Anda di halaman 1dari 29

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini
mengganggu proses kognitif, perilaku dan emosi. Skizofrenia sendiri terdiri dari
beberapa simtom. Skizofrenia mengganggu fungsi sosial manusia. Individu yang
mengalami gangguan skizofrenia biasanya menarik diri dari orang lain dan
kenyataan. Hal ini disebabkan individu yang mengalami gangguan skizofrenia
memiliki fantasi yang berlawanan dengan kenyataan (waham) dan halusinasi
(Davidson, Neale, & Kring, 2006).
Prevalensi skizofrenia di Indonesia berkisar 0,3-1 % dan biasanya timbul
pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang berusia 11-12 tahun sudah
menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka
diperkirakan 2 juta jiwa menderita skizofrena (Republika, 18 maret 2000). Laki-
laki ditemukan lebih banyak mengalami skizofrenia, akan tetapi perubahan
suasana hati yang dialami oleh penderita laki-laki dan perempuan pada dasarnya
adalah sama. Skizofrenia berkembang diusia remaja akhir hingga pertengahan 30
tahun. Laki-laki biasanya mengembangkan skizofrenia diusia awal 20 tahun
hingga pertengahan 20 tahun, sedangkan perempuan mengembangkan skizofrenia
diusia pertengahan 20 tahun
(American Psychiatric Association, 2013)
Penyebab skizofrenia terdiri dari faktor biologis, faktor sosial dan faktor
psikologis. Penyebab yang berasal dari faktor biologis seperti genetika dan
neuropatologi. Kelas sosial juga menjadi faktor sosial penyebab skizofrenia. Kelas
sosial yang rendah dapat menjadi suatu kerentanan individu mudah
mengembangkan skizofrenia. Sedangkan faktor psikologis yang menjadi
penyebab skizofrenia adalah faktor keluarga dan kejadian atau peristiwa hidup
yang menyebabkan terjadinya suatu tekanan.
Skizofrenia juga memiliki dampak yang sangat besar. Hal ini terjadi
karena kebanyakan individu yang mengembangkan skizofrenia tidak dapat
sembuh sepenuhnya dan harus memperoleh perawatan dalam jangka panjang
(Oltmanns & Emery, 2013). Salah satu dampak dari skizofrenia adalah
penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif seperti gangguan
fungsional, ingatan, bahasa hingga proses berpikir yang lamban (APA, 2013).
Penelitian Lan & Su (2012) dan Lyzaker, Tsai, Hammoud, & Davis (2012)
mengemukakan bahwa berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari skizofrenia
dapat membuat kebermaknaan hidup dari penderita skizofrenia bisa menurun.
Pasien skizofrenia merasa bahwa dirinya akan ditolak oleh lingkungan dan tidak
bisa berbuat apa-apa karena fungsi yang menurun. Pasien skizofrenia akhirnya
merasa kesepian dan mengembangkan konsep diri yang buruk hingga tidak
percaya diri dalam lingkungan sosial.
Mengalami gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu tetapi
juga pada keluarga dan negara. Kerugian ekonomi minimal akibat masalah
kesehan jiwa mencapai 20 Triliun rupiah. Karena itu masalah gangguan jiwa ini
perlu mendapatkan perhatioan yang serius dari pemerintah agar pelayanan bagi
penderita gangguan jiwa ini bisa lebih baik. Pelayanan bagi penderita gangguan
jiwa tidak terlepas dari peran para profesional kesehatan seperti psikiater,
psikolog, perawat psikiatri, occupational therapist dan pekerja sosial. Sehingga
diperlukan peningkatan pemahaman yang terus menerus tentang gangguan jiwa.
Pada kesempatan kali ini, kelompok kami akan menyampaikan tentang
pengertian, teori, tanda –tanda dan tipe-tipe skizofrenia, serta kasus dan diagnosis
menurut PPDGJ . Diharapkan dengan penyampaian materi ini terjadi peningkatan
pemahaman dan sedikit merubah persepsi negatif menjadi positif pada penderita
skizofrenia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, kelompok kami


akan membahas hal-hal dibawah ini:

1. Apa pengertian dari skizofrenia ?


2. Bagaimanakah tanda-tanda orang yang terkena skizofrenia?
3. Apa sajakah epidemiologi skizofrenia ?
4. Apa sajakah tipe-tipe skizofrenia?
5. Apa saja etiologi skizofrenia?
6. Contoh kasus dan bagaimana mendiagnosis pasien skizofrenia
menggunakan PPDGJ ?
7. Terapi apa sajakah yang dapat digunakan untuk mengobati pasien
skizofrenia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari skizofrenia.
2. Untuk mengetahui tanda-tanda orang yang terkena skizofrenia.
3. Untuk mengetahui sajakah epidemiologi skizofrenia.
4. Untuk mengetahui tipe-tipe skizofrenia.
5. Untuk mengetahui etiologi skizofrenia.
6. Untuk mengetahui Contoh kasus dan bagaimana mendiagnosis pasien
skizofrenia menggunakan PPDGJ.
7. Untuk mengetahui macam-macam terapi yang dapat digunakan untuk
mengobati pasien skizofrenia.
BAB II
Pembahasan

2.1 Pengetian Skizofrenia


Skizofrenia termasuk salah satu gangguan mental yang biasa disebut
psikotik. Pasien psikotik tidak dapt mengenali atau memiliki kontak dengan
realitas. Menurut DSM-IV , skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi dalam
durasi paling sedikit 6 bulan, dengan satu bulan fase aktif gejala (atau lebih) yang
diikuti munculnya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisir, dan
adanya perilaku yang katatonik serta adanya gejala negative (APA, 2000).
Meyer, pendiri psikobiologi percaya bahwa skizofrenia adalah reaksi
terhadap berbagai stress kehidupan, yang dinamakannya sindroma suatu reaksi
skizofrenik.
Dari beberapa pengetian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang menyebabkan terpecahnya antara
emosi, fikiran dan perilaku individu. Gangguan ini termasuk kedalam kategori
gangguan kronis dan penderita penyakit ini dapat kambuh ketika adanya stressor.

2.2 Tanda – tanda Orang yang Terkena Gangguan Jiwa


Orang yang mengalami gangguan skizofrenia ditandai dengan munculnya
symptom utama yang bisa dikelompokan dalam kategori symptom positif, negatif
dan disorganisasi.
2.2.1 Symptom positif
Symptom positif adalah symptom yang mencakup hal-hal yang berlebihan,
yang pada orang normal tidak ada, tapi pada penderita skizofrenia justru
muncul. Misalnya delusi (waham), dan halusinasi.
Delusi (waham) : keyakinan yang keliru, tetapi tetap dipertahankan
meskipun sudah dihadapkan dengan cukup bukti dan tidak serasi dengan
latar belakan pendidikan dan sosial orang yang bersangkutan. Ada
beberapa jenis delusi, yaitu :
1. Grandeur (waham kebesaran)
Pasien yakin bahwa mereka adalah seseorang yang sangat luar biasa,
misalnya seorang artis yang sangat terkenal, atau seorang nabi atau
bahkan mengaku dirinya menjadi Tuhan.
2. Guilt (waham rasa bersalah)
Pasien merasa bahwa dirinya telah melakukan dosa yang sangat besar.
3. I’ll health (waham penyakit)
Pasien yakin bahwa dirinya mengalami sakit yang sangat serius.
4. Jealousy (waham cemburu)
Pasien meyakini bahwa pasangan mereka tidak setia.
5. Passivity (waham pasif)
Pasien yakin bahwa dirinya dikendalikan oleh kekuatan luar, misalnya
oleh suatu pancaran sinyal radio makhluk mars.
6. Persecution (waham kejar)
Pasien meyakini bahwa dirinya sedang dikejar-kejar oleh orang
tertentu yang ingin mencelakakan dirinya.
7. Poverty (waham kemiskinan)
Pasien takut mengalami kebangkrutan, padahal kenyataannya tidak
demikian.
8. Reference (waham rujukan)
Pasien merasa bahwa dirinya menjadi topic pembicaraan masyarakat
luas.
Halusinasi : halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak
terdapat stimulus sensorik yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat
berwujud pengindraan kelima indra yang keliru, tetapi yang paling sering
terjadi yaitu halusinasi dengar (auditory) dan halusinasi penglihatan
(visual). Misalnya berbicara sendiri (menurutnya ia berbicara dengan
orang lain) padahal tidak ada orang yang mengajaknya berbicara.
2.2.2 Symptom negative
Symptom yang defisit, yaitu perilaku yang seharusnya dimiliki oleh orang
normal, namun tidak dimiliki oleh penderita skizofrenia.
Avolition/apathy (hilangnya energy atau hilang minat atau
ketidakmampuan untuk mempertahankan hal-hal yang awalnya merupakan
aktivitas rutin)
Alogia (kemiskinan kuantitas dan atau isi umum pembicaraan karakteristik
simpton skizofrenia dapat digolongkan dalam 3 kelompok pembicaraan)
Anhedonia (ketidakmampuan untuk memperoleh kesenangan, hilangnya
minat rekresional, kegagalan menjalin hubungan dekat dengan orang lain,
hilang minat dalam hubungan seksual)
Abulia (berkuragnya impuls umtuk bertindak dan berfiikir , tidak mampu
memikirkan konsekuensi dari tindakan), asosiasi (gangguan yang
burukdalam hubungan sosial)
Afek datar (ketidakmampuan menampilkan ekspresi emosi yang tepat),
afek tidak sesuai (respon emosi yang tidak sesuai konteks). (Liftiah, 2013,
hlm.177-178)

2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan
secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1.5 persen; konsistensi dengan
rentang tersebut, penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) yang di
sponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan
prevalensi seumur hidup sebesar 1.3 persen. Kira-kira 0,025 sampai 0,05
persen populasi total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun
dua periga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan perawatan di
rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua pasien skizofrenik
mendapatkan pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit.

2.3.1 Usia dan Jenis Kelamin


Antara pria dan wanita prevalensinya sama. Tetapi, pada onset dan
perjalanan penyakitnya menunjukan perbedaan. Laki-laki mempunyai onset
yang lebih awal daripada wanita. Usia onset untuk laki-laki adalah 15-25
tahun; untuk wanita yaitu 25-35 tahun. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa laki-laki lebih mungkin daripada wanita untuk terganggu daripada
wanita oleh gejala negative dan bahwa wanita memiliki fungsi sosial yang
lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir dari pasien
skizofrenik wanita lebih baik daripada laki-laki.

2.3.2 Musim Kelahiran


Orang yang kemudian menderita skizofrenia lebih mungkin
dilahirkan di musim dingin dan awal musim semi dan lebih jarang dilahirkan
di akhir musim semi dan musim panas. Secara spesifik, di bumi utara orang
skizofrenik lebih sering dilahirkan di bulan Januari sampai April. Di belahan
bumi selatan, orang skizofrenik lebih sering dilahirkan pada bulan Juli sampai
September.
2.3.3 Distribusi Geografis
Skizofrenik tidak terdistribusi secara merata. Secara historis,
prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat adalah lebih
tinggi daripada daerah lainnya.

2.3.4 Angka Reproduksi


Pemakaian obat psikoterapik, kebijaksanaan pintu terbuka di rumah
sakit, deinstitusionalisasi di rumah sakit negara, penekanan pada rehabilitasi,
dan perawatan yang didasarkan pada komunitas bagi pasien dengan
skizofrenia semuanya telah menyebabkan peningkatan umum angka
perkawinan dan fertilitas diantara orang skizofrenik.

2.4 Penyakit Medis


Orang skizofrenik mempunyai angka moratalitas yang lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Angka yang lebih tinggi kemungkinan
berhubungan dengan kenyataan bahwa diagnosis dan pengobatan keadaan
medis dan bedah pada pasien skizofrenik dapat merupakan tantangan klinis.

2.5 Tipe-tipe Skizofrenia


Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang memiliki bentuk yang
berbeda-beda untuk setiap orang. Tidak semua orang yang didiagnosis
menderita gangguan skizofrenia menunjukan semua simptom yang sudah
dijelaskan diatas. Dibawah ini adalah tipe-tipe skizofrenia:

2.5.4 Skizofrenia katatonik


Ciri utama pada penderita skizofrenia katatonik adalah gangguan
pada psikomotor yang meliputi ketidakbergerakan motorik (motoric
immobility), aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim,
mutism (sama sekali tidak mau berbicara dan berkomunikasi). Gerakan-
gerakan yang tidak terkendali, escholalia (mengulang ucapan orang lain)
atau echopraxia (mengikuti tingkah laku orang lain).
Motoric immobility dapat dimunculkan berupa catalepsy (waxy
flexibility - tubuh menjadi sangat fleksibel untuk digerakan atau
diposisikan dengan berbagai cara, sekalipun untuk orang biasa cara
tersebut akan sangat tidak nyaman).
Orang-orang yang menderita skizofrenia katatonik menunjukan
symptom katatonik dan ketidakmampuan bergerak dan keadaan seperti
pingsan kepada stereotype pergerakan badan secara hingar-bingar (galak,
liar).
Gambaran yang spesifik mengenai penderita gangguan skizofrenia
katatonik yaitu gejala motorik, apakah itu tipe “ledakan” atau berhenti
bergerak seperti orang pingsan. Beberapa penderita skizofrenia katatonik
berubah-ubah dari kondisi tidak bergerak yang berlebihan ke “ledakan”
yang berlebihan. Pada saat penderita mengalami “ledakan berlebihan”,
penderita akan melakukan aktivitas yang melibatkan motoriknya secara
berlebihan misalnya mondar-mandir dengan sangat cepat, berteriak-teriak,
keinginan untuk bunuh diri dan membunuh orang lain. Namun, pada saat
tidak bergerak yang berlebihan, ia tetap pada pada posisi selama berjam-
jam atau bahkan berhari-hari. Meskipun demikian, mereka tetap sadar
dengan kejadian yang terjadi di sekitarnya.

Kriteria diagnostik skizofrenia tipe katatonik

Sejenis skizofrenia dimana gambaran klinis didominasi oleh paling


tidak dua dari yang berikut ini :
1. Motoric immobility (ketidakbergerakan motorik) sebagaimana terbukti
dengan adanya catalepsy (termasuk waxy flexibility) atau stupor
(gemetar).
2. Aktivitas motor yang berlebihan (yang tidak bertujuan dan tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal).
3. Negativism yang ekstrem (tanpa motivasi yang jelas, bersikap sangat
menolak pada instruksi atau mempertahankan postur yang kaku unutk
menolak dipindahkan) atau mutism (sama sekali diam).
4. Gerakan-gerakan yang khas dan tidak stabil.
5. Echolalia (menirukan kata-kata orang lain) atau echopraxia (menirukan
tingkah laku orang lain).

2.5.5 Skizofrenia yang kacau (hebefreunik)


Ciri-cirinya merupakan kombinasi dari symptom-symptom yang
terdiri dari : ketidaklogisan, hilangnya kemampuan memahami, emosi
yang tidak tepat, gangguan reaksi kekuatan, delusi dan halusinasi.
Individu yang mengalami gangguan ini masuk kedalam kategori
keanehan yang sangat jelas terlihat dari perilaku, penampilan dan biasanya
mengalami melemahnya fungsi yang serius terkait bekerja dan interaksi
sosial.
Tipe kacau ini biasanya muncul pada umur-umur awal dan
menggambarkan disintergrasi kepribadian. Tipe ini sering dianggap
“pemberhentian terakhir” pada skizofrenia. Kebanyakan penderita
skizofrenia hebefreunik tidak dapat disembuhkan. Individu pelan-pelan
semakin terisolasi dan dikuasai khayalan-khayalan. Selanjutnya menjadi
kekanak-kanakan dan secara emosional menjadi berbeda, ditunjukan
dengan senyum tolol dan tawa dangkal tanpa adanya alasan yang jelas.
Halusinasi , khususnya melalui pendengaran, penderita sering mendengar
suara-suara yang menuduh mereka melakukan praktik amoral. Delusi
biasanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan seksual, religious dan
berubah-ubah, tidak sistematis, serta fantastis. Misalnya : penderita merasa
dibuntuti musuh dan mengaku telah membunuh berkali-kali.

2.5.6 Skizofrenia paranoid


Jenis skizofrenia biasanya muncul pada saat usia 30 tahun,
Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan schizoid.
Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak congkak dan kurang
percaya pada orang lain.
Penderita skizofrenia mempunyai delusi yang ganjil atau halusinasi
pendengaran yang dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang kejam
tanpa adanya kekacauan berbicara atau perilaku, dibandingkan dengan
jenis skizofrenia lainnya, jenis ini lebih lama dalam symptom-symptom
awal serangan, menyerupai kesembuhan. Symptom-symptom ini
berkembang dengan cepat dan muncul pada lima tahun pertama dari
penyakit (Fenton & McGlashan, 1991).
Penderita skizofrenia paranoid biasanya mengalami peningkatan
kecurigaan dan kesulitan dalam hubungan pribadi, gejala-gejala yang
muncul didominasi oleh dua hal yaitu kecurigaan dan kebesaran diri.
Delusi dan halusinasi yang dialami oleh penderita ini biasanya didominasi
oleh perasaan dibuntuti, diintai. Hal tersebut tentunya mendorong
kecurigaan yang tidak beralasan kepada orang lain. Sementara halusinasi
dan delusi tentang kebesaran, penderita merasa bahwa dirinya seseorang
yang diutus untuk membawa dunia ini kearah yang lebih baik, atau
mengaku bahwa dirinya seorang tokoh dari masa lalu misalnya napoleon,
hayam wuruk, yesus dan lain-lain.

Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe paranoid

Suatu jenis skizofrenia yang memenuhi kriteria:

1. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau sering mengalami


halusinasi auditorik.
2. Tidak ada ciri berikut yang mencolok: bicara kacau, motorik kacau
atau katatonik, afek yang tidak sesuai atau datar.

2.5.7 Skizofrenia Undifferentiated (Skizofrenia yang tidak dapat


dibedakan)
Pada penderita skizofrenia undifferentiated, symptom-symptom
bercampur sehingga menyulitkan dokter jiwa untuk mengklasifikasikan
termasuk tipe gangguan skizofrenia yang mana. Diagnosis gangguan ini
digunakan apabila penderita menunjukan symptom-symptom yang
kompleks seperti delusi, halusinasi, tidak logis dalam berperilaku dan
kekacauan dalam berfikir, namun tidak dijumpai ciri-ciri paranoid,
katatonik, atau gangguan keadaan emosi dari tipe-tipe skizofrenia.
Penderita yang mengalami gangguan skizofrenia undifferentiated
tidak termasuk kedalam tipe skizofrenia yang telah dijelaskan, tipe ini
seperti kategori “keranjang sampah”. Para penderita mengalami semua
kriteria skizofrenia namun tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe-tipe
lain karena gejala-gejalanya bercampur aduk.
Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe undifferentiated

Sejenis skizofrenia dimana symptom-symptom memenuhi kriteria


A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia tipe Paranoid,
Disorganized, ataupun Katatonik.

2.5.8 Skizofrenia Residual (sisa-sisa skizofrenia)


Tipe ini biasanya dialami oleh penderita yang baru sembuh dari
gangguan skizofrenia namun terkadang masih mengalami beberapa gejala
yang ditunjukan oleh penderita skizofrenia.
Penderita tipe ini sudah tidak lagi mengalami delusi, halusinasi,
berfikir yang tidak logis dan kekacauan. Namun, mereka tetap termasuk
tipe skizofrenia karena mengalami dan masih menyimpan symptom-
symptom seperti emosi yang kasar, perilaku esentrik atau berfikir tidak
logis.
Penderita skizofrenia jarang dijumpai di kalangan anak-anak atau
usia tua, namun sekitar 75% pasien berumur 15-45 tahun, dengan umur
rata-rata 30 tahun. Perbandingan yang terjadi antara pria maupun wanita
hampir sama.
Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe residual
Sejenis skizofrenia dimana kriteria-kriteria berikut ini terpenuhi:
1. Tidak ada yang menonjol dalam hal delusi, halusinasi, pembicaraan
kacau, tingkah laku kacau atau tingkah laku katatonik.
2. Terdapat bukti keberlanjutan gangguan ini, sebagaimana ditandai oleh
adanya symptom-symptom negative atau dua atau lebih symptom
yang terdaftar di kriteria A untuk skizofrenia, dalam bentuk yang
lebih ringan.

2.5.9 Skizofrenia simplex


Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utamanya
adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berfikir biasanya ditemukan, waham dan halusinasinya jarang sekali ada.
Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan
keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan kemudian semakin
lama semakin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya
menjadi penganggur. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin
akan menjadi pengemis, pelacur atau penjahat.
2.6 Etiologi Skizofrenia

Pada umumnya orang awam beranggapan bahwa gangguan jiwa


disebabkan oleh santet atau diguna – guna atau kekuatan supra natural. Akan
tetapi sesungguhnya gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor yang
beriteraksi satu sama lain. Sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa
skizofrenia adalah penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor-faktor
genetik, ketidakseimbangan kimiawi di otak, abnormalitas struktur otak, atau
abnormalitas dalam lingkungan prenatal. Berbagai peristiwa stress dalam
hidup dapat memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia pada
mereka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini. Dibawah ini
merupakan bagan faktor-faktor penyebab gangguan jiwa :

Model
Diatesis
-Stress

psikog- Biologis
enesis
Gangguan
Jiwa

Sosio Psikologis
Kultural

2.6.4 Model Diatesis-Stres


Integrasi antara faktor biologis, faktor sosial dan lingkungan adalh model
diatesis-stres. Menurut model ini, seseorang mungkin memiliki suatu
kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh
lingkungan yang menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan
gejala skizofrenia. Contohnya, suatu keluarga yang penuh ketegangan,
dasar biologis untuk suatu diathesis dapat dibentuk oleh pengaruh
epigenetic, seperti penyalahgunaan zat.
2.6.5 Biologis
Pendekatan somatogenesis berusaha memahami kemunculan
skizofrenia sebagai akibat dari berbagai proses biologis dalam tubuh.

1. Faktor-Faktor Genetik (Keturunan)

Gen yang diwarisi seseorang sangat kuat mempengaruhi resiko


seseorang mengalami skizofrenia. Sebuah studi menunjukan bahwa
semakin dekat relasi seseorang dengan pasien skizofrenia, makin besar
resikonya untuk terkena gangguan tersebut. Adanya faktor keturunan yang
menentukan timbulnya skizofrenia. Buktinya adalah penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia, terutama anak-anak kembar satu
telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%, saudara kandung 7-15%,
bagi anak dengan salah salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-
16%, bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%, bagi kembar dua
telur 2-15%, bagi kembar satu telur 61-86%. Potensi untuk mendapatkan
skizofrenia diturunkan melalui gen yang resesif, potensi ini mungkin kuat,
mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak.

2. Biochemistry (Ketidakseimbangan Kimiawi Otak)

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak


yang disebut neurotransmitter – yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang
berlebihan di bagian-bagian otak tertentu atau dikarenakan sensitivitas
yang abnormal terhadap dopamine. Aktivitas dopamine yang berlebihan
saja tidak cukup untuk membuat seseorang mengalami skizofrenia.
Beberapa neurotransmitter lain juga berperan seperti serotonin dan
norepinephrine. Penderita skizofrenia mengalami ketidakteraturan dalam
jalur syaraf di otak yang memanfaatkan dopamine. Satu kemungkinan
adalah reaktivitas berlebihan dari reseptor dopamine terlibat untuk
menghasilkan pola prilaku simtom positif namun tidak simtom negative.
Menurut Frisch & Frisch (2011), Neurotransmiter adalah senyawa
organik endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmitter
terdiri dari:
Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan
ingatan dan meningkatkan kewaspadaan mental.
Serotonin: pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan
temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan
libido
Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat
perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran
dan memory
Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan
perhatian
Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi
automatic

3. Neuroanatomy (Abnormalitas Struktur Otak )

Penderita skizofrenia mengalami abnomalitas struktur spesifik


pada otaknya. Misalnya, pasien skizofrenia yang kronis cenderung
memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki volume
jaringan otak yang lebih sedikit dibandingkan orang normal. Penderita
gannguan skizofrenia menunjukan aktivitas yang sangat rendah pada lobus
frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas di bagian-bagian lain
otak seperti di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus
dan superior temporal gyrus.

Korteks prefrontalis adalah bagian otak yang mengendalikan


berbagai fungsi kognitif dan emosional. Sehingga fungsi ini terganggu
pada penderita skizofrenia. Cassanova, 1997 dalam Psikologi Abnormal
menyatakan bahwa penderita skizofrenia kesulitan dalam
mengorganisasikan pikiran-pikiran dan perilaku mereka dan menampilkan
tugas-tugas kognitif pada tingkat yang lebih tinggi, seperti
memformulasikan konsep, memformulasikan informasi, dan
memformulasikan tujuan dan rencana. Selain itu bagian otak ini juga
bertanggungjawab dalam pengaturan perhatian sehingga terdapat defisit
perhatian pada penderita penyakit ini.

4. Neurobehavioral (abnormalitas perilaku yang disebabkan oleh


kerusakan otak)

Kerusakan pada bagian-bagian otak tertentu ternyata memegang


peranan pada timbulnya gejala-gejala gangguan jiwa, misalnya:
1. Kerusakan pada lobus frontalis: menyebabkan kesulitan dalam proses
pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan, berfikir
abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.
2. Kerusakan pada Basal Gangglia dapat menyebabkan distonia dan
tremor
3. Gangguan pada lobus temporal limbic akan meningkatkan
kewaspadaan, distractibility, gangguan memori (Short time).

Penyebab skizofrenia karena kelainan susunan saraf pusat, yaitu


pada diencephalon atau kortex otak. Tetapi kelainan patologis yang
ditemukan mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan post mortem
atau artefak pada waktu membuat sediaan. Teori-teori itu dimasukan ke
dalam kelompok teori somatogenik, teori yang mencari penyebab
skizofrenia dalam kelainan badaniah.

Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan


ganglia basalis sering berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh
karena gangguan neurologis yang tidak disertai dengan gangguan
kecerdasan, cenderung memiliki waham yang kompleks. Sedangkan
waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering kali berupa
waham sederhana (kaplan dan Sadock, 1997).

Tabel 1. Teori-teori somatogenesis


Tentang penyebab skizofrenia
Teori-teori somatogenesis tentang penyebab skizofrenia

Genetik Penelitian pada keluarga, kembar dan anak adopsi


cenderung menunjukan bahwa kerentanan pada
skizofrenia di transmisikan secara genetik.
Biochemistry Obat antipsikotik menghambat reseptor dopamine,
cenderung menunjukan bahwa skizofrenia
disebabkan oleh masalah system dopamine.
Neuroanatomy Ketidaknormalan otak (misal: pembesaran
ventrikel) ditemukan diantara pasien-pasien
skizofrenia.
Neurobehavioral Kerusakan pada bagian-bagian otak tertentu
menyebabkan timbulnya gejala-gejala skizofrenia.

(Neale, Davidson & Haaga, 1996)


2.6.6 Psikologis
Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan
perasaan dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan waham
kebesaran terdapat perasaan yang tidak adekuat serta tidak berharga.
Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri, kemudian
memproyeksikan perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus
menjelaskan kepada orang lain. Apa yang seseorang pikirkan tentang suatu
kejadian mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Beberapa perubahan
dalam berpikir, perasaan atau perilaku akan mengakibatkan perubahan
yang lain. Dampak dari perubahan itu salah satunya adalah
halusinasi,dapat muncul dalam pikiran seseorang karena secara nyata
mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena itu, sesuai dengan
waktu, kepercayaan yang irrasional menghasilkan ketidakpuasan yang
ironis, menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus.

1. Pemahaman dan keyakinan agama


Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi
terhadap kejadian gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan
adanya hubungan ini. Sebuah penelitian ethnografi yang dilakukan oleh
Saptandari (2001) di Jawa tengah melaporkan bahwa lemahnya iman dan
kurangnya ibadah dalam kehidupan sehari – hari berhubungan dengan
kejadian gangguan jiwa. Penelitian saya di tahun 2011 juga telah
menemukan adanya hubungan antara kekuatan iman dengan kejadian
gangguan jiwa. Pada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran,
halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan mereka kuat (Suryani,
2011).

2. Pengalaman traumatis sebelumnya


Sebuah survey yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and
Anda (2005) di San Diego, Amerika Serikat selama 4 tahun terhadap
50,000 pasien psychosis menemukan sebanyak 64% dari responden pernah
mengalami trauma waktu mereka kecil (sexual abuse, physical abuse,
emotional abuse, and substance abuse). Penelitian lain yang dilakukan
oleh Hardy et al. (2005) di UK terhadap 75 pasien psychosis menemukan
bahwa ada hubungan antara kejadian halusinasi dengan pengalaman
trauma. 30,6% mereka yang mengalami halusinasi pernah mengalami
trauma waktu masa kecil mereka.
2.6.7 Sosio-Kultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat
dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan
penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas
menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui
aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut.
Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :
1. Cara-cara membesarkan anak

Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan


orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa
mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau
justru menjadi penurut yang berlebihan.

2. Sistem Nilai

Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang


satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering
menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral
yang diajarkan dirumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat
sehari-hari.

3. Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada Iklan-iklan


diradio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan bayangan-
bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin
jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Akibat rasa kecewa yang timbul,
seseorang mencoba mengatasinya dengan khayalan atau melakukan yang
merugikan masyarakat.
4. Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi.

Dalam masyarakat modern kebutuhan makin meningkat dan


persaingan makin meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan
ekonomi hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja lebih
keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar
dari kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula
urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor
gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul
dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya merupakan sebagian
mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal.
5. Perpindahan perpindahan kesatuan keluarga

Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya,


perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan). Hal ini cukup
mengganggu.

6. Masalah golongan minoritas

Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari lingkungan


dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan tampil dalam
bentuk sikap acuh atau melakukan tindakantindakan akan yang merugikan
orang banyak.

1. Psikoedukasi
Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya
terhadap terjadinya gangguan jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang
dilakukan oleh Pebrianti, Wijayanti, dan Munjiati (2009) menemukan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh keluarga
dengan kejadian Skizofrenia. Sekitar 69 % dari responden (penderita
skizofrenia) diasuh dengan pola otoriter, dan sekitar 16,7 % diasuh dengan
pola permissive.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono
si Sumatra Barat tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia
menemukan bahwa pola asuh keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5
kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan dengan
pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun yang mereka maksud dengan
pola asuh patogenik tersebut antara lain :
1. Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya
2. Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus
tunduk saja”
3. Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)
4. Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi
5. Penanaman disiplin yang terlalu keras
6. Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan
7. Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua
8. Perceraian
9. Persaingan dengan sibling yang tidak sehat
10. Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)
11. Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)
12. Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-
psikotik)
2. Faktor Koping
Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah,
secara umum ada dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh
individu tersebut, yaitu:
 Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi
yang menimbulkan stress.
 Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha
untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dampak yang akan timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh
tekanan.
Individu yang menggunakan problem –solving focused coping
cenderung berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya
sehingga bisa terhindar dari stress yang berkepanjangan sebaliknya
individu yang senantiasa menggunakan emotion-focused coping
cenderung berfokus pada ego mereka sehingga masalah yang dihadapi
tidak pernah ada pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres
yang berkepanjangan bahkan akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan
jiwa berat.

3. Stressor Psikososial
Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap
terjadinya gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang
sangat mempengaruhi respon dan koping mereka. Seseorang mengalami
stressor yang berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda dengan
seseorang yang hanya mengalami stressor ringan seperti terkena macet
dijalan. Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga
mempengaruhi respon dan koping. Seseorang yang mengalami banyak
masalah tentu berbeda dengan seseorang yang tidak punya banyak
masalah.

2.6.8 Psikogenesis
1. Pandangan Sigmund Freud
Kepribadian individu terus berkembang hingga mencapai
kematangan, secara psikis seseorang berkembang dari tak berdaya
menuju kematangan.
Freud bebicara soal perkembangan kepribadian dari fase oral-
genital. Dari primary narcism ke object relations ; dari infantile
sexuality ke genital supremacy. Hambatan-hambatan yang terjadi pada
masa perkembangan dapat menyebabkan fiksasi, bila terjadi fiksasi
maka perkembangannya terhambat. Secara mental ia “macet” di suatu
fase.
Orang yang mengalami skizofrenia terfiksasi di fase early oral. Di
fase itu seseorang lagi berada pada fase narcissism dengan ciri belum
mengenal object dan adanya omnipotence illusion. Dari primary
narcissm ia semestinya beralih ke object relations , dimana ia
mengenal object dan omnipotence illusion-nya mengalami
disillusionment. Perpindahan ini dapat terwujud dengan baik bilamana
secara biologis ia berkembang dengan normal dan bilamana ia
mendapat pengasuhan yang memadai.
early oral Fixation
stage

late oral
stage
Intense frustration
& conflict with genital
other stage
early anal
stage

latent
stage late anal
stage
phalic
stage

Skema 1 : psikogenesis skizofrena menurut Sigmund Freud

2. Pandangan Harry Stack Sullivan


Harry Stack Sullivan meyakini bahwa etiologi skizofrenia
berasal dari kesulitan-kesulitan interpersonal di awal kehidupan
(terutama relasi orang tau dengan anak), dan dia mengkonsepsikan
treatment sebagai proses interpersonal jangka panjang yang mencoba
untuk mengatasi masalah-masalah awal itu.
Kegagalan pengasuhan oleh ibu menghasilkan self yang cemas
pada bayi dan memebuat anak tak dapat memuaskan kebutuhannnya.
Aspek pengalaman ini kemudian mengalami disosiasi, tetapi kerusakan
pada self esteem ukup besar. Onset skizofrenia menurut Sullivan yaitu
tampilnya kembali self yang terdisosiasi itu yang menyebabkan panik
dan disorganisasi psikotik. Sullivan yakin bahwa pasien yang paling
parah sekalipun mempunyai kapasitas untuk interpersonal relatedness.
3. Pandangan Aliran Ego Psychology
Kegagalan ego boundary merupakan defisit utaa pada pasien
skizofrenia. Pasien skizofrenia tidak memiliki batasan antara yang di
dalam dan yang di luar karena ego boundary mereka tidak lagi
memadai, ego boundary berkembang melalui kontak fisik antara bayi
dan ibu. Tidak adanya stimulasi ini pada dyad ibu-bayi mengakibatkan
kesulitan skizofrenia membedakan dirnya dengan orang lain.
Kecenderungan pasien skizofrenia menyatu secara psikologis dengan
lingkungan sekitar merupakan salah satu cara untuk membangun
kembali kebahagiaan simbiotik diawal kehidupan. Namun, kebersatuan
ini mengakibatkan ketakutan akan penghancuran diri, merasa terjebak
antara keinginan utnuk bersatu dan ketakutan akan disintegrasi.
4. Pandangan Grotstein

Adanya hipersensitivitas pada stimuli perseptual sebagai


kekurangan utama. Kurangnya stimulus barrier dan tak terolahnya
impuls primitif destruktif skizofrenia sangat mengandalkan defense
mechanism splitting dan projective identification dalam suatu
desperate untuk mengeluarkannnya pada figure ibu.

5. Pandangan Heinz Kohut

Menurut kohut, psikosis merupakan akibat adanya gangguan


yang serius pada self, di mana tidak ada struktur defensive yang dapat
mengatasinya. Inti self, dapat menjadi noncohesive (keadaan
skizofrenia) baik karena kecenderungan biologis bawaan, maupun
karena totalitas dan kontinuitasnya tidak direspon oleh effective
mirroring di awal kehidupan. Narcistic injury pada self mungkin
merupakan faktor yang lebih berpengaruh pada kemunculan fenomena
psikotik daripada interpersonal loss berbagai objek cinta.

6. Pandangan Margaret Mahler

Margaret Mahler mengatakn bahwa pekembangan kepribadian


merupakan suatu proses individuai yang meliputi enam tahap yang
harus dilalui dari keadaan total merger hingga terapcainya
consolidation of individuality. Menurut Mahler, maladjustment yang
parah sebagaimana tampak dalam keadaan psikotik mempunyai asal-
usul dari kegagalan perkembangan ego untuk berpisah dari ibu
menjadi agen yang otonom.
7. Pandangan Thomas H. Ogden

Ogden (1982) mengatakan bahwa konflik utama pasien


skizofrenia adalah antara keinginan utnuk mempertahankan keadaan
psikologis di mana makna dan pikiran, dan kapasitas untuk menciptkan
pengalaman dan berfikir.

8. Pandangan Robbins

Menurut Robbins (1992), faktor-faktor neurologis tidak cukup


untuk mengakibatkan skizofrenia. Menurutnya, tugas-tugas
perkembangan anak yang berpresdiposisi menjadi schizophrenic
mengalami perbedaan makna dan perbedaan cara penyelesaian dan
dibentuk oleh sifat object relations dengan caretaker. Anak-anak yang
mengembangkan skizofrenia memiliki aversi atas object relations yang
membuat bonding dengan mereka terasa sulit. Terlalu peka pada
stimuli dan kesullitan memusatkan perhatian dan konsentrasi juga
umum pada trait-trait kepribadian pre-skizofrenia. Robbins juga telah
mengemukakan korelasi antara keadaan emosional dari mental
oblivion (pelupaan secara mental) dan temuan atropi kortikal dan
pengurangan aktivitas pada lobus frontalis pasien skizofrenia. Hal-hal
ini mengakibatkan bentuk simbiosis patologis dengan caretaker yang
kemudian tak mampu memenuhi tuntutan anak-anak semacam itu.

Benang Merah Pandangan Psikodinamik Tentang Skizofrenia

Dari bearbagai pemahaman psikodinamik yang ada tentang skizofrenia,


maka ada tiga hal utama yang tampaknya disepakati oleh berbagai pandangan
yang ada, yaitu:

1. Symptom-symptom psikotik memiliki makna.


2. Faktor etiologis adalah terganggunya hubungan antara bayi dan caretaker.
Penting diperhatikan, klinikus tidak menyalahkan para ibu, namun
cenderung berpandangan bahwa ada interaksi antara bayi yang memiliki
kekurangan neurobiologis dengan ibu yang mungkin tidak siap secara
emosional untuk menangani anak yang tak biasa. Jadi perlu kecocokan
antara ibu dan anak agar relasi menjadi baik,
3. Hubungan terapeutis yang berdasarkan psikodinamik dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien skizofrenia.
2.7 Contoh Kasus dan Diagnosis Menurut PPDGJ
2.7.4 RIWAYAT PENYAKIT
2.7.4.1 Keluhan Utama dan Alasan MRS
Berbicara-bicara sendiri
2.7.4.2 Riwayat Gangguan Sekarang
Keluhan dan gejala
Dialami kurang lebih 7 bulan yang lalu. Terkadang pasien
berbicara sendiri jika di luar rumah,sehingga oleh tetangga diejek sebagai
orang gila, begitu di ejek maka pasien mengejek balik sambil berbicara
terus menerus, terkadang dengan nada yang keras, pasien marah karena
disebut sebagai orang gila, tetapi jika diejek seperti itu pasien tidak sampai
memukul orang. Terkadang pasien mendengar suara bisikan yang
menyuruhnya untuk menjaga wilayah daerah luwu dari serangan perang
mandar, pasien mengatakan bahwa dirinya adalah penjaga daerah luwu,
dan perintah itu diterimanya dari pemimpin luwu yaitu raja luwu dengan
cara berkomunikasi lewat ilmu kebatinan, sehingga pasien mengetahui
keinginan dari raja luwu. Pasien juga mengatakan bahwa dirinya pernah
melihat hantu pada saat menonton bola dirumahnya, peristiwa tersebut di
lihatnya hanya sekali. Menurut ibunya, pasien pernah berkeinginan untuk
bepergian ke pulau kalimantan setelah menyelesaikan sekolahnya di SMK,
tetapi tidak diizinkan oleh orang tuanya. Perubahan perilaku terjadi
semenjak tahun 2005. Pada awalnya pasien tiba-tiba melihat hantu di
rumahnya ketika sedang menonton bola di televisi, pasien pun berlari
keluar rumah dan sangat ketakutan. Sejak peristiwa tersebut pasien selalu
merasa ketakutan. Pada tahun 2006, ayah pasien meninggal dunia dan
sejak saat itu pasien sering berbicara-bicara sendiri. Menurut adiknya,
setiap pasien melakukan aktivitas pasien selalu berbicara sendiri dengan
mengatakan ”salah lagi-salah lagi” sehingga aktivitas apa pun yang
dikerjakannya selalu dilakukan secara berulang-ulang. Keadaan ini hampir
tiap kali terjadi setiap pasien hendak melakukan aktivitas di rumahnya.
Dan pasien pun dimasukkan ke RS.Dadi untuk pertama kalinya 10 hari
setelah kepergian ayahnya pada bulan november 2006. Pasien di rawat di
RS.Dadi kurang lebih 1 bulan lamanya dan dikeluarkan pada bulan
desember 2006. Setelah keluar dari RS.Dadi pasien tidak meminum obat
secara teratur dan bahkan pernah tidak meminum obat sama sekali.
2.7.4.3 Hendaya :
2.7.4.3.1 Hendaya sosial (+)
2.7.4.3.2 Hendaya pekerjaan (+)
2.7.4.3.3 Hendaya penggunaan waktu senggang (+)
2.7.4.3.4 Faktor stresor psikososial : Tidak jelas
2.7.4.3.5 Gangguan sekarang dengan penyakit fisik dan psikis sebelumnya :
Tidak ada
2.7.4.4 Riwayat Gangguan Sebelumnya
2.7.4.4.1 Riwayat penyakit dahulu :
trauma (-) : pada usia 1 tahun, pasien pernah terjatuh dari Rumah
panggung, kepala terbentuk tetapi tidak berdarah, infeksi (-), kejang(-)
2.7.4.4.2 Riwayat penggunaan zat psikoaktif : merokok (-), alkohol (-)
2.7.4.4.3 Riwayat Kehidupan Pribadi
A. Lahir normal, cukup bulan, dibantu oleh bidan, tidak ada kecacatan
waktu lahir
B. Pertumbuhan dan perkembangan baik
C. Pasien dikenal sebagai pribadi yang pendiam, jika ada masalah
selalu dipendam
D. Pendidikan terakhir adalah SMK
E. Belum Menikah
2.7.4.4.4 Riwayat Kehidupan Keluarga
A. Pasien adalah anak pertama dari 6 bersaudara (♂,♀,♂, ♂, ♀,♀)
B. Hubungan dengan keluarga baik
C. Ayah meninggal sejak tahun 2006, sedangkan ibunya masih hidup
D. Pasien tinggal dengan ibunya serta saudara-saudaranya
E. Tidak ada riwayat keluarga yang menderita gangguan yang sama
Situasi Sekarang
A. Pasien tinggal bersama ibu dan saudara-saudaranya di palopo,
biaya hidup lebih banyak ditanggung oleh ibu dan saudara pasien.
2.7.4.4.5 Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien merasa dirinya tidak sakit
2.8 Terapi
2.8.4 Penanganan Biologis
1. Terapi Kejut dan Psychosurgery
Di awal tahun 1930-an praktik pemberian insulin dalam dosis
tinggi menyebabkan koma pada pasien. Sakel (1938), yang mengklaim
bahwa 3/4 dari pasien skizofrenia yang ditanganinya menunjukkan
perbaikan yang signifikan. Para peneliti menemukan data lain yaitu
terapi insulinnya sangat beresiko terhadap kesehatan termasuk koma
yang tidak bisa disadarkan dan kematian yang secara bertahap..
2. Perawatan di rumah sakit
Umumnya pasien yang mengalami gangguan skizofrenia dapat
diobati secara rawat jalan, tetapi karena alasan tertentu beberapa pasien
dirawat inap di Rumah Sakit. Beberapa alasan rawat inap yaitu:
Pertama diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap
menunjukkan kondisi medis nonpsikiatris yang menyebabkan gangguan
delusional. Kedua jika pasien tidak mampu mengendalikan impulsnya,
sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Ketiga jika
perilaku pasien tentang waham telah mempengaruhi fungsi
kehidupannya, sehingga kemampuannya untuk dapat berfungsi dalam
keluarga dan masyarakat berkurang. Karena hal-hal tersebut,
diperlukannya intervensi professional untuk menstabilkan hubungan
sosial atau pekerjaan.
3. Farmakoterapi
Dalam keadaan darurat, penderita skizofrenia harus diberikan
obat antipsikotik. Sebagian besar klinisi berpendapat bahwa obat
antipsikotik adalah obat gangguan delusional. Pasien kemungkinan
menolak medikasi karena mereka dapat secara mudah menyatukan
pemberian obat ke dalam sistem wahamnya. Dokter tidak boleh
memaksakan medikasi segera setelah perawatan di rumah sakit. Dokter
harus menjelaskan efek samping potensial kepada pasien, sehingga
pasien kemudian tidak menganggap bahwa dokter berbohong.
Catatan medis pasien adalah pedoman terbaik dalam memilih
suatu obat. Biasanya obat diberikan dalam dosis rendah dan
ditingkatkan secara perlahan-lahan. Jika respon gagal dalam masa
percobaan selama 6 minggu, dapat dicoba antipsikotik dari golongan
lain. Adakalanya pasien dengan gangguan psikotik menolak pemberian
medikasi ini, karena mereka memasukkan hal ini ke dalam sistem
wahamnya, misalnya pasien curiga ada racun di dalam obat yang
diberikan. Dalam hal ini perlu kebijaksanaan dokter untuk menjelaskan
kepada pasien secara perlahan-lahan, bahwa sama sekali tidak ada niat
untuk berbuat jahat pada dirinya.

2.6.2 Penanganan Psikologis

1. Psikoterapi

Hal yang terpenting dan yang utama dilakukan dari psikoterapi


yaitu menjalin hubungan yang baik antara pasien dengan ahli terapinya.
Terapi individual tampaknya lebih efektif daripada terapi kelompok. Ahli
terapi tidak boleh setuju atau menantang waham pasien, walaupun ahli
terapi harus menanyakan waham untuk menegakkan diagnosis. Dokter
dapat menstimulasi motivasi untuk mendapatkan bantuan dengan
menekankan kemauannya untuk membantu pasien mengatasi kecemasan
dan iritabilitasnya, tanpa menyatakan bahwa waham yang diobati. Ahli
terapi tidak boleh secara aktif mendukung gagasan bahwa waham adalah
kenyataan.

Kejujuran ahli terapi sangat penting. Ahli terapi harus tepat waktu
dan terjadwal, tujuannya adalah agar tercipta suatu hubungan yang kuat
dengan pasien dan pasien dapat percaya sepenuhnya pada ahli terapinya.
Kepuasan yang berlebihan dapat meningkatkan permusuhan dan
kecurigaan pasien karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat
dipenuhi. Ahli terapi dapat menghindari kepuasan yang berlebihan
dengan tidak memperpanjang periode perjanjian yang telah ditentukan,
dengan tidak memberikan perjanjian ekstra kecuali mutlak diperlukan,
dan tidak toleran terhadap bayaran.

1. Terapi keluarga
Jika anggota keluarga hadir, klinisi dapat memutuskan untuk
melibatkan mereka di dalam rencana pengobatan. Tanpa menjadi terlihat
berpihak pada musuh, klinisi harus berusaha mendapatkan keluarga
sebagai sekutu di dalam proses pengobatan. Sebagai akibatnya, baik
pasien dan anggota keluarganya perlu mengerti bahwa konfidensialitas
dokter-pasien akan dijaga oleh ahli terapi dan dengan demikian
membantu pasien.
Hasil terapi yang baik tergantung pada kemampuan dokter
psikiatrik untuk merespon terhadap ketidakpercayaan pasien terhadap
orang lain dan konflik interpersonal, frustasi, dan kegagalan yang
dihasilkannya. Tanda terapi yang berhasil mungkin adalah suatu
kepuasan penyesuaian sosial, bukannya menghilangkan waham pasien.
2. Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan keterampilan sosial dirancang untuk mengajari para
penderita skizofrenia bagaimana dapat berhasil dalam berbagai situasi
interpersonal yang sangat beragam, berbagai perilaku yang bagi sebagian
orang dilakukan begitu saja dan hampir tidak pernah kita pikirkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi para penderita skizofrenia, keterampilan
kehidupan tersebut bukan hal yang dapat dilakukan begitu saja; para
individu semacam itu harus berusaha keras untuk menguasainya atau
kembali menguasainya. Dengan melakukan hal-hal tersebut
memungkinkan orang yang bersangkutan mengambil bagian lebih besar
dalam hal-hal positif sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka
(Heinssen, Liberman, & Kopelowicz, 2000; Liberman, Eckman,
Kopelowicz, & Stolar, 2000).

3. Terapi Kognitif-Behavioral.

Kita beralih ke beberapa pendekatan kognitif-behavioral dalam


penanganan skizofrenia. Sebelumnya diasumsikan bahwa tidak ada
gunanya mencoba mengubah berbagai distorsi kognitif, termasuk delusi,
pada para pasien skizofrenik. Meskipun demikian, suatu literatur klinis
dan eksperimental yang sedang berkembang dewasa ini menunjukkan
bahwa berbagai keyakinan maladaptif pada beberapa pasien
kenyataannya dapat diubah dengan berbagai intervensi kognitif-be-
havioral (Gaiety, Fowler, & Kuipers, 2000).

4. Terapi personal (Personal Therapy).

Apa yang disebut Hogarty dkk. sebagai "terapi personal" adalah


suatu pendekatan kognitif behavioral berspektrum luas terhadap
multiplisitas masalah yang dialami pada pasien skizofrenia yang telah
keluar dari rumah sakit. Terapi individualistik ini dilakukan secara satu per
satu maupun dalam kelompok kecil. Satu elemen utama dalam pendekatan
ini adalah penurunan jumlah reaksi emosi para anggota keluarga
menurunkan tingkat kekambuhan setelah keluar dari rumah adalah
mengajari pasien bagaimana mengenali afek yang tidak sesuai.

Para pasien juga diajari untuk memerhatikan tanda-tanda


kekambuhan meskipun kecil dan mereka mempelajari berbagai
keterampilan untuk mengurangi masalah-masalah tersebut. Terapi tersebut
juga mencakup terapi perilaku rasional emotif untuk membantu pasien
mencegah berbagai frustrasi dan tantangan yang tidak terhindarkan dalam
kehidupan menjadi suatu bencana dan dengan demikian membantu mereka
menurunkan kadar stres.

Selain itu, pasien juga sering diajari teknik-teknik relaksasi otot


sebagai suatu alat bantu untuk belajar mendeteksi kecemasan atau
kemarahan yang berkembang secara perlahan kemudian menerapkan
keterampilan relaksasi untuk mengendalikan berbagai emosi tersebut
secara lebih baik. Asumsi yang berlaku adalah ketidakteraturan emosional
merupakan bagian dari berbagai diathesis biologis dalam skizofrenia dan
suatu faktor yang harus diterima dan dihadapi pasien dalam hidupnya dan
bukan dihilangkan (atau disembuhkan) seluruhnya. Namun, juga terdapat
fokus kuat untuk mengajarkan keterampilan sosial spesifik serta
mendorong pasien untuk telap meneruskan pengobatan mereka dalam
moda pemeliharaan, yaitu, dengan dosis yang umumnya lebih rendah dari
dosis yang diperlukan dalam fase penyakit yang akut dan paling parah.

Terakhir, hal penting dalam terapi ini adalah apa yang disebut
Hogarty dkk. sebagai "manajemen kritisisme dan penyelesaian konflik".
Istilah tersebut merujuk pada cara menghadapi umpan balik negatif dan
orang lain dan cara menyelesaikan berbagai konflik interpersonal yang
merupakan bagian tak terhindarkan dalam berhubungan dengan orang lain.

5. Terapi Reatribusi (Reatribution Therapy).

Kita baru saja mengkaji karya Hogarty dkk. yang mencakup


berbagai upaya untuk menerapkan terapi perilaku rasional emotif untuk
membantu para pasien skizofrenik agar tidak terlalu menganggap sebagai
suatu bencana bila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Juga terdapat bukti-bukti bahwa beberapa pasien dapat didorong untuk
menguji berbagai keyakinan delusional mereka dengan cara yang sama
seperti yang dilakukan oleh yang normal. Melalui diskusi kolaboratif (dan
dalam konteks berbagai moda intervensi lain, termasuk pemberian obat-
obatan antipsikotik), beberapa pasien dibantu untuk memberikan suatu
makna nonpsikotik terhadap berbagai simtom paranoid sehingga
mengurangi intensitas dan karakteristiknya yang berbahaya, sama dengan
yang dilakukan dalam terapi kognitif Beck untuk depresi dan pendekatan
Barlow terhadap gangguan panik (Beck & Rector, 2000; Drury dkk., 1996;
Haddock dkk., 1998). Dengan peringatan bahwa pendekatan yang cukup
intelektual ini mungkin hanya tepat bagi minoritas pasien skizofrenia,-
berikut ini adalah contoh awal pendekatan tersebut yang diambil dari salah
satu kasus kami sendiri.
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan
A. Pengertian skizofrenia

skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang menyebabkan


terpecahnya antara emosi, fikiran dan perilaku individu. Gangguan ini
termasuk kedalam kategori gangguan kronis dan penderita penyakit ini
dapat kambuh ketika adanya stressor.

B. Tanda – tanda Orang yang Terkena Gangguan Jiwa


Symptom positif
Delusi (waham) : Grandeur (waham kebesaran), Guilt (waham rasa
bersalah), I’ll health (waham penyakit), Jealousy (waham cemburu),
Passivity (waham pasif), Persecution (waham kejar), Poverty (waham
kemiskinan), Reference (waham rujukan).
Halusinasi
Symptom negative
Avolition/apathy,Alogia, Anhedonia, Abulia, Afek datar.
C. Epidemiologi
1. Usia dan Jenis Kelamin
2. Musim Kelahiran
3. Distribusi Geografis
4. Angka Reproduksi
5. Penyakit Medis

D. Tipe-tipe Skizofrenia
Dibawah ini adalah tipe-tipe skizofrenia:
1. Skizofrenia katatonik
2. Skizofrenia yang kacau (hebefreunik)
3. Skizofrenia paranoid
4. Skizofrenia Undifferentiated (Skizofrenia yang tidak dapat
dibedakan)
5. Skizofrenia Residual (sisa-sisa skizofrenia)
6. Skizofrenia simplex

E. Etiologi Skizofrenia

Bagan faktor-faktor penyebab gangguan jiwa :


Model
Diatesis-
Stress

psikog- Biologis
enesis
Gangguan
Jiwa

Sosio Psikologis
Kultural

F. Terapi
Penanganan Biologis
1. Terapi Kejut dan Psychosurgery
2. Perawatan di rumah sakit
3. Farmakoterapi

Penanganan Psikologis

1. Psikoterapi
2. Terapi keluarga
3. Pelatihan Keterampilan Sosial
4. Terapi Kognitif-Behavioral
5. Terapi personal (Personal Therapy)
6. Terapi Reatribusi (Reatribution Therapy)
Daftar Pustaka

Arif, iman setiadi. 2006. Skizofrenia (memahami dinamika pasien). Bandung:

Refika Aditama.

Liftiah. 2013. Psokologi Abnormal. Semarang: Widya Karya.

Sabrina, Rizqa. Konseling Eksistensi untuk Meningkatkan Kebermaknaan Hidup

pada Penderita Skizofrenia. Makalah yang Disampaikan pada Seminar

Asean 2nd Psychology and Humanity, Februari 19-20, Malang.

Suryani. Mengenal Gejala dan Penyebab Gangguan Jiwa. Makalah yang

Disampaikan pada Seminar Nasional “Stigma terhadap orang gangguan

jiwa” BEM Psikologi UNJANI, Oktober 10, Bandung. (dipublikasikan

pada laman:https://www.researchgate.net/publication/273866139)

Kaplan, dan Sadock. Synopsis Psikiatri (Ilmu Pengetahuan Perilaku,Psikiatri


Klinis). (Jilid 2, Edisi Ke-7)

Anda mungkin juga menyukai