net/publication/327237438
CITATIONS READS
0 1,739
4 authors, including:
Jurnal Ners
Airlangga University
406 PUBLICATIONS 37 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Jurnal Ners on 27 August 2018.
ABSTRAK
Pendahuluan: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien dengan
pemakaian ventilator > 48 jam. Pasien kritis yang dirawat di ICU berisiko tinggi terjadi infeksi nosokomial pneumonia
sehingga mengakibatkan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui kejadian VAP setelah diberikan penerapan VAP bundle. Metode: Penelitian ini menggunakan metode one
shot case study post test only dengan sampel sebanyak 6 orang mulai 31 Desember 2013 sampai dengan 31 Januari 2014.
Hasil Hasil menunjukkan bahwa penerapan VAP bundle berpengaruh dalam mencegah terjadinya VAP. Hasil dari
penilaian total CPIS didapatkan 4 dari 6 orang tidak terdiagnosa VAP dan 2 orang terdiagnosa VAP. Diskusi: Hasil
penelitian yang ada perlu didukung dengan jumlah sampel yang lebih besar dan perlu penilaian CPIS secara berkelanjutan
untuk mengidentifi kasi VAP yang disebabkan oleh bakteri onset lambat khususnya pada pasien yang terpasang ventilasi
mekanis dalam waku lama.
Kata kunci: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle, kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
ABSTRACT
Introduction: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) is a nosocomial infection in patients who use ventilator for more
than 48 hours. The aimed of the study was to determine VAP incidence after VAP bundle application. Methods: This
study used one-shot case study posttest only designed with samples of 6 individuals beginning on December 31, 2013 up
to January 31, 2014. The totally score of CPIS assessment revealed that 4 of 6 patients was not diagnosed with VAP and
2 were diagnosed with VAP. Result: The results showed that the application of VAP bundle has influence in preventing
VAP incidence. The totally score of CPIS assessment revealed that 4 of 6 patients was not diagnosed with VAP and 2 were
diagnosed with VAP. Discussion: This study need to be backed up furthermore with a larger sample size and continuous
CPIS assessment is needed to identify VAP caused by bacteria, especially the late-onset bacteria, in patients using
mechanical ventilation in longer a time.
PENDAHULUAN
dan juga menambah biaya pengobatan.
Ventilator Associated Pneumonia Tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk
(VAP) merupakan penyebab umum kedua pengobatan setiap pasien dengan VAP yaitu
pada kasus Health care Associated Infection US $ 40.000. (Ban, 2011).
(HAI) di Amerika Serikat dan bertanggung Menurut Mc Carthy et al (2008)
jawab 25% dari kasus infeksi yang terjadi program pencegahan VAP dengan melakukan
di Intensive Care Unit. Pasien kritis yang pemberian VAP bundle telah dilakukan di
dirawat di ICU berada pada risiko tinggi Mercy Hospital US mulai Juni 2003 sampai
untuk terjadi infeksi nosokomial pneumonia dengan Mei 2004 terhadap 205 sampel dan
sehingga mengakibatkan peningkatan angka mendokumentasikan dalam sebuah format
kesakitan, kematian dan biaya perawatan. VAP bundle. Hasil yang ditemukan setelah
Penggunaan ventilator meningkatkan risiko pelaksanaan program secara konsisten tersebut
infeksi nosokomial 6–21 kali dan tingkat terdapat penurunan VAP yaitu dari 6,1 menjadi
kematian akibat VAP adalah 24–70% sehingga 2,7 kasus per 1000 hari pemakaian ventilator.
menyebabkan peningkatan rata-rata waktu Menurut Crunden et al (2005), pemberian
yang dihabiskan di ICU menjadi 9,6 hari, VAP bundle yang telah dilakukan pada 286
138
Intervensi Vap Bundle dalam Pencegahan VAP (Diah Susmiarti, dkk)
pasien di Surrey Hospital United Kingdom, kemudian sekret menumpuk di atas manset
memberikan hasil tentang kebutuhan pasien ETT dan akhirnya dapat menyebabkan
dalam pemakaian ventilator menurun dari 10,8 microaspiration dan pneumonia. Endotracheal
menjadi 6,1 hari dan Length Of Stay menurun tube juga menekan refleks epiglotic sehingga
dari 13,75 menjadi 8,36 hari. memudahkan masuknya bakteri virulen
Berdasarkan hasil rekam medis (karena sekresi yang berlebihan ataupun
Rumkital Dr. Ramelan pada tahun 2011 jumlah aspirasi dari lambung). Obat-obat sedasi
pasien ICU yang menggunakan ventilator dalam jangka waktu yang lama pada pasien
74 orang, meninggal 62 orang, jumlah hari di ICU dapat menekan kemampuan menelan
pemakaian ventilator dalam 1 tahun yaitu 505 pasien secara efektif yang dapat membantu
hari dan 8 kasus dengan VAP. Pada tahun 2012 membersihkan saliva dari rongga mulut.
jumlah pasien yang menggunakan ventilator Pasien dengan intubasi akan menghambat
109 orang, meninggal 86 orang, jumlah hari pertahanan alami tubuh terhadap perlawanan
pemakaian ventilator dalam 1 tahun yaitu 694 infeksi pernapasan. Adanya endotracheal tube
hari, dan 10 kasus dengan VAP. Pada tahun juga akan menghilangkan refleks batuk efektif
2013 jumlah pasien ICU yang menggunakan (Mc Carthy et al., 2008). Pemberian sedasi,
ventilator sebanyak 148 orang, jumlah pasien adanya ETT berkontribusi pada kejadian VAP
yang meninggal 100 orang, jumlah hari yang terjadi akibat respons inflamasi terhadap
pemakaian ventilator yaitu 670 hari, dan data mikroorganisme parenkim paru. Respons
untuk kasus dengan VAP didapatkan 7 kasus yang terjadi tergantung pada jumlah dan jenis
VAP dengan hasil kultur yaitu A. Baumanii, mikroorganisme, virulensi serta daya tahan
Streptococcus, Acinetobacter dan E. Coli. tubuh. Sebagian besar kasus VAP disebabkan
Hasil diagnosis VAP di Ruang ICU Rumkital oleh aspirasi sekresi infeksi dari orofarings dan
Dr. Ramelan didapatkan berdasarkan hasil sebagian kecil berasal dari infeksi sistemik.
kultur yang didokumentasikan pada satu Berbagai bentuk mekanisme pertahanan yang
buku catatan VAP berisi hasil kultur pasien. terdapat di jalan napas, seperti saliva, refleks
Tindakan pencegahan ventilator associated batuk, mucociliary clearance dan sistem imun
penumonia seperti elevasi kepala sudah humoral melindungi paru dari infeksi. Pada
dilakukan, tetapi masih terdapat kejadian VAP orang normal sekresi orofaringeal yang berkala
dan setiap tahun hari pemakaian ventilator dikeluarkan oleh karena ada mekanisme
semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan pertahanan sedangkan pada pasien kritis
yang dilakukan oleh peneliti, pada lembar terjadi gangguan imun, pemakaian sedasi
observasi ICU tidak didapatkan dokumentasi serta ETT dapat mengganggu mekanisme
tentang pemberian VAP bundle sedangkan pertahanan. Ketika mikroorganisme masuk
menurut hasil wawancara pada perawat ICU kedalam paru, mekanisme pertahanan tidak
menjelaskan bahwa seluruh pasien sudah mampu membunuh organisme tersebut.
diberikan tindakan pencegahan seperti elevasi Makrofag alveolar, netrofil dan elemen sistem
kepala kecuali ada kontraindikasi namun untuk imun humoral berinteraksi menimbulkan
pendokumentasian memang belum optimal respons inflamasi. Jika sistem pertahanan
dan untuk format VAP bundle belum ada. tubuh terganggu maka pneumonia dapat
Menurut Burns et al (2011) pasien yang terjadi (Prasenohadi, 2008). Untuk mencegah
terpasang ventilasi mekanik dan endotracheal terjadinya kolonisasi orofaring dan kolonisasi
tube (ETT) menghambat mekanisme batuk la mbu ng ma k a d iperlu ka n t i nd a k a n
alami yang merupakan mekanisme pertahanan pencegahan diantaranya Head elevation of Bed
alami tubuh terhadap perlawanan infeksi dengan tujuan mengurangi terjadinya aspirasi
pernapasan, menghindari aspirasi sekret aerodigestif (oroparingeal dan gastrointestinal),
saluran napas bagian atas yang normalnya meningkatkan volume paru dan ventilasi paru
dapat melindungi saluran pernapasan dari pasien serta memberikan keamanan pada saat
invasif patogen. Adanya ETT akan mencegah pemberian makanan melalui NGT.
mukosiliar dalam pembersihan sekret
139
Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146
140
Intervensi Vap Bundle dalam Pencegahan VAP (Diah Susmiarti, dkk)
mendapat skor 0 sedangkan 4 responden lain tulang rusuk merusak jaringan paru-paru dan
mendapat skor 1. Skor sputum pada hari ke arteri. Pemasangan WSD dilakukan untuk
3 yaitu sebanyak 5 responden mendapatkan mengeluarkan darah dari rongga pleura
skor 1 dan 1 responden mendapatkan skor sehingga mengurangi risiko terbentuknya
2. Skor untuk PaO2 /FiO2 pada hari ke 3 bekuan darah di dalam rongga pleura, dan
didapatkan 4 responden mendapatkan skor 0 dapat dipakai dalam memonitor kehilangan
dan 2 responden mendapatkan skor 2. Nilai darah selanjutnya. Kondisi trauma tersebut
CPIS untuk hasil foto thoraks pada hari ke 3 merupakan stres fisiologik yang dialami oleh
sebanyak 2 responden mendapatkan skor 0 dan responden 1. Menurut Smeltzer and Bare (2013)
4 responden mendapatkan skor 2. Berdasarkan stressor fisiologik dan psikologik yang disertai
hasil kultur sputum pada hari ke 3 didapatkan karena cedera akan menstimulasi pelepasan
6 responden mendapatkan skor 2. kortisol dari korteks adrenal dan peningkatan
kortisol serum juga turut mengakibatkan
supresi respons imun yang abnormal. Sistem
PEMBAHASAN
imun terdiri atas komponen nonspesifik dan
Berdasarkan tabel 5 penilaian CPIS dari spesifik. Fungsi masing-masing komponen
6 responden yang diteliti setelah diberikan atau keduanya dapat terganggu baik oleh
penerapan VAP bundle yang meliputi elevasi sebab kongenital maupun sebab yang didapat.
kepala, profilaksis peptic ulcer diseases, oral Keadaan imunokompromais yang sering
hygiene dengan clorhexidine 0,1% dan hand ditemukan di dalam klinik dapat terjadi oleh
hygiene menunjukkan sebanyak 4 orang infeksi, tindakan pengobatan, neoplasma dan
(66,67%) dengan nilai CPIS ≤ 6 yang berarti penyakit hematologik, penyakit metabolik,
tidak VAP yaitu responden 2, 4, 5 dan 6 tidak trauma dan tindakan bedah. Berbagai
terdiagnosa VAP. 2 orang (33,33%) dengan mikroorganisme (bakteri, virus, parasit,
nilai CPIS > 6 berarti terjadi VAP yaitu jamur) yang ada di lingkungan maupun
pada responden 1 dan 3. Jumlah responden yang sudah ada dalam badan penderita, yang
sebagian besar masih didapatkan kejadian dalam keadaan normal tidak patogenik atau
VAP meskipun penerapan VAP bundle memiliki patogenesitas rendah, dalam keadaan
sudah dilaksanakan 100%. Responden yang imunokompromais dapat menjadi invasif
terdiagnosa VAP dalam penelitian ini adalah dan menimbulkan berbagai penyakit. Oleh
responden 1 dan 3. karena itu penderita yang imunokompromais
Responden 1 usia 48 tahun dengan mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap
diagnosa masuk COB + Fr. Costae 1, 2 dan infeksi yang berasal dari badan sendiri
3 + Hematothoraks + Fr. Zigoma. Tingkat maupun nosokomial dibanding dengan yang
keparahan penyakit atau diagnosa awal pada tidak imunokompromais. Tingkat kesadaran
responden 1, adanya penurunan kesadaran, pada responden 1 yaitu koma berpengaruh
dan serum albumin < 2,2 merupakan faktor terhadap kejadian VAP. Meskipun pemberian
risiko yang berasal dari pejamu (host) terhadap sedasi sudah dihentikan pada hari pertama
terjadinya infeksi nosokomial. Pemasangan namun tidak ada peningkatan kesadaran pada
ventilasi mekanik diindikasikan karena responden 1. Menurut Mc Carthy et al (2008)
ketidakmampuan paru untuk mensuplai oksigen adanya ETT dan penurunan kesadaran akan
pada darah secara adekuat untuk memenuhi menekan kemampuan menelan pasien secara
kebutuhan metabolik tubuh. Pada responden efektif dan menghilangkan refleks batuk efektif
ini terjadi hipoventilasi alveolar diakibatkan yang merupakan mekanisme pertahanan
terjadinya gangguan pada sistem saraf pusat alami tubuh terhadap perlawanan infeksi
atau sistem neuromuskuler, yang menyebabkan pernapasan sehingga ketika mikroorganisme
kurangnya oksigen yang disuplai dan masuk ke dalam paru, mekanisme pertahanan
kurangnya karbondioksida yang dikeluarkan. tidak mampu membunuh organisme tersebut.
Hematothoraks yang terjadi diakibatkan oleh Makrofag alveolar, netrofil dan elemen sistem
trauma tumpul dada yang mengakibatkan imun humoral berinteraksi menimbulkan
141
Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146
respons inflamasi. Menurut IHI (2012) pada melalui metode randomized controlled trial
pasien dengan ventilator mekanis selain didapatkan hasil bahwa H2 reseptor antagonis
adanya ETT, penurunan kesadaran, serta (ranitidin) dan sucralfat tidak memiliki
hilangnya reflek batuk, mikroorganisme dapat perbedaan yang signifikan dalam timbulnya
berkembang oleh karena adanya biofilm plak perdarahan lambung, akan tetapi golongan
gigi yang diakibatkan kurang atau hilangnya H2 reseptor anatagonis memiliki rata-rata
fungsi mekanik yaitu mengunyah dan yang lebih tinggi dalam kejadian munculnya
berkurangnya bahkan tidak adanya air liur kolonisasi lambung dan ventilator associated
yang dapat meminimalkan perkembangan pneumonia. Menurut IHI (2012), Profilaksis
biofilm pada gigi. Plak gigi dapat menjadi ulkus peptikum jenis H2 antagonis yang
reservoir terhadap potensi patogen pernapasan diberikan pada pasien mempunyai efek yang
yang menyebabkan VAP. Adanya hipoalbumin negatif terhadap risiko terjadinya pneumonia
pada responden 1 yaitu < 2,2 merupakan faktor nosokomial. Obat-obatan profilaksis ini akan
risiko untuk terjadinya infeksi nosokomial. membuat pH lambung menjadi kondisi basa
Protein dalam darah berbentuk albumin yang dapat meningkatkan pertumbuhan
merupakan profil dalam tubuh yang berfungsi bakteri dalam perut, terutama kuman gram
sebagai sistem enzimatik dan bertanggung negatif yang berasal dari duodenum. Kondisi
jawab terhadap kekebalan alamiah. Indikator tersebut diperberat bila terjadi refluks dan
paling sensitif untuk mengukur ketersediaan sekresi pada pasien kritis yang terintubasi. Hal
protein dalam tubuh adalah dengan melihat tersebut dikarenakan pasien dengan ETT tidak
kadar albumin darah. Protein dapat digunakan memiliki kemampuan untuk mempertahankan
untuk mempertahankan sistem kekebalan saluran pernapasan mereka. Refluks esofagus
dan ukuran otot, mengatur keasaman darah dan aspirasi isi lambung pada pasien ETT
serta memproduksi jutaan substansi yang dapat menyebabkan kolonisasi endobronkhial
dibutuhkan untuk mengatur proses tubuh. dan pneumonia. Tindakan personel petugas
Menurut Stepanuk (2000) jika protein kesehatan terhadap kepatuhan cuci tangan
digunakan sebagai sumber energi maka yang merupakan hal dasar dalam mencegah
akan terjadi defisiensi protein yang sering terjadinya infeksi nosokomial didapatkan
menyebabkan depresi sistem kekebalan, bahwa complience cuci tangan perawat (81,
sehingga kerentanan terhadap infeksi makin 2%), sedangkan complience cuci tangan
meningkat (Stepanuk 2000). Faktor-faktor dokter (66,7%). Hasil penilaian mengenai
lain yang juga berpengaruh terhadap kejadian complience indikasi didapatkan 43,4%
VAP pada responden 1 yaitu faktor intervensi perawat tidak mencuci tangan sebelum
seperti: pemakaian ventilator > 2 hari, NGT, menyentuh pasien dan 42,86% dokter tidak
Antagonis H2 dan faktor personel dari petugas mencuci tangan sebelum menyentuh pasien.
kesehatan mengenai kepatuhan cuci tangan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Berdasarkan fakta yang ada terhadap penerapan oleh Zuhriyah (2004) mengenai gambaran
Vap bundle tentang profilaksis peptic ulcer bakteriologis tangan perawat didapatkan hasil
diseases (PUD), peneliti tidak menginklusikan bahwa masih didapatkan adanya bakteri pada
jenis PUD yang diberikan oleh medis sehingga 20% tangan perawat meskipun petugas sudah
terdapat beberapa jenis profilaksis PUD yang mencuci tangan dengan sabun antimikroba.
terdapat pada 6 responden. Pada responden 1 Masih ditemukannya bakteri dari hasil swab
pemberian profilaksis PUD diberikan sejak setelah cuci tangan yaitu bakteri non patogen
awal pasien masuk ruang ICU mulai hari ke staphilococcus epidermis dan Enterobacter
0. Pada awal masuk sampai dengan hari ke 1, aerogenes memberi dugaan bahwa cuci tangan
responden 1 mendapatkan profilaksis ranitidin, yang dilakukan kurang efektif, selang waktu
namun pada hari ke 2 ranitidin diganti antara cuci tangan dengan pemeriksaan swab
dengan sucralfat. Berdasarkan penelitian tangan terlalu lama, durasi cuci tangan yang
yang dilakukan oleh Huang (2010) mengenai terlalu cepat atau penggunaan sabun mikroba
efek H2 reseptor antagonis dan sucralfat yang terlalu sedikit.
142
Intervensi Vap Bundle dalam Pencegahan VAP (Diah Susmiarti, dkk)
143
Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146
bedah. Faktor-faktor risiko pada pejamu (host) perubahan karakteristik sputum menjadi
yang memungkinkan terjadinya VAP pada purulent. Perburukan pertukaran gas terjadi
responden 3 yaitu: usia > 60 tahun (69th), pada responden 3 dan dapat dilihat dari rasio
albumin serum > 2,2. Menurut Smeltzer PaO2/FiO2 (PaO2 = 75, FiO2 = 0,35) didapatkan
and Bare (2013) usia merupakan salah satu 214,3. Hasil foto thoraks yang menggambarkan
faktor yang akan mempengaruhi sistem imun adanya infiltrat dan terdapatnya bakteri C.
seseorang. Frekuensi dan intensitas infeksi Freundii pada kultur sputum responden
akan meningkat pada orang yang berusia lanjut 3 menambah skor pada penilaian CPIS.
dan peningkatan ini mungkin disebabkan Menurut Porzecanski (2006) berdasarkan pada
oleh penurunan kemampuan untuk bereaksi kriteria klinik National Nosocomial Infection
secara memadai terhadap mikroorganisme Surveillance System (NNIS) untuk diagnosis
yang menginvasinya. Produksi maupun fungsi pneumonia tidak hanya ditentukan berdasarkan
limfosit T dan B dapat terganggu. Insidensi satu gejala klinis saja yaitu peningkatan suhu
penyakit autoimun juga meningkat bersamaan seperti yang terjadi pada responden 1 akan
dengan pertambahan usia, hal ini mungkin tetapi penegakan diagnosis pneumonia dapat
terjadi akibat penurunan kemampuan antibodi ditegakkan dengan kriteria klinis lain yaitu
untuk membedakan antara diri sendiri dan leukositosis. Menurut Isselbacher (1999)
bukan diri sendiri. Menurut Augustyn (2007) perubahan warna dan konsistensi pada
mekanisme pertahanan alami pasien yang seseorang menunjukkan adanya infeksi oleh
menurun akan meningkatkan kemungkinan bakteri atau kuman penyebab. Dahak atau
kolonisasi bakteri dari mikrorganisme. sputum yang dikeluarkan terdiri dari air,
Riwayat Diabetes Mellitus pada responden elektrolit dan glukosa, lendir glikoprotein,
3 sejak 4 tahun lalu juga merupakan faktor transudat, dan lipid sehingga diperlukan
yang meningkatkan insidensi infeksi di pemeriksaan sputum yang teliti yang akan
mana berkaitan dengan insufisiensi vaskuler, memperjelas keadaan pasien dari pada
neuropati dan pengendalian kadar gula darah pemeriksaan sputum secara kasat mata. Nilai
yang buruk. Menurut Smeltzer and Bare (2013) PaO2/FiO2 pada responden 3 yaitu < 240
gangguan integritas kulit yang salah satuya seperti yang terjadi pada responden 1. Menurut
diakibatkan oleh pressure ulcer merupakan Morton (2012) tekanan parsial oksigen dalam
faktor predisposisi yang memudahkan pasien darah arteri (PaO2) menggambarkan tingkat
lanjut usia untuk mengalami infeksi oleh kelarutan oksigen di dalam plasma, sedangkan
mikroorganisme yang merupakan bagian dari fraksi oksigen inspirasi (FiO2) merupakan
flora kulit yang normal. Risiko terjadinya jumlah kandungan oksigen inspirasi yang
infeksi nosokomial pada responden 3 sangat diberikan oleh ventilator ke pasien dengan
besar, hal ini dikarenakan responden 3 sudah konsentrasi 21–100%. Nilai normal PaO2/
masuk ruang rawat inap selama 15 hari FiO2 yaitu 300–500. Adanya penurunan
setelah post operasi laparatomi dan sudah PaO2/FiO2 menggambarkan perburukan pada
mendapatkan pengobatan antibiotika sebelum sistem respirasi pasien. Bakteri C. Freundii
masuk ruang ICU. Salah satu dampak yang yang ditemukan pada hasil kultur sputum
diakibatkan dari pemakaian antibiotika adalah responden 3 merupakan enterobacter spesies,
terjadinya resistensi obat dalam populasi gram negatif, berbentuk batang, anaerob
mikroba serta perubahan flora normal tubuh dan merupakan flora normal pada saluran
yang menyebabkan ketidakseimbangan pencernaan. Adapun pergerakan bakteri ini
sehingga terjadi infeksi. ke organ lain dikaitkan dengan lemahnya daya
Penegakan diagnosa VAP dilakukan tahan tubuh penderita.
pada hari ke 3 menggunakan Clinical Berdasarkan data-data yang terdapat
Pulmonary Infection Score. Pada responden pada responden 3, peneliti berpendapat
3 tidak mengalami peningkatan suhu seperti bahwa kejadian VAP pada responden 3 terjadi
yang terjadi pada responden 1, akan tetapi diakibatkan faktor-faktor risiko seperti pada
terdapat leukositosis (13.200/μL) serta responden 1 yang berasal dari pejamu (host)
144
Intervensi Vap Bundle dalam Pencegahan VAP (Diah Susmiarti, dkk)
seperti tingkat keparahan penyakit, adanya protocol CDC (2013) mengenai protokol
penurunan kesadaran, penurunan daya tahan surveilans Ventilator Associated Event (VAE)
tubuh, serum albumin < 2,2. Faktor risiko lain untuk mempermudah surveilans terhadap
yang didapat pada responden 3 yaitu usia lanjut kejadian VAP maka data yang terdapat pada
(69 th) yang juga akan berpengaruh terhadap tabel 5.3 yang menerangkan mode dan setting
imun responden. Diagnosa VAP terhadap ventilator responden selama 3 hari tidaklah
responden 3 oleh peneliti dianggap kurang memungkinkan. Berdasarkan protocol CDC,
akurat oleh karena beberapa pertimbangan kejadian atau kemungkinan VAP dapat
yaitu pada hari ke 1 sudah terdapat gambaran dideteksi awal dengan melihat perburukan
infiltrat pada hasil foto thoraks, terdapat oksigen responden melalui peingkatan fiO2
leukositosis (19.600/μL) dan adanya perburukan minimal harian ≥ 0,20 (20 point) di atas
pada hasil PaO2/FiO2 (235). Bila berdasarkan kebutuhan minimum 2 hari sebelumnya atau
klinis tersebut maka dapat dikatakan bahwa adanya peningkatan PEEP ≥ 3 cmH2O di atas
responden 3 sudah mengalami pneumonia kebutuhan minimum PEEP 2 hari sebelumnya
sejak awal masuk ICU. Lamanya rawat inap di mana nilai minimum PEEP harian
di ruangan sebelumnya, kurangnya mobilisasi 0 –5 cmH 2 O. Berdasarkan keterangan
(berdasarkan keterangan keluarga) menambah CDC tersebut peneliti berpendapat bahwa
risiko pneumonia nosokomial yang terjadi pengumpulan data terhadap kejadian atau
pada responden. Dalam hal ini penilaian kemungkinan pasien terdiagnosa VAP
secara klinis pada awal masuk sangat penting membutuhkan data penggunaan ventilator
bagi perawat sehingga penilaian tidak hanya pasien minimal 6 hari sehingga dapat diketahui
berfokus setelah > 48 jam saja. Meskipun secara pasti. Bila mengacu pada hal tersebut
pada penelitian ini tidak menilai mengenai maka kemungkinan mortalitas yang terjadi
bagaimana teknik petugas kesehatan dalam pada pasien bukan diakibatkan oleh terjadinya
mencuci tangan akan tetapi masih didapatkan VAP akan tetapi besar kemungkinannya
tingginya kebiasaan tidak mencuci tangan diakibatkan oleh kondisi penyakit primernya.
sebelum menyentuh pasien. Hal ini merupakan Perburukan oksigen memang terjadi pada
salah satu yang dapat menyebabkan transmisi responden 1 dan responden 3 yang terdiagnosa
VAP dengan melihat hasil BGA melalui
mikroorganisme dari petugas ke responden.
perbandingan PaO2 /FiO2 di mana kedua
Faktor lain yang kemungkinan menyebabkan
responden < 240.
VAP adalah masih digunakannya model open
Responden lain yang tidak terdiagnosa
suction pada responden, meskipun cateter
VAP yaitu responden 2, 4, 5, dan 6. Meskipun
suction yang digunakan sekali pakai akan
pada hari ke 3 tidak terdiagnosa VAP,
tetapi kemungkinan terkontaminasi akan
responden-responden tersebut memiliki risiko
sangat mungkin terjadi.
untuk timbulnya VAP pada hari selanjutnya
Berdasarkan keterangan – keterangan
oleh karena faktor risiko yang ada pada
yang telah dijelaskan dapat disimpulkan
responden 2, 4, 5 dan 6 ini tidak jauh berbeda
bahwa gambaran suhu, lekositosis, sputum
dengan responden 1 dan 3. Faktor risiko pada
purulent dan perubahan pada foto thoraks
pejamu (host) tersebut antara lain keparahan
untuk mendiagnostik pneumonia tidak selalu
penyakit, penurunan kesadaran dan lanjut
tepat pada pasien yang menggunakan ventilasi
usia. Oleh karena itu observasi CPIS secara
mekanik. Salah satu contoh yaitu demam,
berkesinambungan perlu ditindaklanjuti
kondisi demam dapat ditemukan pada berbagai sehingga dapat diketahui penyebab VAP karena
penyakit yang disebabkan respons inflamasi bakteri onset lambat. Dan khususnya bagi
sedangkan sputum purulen dapat disebabkan pasien yang rawat inap lama diperlukan data
oleh trakeobronkitis dan tidak selalu disertai lebih mengenai ada atau tidaknya perburukan
kelainan parenkim. Adanya infiltrat pada oksigen yang terjadi dengan melihat PEEP dan
foto thoraks dapat disebabkan oleh berbagai FiO2 selama rawat inap sehingga akan mudah
kelainan noninfeksi seperti edema paru, memastikan apakah responden posible atau
perdarahan dan kontusio. Berdasarkan probable VAP.
145
Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146
146