Anda di halaman 1dari 4

Masyarakat akan 'mulai merasakan

dampak perubahan iklim'


 16 November 2015

Masyarakat sebentar lagi akan merasakan dampak merugikan perubahan iklim, menurut seorang ahli
ekonomi terkemuka.
Profesor Richard Tol dari Sussex University, Inggris, memperkirakan dampak negatif pemanasan global akan
melampaui dampak positifnya bila terjadi peningkatan suhu sampai 1,1 derajat celsius - yang sebentar lagi
tercapai.
"Banyak orang berpendapat kalau sedikit pemanasan mungkin menguntungkan bagi manusia, bila diukur
berdasarkan laba bersih dalam dolar, tetapi pemanasan yang lebih tinggi akan merugikan," kata Profesor Tol
kepada BBC.
Ketika ditanya apakah masyarakat telah sampai pada titik ketika konsekuensi perubahan iklim mulai melebihi
manfaatnya, dia membalas "Iya. Dalam komunitas akademik, ini bukan temuan kontroversial."
Menurut Tol, diskusi soal dampak peningkatan temperatur di bawah 2 derajat celsius tidak relevan karena
bumi kemungkinan akan memanas 3-5 derajat celsius. Hal ini akibat para politisi tak akan rela atau mampu
melakukan penghematan yang dibutuhkan demi mempertahankan peningkatan suhu di bawah 2 derajat celsius.
Dia mengatakan peningkatan sampai 4 derajat celsius akan bisa diatasi oleh Eropa dan negara lain yang cukup
kaya untuk menanggung biaya yang dibutuhkan untuk adaptasi. Cara terbaik mengatasi perubahan iklim,
katanya kepada BBC, ialah memaksimalkan pertumbuhan ekonomi.

Hak atas fotoAFPImage captionGejala perubahan iklim mulai dirasakan warga dunia.
<span >Mengelola ekosistem
Profesor ilmu bumi dari Exeter University Tim Lenton mengatakan, perkiraan Tol sangat optimistis.
"Daratan di Eropa tengah akan lebih hangat dari rata-rata 4 derajat ceslius, yang berpotensi mengubah pola
musim di sepanjang Eropa.
"Kita akan kehilangan lapisan es di Arktik pada musim panas, dan lapisan itu akan jauh lebih tipis pada musim
dingin.
"Kami telah menemukan kaitan perubahan pola cuaca dan distribusi aliran sungai.
"Kita lalu berspekulasi kekeringan di Mediteranea akan mendorong... perpindahan manusia. Wajah Eropa akan
sangat berbeda."
Johan Rockstrom, direktur di pusat penelitian ketahanan lingkungan di Stockholm University, memperingatkan
peningkatan suhu global di atas 2 derajat celsius akan berisiko memicu dampak yang tak dapat diperbaiki."
"Penyebab kenaikan suhu sampai 6 derajat celsius bukan emisi karbon, melainkan respon biosfer. Akankah
kita dapat mempertahankan cadangan karbon di tanah permafrost, hutan hujan, dan hutan boreal, lahan basah,
dan daerah pesisir? Karena di situlah penyimpanan terbesarnya."
"Kita menghasilkan emisi sembilan gigaton karbon per tahun dari bahan bakar fosil, namun terdapat 100
gigaton tersimpan di bawah tundra Siberia. Ada berkali-kali lipat simpanan karbon yang lebih besar di topsoil
atau tanah tropis, atau di bawah es di Arktik"
"Bila kita tidak mengelola ekosistem dengan baik, ia dapat menusuk kita dari belakang."
Dampak perubahan iklim "luar biasa"
 31 Maret 2014

Hak atas fotoAFPImage


captionPara ilmuwan khawatir dampak perubahan iklim pada manusia akan lebih besar.
Pertemuan para ilmuwan dan pemangku kepentingan di Jepang telah menerbitkan penilaian paling
komprehensif dari dampak perubahan iklim di dunia.
Para anggota panel iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan laporan ini menyajikan bukti-bukti kuat
yang menunjukan betapa besarnya dampak perubahan iklim.
Dampak paling besar saat ini memang ditanggung oleh sistem alam, tetapi para ilmuwan khawatir dampak
pada manusia juga akan bertambah luas, demikian dilaporkan wartawan BBC Matt McGrath.
Kesehatan, rumah, dan makanan kita kemungkinan akan terancam oleh naiknya suhu, demikian
kesimpulannya.
Laporan ini menyoroti fakta bahwa dampak perubahan iklim tidak bisa dipulihkan dan bersifat masif di semua
benua dan di lautan.
Dampaknya adalah cuaca ekstrem seperti hujan lebat, badai dengan kekuatan yang lebih kuat, dan gelombang
panas.
Pencairan es kutub memicu kenaikan air laut sehingga mengancam komunitas warga, ekosistem, dan kota di
pesisir.
Sementara itu, pengasaman laut juga berdampak luas bagi spesies-spesies laut termasuk terumbu karang.
Makanan

Hak atas fotoAFPImage captionKetersediaan pangan


menjadi satu yang paling disorot dalam laporan tersebut.
"Sebelum ini kami pikir kami tahu ini terjadi, tapi sekarang kami memiliki bukti yang lebih kuat yang
menyatakan bahwa hal itu terjadi dan itu nyata," kata Dr Saleemul, dalam laporan tersebut.
Ketahanan pangan paling disorot sebagai bidang perhatian yang signifikan. Hasil panen jagung, beras dan
gandum akan terkena dampak perubahan iklim pada periode hingga tahun 2050, dengan sekitar sepersepuluh
dari proyeksi menunjukkan kerugian lebih dari 25%.
Pertanian akan semakin dirugikan setelah tahun 2050, sementara permintaan akan pangan akan naik seiring
proyeksi populasi dunia bisa mencapai sembilan miliar.
Laporan ini disetujui setelah diskusi intensif selama hampir sepekan di Yokohama.
Ini adalah yang kedua dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang menguraikan
penyebab, efek dan solusi untuk pemanasan global.
Laporan terbaru ini menyoroti fakta bahwa jumlah bukti ilmiah tentang dampak pemanasan hampir dua kali
lipat sejak laporan terakhir di tahun 2007.
Perubahan Iklim dan Dampaknya bagi Kesehatan di Indonesia
RATNA TONDANG Kompas.com - 25/09/2018, 07:13 WIB Polusi udara terlihat di langit Jakarta,
Senin (3/9/2018).
Menurut pantauan kualitas udara yang dilakukan Greenpeace, selama Januari hingga Juni
2017, kualitas udara di Jabodetabek terindikasi memasuki level tidak sehat (unhealthy) bagi
manusia.(KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO) PERUBAHAN iklim berdampak secara global,
termasuk pula di Indonesia. Mungkin belum semua lapisan masyarakat menyadari dampak
perubahan iklim secara langsung. Contoh dampak yang bisa kita lihat adalah kebakaran hutan yang
terjadi pada tahun 2015. Ini adalah salah satu kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di
Tanah Air.
Kebakaran ini telah menghanguskan lebih dari 2,6 juta hektar lahan atau 4,5 kali luas Pulau
Bali. Padahal, hutan Indonesia sendiri merupakan jenis hutan hujan tropis yang selalu basah atau
lembap, sehingga sulit terbakar secara alami.
Pada 2015, fenomena El Nino menyerang beberapa wilayah di Indonesia sehingga
menyebabkan kemarau yang lebih panjang. Kemarau yang lebih panjang ini membuat lahan hutan
menjadi lebih kering dan lebih mudah terbakar.
Seperti yang kita tahu, El Nino terjadi akibat perubahan iklim global. Namun, bukan berarti El
Nino menjadi satu-satunya penyebab kebakaran saat itu.
Ada beberapa faktor, seperti tingginya alih fungsi lahan hutan dan kurangnya monitoring titik
api, yang turut menjadi penyebab kebakaran hutan.
Kebakaran hutan merupakan salah satu dari sekian banyak dampak yang mungkin dapat
terjadi akibat perubahan iklim. Dampak paling vital dalam kehidupan kita adalah gangguan
kesehatan, yang juga dipengaruhi perubahan iklim tanpa kita sadari sebelumnya.
Bayangkan saja jutaan orang di Asia Tenggara telah terpapar polusi udara akibat kebakaran
hutan Indonesia pada 2015.
Ada sekitar 503.874 jiwa yang menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di 6 provinsi
Indonesia sejak 1 Juli hingga 23 Oktober 2015 akibat kebakaran hutan.
Polusi udara bukanlah masalah sepele. Data WHO menunjukkan, 7 juta orang meninggal
setiap tahun akibat terpapar polusi udara dan berujung pada penyakit, seperti stroke, penyakit
jantung, kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik, infeksi saluran pernafasan, termasuk juga
pneumonia.
Masyarakat miskin dan terpinggirkan yang paling berat menanggung dampak polusi udara.
Mereka masih sangat bergantung dengan bahan bakar padat/tradisional (seperti kayu bakar, batok
kelapa, sekam padi atau serpihan kulit kayu) untuk memasak.
Setiap hari, mereka menghirup asap dari tungku pembakaran yang mencemari rumah
mereka. WHO mengestimasi sekitar 4,3 juta kematian dini dapat terjadi akibat polusi udara dari sisa
pembakaran bahan bakar padat/biomassa dari rumah tangga.
Di Indonesia, tingkat penggunaan biomassa seperti kayu bakar masih sangat tinggi. Menurut
data statistik dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tingkat konsumsi energi final
nasional dari bahan bakar padat/biomassa hampir mencapai 306,99 juta barrels oil equivalent (BOE)
atau sekitar 30 persen dari total konsumsi final energi nasional.
Sektor rumah tangga sebagai konsumer terbesar energi nasional adalah pengguna terbesar
dari bahan bakar biomassa.
Masyarakat perkotaan juga turut kena imbas dari dampak polusi udara. Sisa pembakaran
bahan bakar dari kendaraan bermotor, pembangkit listrik dan industri menjadi sumber utama polusi
udara di perkotaan.
Partikel-partikel kecil berukuran kurang dari 10 mikron atau 2,5 mikron dari polusi udara
menyebabkan berbagai penyakit saluran pernafasan. Partikel-partikel ini terdiri dari sulfat, nitrat,
amonia, sodium klorida, karbon hitam dan debu mineral. Partikel ini sangat mudah masuk ke dalam
paru-paru manusia melalui saluran pernafasan dan akhirnya masuk ke aliran darah. Bila semakin
banyak partikel yang tertumpuk, akan menghambat aliran darah dan menyebabkan infeksi di saluran
pernafasan.
Tak hanya polusi udara, perubahan iklim juga turut mempengaruhi ketahanan pangan. Pada
rentang waktu 1900-2000, telah terjadi peningkatan suhu permukaan sebesar 0,002 derajat Celcius
setiap tahun. Sejak 1960-an, laju peningkatan suhunya semakin cepat.
Peningkatan suhu permukaan ini tentunya akan menyebabkan perubahan tren iklim di
Indonesia mulai dari berkurangnya curah hujan di musim kemarau ataupun meningkatnya curah
hujan di musim penghujan.
Hal itu mengakibatkan penurunan ketersediaan air serta peningkatan kejadian banjir dan
tanah longsor.
Kekurangan pasokan air di wilayah pertanian dapat menyebabkan kegagalan panen,
perubahan masa tanam dan panen, ataupun munculnya hama dan wabah penyakit. Apalagi
Indonesia merupakan negara agraris, tentunya akan semakin rentan terhadap perubahan iklim.
Pasokan produksi ikan dari laut juga akan semakin berkurang akibat coral bleaching,
habitatnya menjadi rusak sehingga proses ekosistemnya tidak berjalan dengan baik.
Kekurangan jumlah pasokan pangan pastinya akan berhubungan dengan tingkat
kekurangan gizi. Apabila produksi bahan pangan menurun, kerentanan terhadap kekurangan gizi
akan semakin meningkat.
Peningkatan temperatur permukaan juga akan berdampak pada tingkat persebaran penyakit
demam berdarah yang dibawa oleh Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Setidaknya terjadi peningkatan kasus deman berdarah setiap dekade mulai dari tahun 1990,
menurut data dari The Lancet, sebuah jurnal pengobatan umum mingguan.
Upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim adalah suatu keharusan untuk
melindungi kesehatan masyarakat Indonesia. Mulai dari mengurangi penggunaan bahan bakar fosil
dan menggantikannya dengan energi terbarukan tentunya akan mengurangi tingkat polusi udara.
Peningkatan upaya restorasi dan rehabilitasi hutan juga merupakan salah satu aksi mitigasi
untuk mengurangi jumlah karbon yang ada di atmosfer dan menjaga kenaikan temperatur
permukaan tetap stabil.
Walaupun upaya adaptasi dan mitigasi memiliki beberapa keterbatasan, tapi setidaknya kita
masih bisa melakukan sesuatu untuk mengurangi dampak yang diakibatkan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perubahan Iklim dan Dampaknya bagi
Kesehatan di Indonesia", https://nasional.kompas.com/read/2018/09/25/07130041/perubahan-iklim-
dan-dampaknya-bagi-kesehatan-di-indonesia.

Editor : Laksono Hari Wiwoho

Anda mungkin juga menyukai