Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,


mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan keguatan usahanya. Sedangkan bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dlam bentuk simpanan dan menyalirkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan tarif hidup rakyat banyak.1 Perbankan adalah suatu lembaga yang
melaksanaka tiga fungsi utama yaitu menerima uang, meminjamkan uang, dan
jasa pengiriman uang. Didalam sejarah perekonomian kaum muslimin. Fungsi-
fungsi bank telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi tersebut
adalah enerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan
keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang. 2 Rasulullah SAW yang
dikenal julukan al Amin, dipercaya oleh masyaraka Mekah menerima simpanan
harta, sehingga pada saat terakhir sebelum rasul hijrah ke Madinah, beliau
meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepda yang
memilikinya, dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta
titipan tersebut. Sementara itu, definisi menurut undang-undang no 21 tahun 2008
tentang perbankan syariah, bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa perbankan syariah
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah (UUS), mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

1
Abu Muhammad Dwiono Koesen Al jambi, Ayo ke Bank Syariah, (Jakarta : Pustaka Ishlahul
Ummah, 2013), hlm. 4.
2
Adji Waluyo Pariyatno, Perbankan Syariah, (Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah,
2007), hlm 8.

1
Perbankan syariah banyak diminati oleh masyarakat Indonesia,
bahkan peminat perbankan syariah cenderung meningkat dari ahun ke teahun. Hal
ini disebabkan karena perbankan syariah dinilai sangan menjajikan dan tidak
merugikan nasabah. Sehingga semakin tahun peranan perbankan syariah semakin
3
penting bagi masyarakat Indonesia. Pada masa krisis konomi yang
berkepanjangan pada tahun 1998 bank yang berbaris syariah teah membuktikan
kekuatannya dalam menghadapi krisis tersebut. Pada saat itu banyak bank-bank
non syariah atau bank yang berkonsep konvesional telah banyak yang gulung tikar
atau tidak dapat bertahan melawan hantaman krisis yang berkepanjangan. Saat ini,
bank dan lembaga keuangan merupakan salah satu pelaku terpenting dalam
perekonomian sebuah negara, masyarakat maupun kalangan industri atau usha
sangat membutuhkan jasa bank dan lembaga keuangan lainnya, untuk mendukung
dan meperlancar aktivitasnya. Globalisasi yang ditandai dengan adanya perapatan
dunia (compression of the word) telah mengubah peta perekonomian, politik, dan
budaya. Pergerakan barang dan jasa terjadi semakin cepat. Modal dari suatu
negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan teknologi
informsi. Sejalan dengan itu, kegiatan perbankan sebagai urat nadi perekonomian
bangsa tidak lepas dari dampak globalisasi. Sebagai salah satu unit Lembaga
keuangan Syariah yang bergerak secara khusus dalam bidang pelayanan jasa
perbankan berbasis non ribawi bagi nasabahnya. Produk adalah setiap apa saja
yang dapat ditawarkan di pasar untuk mendapatkan perhatian, permintaan,
pemakaian atau konsumsi ang dapat memenuhi keinginan atau kebutuhan
manusia.4 Perkembangan perbankan syariah masih belum bisa berkembang pesat
di Indonesia. Hal iu disebabkan karena masih ada persoalan yang menghambat
perbankan syariah tersebut. Sebenarnya ada tiga masalah besar di perbankan
syariah. Ini yang menghambat perkembangan perbankan syariah sampai saat ini.
Pertama, ketersedian produk dan standarisasi produk perbankan syariah. Hal ini
dikarenakan selama ini masih banyak bank syariah yang belum menjalankan
bisnisnya sesuai prinsip syariah. Standarisasi ini diperlukan dengan alasan
3
Fahrur Ulum, Perbankan Syariah di Indonesia, (Surabaya : CV. Putri Media Nusantara, 2011),
hlm. 49.
4
Sentot Imam Wahjono, Manajemen Pemasaran Bank, (Jogjakarta : Graha Ilmu, 2010), hlm.88.

2
industry perbankan syariah memiliki perbedaan dengan bank konvensinal.
Apalagi, produk bank syariah tidak hanya diperuntukan bagi nasabah muslim,
melainkan nonmuslim. Kedua, tingkat pemahaman produk bank syariah. Hingga
saat ini, sangat sedikit masyarakat yang tahu tentang produk-produk perbankan
syariah dan istilah-istilah di perbankan syariah.Ketiga, industri perbankan syariah
adalah sumber daya manusia (SDM).
Maraknya bank syariah di Indonesia tdak dimbangi dengan sumber
daya manusia (SDM) yang memadai, terutama latar belakang disiplin ilmu
perbankan syariah sehingga perkembangannya menjadi lambat. 5 Masalah yang
terjadi adaah pihak perbankan kesulitan untk mencari SDM perbankan syariah
yang berkompeten. Dibalik permasalah yang sedang dan yang akan dihadapi oleh
perbankan syariah pasti tentu ada solusinya, yaitu kecenderungan mengambil
SDM dari lua perguruan tinggi syariah karena SDM di perbankan syariah
biasanya justru mudah memberikan pengetahuan tentang perbankan syariah.
Hanya ada satu opsi yaitu bagaimana mewujudkan keberhasilan atau sukses,
dengan dukungan SDM yang berkualitas, berintegritas dan bermoral.

5
Abdul Manan, Hukum Perbankan Syariah, dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi
Nomor 75, 2012, hlm. 32

3
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari rincian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Bank Syariah?


2. Bagaimana Perbedaan Antara Bank Syariah Dengan Bank Konvensional?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya :

1. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Perbankan Syariah.


2. Agar dapat memahami tentang Perbedaan Bank Syariah Dengan Bank
Konvensional.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Bank Syariah

A. Pengertian

Bank syariah terdiri atas dua kata, yaitu bank dan syariah. Kata bank
bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan
dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan
dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian
berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak yang lain untuk
penyimpangan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya
sesuai dengan hukum Islam. 6 Bank umum syariah adalah bank syariah yang
berdiri sendiri sesuai dengan akta pendiriannya, bukan merupakan bagian dari
bank konvensional. Beberapa contoh bank umum syariah adalah: Bank Syariah
Mandiri, Bank Muamlat Indonesia, Bank Syariah Mega, Bank Syariah Bukopin,
Bank BCA Syariah, dan Bank BRI Syariah. 7 Secara umum, pengertian Bank
Syariah (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut
entitas bank Islam, selain istilah bank Islam itu sendiri, yaitu bank tanpa bunga
(interest-freebank), bank tanpa riba (lariba bank), dan bank syariah (shari’a

6
Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah. Hal 1
7 Ismail, Perbankan Syariah. Hal 33

5
bank). Dibawah ini dikemukakan beberapa pengertian bank Islam, yaitu sebgai
berikut:
a). Karnaen Perwataadmadja dan Muhammad Syafi‟I Antonio, memberikan
definisi bank Islam sebagai berikut: Bank Islam adalah bank beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya
mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata
cara bermuamalah secara Islam. Dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktik
praktik yang dikhwatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan
kegiatan-kegiatan invenstasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
b). Warkum Sumitro mendefinisikan bank Islam sebagai berikut: bank Islam
berarti bank yang tata cara beroparasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah
secara islam, yakni dengan mengacu kepada ketentuanketentuan al-Qur‟an dan al-
Hadist. Di dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti dan atau
berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulluah,
bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh
Rasulluah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau
cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur‟an dan al-
Hadis.
c). M. Amin Aziz mengenai pengertian bank Islam sebagai berikut: bank Islam
(bank berdasarkan syariah Islam) adalah lembaga perbankan yang menggunakan
sistem dan operasinya berdasarkan syariah Islam. Ini berarti operasi perbankan
mengikuti tata cara berusaha maupun perjanjian berusaha berdasarakan al-Qur‟an
dan Sunnah Rasul Muhammad SAW dan bukan tata cara dan perjanjian berusaha
yang bukan dituntun oleh al-Qur‟an dan Sunnah Rasul Muhammad SAW. Dalam
operasinya bank Islam menggunakan sistem bagi hasil penimbalan lainnya yang
sesuai dengan syariat Islam, tidak menggunakan bunga.
d). Cholil Uman mengartikan yang dimaksud dengan bank Islam dan
memperbandingkan dengan bank non Islam, sebagai berikut: Bank Islam adalah
sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum Islam.
Sudah tentu bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang oleh
Islam. Sedangkan bank non Islam adalah sebuah lembaga keuanagan yang

6
berfungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan
dana guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem
bunga.8
Pengabungan dua kata dimaksud, menjadi “bank syariah”. Bank syariah
adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang
berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan
kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Selain itu, bank syariah biasa
disebut Islamic banking atau interest fee banking, yaitu suatu sistem perbankan
dalam pelaksanaan operasionalnya tidak menggunakan sistem bunga (riba),
spekulasi (maisir), dan ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar). Bank syariah
sebagai sebuah lembaga keuangan mempunyai mekanisme dasar, yaitu menerima
deposito dari pemilik modal (depositor) dan mempunyai kewajiban (liability)
untuk menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola
dan/atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Pada sisi
kewajiban, terdapat dua katergori utama, yaitu interest-fee current and saving
accounts dan invesment accounts yang berdasarkan pada prinsip LPS (Profit and
Loss Sharing) antara pihak bang dan depositor; sedangkan pada sisi aset, yang
termasuk di dalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan
sesuai prinsip atau standar syariah, seperti mudharabah, musyarakah, istisna,
salam, dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan akutansi yang bersifat prinsip atau
standar, struktur dasar aktivitas investasi dapat diklarifikasi ke dalam dua bagian,
yaitu (a) rekening investasi tanpa batasan (unrestricted invesment accounts). Hal
dimaksud berarti bank berdasarkan prinsip syariah memiliki kebebasan untuk
menginvestasikan dana yang diterimanya pada berbagai kegiatan investasi tanpa
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu, termasuk menggunakannya secara
bersama-sama dengan modal pemilik bank; (b) rekening investasi dengan batasan
(restricted invesment accounts). Hal ini berarti pihak bank hanya bertindak
sebagai manajer yang tidak memiliki otoritas untuk mencampurkan dana yang
diterimanya dengan modal pemilik bank tanpa persetujuan investor. Selain kedua
hal di atas, bank syariah juga harus merefleksikan fungsinya sebagai pengelola

8
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah. Hal 33-35

7
dana zakat, dan dana-dana amal lainnya termasuk dana qard hasan. Sementara itu,
pada aspek pengenalan (recognition), pengukuran (measurement), dan pencatatan
(recording) setiap transaksi pada sistem akutansi bank syariah terdapat kesamaan
dengan proses-proses yang terjadi pada sistem perbankan konvensional.9

Istilah bank syariah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi


modern. Kemunculannya berawal dari upaya gencar yang dilakukan oleh para
pakar Islam dalam mendukung sistem ekonomi Islam. Disebutkan bahwa
perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah
dan Unit Usaha Syariah (UUS), mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara
dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sama halnya dengan bank
konvensional, bank syariah juga merupakan lembaga yang melaksanakan tiga
fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan melayani
10
jasa lalu lintas pengiriman uang. Perkembangan perbankan syariah telah
memberi pengaruh luas terhadap perbaikan ekonomi umat dan kesadaran baru
untuk mengadopsi lembaga-lembaga keuangan Islam. Dalam rangka ekspansi
perbankan syariah, pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR RI telah
mengganti Undang-undang Perbankan Nomor 14 Tahun 1967 dengan Undang-
undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992, dengan esensi diperbolehkannya
operasional perbankan dengan sistem bagi hasil selain dari sistem bunga. Melihat
perkembangan yang ada, maka Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
disempurnakan lagi dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
memperkenalkan dual banking system. 11 Perkembangan paling mutakhir adalah
lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Sehingga semakin memperkokoh eksistensi perbankan syariah dalam lalu lintas
perekonomian.

9
Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah. Hal 1
10
Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
11
Dual Banking System (Double Windows System) adalah terselenggaranya dua sistem
perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam melayani
perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang
berlaku tanpa harus memiliki Unit Usaha Syariah (UUS).

8
B. Sejarah Perbankan Syariah
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan
embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu
akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini
Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit
sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini
berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep
serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga,
sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara
langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat
dengan para penabung. Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social
bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga.
Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama
maupun syariat islam. Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada
tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar
pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan
di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan
profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri
berdasar pada syariah islam. Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah
bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai
Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of
Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine
Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia

9
tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan
membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji. Di
Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri
tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter
pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal
awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode
1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank
syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun
1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan telah
diperbaharui dengan UU No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Hingga
tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat
Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank
umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya
merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat
Indonesia (Persero) dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan
Nasional (Tbk). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan
Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Prinsip perbankan
syariahPrinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.12

C. Dasar Hukum Bank Syariah


Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya:
 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

12
Ibid hal 12

10
 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama
 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama
 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

D. Prinsip-Prinsip Bank Syariah

Dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dikatakan


bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 2
(TLN No. 4867) disebutkan bahwa kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip
syariah antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:

 Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas dan waktu penyerahan (fadhl) atau dalam transaksi pinjam
meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasi’ah);
 Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
 Gharar, yaitu transaksi yang obyeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi
dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
 Haram, yaitu transaksi yang obyeknya dilarang dalam syariah; atau
 Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain.

E. Produk Perbankan Syariah

11
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara
lain:
1. Penghimpun Dana
a) Giro Syariah
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek/ bilyet giro, atau dengan cara pemindahbukuan.
b) Tabungan Syariah
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik
dengan cek/bilyet giro.
c) Deposito Syariah
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank.
2. Penyaluran Dana13
a) Akad Mudharabah (bagi hasil)
Transaksi yang penanaman dana dari pemilik modal dengan pengelola
untuk melakukan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian
hasil antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian yang telah
disepakati.14
b) Akad Musyarakah (penyertaan modal)
Transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik dana atau barang
untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dnegan pembagian hasil
antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian yang telah disepakati, jika
pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing.
c) Akad Murabahah (jual beli)
Transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah
margin yang disepakati oleh para pihak, dimana pihak penjual

13
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 98

14 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 99

12
menginformasikan harga perolehan terlebih dahulu kepada pembeli atau
konsumen.
Akad mudharabah ini berbeda dengan sistem bunga (interest) mengingat
sifat pengembalian (return) yang tidak pasti baik dari segi jumlah maupun
segi waktu sehingga akad ini dikategorikan sebagai Natural Uncertainty
Contract (NUC). Dalam bahasa lain, produk ini disebut juga dengan Trust
Financing atau Trust Investment karena kontrak ini hanya diberikan
kepada pengusaha yang benar-benar credible dan sudah teruji amanahnya.
Secara skematis, akad mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut :

Jenis-Jenis Mudharabah
1) Mudharabah Mutlaqah
Jenis mudharabah ini merupakan bentuk akad yang tidak dibatasi pada
jenis usaha, waktu, dan wilayah tertentu sehingga pengelola bebas
untuk menentukan cara ia mengelola modal tersebut.
2) Mudharabah Muqayyadah
Adalah jenis mudharabah yang pada akadnya dicantumkan
persyaratan-persyaratan tertentu misalnya hanya boleh digunakan
untuk usaha tertentu, di kota tertentu, dan dalam waktu tertentu.
d) Akad Salam

13
Transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat
tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
e) Akad Istishna
Transaksi jual beli dengan cara pemesanan pembuatan barang dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran
sesuai dengan kesepakatan.
Definisi Menurut Fatwa DSN MUI
Akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat/shani’)
Jenis Akad Istishna :
(a) Langsung : Pemesan<->Penjual
(b) Paralel : Pemesan ↔ Penjual ↔ subkontraktor
Rukun Akad Istishna
(a) Pelaku terdiri atas pemesan (pembeli/mustashni’) dan penjual
(pembuat/shani’)
(b) Objek akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal
istishna’ yang berbentuk harga.
(c) Ijab kabul/serah terima

f) Akad Ijarah (sewa)


Transaksi sewa menyewa atas suatu barang atau jasa, antara pemilik dan
pemakaian sewa dengan hak pakai untuk mendapatkan imbalan atas obyek
yang disewakan. Transaksi terhadap suatu manfa’at tertentu, bersifat
mubah dan dapat dimanfa’atkan dengan imbalan tertentu . Ijarah
ditunjukkan untuk manfa’at atau jasa bukan materi/benda, dapat berupa
manfaat/nilai . Ijarah memiliki beberapa ketentuan:
1) Kedua belah pihak memenuhi syarat hukum
2) Kedua belah pihak menyatakan kerelaannya untuk melakukan ijarah
dan tidak terpaksa
3) Manfaat objek diketahui secara jelas

14
4) Penyewa berhak atas manfat baik untuk dirinya sendiri atau untuk
orang lain baik dengan cara menyewakannya atau meminjamkan
5) Objek Ijarah dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung
6) Objek Ijarah adalah halal
Akad Ijarah Berakhir
1) Objek hilang/lenyap : terbakar, faktor alam
2) Habis masa waktunya
3) Salah satu pihak yang wafat dapat dialihkan pada ahli warisnya
4) Objek disita, pailit
Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu 3:
(a) Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan
jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa.
sebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
(b) Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti,
3. Pelayanan Jasa
a) Letter of credit (L/C) impor syariah
L/C adalah surat pernyataan akan membayar eksportir yang diterbitkan oleh
bank atas permintaanm importer dengan pemenuhan persyaratan tertentu.

b) Bank Garansi Syariah


Jaminan yang diberikan oleh bank kepada pihak ketiga penerima jaminan
atas pemenuhan kewajiban tertentu nasabah bank selaku pihak yang dijamin
kepada pihak ketiga dimaksud.
c) Penukaran Valuta Asing (sharf)
Transaksi penukaran mata uang yang berlain jenis, baik membeli atau mejual
kepada nasabah.

F. Fungsi dan Kewenangan Dewan Pengawas Syariah


Dewan Pengawas Syariah bertugas mengawasi opersionalisasi bank dan
produk- produk agar sesuai dengan ketentuan syariah. Menurut Heri Sudarsono,

15
(2004 : 42- 54 ) DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris
pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang
diberikan oleh Dewan Pengawas syariah. Karena itu penetapan anggota Dewan
Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS)
setelah para anggota DPS mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional
(DSN). DSN merupakan badan otonom Majelis Ulama Indonesia ( MUI) yang
diketuai secara ex officio oleh ketua MUI. Untuk melaksanakan kegiatan harian
ditunjuk Badan Pelaksana Harian DSN.

Fungsi dan Kewenangan Dewan Pengawas Syariah ( DPS) adalah :


 Mengawasi jalannyaaa operasionalisasi bank sehari – hari agar sesuai
dengan ketentuan syariah.
 Membuat pernytaan secara berkala ( biasanya tiap tahun ) bahwa bank
yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah.
 Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang
diawasinya.

Fungsi dan Kewenangan Dewan Syariah Nasional ( DSN) adalah :


 Mengawasi produk – produk lembaga keuangan syariah agar sesuai
dengan syariah.
 Meneliti dan memberi fatwa bagi produk – produk yang dikembangkan
oleh lembaga keuangan syariah.
 Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai
Dewan Pengawas Syariah l pada suatu lembaga keuangan syariah.
 Memberika teguran kepada lembaga keuangan syariah jika yang
bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan.15

15

16
G. Prospek Bank Syari’ah
Tidak bisa dibantah, bahwa perbankan syari’ah mempunyai potensi dan
prospek yang sangat bagus untuk dikembangkan di Indonesia . Prospek yang baik
ini setidaknya ditandai oleh empat hal ;
1. Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar
potensial bagi pengembangan bank syari’ah di Indonseia. Sampai saat ini,
pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara signifikan.
2. Perkembangan lembaga pendidikan Tinggi yang mengajarkan ekonomi
syariah semakin pesat, baik S1, S2, S3 juga D3. Dalam lima tahun ke depan
akan lahir sarjana-sarjana ekonomi Islam yang memiliki paradigma,
pengetahuan dan wawasan ekonomi syariah yang komprehensif, tidak seperti
sekarang, banyak yang masih menolak ekonomi syariah karena belum
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ekonomi syariah.
3. Bahwa fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, bagaimanapun akan tetap
berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah. Pasca fatwa MUI
tersebut, terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank
syari’ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya.
Menurut data Bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana
pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah hampir Rp 1 trilyun. Fatwa ini
semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam.
4. Harapan kita kepada sikap pemerintah cukup besar untuk berpihak pada
kebenaran, keadilan dan kemakmuran rakyat. Political will pemerintah untuk
mendukung pengembangan perbakan syari’ah di Indonesia tinggal menunggu
waktu, lama kelamaan mereka akan sadar juga dan melihat keunggulan bank
syariah. Sejumlah PEMDA di daerah telah mendukung dan bergabung
membesarkan bank-bank syariah. Bank Indonesia pun diharapkan akan benar-
benar mendukung bank yang menguntungkan negara dan menyelamatkan
negara dari kehancuran. Bank Indonesia yang selama ini terkesan hanya
mengandalkan modal dengkul dalam mengembangkan bank syariah akan

17
berubah dengan mengandalkan modal riil yang lebih besar. Memang banyak
peran Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan bank syariah,
khususnya dalam regulasi. Namun kegiatan sosialisasi dan pencerdasan
bangsa masih relatif kecil dilaksanakan dan didukung Bank Indonesia.
5. Masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha
perbankan syari’ah di Indonesia sesungguhnya merupakan indikator bahwa
usaha perbankan syari’ah di Indonesia memang prospektif dan dipercaya oleh
para investor luar negeri. Potensi dana Timur Tengah sangat besar. Dana-dana
yang selama ini ditempatkan di Amerika dan Eropa, pasca 11 September
WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk ditempatkan di Asia.
Program pengembangan perbankan syariah selalu mempertimbangkan
kondisi-kondisi serta lingkungan yang menyertainya. Oleh karena itu dalam
pengembangan bank syariah diterapkan sejumlah prinsip-prinsip pokok kebijakan
pengembangan yang antara lain sebagai berikut :
1. Pengembangan jaringan kantor perbankan syariah diserahkan sepenhnya pada
mekanise pasar (market driven) yaitu interaksi antara masyarakat yang
membutuhkan jasa perbankan syariah dengan investor atau lembaga
perbankan yang menyediakan pelayanan jasa perbankan syariah. Dalam hal ini
peran otoritas perbankan (BI) lebih di tekankan pada penciptaan perangkat
ketentuan perbankan yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan usaha
bank syariah yang sehat, efesien dan sejalan dengan prinsip syariah.
2. Pengaturan dan pengembangan perbankan syariah dilaksanakan dengan tidak
menerapkan infant industry agrument yaitu memberikan perlakuanperlakuan
khusus. Perlakuan yang sama (equal tretment) antara bank syariah dan bank
konvensional. Perbedaan pengaturan dan ketentuan yang diharapkan pada
perbankan syariah dilaksanakan dalam rangka memenuhi prinsip syariah
dan/atau karena perbedaan nature bisnisnya.
3. Pengembangan perbankan syariah baik dari sisi kelembagaan maupun
pengaturan dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan (gradual and
sustainnable apporoachi). Berkaitan dengan hal ini, kita tidak dapat
mengharap satu kesempurnaan baik dari aspek operassional maupun dari

18
aspek syariah dari suatu sistem perbankan syariah yang berkembang.
Penyempurnaan ketentuan dan infrastruktur pendukung perbankan syariah
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan urgensi dan prioritas dari
sejumlah tugas yang harus dilaksanakan.
4. Peraturan dan pengembangan perbankan syariah menerapkan prinsip
universalitas sesuai dengan nilai dasar Islam yang rahmat bagi sekalian alam.
Sejalan dengan hal itu pengembangan perbankan syariah diarahkan bahwa jasa
bank syariah dapat digunakan dan dikembangkan oleh semua lapisan
masyarakat tidak hanya masyarakat muslim. Namun penyediaan dan
pengguna jasa perbankan syariah tersebut harus taat terhadap prinsip-prinsip
syariah dalam pelaksanaan kegiatan dan akad perbaikan.
5. Mengingat bahwa perbankan syraiah adalah sistem perbankan yang
mengedepankan moralitas dan etika, maka nilai-nilai yang menjadi dasar
dalam pengeaturan dan pengembangan serta nilai-nilai yang harus diterapkan
dalam operasi perbankan siddiqi, istiqomqh, tabliq, amanah, fathtonah. Selain
itu adalah penerapan nilai-nilai kerja sama (ta’awun), pengelolaan yang
profesional (ri’ayah) dan tanggung jawab (masuliyah) dan upaya bersama-
sama dan terus menerus untuk melakukan perbaikan (fastabiqhul khairat).

H. Kendala Pengembangan Bank Syariah


Dalam perkembangannya bank syariah menghadapi berbagai kendala,
kendala tersebut diantaranya sebagai berikut :
1. Kendala-Kendala Fiqh
Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai
bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan
haram. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syari’ah.
Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi
ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada
beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh
bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang
diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat

19
bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya
tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan
pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi,
sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara
kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-
beli dengan asas kerelaan (Umar Syihab, 1996, pp. 1270). Sementara itu Majelas
Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank
milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke
dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung
bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga
yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih
tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta (Rifyal
Ka’bah, 2001, pp. 63).

2. Problem Hukum
Kendala hukum yang dialami perbankan syariah di Indonesia ialah,
Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi
penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU
No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-
perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah.
Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang
tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk
lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya
sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat
mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau
berdasarkan prinsip syari’ah.

3. Rendahnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah

20
Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman masyarakat
mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan
syari’ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya
terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan
Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan
mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan
konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis
bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara bank
dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank Syari’ah masih
terasa awam dan belum dipahami secara benar (Bank Indonesia, Oktober 2001,
pp. 6). Kesan umum yang ditangkap oleh masyarakat tentang bank Syari’ah: 1)
bank Syari’ah identik dengan bank dengan sistem bagi hasil, 2) Bank Syari’ah
adalah bank yang Islami, sebagian masyarakat ada yang menyatakan bahwa bank
Syari’ah secara eksklusif hanya khusus untuk umat Islam. Menurut penulis bahwa
kegiatan sosialisasi perbankan Syari’ah amat diperlukan dalam rangka
penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai
perbankan Syari’ah. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan cara
tatap muka dengan para bankir, alim ulama, pemuka masyarakat, pengusaha,
akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa mendatang bentuk kegiatan
sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan menggunakan berbagai media
massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki akses kepada
masyarakat luas.

4. Kendala-kendala Operasional
Sumber daya manusia, maraknya bank syariah di indonesia tidak
diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai. Terutama sumber daya
manusia yang memiliki latar belakang disiplin keilmuan bidang perbankan
syariah. Sebagian besar sumber daya manusia di perbankan syariah terutama bank
konvensional yang membuka Islamic Windows berlatar belakang disiplin ilmu
ekonomi konvensional. Di samping itu lembaga akademi dan pelatihan di bidang
ini masih terbatas, sehingga tenaga terdidik dan pengalaman di bidang perbankan

21
Syari’ah baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral masih terasa
kurang. (Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 7) Keadaan ini. mengakibatkan
akselerasi hukum islam dalam praktek perbankan kurang cepat dapat
diakomodasikan dalam sistem perbankan, sehingga kemampuan pengembangan
bank menjadi lambat. Belum terpenuhinya peraturan pemerintah dibidang
perbankan syariah yang memadai. Walaupun pasca krisis berlangsung
pembahasan Undang-undang (UU) bank dan lembaga keuangan syariah tren-nya
meningkat dari BI dan pemerintah. Namun upaya untuk merealisasikan UU
mampu menginterprestasikan perkembangan bank syariah di masa depan dimana
perkembangan bank syariah membutuhkan proses perbaikan secara bertahap.
Kurangnya akademisi perbankan syariah. Hal ini diakibatkan lingkungan
akademisi lebih memperkenalkan kajian-kajian perbankan yang berbasis pada
instrument konvensional. Kondisi ini lebih disebabkan lingkungan pendidikan kita
lebih familiar dengan literatur-literatur ekonomi konvensional dibanding literatur
ekonomi Islam / syariah. Sehingga kajian-kajian ilmiah mengenai keberadaan
bank syariah dan instrument-instrumen keuangan syariah kurang mendapat
perhatian. Hal ini yang mengakibatkan keberadaan bank syariah kurang mendapat
legimitasi secara ilmiah di masyarakat Kurangnya sosialisasi kemasyarakat ke
masyarakat tentang keberadaan bank syariah. Sosialisasi tidak sekedar
memperkenalkan keberadaan bank syariah disuatu tempat, tetapi juga
memperkenalkan mekanisme, produk bank syariah dan instrumen-instrumen
keuangan bank syariah kepada masyarakat.

22
2.2. Perbedaan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvesional
Dalam beberapa hal, bank konvesional dan bank syariah memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang mekanisme transfer,
teknologi komputer yang digunakan, persyaratan umum pembiyaan, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar diantara keduanya.
Secara umum perbedaan anatara bank syariah dan bank konvesional adalah
sebagai berikut:

PARAMETER BANK SYARI’AH BANK


KONVENSIONAL
Landasan hukum UU Perbankan dan Landasan UU Perbankan (UU
syari’ah UU No 21 tahun 2008 No 10 tahun 1998)
Return Bagi hasil, margin pendapatan Bunga, komisi/fee
sewa, komisi/fee
Hubungan dengan Kemitraan, Investor-investor, Debitur-kreditur
nasabah investor-pengusaha
Fungsi dan Intermediasi, manager investasi, Intermediasi, jasa

23
kegiatan bank investor, sosial, jasa keuangan keuangan
Prinsip dasar Anti riba dan anti maysir Tidak anti riba dan
operasi maysir
Prioritas 1. Tidakbebas nilai (prinsip 1. Bebas nilai (prinsip
pelayanan syari’ahIslam) materialis)
2. Uang sebagai alat tukar dan 2. Uang sebagai
bukan komoditi komoditi
3. Bagi hasil, jual beli, sewa 3. Bunga
Orientasi Kepentingan publik Kepentingan pribadi
Bentuk usaha Tujuan social-ekonomi Islam, Keuntungan
keuntungan
Evaluasi nasabah bank komersial, bank bank komersial
pembangunan, bank universal,
atau multi purpose
Hubungan nasabah Lebih hati-hati karena partisipasi Kepastian
dalam risiko pengembalian pokok
dan bunga
Suber likuiditas Erat sebagai mitra usaha Terbatas debitur-
jangka pendek kreditur
Pinjaman yang Terbatas Pasar uang, bank
diberikan sentral
Prinsip usaha Komersial dan nonkomersial, Komersial dan
berorentasi laba dan nirlaba nonkomersial,
berorientasi laba
Pengelolaan dana Pasiva ke Aktiva Aktiva ke Pasiva
Lembaga Pengadilan, arbitrase Pengadilan, Badan
penyelesaian Arbitrase bank
sengketa Nasional
Risiko Investasi 1. Dihadapi bersama antara bank 1. Risiko bank tidak

24
dan nasabah dengan prinsip terkait langsung
keadilan dan kejujuran dengan debitur,
2. Tidak mungkin terjadi risiko debitur tidak
negative spread terkait langsung
dengan bank
2. Kemungkinan
terjadi negative
spread
Monitoring Memungkinkan bank ikut dalam Terbatas pada
pembiayaan/Kredit manajemen nasabah administrasi
Struktur Dewan komisaris, Dewan Dewan komisaris
Organisasi Pengwas syari’ah, Dewan
Pengawas Syaraiah Nasional
Criteria Bankable, Halal Bankable, Halal atau
pembiayaan haram

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

25
Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan
yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran
serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh
karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan masalah uang sebagai dagangan utamanya.
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam,
karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai
gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk
sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr
pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah
berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut
maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan
industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat
dengan para penabung.

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara
lain:
Jasa untuk peminjam dana
1. Mudhorobah
2. Musyarokah (Joint Venture),
3. Murobah
4. Takaful (asuransi islam)

Jasa untuk penyimpanan dana

1. Wadi'ah (jasa penitipan)


2. Deposito Mudhorobah

Dalam perkembangannya bank syariah menghadapi berbagai kendala, kendala


tersebut diantaranya sebagai berikut :

1. Sumber daya manusia, maraknya bank syariah di indonesia tidak diimbangi


dengan sumber daya manusia yang memadai. Terutama sumber daya manusia
yang memiliki latar belakang disiplin keilmuan bidang perbankan syariah.
Sebagian besar sumber daya manusia di perbankan syariah terutama bank

26
konvensional yang membuka Islamic Windows berlatar belakang disiplin ilmu
ekonomi konvensional. Keadaan ini mengakibatkan akselerasi hukum islam
dalam praktek perbankan kurang cepat dapat diakomodasikan dalam sistem
perbankan, sehingga kemampuan pengembangan bank menjadi lambat.
2. Belum terpenuhinya peraturan pemerintah dibidang perbankan syariah yang
memadai. Walaupun pasca krisis berlangsung pembahasan Undang-undang (UU)
bank dan lembaga keuangan syariah tren-nya meningkat dari BI dan pemerintah.
Namun upaya untuk merealisasikan UU mampu menginterprestasikan
perkembangan bank syariah di masa depan dimana perkembangan bank syariah
membutuhkan proses perbaikan secara bertahap.

3.2 Saran
Produk-produk yang di berikan oleh bank syariah memang kami rasa
sudah sangat mampu membuat nasabah dimanjakan oleh produk-produk yang
beneit namun regulasi mengenai hal tersebut perlu ditingkatkan kembali agar
nantinya apa yang diharapkan bisa secara maksimal didapatkan.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad Dwiono Koesen Al jambi, Ayo ke Bank Syariah, (Jakarta :
Pustaka Ishlahul Ummah, 2013), hlm. 4.
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004), hal. 98

27
Adji Waluyo Pariyatno, Perbankan Syariah, (Jakarta : Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah, 2007), hlm 8.
Arifin, Zainul, (1998), Strategi Pengembangan Perbankan Bagi Hasil Indonesia,
Sespibi : Bank Indonesia
A. Djazuli dan Yadi Yanuari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengenalan), (Jakarta: Rajawali Press, 2001), hal. 53
Fahrur Ulum, Perbankan Syariah di Indonesia, (Surabaya : CV. Putri Media
Nusantara, 2011), hlm. 49.
Imamul Arifin, Membuka Cakrawala Ekonomi, (Yogyakarta: Setia Inves 2007),
hal. 14
Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzab, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), Hal.
169.
Muslehuddin, Mohammad, (1974), Sistem Perbankan Dalam Islam.
Terjemahanoleh Aswin Simamora (1990), Bandung : UNISBA Library
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Bandung,, 2005), hal.17.
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). (Yogyakarta:
UII Press, 2004). hal. 163.
Sentot Imam Wahjono, Manajemen Pemasaran Bank, (Jogjakarta : Graha Ilmu,
2010), hlm.88.
Sudarsono Heri, (2004). Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Bandung.
Ekonisia.
Rivai, dan Veithsal, Islac Financial Manajement, Teori, Konsep dan Aplikasi
Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi dan
Mahasiswa (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 6
Abdul Manan, Hukum Perbankan Syariah, dalam Jurnal Mimbar Hukum dan
Peradilan, Edisi Nomor 75, 2012, hlm. 32

28
29

Anda mungkin juga menyukai