Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. SS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Petani
Alamat : Naibonat
Nomor Rekam Medis : 36 – 94 – 01
Tanggal masuk RS : 28 Mei 2018 (pukul 11.00 wita)

1.2. ANAMNESIS
Alloanamnesis
Keluhan Utama :Sulit membuka mulut
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari RSUD Naibonat dengan keluhan mulut terasa kaku dan sulit dibuka
sejak 2 hari yang lalu. Demam naik turun selama 3 hari yang lalu tidak disertai
menggigil. Riwayat pernah menginjak paku berkarat tanggal 6 Mei 2018 di kaki kiri,
paku yang masuk ± 2 cm. Riwayat pengobatan selama ini hanya menggunakan obat
Ampisilin. Riwayat pengobatan RSUD Naibonat IVFD RL 20 tpm, O2 3 LPM, infus
Metronidazole 3x500mg IV.
Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi dan DM disangkal
Riwayat Imunisasi : tidak diketahui

1.3. PRIMARY SURVEY


A : Bebas, paten
B : RR : 24x/menit, pergerakan thorax simetris
C : Nadi : 64x/menit, reguler, kuat angkat, akral hangat, SpO2 98%
D : GCS 15 (E4VxM6), pupil isokor (2 mm / 2 mm)

1
E : vulnus punctum region dorsum pedis sinistra

1.4. SECONDARY SURVEY


Kesadaran : GCS E4VxM6
Tanda Vital :
1. TD : 110/70 mmHg
2. Nadi : 64 x/menit
3. Respirasi : 24 x/menit
4. Suhu : 36ºC
Kepala : Simetris (+), deformitas (-), jejas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-)
Telinga : Simetris, otorea (-/-)
Hidung : Simetris (+/+), deviasi septum (-/-), rhinorea (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : Mukosa bibir pucat (-), trismus (+) ±1 jari masuk membuka mulut,
jejas (-), udema (-)
Leher : Pembesaran KGB (-/-), jejas (-)
Thoraks : Bentuk dada tampak simetris, retraksi dinding dada (-/-)
1. Paru
Inspeksi : Tampak simetris, pelebaran sela iga (-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Palpasi : Vocal fremitus sulit dievaluasi
Perkusi : Sonor (+/+) pada seluruh kedua lapangan paru
2. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS 5 mid klavikula sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS 2 linea parasternal sinistra
Batas bawah : ICS 5 linea mid klavikula sinistra
Batas kanan : ICS 2-4 linea parasternal dextra
Batas kiri : ICS 3-ICS 5 linea mid klavikula sinistra
Auskultasi : S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

2
3. Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), scar (-), massa (-), tanda radang (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
4. Ekstremitas
Inspeksi : simetris (+), skar (-), sianosis (-), ikterik tampak vulnus
punctum region dorsum pedis sinistra
Palpasi : akral hangat (+), CRT < 2 detik

1.5. STATUS LOKALIS


Look : tampak luka tusuk yang sudah dibersihkan dengan insisi silang
(cross intition) pada plantar pedis sinistra; ukuran luka 1,5cm x
1,5cm; darah (-); pus (-); nyeri (+).
Feel : teraba hangat, nyeri tekan (+).
Movement : ROM plantar pedis sinistra tidak terbatas.

1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Darah Lengkap
Hb : 14,3 g/dl (12,0-16,0)
Eritrosit : 5,51 . 10^6/ul (4,20-5,40)
Hematokrit : 47,1% (37,0-47,0)
Jumlah Leukosit : 7,531.10^3/ul (4,0-10,0)
Jumlah Trombosit : 271 . 10^3/ul (150-400)
2. Kimia Darah
Glukosa sewaktu : 77 mg/dl (70-150)
3. Elektrolit
Natrium darah : 141 mmol/L (132-147)
Kalium darah : 3.7 mmol/L (3.5-4.5)
Klorida darah : 107 mmol/L (96-111)
Calcium darah : 1.010 mmol/L (1.120-1.320

3
1.7. DIAGNOSIS
Tetanus Generalisata ec Vulnus Punctum Region Dorsum Pedis Sinistra

1.8. TATALAKSANA
(IGD pada tanggal 28 Mei 2018)
1. O2 4 liter per menit
2. IVFD RL 20 tpm
3. Ketorolac 30 mg IV
4. Konsul Sp.B
1. Tetagram 3.000 IU (12 ampul) / IM 1kali pemberian
2. Inj. Cefotaxime 2 x 1 vial / IV
3. Drip Diazepam 1 ampul dalam D5% 500 cc  8 tpm
4. Inf. Metronidazole 2 x 500mg / IV
5. KIE pasang DC, NGT
6. Rawat ruang Isolasi dengan pencahayaan minimal

1.9. RESUME
Pasien Tn. SS, laki- laki usia 43 tahun, rujukan dari RSUD Naibonat dengan
keluhan mulut terasa kaku dan sulit dibuka sejak 2 hari yang lalu. Demam naik
turun selama 3 hari yang lalu tidak disertai menggigil. Riwayat pernah menginjak
paku berkarat tanggal 6 Mei 2018 di kaki kiri, paku yang masuk ± 2 cm. Riwayat
pengobatan selama ini hanya menggunakan obat Ampisilin. Riwayat pengobatan
RSUD Naibonat IVFD RL 20 tpm, O2 3 LPM, infus Metronidazole 3x500mg IV.
Pada pemeriksaan status lokalis tampak luka tusuk yang sudah dibersihkan
dengan insisi silang (cross intition) pada plantar pedis sinistra; ukuran luka 1,5cm
x 1,5cm; darah (-); pus (-); nyeri (+). Teraba hangat, nyeri tekan (+). ROM plantar
pedis sinistra tidak terbatas.
Pada pemeriksan laboratorium di IGD RSU Johannes, tidak ditemukan
kelainan dalam pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, dan elektrolit, semua
dalam batas normal. Pasien didiagnosis Tetanus Generalisata ec Vulnus Punctum
Region Dorsum Pedis Sinistra. Pasien mendapat terapi O2 4 lpm/canul nasal, IVFD

4
RL 20 tpm, inj. Ketorolac 30mg/iv. Mendapat terapi tambahan dari Sp.B yaitu
Tetagram 3000 IU (12 ampul)/IM dalam 1 kali pemberian, inj. Cefotaxime 2x1
vial/iv, drip Diazepam 1 ampul dalam D5% 500cc per-8 jam, infus Metronidazole
2x500mg/iv. Pasien kemudian direncanakan untuk pemasangan DC dan NGT, juga
perawatan di ruang isolasi dengan pencahayaan minimal.

1.10. FOLLOW UP
Tanggal Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosa dan Terapi
29/05/2018 S : mulut kaku A : Tetanus Generalisata ec Vulnus
O: Punctum Region Dorsum Pedis Sinistra
KU : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : E4MxV6 P:
TTV : TD : 120/90 mmHg 1. O2 4 liter per menit
N : 73x/menit, reguler, kuat, penuh. 2. IVFD RL 20 tpm
RR : 25x/menit 3. Inj. Cefotaxime 2 x 1 ampul / IV
S : 36ºC 4. Drip Diazepam 1 ampul dalam D5%
PemeriksaanFisik : 500 cc  8 tpm
Mata : anemis -/- 5. Inf. Metronidazole 2 x 500 mg
Mulut : Mukosa bibir pucat (-),
trismus (+) ±1 jari masuk
membuka mulut, jejas (-), udema (-
)
Thorax : simetris
Suara napas vesikuler, ronki -/-,
wheezing -/-
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: supel, BU (+) normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2
detik
30/05/2018 S : mulut kaku A : Tetanus Generalisata ec Vulnus
O: Punctum Region Dorsum Pedis Sinistra

5
KU : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : E4MxV6 P:
TTV : TD : 140/80 mmHg 1. O2 4 liter per menit
N : 84x/menit, reguler, kuat, penuh. 2. IVFD RL 20 tpm
RR : 24x/menit 3. Inj. Cefotaxime 2 x 1 ampul / IV
S : 37,4ºC 4. Drip Diazepam 2 ampul dalam D5%
PemeriksaanFisik : 500 cc  8 tpm
Mata : anemis -/- 5. Inf. Metronidazole 2 x 500 mg
Mulut : Mukosa bibir pucat (-), 6. inj. Ranitidine 2 x 1 amp/IV
trismus (+) ±1 jari masuk 7. inj. Ketolorac 3 x 30 mg smp/IV
membuka mulut, jejas (-), udema (- 8. Diet Cair / NGT 4 x 200 cc
)
Thorax : simetris
Suara napas vesikuler, ronki -/-,
wheezing -/-
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: supel, BU (+) normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2
detik
31/05/2018 S : mulut kaku, kesadaran menurun A : Apnoe
O: P:
KU : Lemah Pasien Apnoe jam 09.25 wita

Nadi dan arteri carotis tidak teraba

Dilakukan RJP 5 siklus

Evaluasi ulang, Nadi dan arteri carotis


tidak teraba
Injeksi epinephrine 1 ampul IV

6
Dilakukan RJP 5 siklus

Evaluasi, nadi dan arteri carotis tidak


teraba, pupil midriasis total, refleks
kornea (-).
EKG ekstremitasAsistol
Pasien dinyatakan meninggal oleh
petugas di hadapan keluarga dan para
medis

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

7
2.1. Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuscular
akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot akibat eksotoksin spesifik kuman anaerob
Clostridium tetani.(1)

2.2. Epidemiologi
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di Negara
berkembang karena akses program imunisasi yang buruk juga penatalaksanaan tetanus modern
membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi
penderita tetanus berat. Di Negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan
jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang pertahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian
tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian pertahun.(1,2)

2.3. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob murni. Spora C. tetani dapat
bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah, debu,
tahan terdapat antiseptik, pemanasan 100 ºC, dan bahkan otoklaf 120 ºC selama 15-20 menit.(1)

2.4. Klasifikasi
Klasifikasi tetanus antara lain:(2)
1. Tetanus Local (Lokalited Tetanus)
Pada local tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
local. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progresif dan biasanya menghilang secara bertahap. Local tetanus ini bisa berlanjut
menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan
kematian. Biasanya lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau
dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.
2. Cephalic Tetanus

8
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2 hari,
yang berasal dari otitis media kronik, luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung.
3. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus local oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-
otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku
kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa risus sardonicus yakni spasme otot-otot
muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring
dan otot-otot pernapasan bisa menimbulkan sumbatan saluran napas, sianosis asfiksia. Bisa
terjadi disuria dan retensi urine, kompresi fraktur dan pendarahan di dalam otot. Kenaikan
temperature biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 ºC. Bila dijumpai
hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
4. Neonatal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi Clostridium tetani yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora
Clostridium tetani maupun penggunaan obat-obatan tali pusat yang telah terkontaminasi.

2.5. Penilaian Derajat Tetanus


Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah yang paling
banyak digunakan (Tabel 1).(2)
Selain scoring Ablett, terdapat sistem scoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Philips
score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan
periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak. Philips score juga memasukkan
status imunisasi pasien. Philips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18,
severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang
dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat
dengan mortalitas >50%.(2)

9
Tabel 2.1. Klasifikasi Ablett
Grade 1 (ringan)
Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yang membahayakan respirasi, tidak ada
spasme, tidak ada disfagia.
Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan respirasi sedang,
frekuensi pernapasan >30.
Grade 3 (berat)
Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat, serangan apneu, denyut
nadi >120, frekuensi pernapasan >40.
Grade 4 (sangat berat)
Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat.

2.6. Patofisiologi
Clostridium tetani biasanya memasuki tubuh melalui luka
masuk ke dalam tubuh manusia dalam bentuk spora. Dalam keadaan anaerob (oksigen rendah)
kondisi, spora berkecambah menjadi bentuk vegetatif dan menghasilkan racun tetanospasmin dan
tetanolisin.(3) Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi
bakteri. Klinis khas tetanus disebabkan ketika toksin tetanospasmin yang mengganggu pelepasan
neurotransmiter, menghambat impuls inhibitor yang mengakibatkan kontraksi otot yang kuat dan
spasme otot.(7)
Racun yang diproduksi dan disebarkan melalui darah dan limfatik. Racun bertindak di
beberapa tempat dalam sistem saraf pusat, termasuk motor endplate, sumsum tulang belakang, dan
otak, dan di saraf simpatis.(3) Transport terjadi pertama kali di saraf motorik, lalu ke saraf sensorik
dan saraf autonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk
dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitor spinal terpengaruh,
gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor interneuron retrogard lebih jauh terjadi dengan
menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati
celah sinaps dengan mekanisme yang tidak jelas.(7)

10
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan memblokade pelepasan neurotransmitter
inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirat (GABA). Interneuron yang menghambat neuron
motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi
inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih panjang, neuron simpatetik preganglion pada ujung
lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga
dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskular
dikurangi.(7) Dengan hilangnya inhibisi sentral, terjadi hiperaktif otonom serta kontraksi otot yang
tidak terkontrol (kejang) dalam menanggapi rangsangan yang normal seperti suara atau lampu.(4,5)
Spasme otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur aksonalnaya lebih
pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif
jarang terlibat.(7)
Setelah toksin menetap di neuron, toksin tidak dapat lagi dinetralkan dengan antitoksin.
Pemulihan fungsi saraf dari racun tetanus membutuhkan tumbuhnya terminal saraf baru dan
pembentukan sinapsis baru. Tetanus lokal berkembang ketika hanya saraf yang memasok otot
yang terkena terlibat. Genelized Tetanus terjadi ketika racun dirilis pada luka menyebar melalui
sistem limfatik dan darah ke terminal saraf.

11
2.7. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Anamnesis
 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang terbuka,
lukadengan nanah atau gigitan binatang?
 Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
 Apakah sedang menderita gigi berlubang?
 Apakah sudah mendapatkan imunisasi DT atau TT, kapan melakukan imunisasi
yang terakhir?
 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal)
dengan kejang yang pertama.2

12
b. Pemeriksaan fisik
 Trismus yaitu kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar membuka
mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucut seperti mulut
ikan, sehingga bayi tidak dapat menyusui. Secara klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan, lebar membuka mulut diukur setiap hari.
 Risus sardonicus terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik, sehingga tampak dahi
mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah
 Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot
punggung,otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat
dapatmenyebabkan tubuh melengkung seperti busur
 Perut papan
 Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang, misalnya dicubit, digerakkan secara kasar atau terkena
sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat kejang semakin pendek sehingga
anak jatuh dalam status konvulsivus.
 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat kejang
yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan
anoksia dan kematian. Pengaruh toksin pada saraf autonom menyebabkan
gangguan sirkulasi dan dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak. Kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi, retentio urinae, atau spasme laring. Patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.(4)

c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium untuk penyakit tetanus tidak khas, yaitu:
 Lekositosis ringan
 Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal
 Enzim otot serum mungkin meningkat-
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat(7)
d. Penunjang lainnya

13
 EKG dan EEG normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

2.8. Komplikasi
Tetanus dapat menyebabkan beberapa komplikasi, diantaranya adalah:
 Laringospasme (spasme pita suara) dan atau spasme pada otot pernapasan akan
menyebabkan gangguan pernapasan
 Kejang-kejang dan kontraksi otot yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan
fraktur tulang berlakang atau tulang panjang
 Sistem saraf otonom yang mengalami aktivasi berlebih akan memicu terjadinya hipertensi
dan atau ritme jantung yang tidak normal
 Infeksi nosocomial sering terjadi karena lamanya perawatan di rumah sakit
 Infeksi sekunder termasuk sepsis diperoleh dari kateter, hospital-acquired pneumonias,
dan ulkus decubitus.
 Emboli paru khususnya menjadi permasalahan pada pasien berusia lanjut dan pengguna
obat-obatan
 Pneumonia aspirasi merupakan late complication yang sering terjadi pada pasien tetanus,
hal ini ditemukan pada 50-70% kasus yang dilakukan autopsy (8)

2.9. Tatalaksana
 Stabilisasi dan pertahankan jalan napas apabila pasien kejang!
 Penanganan kejang, otot spasme dan rigid sangat penting pada tetanus, karenaotot
pernapasan sering terkena sehingga dapat menyebabkan kematian. Relaksasi otot dapat
diperoleh dengan obat-obatan berikut:
o Benzondiazepin: meningkatkan efek GABA pada reseptor GABAA di LMN
o Baclofen bekerja pada reseptor GABA B
o Di ICU dapat diberikan propofol (GABAA reseptor) atau non-depolarizing
o muscle relaxants (pancuronium, pipecuronium) yang bekerja secara langsung di
motor end plate yang kerjanya berkompetisi dengan tempat ikatan asetilkolin

14
o Magnesium, antagonis kasium ini mengurangi pelepasan asetilkolin dan
menurunkan respon otot terhadap asetilkolin.
 Membersihkan seluruh luka. Jaringan nekrotis dan benda asing harus dikeluarkan
 Eradikasi kuman Clostridium tetani dengan antibiotic,yaitu Metronidazol IV dosis 500mg
tiga kali sehari atau dengan Penicillin 100.000-200.000 IU/kg/hari. Antibiotik diberikan
selama tujuh sampai sepuluh hari.
 Antitoksin tetanus diberikan sekali secara IM, dosisinya 500 IU, 3000 IU, atau lebih,
namun ini masih menjadi perdebatan apakah semakin besardosis menjadi semakin efektif.
Antitoksin ini diberikan hanya untuk toksin tetanus yang masih bebas atau belum berikatan
dengan saraf. Toksin yang sudah berikatan tidak dapat dilepaskan dengan antitoksin ini,
sehingga gejala-gejalanya akan tetap terjadi apabila sudah ada toksin yang berikatan
meskipun kumannya sudah dieradikasi dan antitoksin sudah diberikan.
 Vaksinasi juga harus diberikan karena imunitas tidak akan terbentuk setelah tetanus ini.
Orang dengan luka yang tidak bersih, besar, riwayat imunisasi tetanus toxoid kurang dari
tiga kali, dan yang riwayat imunisasinya tidak diketahui harus mendapatkan TIG dan Td
atau Tdap.
 Pasien tetanus harus dikondisikan pada lingkungan yang tenang untuk mencegah pemicu
spasme, yaitu suara berisik dan stimulasi sensori lainnya. (2)

15
2.10. Prognosis

Tabel 2.2. Dakar scoring system (Thwaites et al, 2006)


Prognostic factor Score 1 Score 0
Periode inkubasi <7 hari ≤7hari
Periode onset <2 hari ≥2hari
Lokasi masuk Umbilicus, luka bakar, Selain lokasi tersebut dan
uterus, fraktur terbuka, lokasi yang tidak diketahui
luka operasi, injeksi IM
Spasme Ada Tidak
Demam >38.4°C <38.4°C
Takikardi Orang dewasa: Orang dewasa:
>120x/menit <120x/menit
Neonatus: Neonatus:
>150x/menit <150x/menit

16
Tabel 2.3. Total skor (Oriaifo et al, 2015)
Skor Prognosis Mortalitas
0-1 Mild <10%
2-3 Moderate 10-20%
4 Severe 20-40%
5-6 Very Severe >50%

Tabel 2.4. Prognostic scoring systems in tetanus: Phillips score (Farrar et al, 2000)
Factor Score
Incubation time
 <48 hours 5
 2-5 days 4
 5-10 days 3
 10-14 days 2
 >14 days 1
Site of infection
 internal and umbilical 5
 head, neck, and body wall 4
 peripheral proximal 3
 peripheral distal 2
 unknown 1
State of protection
 None 10
 Possibly some or maternal 8
immunization in neonatal patients
 Protected >10 years ago 4
 Protected <10years ago 2
 Complete protection 0
Complicating factors
 Injury or life threatening illness 10
 Severe injury or illness not 8
immediately life threatening
 Injury or non-life threatening 4
illness
 Minor injury or illness 2
 ASA Grade 1 0

17
Skor maksimal adalah 30 dimana semakin besar skornya maka prognosisnya semakin buruk.
Tabel 2.5. Prognostic scoring systems in tetanus: Phillips score (Farrar et al, 2000)
Ringan <9

Sedang 9-16

Berat >16

18
BAB 3
PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Pada kasus ini, diagnosis kerja yang ditetapkan adalah Tetanus generalisata. Hal ini
didasarkan pada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan tanggal 28 Mei 2018.
Pasien laki-laki, usia 42 tahun merupakan rujukan dari RS Naibonat dengan keluhan sulit menelan
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, demam 3 hari naik turun, kejang dan terdapat riwayat
menginjak paku berkarat pada tanggal 12 Mei 2018. Setelah terinjak paku pasien tidak berobat dan
hanya minum ampisilin di rumah. Status imunisasi pasien tidak diketahui. Pada pemeriksaan fisik
didapati keadaan umum lemah, tanda-tanda vital dalam batas normal, GCS 10, trismus selebar 1
jari, dan opisthotonus. Pemeriksaan elektrokardiografi dalam batas normal. Pemeriksaan
laboratorium (darah lengkap, gula darah sesaat, dan elektrolit) terdapat beberapa kelainan yang
tidak bermakna.
Berdasarkan teori gejala klinis tetanus ditandai dengan kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai adanya gangguan kesadaran. Kekakuan dimulai pada otot setempat (trismus) yang
kemudian menjalar keseluruh tubuh. Selain itu, kekakuan pada tetanus sangat khas, yaitu fleksi
kedua lengan dan ekstensi pada kedua tungkai, dan fleksi pada telapak kaki, dan tubuh kaku
melengkung seperti busur (opistotonus). Trismus merupakan kekakuan dari otot mengunyah (otot
maseter) sehingga menimbulkan gejala sukar membuka mulut. Opistotonus adalah kekakuan otot
yang menunjang tubuh, seperti otot punggung, otot leher, otot badan, dan otot anggota gerak.
Apabila kekakuan yang terjadi sangat berat, maka dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti
busur. Pada pasien ini ditemukan gejala trismus dan opistotonus yang dapat mengarahkan
diagnosis kepada tetanus.
Selain hal di atas, pasien ini juga didapatkan riwayat kejang, dan dalam perawatan juga
terdapat kejang berulang. Kejang terjadi pada seluruh tubuh jika adanya rangsangan cahaya atau
suara. Keluhan ini juga sesuai dengan gejala dari tetanus. Kejang umum dapat terjadi apabila
kekauan yang terjadi semakin berat. Awalnya, kejang terjadi setelah diberikan suatu rangsangan
seperti dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena cahaya dan adanya suara. Perlahan “masa
istirahat” kejang akan semakin pendek sehingga akan jatuh kepada status konvulsivus. Kejang
pada tetanus dapat terjadi sebagai dampak dari toksin C. tetani pada otak. Toksin akan menempel

19
pada cerebral gangliosides dan hal ini diduga menjadi penyebab terjadinya kekakuan dan kejang
yang khas pada tetanus.
Untuk port d’entre dari pasien ini sudah jelas karena pasien menginjak paku berkarat dan
tanpa penanganan medis. Infeksi terjadi apabila spora C. tetani masuk melalui luka atau trauma,
proses operasi atau injeksi, atau dari lesi kulit yang bersifat kronik. Pada beberapa kasus, port
d’entre dari kuman ini memang tidak dapat diketahui dengan pasti. Adanya luka terbuka pada
telapak kaki ini dapat dipikirkan sebagai salah satu tempat masuknya spora dari bakteri penyebab
tetanus ini.
Dari pemeriksaan fisik pasien ini, yang masih ditemukan adalah gejala sukar membuka
mulut (trismus) yang dijumpai sebesar 1 cm. Menurut teori, pemeriksaan fisik yang ditemukan
pada tetanus adalah trismus, opistotonus, wajah risus sardonikus, dan otot dinding perut kaku
sehingga dinding perut seperti papan.
Tatalaksana pada pasien ini adalah oksigen 2 lpm nasal canul, inj. Tetagam 3000 iu IM/SD,
inj. Cefotaxime 2x1 gr/ iv, drip Metronidazole 2x500mg, drip Diazepam 1 amp dalam D5 500cc
8 tpm, line infus keduaNacl 0,9% 1:1 dengan Aminofluid per 24 jam, pasang NGT dan DC, diet
cair 4x200cc, rawat diruang isolasi. Pemberian metronidazole intravena untuk mengurangi jumlah
kuman C. tetani. Dosis rumatan dari metronidazole yaitu 30mg/kgBB/hari dalam interval waktu 6
jam dan diberikan selama 7-10 hari. Pengobatan lain yang diberikan adalah pemberian diazepam
untuk menghilangkan kejang dan spasme otot. Pemberian diazepam terus dilanjutkan meskipun
telah ditemukan perbaikan klinis.
Dalam perawatan pasien sering kejang dan keluhan tidak berkurang. Saat perawatan hari
ketiga (31 Mei 2018) pasien apnoe, tekanan darah dan nadi tidak teraba, dilakukan tatalaksana
henti napas (RJP dan inj. Epinefrin), setelah 30 menit pasien dinyatakan meninggal.

20
Tabel 3.1 Perbandingan Teori dan Kasus

TEORI KASUS
ANAMNESIS Masa inkubasi 3-12 hari, dapat singkat 1-2 Sulit menelan sejak 2 hari
hari dan kadang > 1 bulan. Riwayat trauma SMRS, sulit membuka
(terutama luka tusuk), OMSK atau gangrene mulut, demam, kejang,
gigi. riwayat luka di telapak kaki
Gejala klinis : kesukaran menelan, gelisah, kiri karena menginjak paku
mudah terangsang, nyeri anggota badan, berkarat 16 hari SMRS.
demam biasanya tidak tinggi pada stadium Riwayat imunisasi tidak
akhir diketahui.
PEMERIKSAAN Kekakuan local atau trismus. Kaku kuduk, Trismus 1 jari,
FISIK risus sardonicus, opisthotonus, perut papan. opisthotonus.
Asfiksia dan sianosis, retensi urine.
PEMERIKSAAN  Lekositosis ringan DL, GDS, elektrolit, EKG
PENUNJANG  Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal
 Cairan serebrospinal normal tetapi
tekanan dapat meningkat
 Enzim otot serum mungkin meningkat
 EKG dan EEG biasanya normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan
mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani
sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum
seringnya tidak ditemukan.
 Kreatinin fosfokinase dapat meningkat
karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

21
DIAGNOSIS 1. Infeksi: meningoensefalitis, polio, rabies, Tetanus Generalisata
DAN lesi orofaring, peritonitis.
DIAGNOSIS 2. Gangguan metabolik: tetani, keracunan
BANDING strichnin, reaksi fenotiasin.
3. Penyakit SSP: status epileptikus,
perdarahan atau tumor.
4. Gangguan psikiatri: histeria
TATALAKSANA 1. Memutuskan invasi toxin dengan 1. Oksigen 2 lpm nasal
antibiotik (penisilin G, ampisilin, canul
karbenisilin, tikarsilin, klorampenikol, 2. inj. Tetagam 3000 IU
metronidazol, aminoglikosida dan IM/SD
sefalosporin generasi ketiga) 3. inj. Cefotaxime 2x1 gr/
2. Netralisasi toksin iv
- ATS 50.000-100.000 unit setengah 4. drip Metronidazole
dosis IM dan setengahnya lagi IV 2x500 mg
- HTIG 3000-6000 unit IM 5. drip Diazepam 1 amp
3. Menekan efek toksin pada SSP dalam D5 500 cc 8 tpm
(benzodiazepine, barbiturate, fenotiazin) 6. IVFD Nacl 0,9% :
4. Terapi suportif: Aminofluid = 1:1 / 24

・Bebaskan jalan nafas jam


7. Pasang NGT dan DC
・Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir 8. Diet cair 4x200 cc

perlahan-lahan & memindah-mindahkan 9. Rawat diruang isolasi


posisi pasien)

・Pemberian oksigen

・Perawatan dengan stimulasi minimal

・Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila

perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal


tidak memperkuat kejang

22
・Bantuan nafas pada tetanus berat atau

tetanus neonatorum
KOMPLIKASI 1. Pada saluran pernapasan : spasme otot Henti napas akut dan
napas, otot laring, asfiksia. Karena sulit meninggal mendadak
menelan (aspirasi).
2. Pada kardiovaskular : takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan
rangsangan miokardium.
3. Pada tulang dan otot: perdarahan dalam
otot (spasme berkepanjangan). Fraktur
columna vertebralis (kejang terus
menerus)
4. Komplikasi lainnya: laserasi lidah (akibat
kejang), dekubitus, kematian
(bronkopneumonia, cardiac arrest,
septicemia dan pneumothorax
PROGNOSIS Banyak faktor yang berperan penting dalam Qua ad vitam: dubia ad
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa malam
inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan Qua ad sanam: dubia ad
keadaan status imunitas pasien. Semakin malam
pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi Qua ad fungsionam: dubia
semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, ad malam
semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka
dan luas kerusakan jaringan turut memegang Philip score : >18 (berat)
peran dalam menentukan prognosis. Jenis
tetanus juga memengaruhi prognosis. Rata-
rata angka kematian akibat tetanus berkisar
antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat
diturunkan hingga 10-30 persen dengan
perawatan kesehatan yang modern.

23
Prognosis pasien dapat ditentukan dengan
Phillips score atau Dakar score.
DAFTAR PUSTAKA
1) Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah, De Jong. Edisi 3, Jakarta: EGC, 2010.
2) Continuing Professional Development 222. Volume 41 Nomor 11 Tahun 2014.
3) CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. 2015
available from: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
4) Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015
5) Hinfey PB, co autor Ripper J. Tetanus. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview. Update on 2016 June 16th.
6) Pike R, Bethesda. Tetanus. U.S. Department of Health and Human Services National
Institutes of Health: 2016; Available from: https://medlineplus.gov/tetanus.html ;updated
on 2016 May 20th.
7) Sudoyo A., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. Tetanus. Dalam: Ilmu
Penyakit Dalam jilid III Ed 4th . FK Universitas Indonesia. Jakarta. 2008. Hal: 1799-807
8) Centers for Disease Control and Prevention.Epidemiology and Prevention of Vaccine-
Preventable Diseases.Hamborsky J, Kroger A, Wolfe S, eds. 13th ed. Washington D.C.
Public Health Foundation, 2015, available at
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/table-of-contents.pdf
9) Hassel B. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins (Basel). 2013 Jan;
5(1): 73–83., available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3564069/
10) Thwaites, Yen, Glover, Tuan, Nga, Parry, Loan, Bethell, Day, White, Soni& Farrar. 2006.
Predicting the clinical outcome of tetanus: the tetanus severity score. Tropical Medicine
and International Health volume 11 no 3 pp 279–287, available at
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/j.1365-3156.2006.01562.x
11) Oriaifo S, Oriaifo N, Oriaifo M, Okogbenin E, Omogbai E. 2015. Adjunctive Use of
Ceftriaxone and Sodium Valproate in the Management of Tetanus: A Case Report and
Literature Review. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare ISSN 2224-3208

24
(Paper) ISSN 2225-093X (Online) Vol.5, No.8, 2015 , available at
http://www.iiste.org/Journals/index.php/JBAH/article/viewFile/21994/22463
12) Farrar, Yen, Cook, Fairweathener, Binh, Parry J & Parry CM. 2000. Tetanus. J
NeurolNeurosurg Psychiatry 2000;69:292–301, available at
https://jnnp.bmj.com/content/jnnp/69/3/292.full.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai