Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS MINI-CEX

G4P2A1 Usia 28 Tahun Hamil 31minggu 5 hari dengan Preeklampsia

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik

Di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Muhamad Taufiqy S., Sp.OG(K)

Disusun Oleh :

Dean Gama Putrisani H2A014040P

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Obstetri dan Ginekologi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan


dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di
Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan
di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan.1
Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan
di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama
kehamilan dan nifas.1 AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang
tertinggi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup. Tren AKI di Indonesia menurun sejak tahun 1991 hingga 2007,
yaitu dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan
kawasan ASEAN, AKI pada tahun 2007 masih cukup tinggi, AKI di Singapura
hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup,
Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama
mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup. Meskipun, Millenium development
goal (MDG) menargetkan penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2015, namun pada tahun 2012 SDKI mencatat kenaikan AKI
yang signifikan yaitu dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran
2,3
hidup. Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kehamilan berisiko turut
mempengaruhi sulitnya pencapaian target ini. Berdasarkan prediksi Biro Sensus
Kependudukan Amerika, penduduk Indonesia akan mencapai 255 juta pada tahun
2015 dengan jumlah kehamilan berisiko sebesar 15 -20 % dari seluruh
kehamilan.2,4
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi
dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%).3 WHO memperkirakan kasus
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara
maju.5 Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
Negara berkembang adalah 1,8% - 18%.5,6 Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.7 Kecenderungan yang ada dalam
dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap
insiden preeklampsia, berbeda dengan insideninfeksi yang semakin menurun
sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.
Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki
tingkat kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena
preeklampsia berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga
menimbulkan masalah pasca persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai
organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik dan komplikasi lainnya.2 Hasil
metaanalisis menunjukkan peningkatan bermakna risiko hipertensi, penyakit
jantung iskemik, stroke dan tromboemboli vena pada ibu dengan riwayat
preeklampsia dengan risiko relatif 3,7 (95% CI 2,70–5,05), 2,16 (95% CI 1,86 –
2,52), 1,81 (95% CI 1,45 – 2,27), dan 1,79 (95% CI 1,37 – 2,33). Dampak jangka
panjang juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan prematur atau
mengalami pertumbuhan janin terhambat, serta turut menyumbangkan besarnya
angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam kehamilan
merupakan penyebab tersering kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi
dengan berat badan lahir rendah atau mengalami pertumbuhan janin terhambat
juga memiliki risiko penyakit metabolik pada saat dewasa.4
Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam di
antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum ada
teori yang mampu menjelaskan patogenesis penyakit ini secara jelas1, namun juga
akibat kurangnya kesiapan sarana dan prasarana di daerah. Selain masalah
kedokteran, preeklampsia juga menimbulkan masalah ekonomi, karena biaya yang
dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi. Dari analisis yang dilakukan di Amerika
memperkirakan biaya yang dikeluarkan mencapai 3 milyar dollar Amerika
pertahun untuk morbiditas maternal, sedangkan untuk morbiditas neonatal
mencapai 4 milyar dollar Amerika per tahun. Biaya ini akan bertambah apabila
turut menghitung beban akibat dampak jangka panjang preeklampsia.1
BAB II

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. I
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Mangunharjo, Semarang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah

Nama suami : Tn. S


Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Mangunharjo, Semarang
Pekerjaan : Nelayan

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 16 Juni 2018
pukul 11.00 WIB di Poli Kandungan dan Kebidanan RSUD Tugurejo
Semarang
1. Keluhan Utama
Sakit kepala di bagian belakang leher seperti tertekan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Saat ini pasien sedang hamil anak ketiga dengan usia kehamilan 31
minggu 5 hari. Pasien mengeluhkan sakit kepala di bagian
belakang leher, pasien mulai merasakan keluhan sejak 1 bulan
yang lalu. Sakit di rasakan hilang timbul dan seperti tertekan. Saat
aktivitas sakit kepala dirasakan semakin memberat dan membaik
ketika pasien berbaring atau beristirahat. Keluhan dirasakan hingga
mengganggu aktifitas karena pasien merasa tidak kuat berdiri bila
sakit kepala kambuh. Pasien sudah memeriksakan diri ke
Puskesmas dan belum ada perbaikan. Keluhan tidak disertai
dengan demam, kenceng-kenceng, keluar lendir darah, mual,
muntah, nyeri ulu hati, pandangan berkunang-kunang, gangguan
BAB dan BAK.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Keluhan serupa :-
b. Riwayat hipertensi :-
c. Riwayat DM :-
d. Riwayat asma :-
e. Riwayat jantung :-
f. Riwayat alergi :-
g. Riwayat konsumsi obat : + , asam folat dan vitamin B
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Keluhan serupa :-
b. Riwayat hipertensi :+
c. Riwayat DM :+
d. Riwayat asma :+
e. Riwayat jantung :-
5. Riwayat Menstruasi
a. Menarche : 12 tahun
b. Siklus : 30 hari
c. Lama : 7 hari
d. Dismenorrhea :-
e. Leukorrhea :-
f. HPHT : 6 Desember 2017
g. HPL : 12 September 2018
6. Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali selama 12 tahun
7. Riwayat KB
Pasien menggunakan KB hormonal pil selama 3 bulan
8. Riwayat Obstetri
G4P1A1

Tahun Tempat Jenis BB Keadaan anak


No Penolong Penyulit
Partus Partus Persalinan Lahir Sekarang
Praktek
1 2008 Spontan Bidan - 3700 gr Sehat
Bidan
RSUD Letak
2 2013 SC Dokter 4200 gr Sehat
Tugurejo Lintang
RSUD
3 2017 Kuretase Dokter Abortus - -
Tugurejo

9. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu Rumah Tangga. Tinggal bersama
seorang suami dan dua orang anak. Biaya pengobatan
menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.
10. Riwayat Pribadi
- Riwayat Merokok :-
- Riwayat Konsumsi Alkohol : -

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 16 Juni 2018, pukul 11.15 WIB
di Poli Kebidanan dan Kandungan RSUD Tugurejo Semarang.
1. Keadaan Umum dan Kesadaran
a. Keadaan umum : tampak lemas
b. Kesadaran : compos mentis
c. GCS : E4M6V5
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 150/100 mmHg
b. Nadi : 94 x/menit
c. Pernafasan : 20 x/menit
d. Suhu : 36.5 °C
3. Status Gizi
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 69 kg
IMT : 27,6 kg/m3
4. Status Generalisata
a. Mata : Pupil isokor Ø 3mm, refleks cahaya
(+/+), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
b. Hidung : Deformitas (-), sekret (-/-)
c. Mulut : Sianosis (-), mukosa kering (-)
d. Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-)
e. Leher : Pembesaran tiroid (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-)
f. Thoraks
1) Paru-Paru
Inspeksi : Normochest, gerakan simetris,
retraksi (-)
Palpasi : Sela iga tidak melebar /
menyempit, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+),
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
2) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V, 2
cm medial dari linea mid
clavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular

g. Abdomen
1) Inspeksi : perut cembung, tampak luka bekas
operasi
2) Auskultasi : bising usus (+) normal
3) Perkusi : timpani, pekak hepar (+)
4) Palpasi : nyeri tekan (-), organomegali (-),
5. Status obstetri
a. Pemeriksaan luar :
1) Inspeksi : Permukaan abdomen cembung, luka
bekas operasi (+), striae gravidarum (+)
2) Palpasi : Pemeriksaan Leopold
I. Teraba bulat, besar, lunak, kesan bokong, TFU :
25 cm → TBJ : 2015 gr
II. Teraba tahanan memanjang sebelah kiri perut ibu
(kesan punggung), teraba bagian kecil-kecil
sebelah kanan (kesan ekstremitas). DJJ : 140
x/mnt
III. Teraba bagian janin bulat, keras, ballotement (+)
(kesan kepala), bisa di goyang.
IV. –
3) Auskultasi : Denyut jantung janin paling keras
terdengar di punctum maksimum sisi kiri perut ibu
DJJ : 140 x/mnt
b. Pemeriksaan dalam : tidak dilakukan.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin Rutin (12/7/2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Protein POS (+) 1 30 mg/dL Negatif (-)

E. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Banding
a. Preeklamsia
b. Hipertensi Gestasional
c. Hipertensi Kronik
d. Superimposed Preeklamsia
2. Diagnosis kerja
G4P2A1, 28 tahun, hamil 31 minggu 5 hari, Janin 1 Hidup
Intrauterine, letak kepala
Preeklamsia

F. INITIAL PLAN
1. Initial Plan Diagnostik
USG
2. Initial Plan Terapi
a. PO. Metildopa 2 x 250-500 mg
b. PO. Vitamin BC/C/SF 2 x 1 tab
c. PO. Aspilet 1 x 80 mg
d. PO. Kalsium 1 gr/ hari
3. Initial Plan Edukasi
a. Menjelaskan mengenai penyakit yang diderita pasien
b. Menjelaskan pada pasien penatalaksanaan termasuk terapi
farmakologi non farmakologi
c. Menjelaskan pada pasien mengenai komplikasi dari
penyakit
G. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Preeklampsia ialah suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang
terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu, pada wanita yang sebelumnya
normotensi. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan tekanan darah
(>140/90 mmHg) yang disertai oleh proteinuria.1
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel.
Proteinuria adalah penanda penting preeklampsia. Definisi proteinuria
adalah terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24 jam atau 30
mg/dL (+1 pada dipstik) secara menetap pada sampel urin acak.1

B. Etiologi
Zwifel tahun 1916 mengungkapkan istilah preeclampsia is a
disease of theories dan hingga sampai saat ini belum dapat diperoleh suatu
kesepakatan bersama tentang penyebab terjadinya preeklampsia. Para ahli
mencoba membeberkan beberapa teori yang diduga menjadi penyebab
preeklampsia, yaitu faktor imunologis, faktor inflamasi, faktor genetik,
faktor nutrisi, komponen vasoaktif dan faktor endotel.2
Redman et al melaporkan bahwa disfungsi endotel berhubungan
dengan preeklampsia yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
umum keadaan normal dan adaptasi umum inflamasi intravaskular
maternal terhadap kehamilan.2 Hipotesis ini menjelaskan bahwa
preeklampsia dianggap merupakan suatu penyakit akibat status leukosit
yang teraktivasi secara berlebihan pada darah ibu.2 Desidua mengandung
sel yang berlebih jika teraktivasi dapat mengeluarkan agen yang
berbahaya, kemudian agen ini sebagai mediator memulai terjadinya
kerusakan sel. Sitokin, TNF-α(Tumor necrosis factor alpha) dan
interleukin dapat berperan terhadap stres oksidatif yang berhubungan
dengan kejadian preeklampsia.2

C. Patofisiologi

Patogenesis, patofisiologi serta perubahan-perubahan patologi


fungsi organ-organ pada preeklampsia telah banyak dibicarakan,
namun belum ada yang memuaskan. Terdapat beberapa patogenesis
yang menerangkan terjadinya hipertensi dalam kehamilan antara lain :

1. Teori Iskemik Plasenta

Berbagai bukti eksperimental dari pemeriksaan histopatologis


menunjukkan bahwa menurunnya perfusi tropoblastik merupakan
perubahan patofisiologi yang paling dini terjadi dan konsisten pada
preeklampsia. Bahkan timbulnya preeklampsia pada kehamilan
abdominal dan mola menunjukkan bahwa faktor uterus dan janin tidak
dibutuhkan dalam mekanisme tersebut. Sejak dini penderita
memperlihatkan perubahan morfologis di uterus sebagai berikut:

a. Arteri spiralis yang menjamin perfusi ruang intervillous


di plasenta gagal mengalami perubahan morfologi yang
layaknya terjadi dalam kehamilan normal seperti
meningkatnya diameter vaskuler sekurang-kurangnya 4
kali serta menghilangnya komponen muskuler dan
elastik vaskuler. Pada kehamilan normal morfologi
vaskuler tersebut meluas melampaui jaringan desidua
dan memasuki lapisan miometrium.4
b. Vaskuler mengalami oklusi fibrinoid dan invasi foal cell.
Gambaran histopatologik ini amat mirip dengan yang
nampak pada proses penolakan allograft yang disebut
atherosis. Atherosis yang meliputi 1/10 daerah
implantasi plasenta didapatkan pada akhir trimester I
kehamilan nulipara. Perubahan di atas menyebabkan
terjadinya penurunan perfusi tropoblastik. Pada
preeklampsia proses plasentasi tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya oleh karena disebabkan 2 hal
yaitu, tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh
sel-sel trofoblas secara normal, tetapi invasi tahap kedua
tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang
berada dalam miometrium tetap mempunyai dinding
muskuloelastik yang relaktif yang berarti masih terdapat
resistensi vaskuler. Disamping itu juga terjadi atherosis
akut pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen
arteri bertambah kecil atau bahkan mengalami
obliterasi.4
2. Teori Disfungsi Endotel

Teori mengenai patogenesis preeklampsia yang relatif baru yaitu teori


mengenai disfungsi endotel. Disfungsi endotel diduga menjadi dasar dari
timbulnya manifestasi klinis pada preeklampsia. Teori ini tidak lepas dari
teori patogenesis preeklampsia yang lain, salah satunya yaitu teori iskemia
plasenta. Pada saat plasenta mengalami iskemia, maka plasenta akan
menghasilkan peroksida lipid yang selanjutnya akan masuk ke dalam dan

terikat dengan lipoprotein, khususnya low density lipoprotein (LDL).19 Dalam


kadar yang rendah peroksida lipid merupakan peristiwa normal dalam
kehidupan sel atau jaringan.8

Pada preeklampsia berat dijumpai perubahan ultrastruktur


mitokondria pada pembuluh darah arteri uterina dan jaringan plasenta.
Mitokondria adalah sumber oksigen radikal dan diperkaya oleh asam
lemak tak jenuh. Maka plasenta dapat merupakan sumber terbesar dari
produksi peroksida lipid pada kehamilan. Proses peroksidasi lipid
meningkat sesuai dengan meningkatnya umur kehamilan.
D. Diagnosis
1. Penegakan Diagnosis Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg


sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
menit menggunakan lengan yang sama.2 Definisi hipertensi berat adalah
peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolik.1,2 Mat tensimeter sebaiknya menggunakan
tensimeter air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat menggunakan
tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang sudah divalidasi. Laporan
terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah menggunakan alat
otomatis sering memberikan hasil yang lebih rendah.3

Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi


kesempatan duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran
tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk
posisi manset setingkat dengan jantung, dan tekanan diastolik diukur
dengan mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi).1,3 Ukuran
manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan agar
tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat.3 Pemeriksaan tekanan
darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada kedua
tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi. 1

2. Penentuan Proteinuria

Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300


mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1 dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 4 sampai 6 jam. Proteinuri berat adalah adanya
protein dalam urin 5 mg/24 jam.

Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang


akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein
pada sampel urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk
jumlah urin. Kuo melaporkan bahwa pemeriksaan kadar protein
kuantitaif pada hasil dipstik positif 1 berkisar 0 sampai 2400 mg/24 jam
dan positif 2 berkisar 700-4000 mg/24 jam. Pemeriksaan tes urin dipstik
memiliki angka positif palsu yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh
Brown, dengan tingkat positif palsu 67 sampai 83%. Positif palsu dapat
disebabkan kontaminasi duh vagina, cairan pembersih dan urin yang
bersifat basa. Konsensus Australian Society for the Study of
Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan
oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan
bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai
tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi dan harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau
rasio protein banding kreatinin.

3. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia


didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas
usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya
didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan
peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan
adanya protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu
gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia, yaitu: 1,2,3

a. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter


b. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan
ginjal lainnya
c. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
d. Edema Paru
e. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
f. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

4. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas


pada preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan
menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan
preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi
pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu
dibawah ini : 1,2

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg


diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan
ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta:Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan


antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga
kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria
pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat.1,

E. Penatalaksanaan

Preeklampsia pada usia kehamilan aterm kehamilan dapat


diakhiri. Sangat penting untuk mengetahui bahwa semua modalitas
terapi yang dilakukan hanyalah bersifat paliatif dan penyakit tersebut
bersifat progesif hingga saat persalinan terjadi. Pengelolaan obstetrik
tergantung dari umur kehamilan, berat ringannya penyakit, respon
terhadap terapi dan kemampuan perinatologi. Pada preeklampsia berat,
harus mempertimbangkan umur kehamilan, maturitas paru, respon
terhadap pengobatan, kemampuan perimatologi, serta komplikasi
maternal.7

Penatalaksanaan preeklampsia bertujuan sebagai berikut:7

 Mencegah terjadinya kejang eklampsia


 Persalinan pasien dalam waktu yang tepat
 Mendeteksi dan menangani komplikasi yang menyertai
preeklampsia
 Menurunkan morbiditas dan mortalitas janin dan ibu

Keputusan untuk kapan mengkhiri kehamilan pada
preeklampsia masih menjadi suatu dilema. Persalinan adalah satu-
satunya tindakan definitif. Pengakhiran kehamilan dilakukan saat usia
ibu atau janin berumur 34 minggu. Apabila persalinan pada usia
persalinan yang lebih awal diperlukan, terdapat peningkatan risiko
luaran neonatal yang buruk. Luaran neonatal bergantung pada
penggunaan kortikosteroid untuk perbaikan maturitas paru janin.
Dengan adanya perkembangan hasil luaran neonatal setelah profilaksis
neonatus, persalinan ditunda hingga 48 jam untuk pemberian terapi
kortikosteroid. Apabila kondisi maternal mencapai stabilisasi maka
kehamilan dapat dilanjutkan.7

Pengelolaan ekspektatif dapat memperbaiki hasil neonatal,


tetapi dapat memperburuk kondisi maternal. Apabila terdapat
pemburukan kondisi ibu dan janin merupakan indikasi untuk
melakukan persalinan. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia
berat < 34 minggu usia kehamilan dapat memperbaiki hasil bayi baru
lahir tetapi memperlukan pengawasan ibu dan bayi di rumah sakit.5

1. Manajemen Aktif22

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif dan aktif adalah


untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas
neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan
ibu. Perjalanan klinis preeklampsia berat sering ditandai dengan
penurunan kondisi ibu dan janin yang progesif jika persalinan tidak
disegerakan. Dalam kepentingan ibu hamil dan janinnya, persalinan
direkomendasikan ketika usia kehamilan 34 minggu atau lebih. Selain
itu, persalinan segera merupakan pilihan yang paling aman bagi ibu
dan janinnya ketika terdapat bukti adanya edema paru, gagal ginjal,
abruptio plasenta, trombositopenia berat, gejala serebral persisten,
status kesejahteraan janin tidak terjamin atau kematian janin tanpa
memandang usia kehamilan pada ibu hamil dengan preeklampsia berat
yang usia kehamilannya kurang dari 34 minggu.

Bagi ibu hamil dengan preeklampsia berat pada usia kehamilan


34 minggu atau lebih, dan dengan kondisi ibu-janin yang tidak stabil
tanpa memandang usia kehamilan, direkomendasikan untuk dilakukan
persalinan segera setelah stabilisai ibu.
2. Manajemen Ekspektatif

Manajemen ekspektatif adalah semua usaha menunda


persalinan untuk pemberian kortikosteroid antenatal bertujuan untuk
memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal
serta memperpanjang kehamilan tanpa membahayakan ibu. Perawatan
ekspektatif meliputi perawatan dalam rumah sakit dengan
kortikosteroid untuk pematangan paru janin, MgSO4, obat
antihipertensi serta pemantauan ketat ibu dan janin untuk
mengidentifikasi indikasi persalinan.6
Odendaal melakukan uji kontrol acak pada pasien dengan
preeklampsia berat yang mendapat terapi ekspektatif. Dari uji tersebut
didapatkan hasil tidak terdapat peningkatan komplikasi maternal,
sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, mengurangi
kebutuhan ventilator pada neonatus dan mengurangi komplikasi pada
neonatus.4

Uji kontrol acak yang dilakukan Sibai pada pasien


preeklampsia berat pada usia kehamilan 28-32 minggu juga
mendapatkan hasil yang kurang lebih sama. Pada uji tersebut tidak
didapatkan peningkatan komplikasi maternal, sebaliknya dapat
memperpanjang usia kehamilan, berkurangnya lama perawatan
neonatus di perawatan intensif dang mengurangi insiden sindrom gawa
nafas pada kelompok yang mendapat terapi ekspektatif.4

Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus


preeklampsia pada usia kehamilan 26-34 minggu yang bertujuan untuk
meningkatkan usia kehamilan saat melahirkan dan berat lahir, serta
mengurangi komplikasi neonatus. Pemberian kortikosteroid berguna
untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas perinatal.4

Preeklampsia berat pada usia kehamilan 34 minggu dengan


kondisi ibu dan janin yang stabil, direkomendasikan agar upaya
mempertahankan kehamilan dilaksanakan hanya di fasilitas kesehatan
yang memiliki sarana perawatan instensif maternal dan neonatal yang
memadai.4

Adanya proteinuria berat pada ibu hamil dengan preeklampsia


berat yang menjalani penatalaksanaan ekspektatif tidak dikaitkan
dengan luaran yang lebih buruk. Pada sebuah penelitian yang
melibatkan 42 ibu hamil dengan proteinuria dengan proteinuria berat
yang dikelola secara ekspektatif (didefinisikan 5gr/24 jam atau lebih),
terjadi perpanjangan kehamilan yang signifikan dan terjadi perbaikan
disfungsi ginjal pada semua ibu hamil dalam 3 bulan setelah
melahirkan.4

Penelitian kedua mengelompokkan ibu hamil dengan


preeklampsia menurut derajat keparahan proteinuria menjadi ringan
(kurang dari 5 gr/24 jam), berat (5-9,9 gr/24 jam) atau masif (lebih dari
10 gr/24 jam). Tidak terdapat perbedaan pada angka kejadian
eklampsia, abruptio plasenta, edema paru, sindrom HELLP, kematian
neonatal atau morbiditas neonatal yang ditemukan pada kedua
kelompok. Meskipun jumlah proteinuria meningkat seiring dengan
waktu pelaksanaan ekspektatif, perubahan ini tidak memprediksikan
perpanjangan kehamilan ataupun luaran perinatal. Bagi ibu hamil
dengan preeklampsia, dianjurklan agar dalam memutuskan persalinan
tidak berdasarkan jumlah proteinuria atau perubahan jumlah
proteinuria. 5

F. Pencegahan

Pencegahan merupakan cara untuk mencegah terjadinya


preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai risiko terjadinya
preeklampsia. Pencegahan dapat dilakukan dengan non medikal dan
medikal. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat dikatakan
efektif dalam mencegah risiko preeklampsia. Hal ini disebabkan oleh
karena etiologi dan patogenesis penyakit ini belum sepenuhnya dapat
dijelaskan.2

Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit preeklampsia melalui 3


tahapan, yaitu:2

1. Pencegahan primer yaitu upaya untuk menghindari


terjadinya penyakit
2. Pencegahan sekunder yaitu upaya mendeteksi adanya
kelainan yang belum memberikan gejala klinik namun
sudah terjadi proses patobiologis awal akibat penyakit
ini sehingga dapat mencegah berkembang dan
memberatnya penyakit.
3. Pencegahan tersier yaitu upaya penanggulangan
penyakit yang sudah disertai gejala klinis dengan tujuan
mencegah terjadinya komplikasi yang berakibat
semakin parahnya penyakit tersebut.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan cara yang terbaik namun hanya


dilakukan bila penyebab telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-
penyebab tersebut. Hingga saat ini penyebab pasti terjadinya
preeklampsia masih belum diketahui sehingga pencegahan primer
yang efektif sulit dilakukan pada tahap ini. Sampai saat ini terdapat
berbagai temuan biomarker yang dapat digunakan untuk meramalkan
kejadian preeklampsia, namun belum ada tes yang memiliki sesitivitas
dan spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian pemeriksaan yang
kompleks agar dapat meramalkan suatu kejadian preeklampsia.
Dengan dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan
mengkontrolnya memungkinkan dilakukan pencegahan primer.2

2. Pencegahan Sekunder

1. Istirahat
Berdasarkan penelitian yang didapat dari Cochrane,
istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menunrunkan
risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan
aktivitas. Dari 3 studi yang dilakukan, didapatkan hasil
tidak ada perbedaan kejadian preeklampsia, kematian
perinatal, perawatan intensif pada kelompok yang
melakukan tirah baring di rumah dibandingkan istirahat
di rumah sakit pada pasien preeklampsia.3
2. Retriksi garam
Pada wanita hamil harus mengandung tinggi protein
dan mineral-mineral. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk mencegah timbulnya preeklampsia
pertama kali dengan pembatasan pemberian garam.
Namun penelitian secara acak menunjukkan manipulasi
ini kurang efektif dalam mencegah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan.3

3. Suplementasi kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan
kejadian hipertensi dan preeklampsia, terutama pada
populasi dengan risiko tinggi untuk mengalami
preeklampsia dan yang memiliki diet asupan rendah
kalsium. Suplementasi kalsium yang adekuat. Tidak ada
efek samping yang tercatat dari suplementasi ini.3

3. Pencegahan Tersier

Asuhan antenatal yang baik merupakan bagian yang paling penting


dalam pencegahan tersier. Diperlukan sistem asuhan antenatal yang
terorganisir dengan baik, sehingga alur rujukan semua ibu hamil dengan
risiko dapat berjalan dengan jelas dan lancar. Pencegahan tersier berarti
pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit,
sehingga pencegahan ini merupakan tata laksana penanganan
preeklampsia.3
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini akan membahas pasien Ny. I usia 28 tahun, G4P2A1, hamil
31 minggu 5 hari dengan Preeklamsia. Pasien datang ke poli kebidanan dan
kandungan dengan sakit di bagian belakang leher seperti tertekan. Saat ini pasien
sedang hamil anak ketiga dengan usia kehamilan 31 minggu 5 hari. Pasien
mengeluhkan sakit kepala di bagian belakang leher, pasien mulai merasakan
keluhan sejak 1 bulan yang lalu. Sakit di rasakan hilang timbul dan seperti
tertekan. Saat aktivitas sakit kepala dirasakan semakin memberat dan membaik
ketika pasien berbaring atau beristirahat. Keluhan dirasakan hingga mengganggu
aktifitas karena pasien merasa tidak kuat berdiri bila sakit kepala kambuh. Pasien
sudah memeriksakan diri ke Puskesmas dan belum ada perbaikan. Keluhan tidak
disertai dengan demam, kenceng-kenceng, keluar lendir darah, mual, muntah,
nyeri ulu hati, pandangan berkunang-kunang, gangguan BAB dan BAK.

Dari hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak baik, tekanan
darah tinggi 150/100 mmhg, status generalisata didapatkan dalam batas normal,
pada pemeriksaan status obstetri didapatkan TFU 25 cm, bagian teratas janin
kesan bokong, bagian terbawah janin kepala, punggung kiri, DJJ : 140 x/menit.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan protein +1.

Pasien didiagnosis dengan preeklamsia karena berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan adanya tekanan darah tinggi, dan pada
pemeriksaan penunjang di dapatkan protein +1. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru
terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya
protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan
gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
1,2,3

a. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter


b. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan
ginjal lainnya
c. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
d. Edema Paru
e. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
f. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Penatalaksanaan preeklampsia dengan manajemen ekspektatif dapat


dipertimbangkan pada kasus preeklampsia pada usia kehamilan 26-34 minggu
yang bertujuan untuk meningkatkan usia kehamilan saat melahirkan dan berat
lahir, serta mengurangi komplikasi neonatus. Perawatan ekspektatif meliputi
perawatan dalam rumah sakit dengan kortikosteroid untuk pematangan paru janin,
MgSO4, obat antihipertensi serta pemantauan ketat ibu dan janin untuk
mengidentifikasi indikasi persalinan. Pada kasus preeklampsia ringan dengan
perawatan rawat jalan menurut sarwono (2010) tidak perlu diberikan obat-obat
diuretik, antihipertensi, dan sedatif. Dianjurkan ibu hamil banyak beristirahat dan
tirah baring dengan posisi miring kekiri untuk menghilangkan tekanan rahim pada
v. Kava iferior sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah
curah jantung. Dan juga melakukan diet yang mengandung 2 gr natrium atau 2-4
gr Nacl, pada preeklampsia tidak perlu dilakukan retriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada kasus ini diberikan metildopa 250-500 mg diberikan
dua kali sehari sebagai obat antihipertensi. Metildopa merupakan agonis reseptor
alpha yang bekerja di sistem saraf pusat yang mempunyai safety margin paling
luas, pemberian obat antihipertensi diberikan sebagai pencegahan tersier yang
berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkan proses penyakit. Pasien juga
diberikan aspilet 80 mg satu kali sehari, pemberian aspirin digunakan untuk
pencegahan primer berhubungan dengan penurunan resiko preeklampsia,
persalinan preterm, kematian janin, dan bayi kecil masa kehamilan. Pasien juga
diberikan kalsium satu tablet perhari dan vitamin BC/C/SF 2 kali perhari.
Pemberian Aspilet, vitamin, dan Kalsium merupakan pencegahan sekunder yang
dalam konteks preeklampsia berarti memutus proses terjadinya penyakit yang
sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis. .
DAFTAR PUSTAKA

1. Brenda J Wilson MSW, Gordon J Prescott, Sarah Sunderland, Doris M


Campbell, et al. Hypertensive diseases of preganancy and risk of
hypertension and stroke in later life: results from cohort study. bmjcom.
2003;326(845).

2. Marielle G. Van Pampus JGA. Long term outcomes after preeclampsia.


Clin Obstet and Gynecol. 2005;48(2):489-94.

3. Leanne Bellamy JPC, Aroon D Hingorani, David J Williams. Preeclampsia


and risk of cardiovascular disease and cancer in later life: systematic review
and meta-analysis. bmjcom.

4. Manuaba, I.,B.,G. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.


5. Geeta, K., Bidyut, K. 2011. Early Pregnancy Issues for the MRCOG and
Beyond. London: RCOG Press.

6. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working


Group on High Blood Pressure in Pregnancy. AmJ. Obstet Gynecol, 2000 ;
183 : S1 – S22.
7. Angsar MD dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di
Indonesia. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI

Anda mungkin juga menyukai