Kemudian pada zaman pertengahan di Inggris juga terdapat sebuah permainan tradisional yang
banyak dimainkan oleh anak-anak di negara tersebut yang bernama “Battledore and
Shuttlecock”. Permainan itu menggunakan tongkat dan menjaga kok tetap di udara tanpa boleh
menyentuh tanah/lantai yakni dengan cara dipukul terus-menerus selama mungkin.
Sementara di Indonesia, bulutangkis mulai dikenal dikenal oleh masyarakat pada 1930-an. Pada
masa itu, cabang olahraga bulutangkis ini bernaung dibawah perkumpulan yang diberi nama
Ikatan Sport Indonesia (ISI). Kemudian permainan bulutangkis mulai ditinggalkan ketika negara
Indonesia menghadapi masa. Hingga pada akhirnya bulutangkis ini kembali hidup ketika
Indonesia telah merdeka dan mulai berkembang pada tahun 1947.
Bulutangkis atau yang sekarang lebih dikenal dunia dengan sebutan badminton mulai
berkembang dan dikenal oleh masyarakat dunia pada abad ke-17. Kata badminton sendiri berasal
dari sebuah nama tempat atau lebih tepatnya nama istana yang terletak di daerah Gloucester-
shire sekitar 200 kilometer sebelah barat kota London, Inggris yaitu “Badminton House”.
Mereka adalah keluarga Duke of Beafourt merupakan pemilik istana ini. Keluarga ini sering
mengadakan perlombaan bulutangkis di kawasan istana. Pada mulanya mereka mengadakan
perlombaan yang sama dengan permainan Battledore and Shuttlecock yang beredar di
masyarakat Inggris pada umumnya. Namun kemudian anak-anak dari keluarga Duke of Beafourt
melakukan sedikit improvisasi pada permainan ini yaitu dengan memasang sebuah tali di tengah-
tengah antara area permainan kedua pemain yang bertanding. Tali inilah yang menjadi cikal
bakal tercipta net dalam permainan bulutangkis.
Pada akhir tahun 1850-an permainan Battledore and Shuttlecock variasi baru ciptaan keluarga
Duke of Beafourt yakni dengan menggunakan tali berkembang pesat. Kemudian puncaknya yaitu
pada tahun 1960, melalui sebuah pamflet yang ditulis oleh Isaac Spraat. Dalam pamflet ini Isaac
Spraat menuliskan “Badminton Battledore a New Game” dan pada pamflet inilah revolusi baru
dari permainan Battledore and Shuttlecock dan digunakannya istilah Badminton sebagai nama
baru dari permainan itu pertama kali diceritakan pada masyarakat luas.
Perkembangan nyata olahraga bulutangkis di Indonesia terjadi pada tahun 1948 yakni dengan
diadakan dan dimasukkannya bulutangkis sebagai salah satu cabang olahraga yang yang
dipertandingkan pada Pekan Olahraga Nasional (PON) I yang diadakan di Surakarta (kini Solo).
Pekan Olahraga Nasional atau PON ini diikuti oleh berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Kemudian hal ini berlanjut dan semakin berkembang pada masa tahun 1950-an dengan mulai
diselenggarakannya berbagai perlombaan yang tersebar di berbagai kota di Indonesia seperti
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi baik antar perkumpulan, kabupaten/kota, propinsi
hingga tingkat nasional.
Bulutangkis Indonesia semakin berkembang pesat dengan kampanye yang disuarakan oleh
Presiden Indonesia saat itu yakni Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengkampanyekan
“Nation Building” yaitu gerakan untuk membangun bangsa, dan pelaku-pelaku olahraga
termasuk sebagai salah satu pemain utama dalam gerakan ini. Presiden Soekarno memberikan
pengarahan dan kobaran semangat pada pelaku-pelaku olahraga ini agar menjadikan olahraga
sebagai sarana untuk mengenalkan negara Indonesia ke hadapan dunia internasional dan
berjuang keras agar Indonesia mampu menciptakan sebuah prestasi di tingkat dunia.
Harapan dari Presiden Soekarno ini kemudian dituangkan dalam Kepres No. 263/1963 yang
isinya menyangkut tentang upaya dan harapannya untuk mencanangkan Indonesia dapat masuk
dalam peringkat 10 besar tingkat dunia. Harapan dan impian Presiden Soekarno ini mulai
terjawab pada tahun 1958, yakni ketika Indonesia mengikuti ajang piala Thomas atau Thomas
Cup (untuk putra) yang diselenggarakan di Singapura. Pada awalnya pemain Indonesia
diremehkan oleh para pemain dari negara lain karena waktu itu adalah kali pertama Indonesia
mengikuti ajang tingkat internasional tersebut, dan merupakan tim yang tidak diperhitungkan.
Tim bulutangkis Indonesia yang masih ‘anak bawang’ dalam kejuaraan tingkat internasional
dianggap tidak akan mampu bersaing dengan tim bulutangkis terkuat pada masa itu (tahun 1950-
an) yakni Amerika, Malaysia, Denmark, Inggris dan Thailand. Namun pemain dari tim
bulutangkis Indonesia mampu memberikan kemampuan terbaiknya. Hal ini dibuktikan dengan
keberhasilan dua orang atlet bulutangkis Indonesia dari kategori tunggal putra maju ke babak
final. Dan yang lebih membanggakan lagi, mereka menciptakan suatu keadaan dimana kedua
pemain yang bertanding di babak final berasal dari satu negara yakni Indonesia atau yang dikenal
dengan istilah “All Indonesian Final”.