub
A ini penulis membahas masalah putusnya perkawinan. Karena itu kalau
kita perhatikan walaupun tujuan perkawinan itu adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga), tetapi tidak jarang di dalam menempuh mahligai
perkawinan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan yakni para pihak
bersepakat untuk selalu hidup bersama dalam mencari kebahagiaan atau
kesejahteraan baik material maupun spiritual bersama-sama dengan
keturunannya sampai akhir hayat hidupnya, akan tetapi sering kali hasrat
seperti itu kandas di tengah jalan oleh karena adanya berbagai hal.

14
Melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
mengenai putusnya perkawinan terdapat di dalam Bab VIII pasal 38 yang
terdiri dari tiga macam yakni :
- Karena kematian;
- Karena perceraian;
- Atas keputusan Pengadilan.
Selanjutnya mengenai putusnya perkawinan ini dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dapat kita lihat di dalam buku I Titel X
pasal 199 di sana disebutkan secara limitative bahwa perkawinan ini
terputus karena:
- Karena kematian:
- Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama
sepuluh tahun dan diikuti perkawinan dengan perkawinan baru
sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam bagian kelima Bab 18 (delapan belas).
- Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat
tidur (perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan
itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
bagi kedua Bab mi.
- Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
bagian ketiga Bab ini.
Setelah kita ketahui beberapa hal mengenai putusnya perkawinan
baik menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akhirnya penulis hanya membatasi
pada pokok pembahasan sebagai berikut :
- Perkawinan yang putus karena kematian;
Tentang kematian, yakni dengan meninggalnya salah satu pihak
(suami atau istri) dengan sendirinya segala ikatan perkawinan akan
berakhir, oleh sebab itu perkawinan yang putus karena kematian tidak
perlu diuraikan lebih lanjut berhubung persoalannya sudah jelas.
- Perkawinan yang putus karena putusan hakim setelah terjadi
perpisahan meja atau tempat tidur; Bagi pasangan suami istri yang
tidak dapat hidup bersama disebabkan berbagai hal, tetapi menurut
kepereayaan kedua belah pihak masih menaruh keberatan-keberatan
terhadap suatu perceraian, maka oleh Undang-undang diberi
kemungkinan-kemungkinan untuk meminta suatu perpisahan meja dan

15
tempat tidur, oleh karena lembaga perpisahan meja dan tempat tidur ini
merupakan suatu cara pemecahan dalam menanggulangi keganjilan-
keganjilan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Walaupun perpisahan meja dan tempat tidur ini dapat dimintakan
atas persetujuan kedua belah pihak (suami dan istri), Tetapi untuk
meminta perpisahan meja dan tempat tidur harus pula disertai dengan
alasan-alasan yang sah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 233
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal adanya peristiwa-peristiwa yang dapat digunakan
sebagai alasan untuk menuntut perceraian perkawinan, suami dan isiri
adalah berhak, menuntut perpisahan meja dan tempat tidur. Tuntutan
untuk perpisahan yang demikian boleh juga dimajukan berdasarkan atas
perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan
kasar, dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain”.
Dari bunyi pasal itu ternyata meskipun diantara kedua belah pihak
(suami dan istri) itu hidup secara terpisah tidak berarti kedua belah pihak
terlepas dari pertalian perkawinan atau dengan kata lain bahwa
perkawinannya itu di sini belumlah putus (bubar), tetapi dengan
perpisahan meja dan tempat tidur itu hanyalah mempunyai akibat suami
istri tersebut dibebaskan dari kewajibannya untuk tinggal bersama (dalam
arti tinggal serumah). Untuk itu kedua belah pihak masih selalu diberi
kesempatan untuk berdamai lagi atau untuk hidup bersama lagi.
Kemudian bila hakim mengabulkan tuntutan kedua belah pihak
atau dengan perkataan lain hakim memutuskan perpisahan meja dan
tempat tidur itu terjadi pembubaran perkawinan, maka dalam jangka waktu
yang sudah ditentukan harus didaftarkan pada pegawai pencatatan sipil di
tempat perkawinan itu dilangsungkan (pendaftaran nama harus dilakukan
dalam waktu enam bulan setelah tanggal putusan hakim).
- Perkawinan yang putus karena perceraian.
Berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah ada perpisahan
meja dan tempat tidur dimana di dalamnya itu tidak dapat perselisihan-
perselisihan yang begitu mendasar bahkan mungkin saja di dalamnya
terdapat suatu kehendak baik dari pihak suami maupun dari pihak istri
untuk mengakhiri perkawinan tersebut. Maka pada perkawinan yang putus
karena perceraian ini pada dasarnya dilarang atas persetujuan kedua belah
pihak (pasal 208), tetapi perceraian itu selalu didahului oleh pertengkaran-
pertengkaran atau perselisihan-perselisihan yang mendasar dalam arti
bahwa diantara kedua belah pihak itu sudah tidak ada kecocokan lagi.

16
Jadi dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah pembubaran suatu
perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup dengan didasarkan pada
alasan-alasan yang dapat dibenarkan serta ditetapkan dengan suatu
keputusan hakim. Maka dengan adanya perceraian ini perkawinan mereka
pun putus dan diantara mereka tidak lagi ada hubungan suami istri, akibat
Iogisnya mereka dibebaskan dari segala kewajiban-kewajiban mereka
sebagai suami istri.
Adapun alasan-alasan perceraian menurut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata terdapat dalam pasal 209 yang disebutkan sebagai berikut:
- Zinah (overspel);
- Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja;
- Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun Iamanya atau
dengan hukuman yang Iebih berat, yang diucapkan setelah
perkawinan;
- Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami terhadap si
istri atau sebaliknya si istri terhadap suaminya

17
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus posisi
Manohara Odelia Pinot adalah model belia kelahiran Jakarta, 28 Februari
1992. Lahir dari seorang ibu keturunan bangsawan Bugis, Daisy Fajarina dan
ayah berkebangsaan Perancis, Reiner Pinot Noack. Manohara Odelia Pinot di usia
yang masih sangat muda, 16 tahun, ia menikah dengan seorang pangeran asal
Malaysia Barat, Tengku Muhammad Fakhry Petra.
Hal ini bermula dari pertemuan Manohara dengan Tengku Fakhry di bulan
Desember 2006. Mereka dipertemukan dalam acara jamuan makan malam. Dari
situlah, sang pangeran jatuh hati. Meski terpaut selisih usia, namun akhirnya
kedua insan ini berpacaran dengan seijin ibunda Manohara, Daisy.
Tak lama setelah itu, Tengku Fakhry menyatakan keinginannya untuk
memperistri mantan kekasih Ardie Bakri ini. Pada 17 Agustus 2008, Manohara
beserta keluarga berangkat ke Malaysia atas undangan keluarga Tengku Fakhry.
Tengku Fakhry akhirnya menikahi Manohara yang saat itu masih berusia
16 tahun. Pernikahan yang diadakan di Malaysia ini sempat terganjal akibat usia
Manohara yang masih di bawah umur dan tidak ada wali serta surat dari KBRI
setempat. Namun, pada akhirnya pernikahan inipun tetap terlaksana
Akhir 2008 Manohara kabur lewat Singapura ke Jakarta dari tempat
kediamannya di Malaysia. Menurut penuturan Manohara kepada ibunya, Daisy, ia
mengalami perlakukan tak menyenangkan dari suaminya serta tidak tahan dengan
sikap kasar Tengku Fakhry kepadanya, akhirnya Manohara memilih kabur.
Selama kabur, Manohara tinggal di rumah kontrakan keluarganya di daerah
Jakarta Selatan.
17-18 Maret 2009 Nenek Manohara dan Dewi pergi ke kedutaan Indonesia
guna meminta bantuan.
30 Mei 2009 Sultan Kelantan mengalami serangan jantung, dan langsung
dirujuk ke Singapura. Manohara dan keluarga kerajaan berangkat ke Singapura.
Menurut rencana, Manohara bersama keluarga kerajaan akan berada di
Singapura selama lima hari.
31 Mei 2009 Akhirya Manohara pun pulang bersama Daisy dan Dewi ke
Indonesia. Manohara tiba di Indonesia pada Minggu (31/5) pukul 07.30 WIB.
Sidang gugatan cerai Tengku Muhammad Fakhry terhadap Manohara
Odelia Pinot akan berlangsung pada Minggu 2 Agustus 2009. Mano belum tahu

18
akan datang atau tidak pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Syariah Islam
Malaysia itu.
Pengadilan Tinggi Malaysia, Minggu ( 13/12/2009 ) memenangkan
gugatan pangeran Kelantan, Mohammad Fakhry, suami Manohara. Pengadilan
memerintahkan Manohara kembali ke suaminya dan membayar hutan 1,1 juta
ringgit Malaysia atau Rp.3 milyar lebih. Pengacara Fakhry, Zainul Rijal Abu
Bakar, mengatakan Pengadilan Tinggi Islam negara bagian Kelantan utara
memerintahkan Manohara agar “setia” dengan kembali pada suami dan
mengembalikan uangnya, guna memecahkan segala permasalahan, kurang dari 14
hari, di mana pangeran akan disumpah sebagai raja Kelantan, pada 3 Januari 2010.
Pangeran sangat senang dengan hasil keputusan itu, kata Zainul. Pengadilan
memerintahkan Manohara mengembalikan uang dalam 30 hari. Jika tidak, ia
dapat dinyatakan tidak “setia” dan pangeran takkan diwajibkan membayar setiap
biaya perawatannya. Artinya, perkawinan harus berakhir dengan perceraian pada
masa depan, dan Manohara takkan memperoleh kompensasi perceraian
disebabkan ketidaksetiaan.
B. Analisis Kasus
Pernikahan terjadi antar warga negara Indonesia Manohara Odelia Pinot
dengan warga negara Malaysia Mohammad Fakhry. Pernikahan diadakan di
Malaysia. Pengadilan yang mengurus perceraian adalah Pengadilan Malaysia.
1. Hakim atau Pengadilan yang berwenang
Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan negara Indonesia
berdasarkan prinsip:
a. The basis principal : Manohara masih berumur 16 tahun saat
menikah dengan kewarganegaraan Indonesia.
b. Tempat pernikahan atau terjadinya perbuatan adalah di Malaysia,
namun apabila pernikahan ini sudah didaftarkan maka di Indonesia pun
sudah diakui.
c. Berdasarkan Forum actoris, pihak penggugat disini adalah
Manohara. Dimana manohara sebelum menikah tinggal bersama Ibunya di
Indonesia.
d. Berdasarkan The principal of effectiveness, karena yang saat ini
lebih diperhatikan adalah gugatan untuk perceraian, sehingga apabila
Manohara tinggal di Indonesia, akan lebih efektif mengurus perceraian di
Indonesia.

19
2. Termasuk dalam perkara HPI atau bukan
Yang menentukan suatu perkara HPI atau bukan adalah hakim. Menurut
Hakim pengadilan Indonesia perkara ini merupakan kasus yang masuk ranah
Hukum Perdata Internasional karena terdapat unsur asing, dimana terjadi
pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Pihak
istri berkewarganegaraan Indonesia dan pihak suami berkewarganegaraan
Malaysia. Dengan subjek yang berbeda kewarganegaraan berbeda ini
menunjukkan perkara masuk ranah HPI. Selain itu pernikahan yang diadakan di
Malaysia.
3. Hukum mana yang berlaku dalam peristiwa tersebut.
Hukum yang berlaku adalah hukum Malaysia. Hal ini berdasarkan prinsip
dalam status personal, yaitu dimana pernikahan tersebut berlangsung. Serta asas-
asa HPI dalam hukum keluarga menyatakan bahwa syarat materil syahnya
perkawinan berdasarkan asas Lex Loci Celebrationis artinya didasarkan pada
tempat dimana perkawinan diresmikan atau dilangsungkan, begitu juga syarat sah
perkawinan secara formal juga di tentukan berdasarkan pada tempat
dilangsungkannya perkawinan. Kemudian akibat dari dari perkawinan itu harus
tunduk terhadap system Hukum tempat perkawinan diresmikan (Lex Loci
celebrationis).
Dalam fakta hukum yang didapat pernikahan diadakan di Malaysia,
sehingga hukum yang diberlakukan dalam proses perceraian adalah hukum
Malaysia.
Kenapa bukan menerapkan hukum Indonesia? Berdasarkan fakta hukum,
tidak diketahui apakah pernikahan ini telah didaftarkan dalam pencatatan sipil di
Indonesia, bahwa ke dua belah pihak telah menikah. Sehingga untuk kepastian
hukum, maka hukum Malaysia lah yang diterapkan.

20
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarakan uraian Penulis diatas, maka dapat ditarik poin-poin penting
yang penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan
Indonesia.
2. Yang menjadi titik taut primer kasus ini sehingga merupakan kasus
perdata internasional adalah karena terdapat unsur asing, dimana terjadi
pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang
berbeda. Pihak istri berkewarganegaraan Indonesia dan pihak suami
berkewarganegaraan Malaysia. Dengan subjek yang berbeda
kewarganegaraan berbeda ini menunjukkan perkara masuk ranah HPI.
Selain itu pernikahan yang diadakan di Malaysia.
3. Yang menjadi titik taut sekunder (titik taut penentu) kasus ini untuk
menentukan hukum mana yang berlaku adalah berdasarkan prinsip dalam
status personal, yaitu dimana pernikahan tersebut berlangsung. Serta asas-
asas HPI dalam hukum keluarga menyatakan bahwa syarat materil
syahnya perkawinan berdasarkan asas Lex Loci Celebrationis. Lex cause
kasus dalam kasus ini adalah Hukum Malaysia. Karena dalam fakta
hukum yang didapat pernikahan diadakan di Malaysia, sehingga hukum
yang diberlakukan dalam proses perceraian adalah hukum Malaysia.

21
DAFTAR PUSTAKA

http://giesbluesky.blogspot.co.id/2010/09/resume-hukum-perdata-
internasional.html
http://dolbyvirtual.blogspot.com/2011/03/asas-asas-hukum-perdata-
internasional.html#comment-form
Rusli, SH. An R. Tama, SH. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Shantika
Dharma. Bandung, 1984,
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur. Bandung, 1974.
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara,
Jakarta,1996
Hosen Ibrahim, Figh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk,
Jakarta, Ihya Ulumudin, 1971,
M Quraish Shihab,M.A.Wawasan Al-Quran. Penerbit Mizan. Bandung
Scholten, kutipan Prawiro Hamidjojo dan Safioedin, 1982,
Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001
Khairandy, Ridwan. dkk, Pengantar Hukum Perdata Indonesia,
Yogyakarta:Gama Media, 1999
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan

22

Anda mungkin juga menyukai