Anda di halaman 1dari 9

AKHLAK TERPUJI

A. Induk-Induk Akhlak Terpuji


Allah Swt. menciptakan manusia sebagai makhluk yang mulia, Kemuliaan
manusia akan tetap bertahan selama manusia berpegang teguh kepada akhlak mulia yang
dianjurkan oleh al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasul.
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di
darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna
.” (QS. Al-Isra [17] : 70)
1. Induk-Induk Akhlak Terpuji
Seorang muslim seharusnya menghiasi diri dengan akhlak terpuji
(mahmudah). Adapun akhlak terpuji yang harus dimiiliki oleh seorang muslim antara
lain:
a. Berani dalam segala hal yang positif.
b. Adil dan bijaksana dalam menghadapi dan memutuskan sesuatu;
c. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri;
d. Pemurah dan suka menafkahkan hartanya, baik pada waktu lapang maupun
susah;
e. Ikhlas dalam melaksanakan setiap amal perbuatan semata-mata karena Allah
Swt.;
f. Cepat bertobat dan meminta ampun kepada Tuhan jika melakukan suatu dosa;
g. Jujur, benar dan amanah;
h. Tenang dalam menghadapi berbagai masalah, tidak berkeluh kesah, dan tidak
gundah gulana;
i. Sabar dalam menghadapi setiap cobaan atau melaksanakan kewajiban ibadah
kepada Tuhan;
j. Pemaaf, penuh kasih sayang, lapang hati dan tidak membalas dendam;
k. Selalu optimis dalam menghadapi kehidupan dan penuh harap kepada Allah
Swt.;
l. Iffah, menjaga diri dari sesuatu yang dapat merusak kehormatan dan
kesucian;
m. Al-haya yakni malu melakukan perbuatan yang tidak baik;
n. Tawadu (rendah hati);
o. Mengutamakan perdamaian daripada permusuhan;
p. Zuhud dan tidak rakus terhadap kehidupan duniawi;
q. Rida atas segala ketentuan yang ditetapkan Allah Swt.;
r. Baik terhadap teman, sahabat, dan siapa saja yang terkait dengannya;
s. Bersyukur atas segala nikmat yang diberikan atau musibah yang dijatuhkan
t. Berterima kasih kepada sesama umat manusia;
u. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan;
v. Bertawakal setelah segala usaha dilaksanakan dengan sebaik-baiknya;
w. Dinamis sampai tujuan dan cita-cita tercapai;
x. Murah senyum dan menampilkan wajah yang ceria kepada sesama
y. Menjauhi sifat iri hati dan dengki;
z. Rela berkorban untuk kemaslahatan umat manusia dan dalam membela agama
Secara khusus dalam bab ini akan dibahas mengenai hikmah, iffah, syaja’ah
dan ‘adalah.
2. Menggali Hikmah Kehidupan
a. Pengertian Hikmah dan Ruang Lingkupnya
Secara bahasa al-hikmah berarti: kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang
bagus, pengetahuan,filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak),
dan al-Qur'an. Menurut Al-Maraghi dalam kitab Tafsirnya, menjelaskan al-
Hikmah sebagai perkataan yang tepat lagi tegas yang diikuti dengan dalil-dalil
yang dapat menyingkap kebenaran. Sedangkan menurut Toha Jahja Omar;
hikmahadalah bijaksana, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan
kitalah yang harus berpikir, berusaha, menyusun, mengatur cara-cara dengan
menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asal tidak bertentangan dengan
hal-hal yang dilarang oleh Allah sebagaimana dalam ketentuan hukum-
Nya.Dalam kata al-hikmah terdapat makna pencegahan, dan ini meliputi
beberapa makna, yaitu:
1) Adil akan mencegah pelakunya dari terjerumus ke dalam kezaliman.
2) Hilm akan mencegah pelakunya dari terjerumus ke dalam kemarahan.
3) Ilmuakan mencegah pelakunya dari terjerumus ke dalam kejahilan.
4) Nubuwwah, seorang Nabi tidak lain diutus untuk mencegah manusia dari
menyembah selain Allah, dan dari terjerumus kedalam kemaksiatan serta
perbuatan dosa. al-Qur’an dan seluruh kitab samawiyyahditurunkan oleh
Allah agar manusia terhindar dari syirik, mungkar, dan perbuatan buruk.
Lafad al-hikmah tersebut dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali dengan
berbagai makna.
1) Bermakna pengajaran Al-Qur’an
“Dan apa yang telah diurunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-
Qur’an) dan al-hikmah, Allah memberikan pengajaran ( mau’izah )
kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu “
2) (QS. Al-Baqarah [2] : 231)
Bermakna pemahaman dan ilmuHai Yahya, ambillah Al kitab (Taurat) itu
dengan sungguh-sungguh. dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia
masih kanak-kanak.
3) (QS. Maryam [19 ]: 12)
Bermakna An-Nubuwwah (kenabian). (QS.An-Nisa' [4] :5 4 dan QS.sad
[38] : 20)
4) Bermakna al-Qur’an yang mengandung keajaiban-keajaiban dan penuh
rahasia (QS. Al-Baqarah [2] : 269)
Abdurrahman As-Sa’di menafsirkan kata Al-hikmah dengan ilmu-ilmu yang
bermanfaat dan pengetahuan-pengetahuan yang benar, akal yang lurus,
kecerdasan yang murni, tepat dan benar dalam hal perkataan maupun
perbuatan.” Kemudian beliau berkata, “seluruh perkara tidak akan baik
kecuali dengan al-hikmah, yang tidak lain adalah menempatkan segala
sesuatu sesuai pada tempatnya; mendudukkan perkara pada tempatnya,
mengundurkan ( waktu ) jika memang sesuai dengan kondisinya, dan
memajukan ( waktu ) jika memang sesuai dengan yang dikehendaki.”

b. Anjuran Memiliki Hikmah


Hikmah itu adalah Setiap perkataan yang benar dan menyebabkan perbuatan
yang benar. Hikmah ialah: ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, kebenaran
dalam perbuatan dan perkataan, mengetahui kebenaran dan
mengamalkanya.Tidaklah cukup dalam mengamalkan ajaran agama hanya
dengan al-Qur’an saja tanpa dengan al-Hikmah yang berarti as-sunnahatau
pemahaman yang benar tentang al-Qur’an, karena itulah as-sunnahjuga disebut
sebagai al-hikmah. Orang yang dianugerahi al-hikmah adalah: Orang yang
mempunyai ilmu mendalam dan mampu mengamalkannya secara nyata dalam
kehidupan. Orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Orang yang
menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya (adil). Orang yang mampu
memahami dan menerapkan hukum Allah SwtSetelah seseorang mendapatkan
hikmah, maka baginya wajib untuk menyampaikan atau mendakwahkannya
sesuai dengan firman Allah Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. An-nahl [16] : 125)
Hikmah dalam berdakwah tidak terbatas pada makna: perkataan yang lemah
lembut, pemberian motivasi, hilm ( tidak cepat emosi dan tidak bersikap masa
bodoh), halus ataupun pemaaf. Namun, hikmah juga mencakup pemahaman
yang mendalam tentang berbagai perkara berikut hukum-hukumnya, sehingga
dapat menempatkan seluruh perkara tersebut pada tempatnya, yaitu
1) Dapat menempatkan perkataan yang bijak, pengajaran, serta pendidikan
sesuai dengan tempatnya. Berkata dan berbuat secara tepat dan benar
2) Dapat memberi nasihat pada tempatnya
3) Dapat menempatkan mujadalah (dialog) yang baik pada tempatnya.
4) Dapat menempatkan sikap tegas
5) Memberikan hak setiap sesuatu, tidak berkurang dan tidak berlebih, tidak
lebih cepat ataupun lebih lambat dari waktu yang dibutuhkannya

c. Keutamaan Hikmah
1) memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam melaksanakan dan membela
kebenaran ataupun keadilan,
2) menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bekal utama yang terus
dikembangkan,
3) mampu berkomunikasi denga orang lain dengan beragam pendekatan dan
bahasan,
4) memiliki semangat juang yang tinggi untuk mensyiarkan kebenaran dengan
beramar makruf nahi munkar,
5) senantisa berpikir positif untuk mencari solusi dari semua persoalan yang
dihadapi,
6) memiliki daya penalaran yang obyektif dan otentik dalam semua bidang
kehidupan,
7) orang-orang yang dalam perkataan dan perbuatannya senantiasa selaras
dengan sunnah Rasulullah
3. Membiasakan Sikap Iffah
a. Pengertian ‘Iffah
Secara etimologis, ‘iffahadalah bentuk masdardari affa-ya’iffu-‘iffah yang
berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik, iffah juga berarti
kesucian tubuh. Secara terminologis, iffahadalah memelihara kehormatan diri
dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. Iffah
(al-iffah) juga dapat dimaknai sebagai usaha untuk memelihara kesucian diri
(al-iffah ) adalah menjaga diri dari segala tuduhan, ftnah, dan memelihara
kehormatan.
b. Iffah dalam Kehidupan
Iffah hendaklah dilakukan setiap waktu agar tetap berada dalam keadaan
kesucian. Hal ini dapat dilakukan dimulai memelihara hati (qalbu) untuk tidak
membuat rencana dan angan-angan yang buruk. Sedangkan kesucian diri
terbagi ke dalam beberapa bagian:
1) Kesucian Panca Indra; (QS. An-Nur [24] : 33)
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.
(QS. An-Nur [24] : 33)
2) Kesucian Jasad; (QS. Al-ahzab [33] : 59)
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: «Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka». yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33] : 59)
3) Kesucian dari Memakan Harta Orang Lain; (QS. An-Nisa [4] : 6)
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. ke
mudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah
kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah
kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang
siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka
bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-
saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An-Nisa [4] : 6)
4) Kesucian Lisan
Dengan cara tidak berkata menyakitkan orang tua seperti firman Allah
Swt. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalampemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan «ah» dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia
(QS. Al Isra [17] : 23)
c. Keutamaan Iffah
Dengan demikian, seorang yang afif adalah orang yang bisa menahan diri
dari perkara-perkara yang dihalalkan ataupun diharamkan walaupun
jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah:. Artinya; “Apa yang ada padaku dari
kebaikan (harta) tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya
siapa yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan memelihara
dan menjaganya, dan siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta
maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan siapa yang merasa cukup
dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya maka Allah akan
memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian
yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Agar seorang mukmin memiliki sikap iffah, maka harus melakukan usaha-
usaha untuk membimbing jiwanya dengan melakukan dua hal
berikut:dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya maka Allah akan
memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatupemberian
yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim). Agar seorang mukmin memiliki sikap iffah, maka harus
melakukan usaha-usaha untuk membimbing jiwanya dengan melakukan
dua hal berikut:
1) Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan
menjaga kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa
yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk,
baik secara lisan (lisnul maqal) maupun keadaan (lisanul hal)
2) Merasa cukup dengan Allah, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa
yang bertawakal kepada Allah, pasti Allah akan mencukupinya. Allah
itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka
baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain
kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya. Untuk
mengembangkan sikap ‘iffah ini, maka ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dan dilakukan oleh seorang muslim untuk menjaga
kehormatan diri, di antaranya:
a) Selalu mengendalikan dan membawa diri agar tetap menegakan
sunnah Rasulullah,
b) Senantiasa mempertimbangkan teman bergaul dengan teman
yang jelas akhlaknya,
c) Selalau mengontrol diri dalam urusan makan, minum dan
berpakaian secara Islami,
d) Selalu menjaga kehalalan makanan, minuman dan rizki yang
diperolehnya,
e) Menundukkan pandangan mata (ghadul bashar) dan menjaga
kemaluannya,
f) Tidak khalwat (berduaan) dengan lelaki atau perempuan yang
bukan
g) mahramnya,
h) Senantiasa menjauh diri dari hal-hal yang dapat mengundang
fitnah.
’Iffah merupakan akhlak paling tinggi dan dicintai Allah Swt. Oleh
sebab itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga
memiliki kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang
tidak semua harus dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa.
Dari sifat ’iffahakan lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana’ah, jujur,
santun, dan akhlak terpuji lainnya.Ketika sifat ’iffahini sudah hilang dari
dalam diri seseorang, akan membawa pengaruh buruk dalam diri
seseorang, akal sehat akan tertutup oleh nafsu syahwatnya, ia sudah tidak
mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah, mana baik dan
buruk, yang halal dan haram.

4. Mengembangkan Sikap Syaja’ah


a. Pengertian Syaja’ah
Secara etimologi kata al-syaja’ahberarti berani antonimnya dari kata al-
jabnyang berarti pengecut. Kata ini digunakan untuk menggambarkan
kesabaran di medan perang. Sisi positif dari sikap berani yaitu mendorong
seorang muslim untuk melakukan pekerjaan berat dan mengandung resiko
dalam rangka membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila tidak digunakan
sebagaimana mestinya menjerumuskan seorang muslim kepada kehinaan.
Syaja’ah dalam kamus bahasa Arab artinya keberanian atau keperwiraan,
yaitu seseorang yang dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada
keberanian menerima musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu.
Pada diri seorang pengecut sukar didapatkan sikap sabar dan berani. Selain itu
Syaja’ah(berani) bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga,
melainkan suatu sikap mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan
berbuat menurut semestinya.
b. Penerapan Syaja’ahdalam Kehidupan
Sumber keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu;
1) Rasa takut kepada Allah Swt.
2) Lebih mencintai akhirat daripada dunia,
3) Tidak ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang
4) Tidak menomori satukan kekuatan materi,
5) Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah,
Jadi berani adalah: “Sikap Dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya
ketika mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena
dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Orang yang
berbuat maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah
(berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf(tidak takut sama sekali)”
Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap
sesuatu bukan berarti hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai
dari tindakan yang berorientasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab
dan berdasarkan pertimbangan maslahat. Predikat pemberani bukan hanya
diperuntukkan kepada pahlawan yang berjuang di medan perang. Setiap
profesi dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan
kewajibannya secara bertanggungjawab. Kepala keluarga dikategorikan
berani apabila mampu menjalankan tanggungjawabnya secara maksimal,
pegawai dikatakan berani apabila mampu menjalankan tugasnya secara baik,
dan seterusnya.
Keberanian terbagi kepada terpuji (al-mahmudah) dan tercela (al-
madzmumah).
Keberanian yang terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal dalam
setiap peranan yang diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan
berani yang tercela adalah apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan
tidak tepat penggunaannya.
Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:
1) Syaja’ah harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak,
misalnya keberanian dalam medan tempur di waktu perang.
2) Syaja’ah nafsiyah,yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan
dan menegakkan kebenaran.
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.
2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.
Dari dua macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat
dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan
dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa
yang zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh
perhitungan. Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk
di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk
keberanian yang bertanggung jawab.
d) Berani mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat pengecut
yang tidak mau mengakui kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap
”lempar batu sembunyi tangan” Orang yang memiliki sifat syaja’ah berani
mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan
dan bertanggung jawab.
e) Bersikap obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung
bersikap “over confidence” terhadap dirinya, menganggap dirinya baik,
hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan.
Sebaliknya ada yang bersikap “under estimate”terhadap dirinya yakni
menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak
memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional
dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam
mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
f) Menahan nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap
mampu ber–mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia
tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya
kemampuan dan peluang untukmelampiaskan amarahnya.
c. Hikmah Syaja’ah
Dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk di miliki
setiap muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan
berbagai kebaikan bagi kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.
Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia,
cepat, tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang,
mencintai. Akan tetapi apabila seorang terlalu dominan keberaniannya,
apabila tidak dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat
memunculkan sifat ceroboh, takabur, meremehkan orang lain, unggul-
unggulan, ujub. Sebaliknya jika seorang mukmin kurang syaja’ah, maka akan
dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa, kecil hati dan
sebagainya.

5. Menegakkan Sikap ’Adalah


a. Pengertian
Pengertian adil menurut bahasa adalah sebagai berikut.
Meletakkan sesuatu pada tempatnya
Adil juga berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan
yang satu dengan yang lain.
Berlaku adil adalah memperlakukan hak dan kewajiban secara
seimbang, tidak memihak, dan tidak merugikan pihak mana pun.
Adil dapat berarti tidak berat sebelah serta berarti sepatutnya, tidak
sewenang-wenang.
Jamil Shaliba, penulis kamus Filsafat Arab, mengatakan bahwa, menurut
bahasa adil berarti al-Istiqamah yang berarti tetap pada pendirian, sedangkan
dalam syari'at adil berarti tetap dalam pendirian dalam mengikuti jalan yang
benar serta menjauhi perbuatan yang dilarang serta kemampuan akal dalam
menundukkan hawa nafsu. Sebagaimana firman di bawah ini.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.
(QS. an-Nahl [16] : 90)
b. Bentuk-Bentuk Adil
1) Adil terhadap Allah, artinya menempatkan Allah pada tempatnya yang
benar, yakni sebagai makhluk Allah dengan teguh melaksanakan apa yang
diwajibkan kepada kita, Sehingga benar-benar Allah sebagai Tuhan kita.
2) Adil terhadap diri sendiri, yaitu menempatkan diri pribadi pada tempat
yang baik dan benar. Untuk itu kita harus teguh, kukuh menempatkan diri
kita agar tetap terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan.
Untuk mewujudkan hal tersebut kita harus memenuhi kebutuhan jasmani
dan rohani serta menghindari segala perbuatan yang dapat mencelakakan
diri.
3) Adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempatnya
yang sesuai, layak, dan benar. Kita harus memberikan hak orang lain
dengan jujur dan benar tidak mengurangi sedikitpun hak yang harus
diterimanya.
4) Adil terhadap makhluk lain, artinya dapat menempatkan makhluk lain
pada tempatnya yang sesuai, misalnya adil kepada binatang, harus
menempatkannya pada tempat yang layak menurut kebiasaan binatang
tersebut.
c. Kedudukan dan Keutamaan adil
1) Terciptanya rasa aman dan tentram karena semua telah merasa
diperlakukan dengan adil.
2) Membentuk pribadi yang melaksanakan kewajiban dengan baik
3) Menciptakan kerukunan dan kedamaian
4) Keadilan adalah dambaan setiap orang. Alangkah bahagianya apabila
keadilan bisa ditegakkan demi masyarakat, bangsa dan negara, agar
masyarakat merasa tentram dan damai lahir dan batin.
5) Begitu mulianya orang yang berbuat adil sehingga Allah tidak akan
menolak doanya. Demikian pula Allah sangat mengasihi orang yang
dizalimi (tidak diperlakukan secara adil) sehingga Allah tidak akan
menolak doanya.
“Tiga orang yang tidak tertolak doanya, yaitu orang yang sedang berpuasa
hingga berbuka, pemimpin yang adil dan orang yang teraniaya”
(HR. Ahmad)

Anda mungkin juga menyukai