Anda di halaman 1dari 9

PENGERTIAN ASMA

Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala mengi,
batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari yang
umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009).

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel dan
elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan (PDPI, 2003).

Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di
mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang ditandai
dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi (Smeltzer &
Bare, 2002).

PENYEBAB ASMA

erdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu sensitisasi,
inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan.

a. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas bronkus,


jenis kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok,
polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga)
apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan menimbulkan sensitisasi
pada dirinya. Faktor pemicu tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu rumah,
binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan asap rokok.

b. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi asma.
Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses inflamasi pada saluran
napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis
berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan
pemakaian β2 agonis.

c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan oleh
pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (Depkes RI, 2009).

Faktor pencetus asma adalah semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan
aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin . Secara umum faktor pencetus serangan
asma adalah:
1) Alergen

Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan
serangan asma seperti debu rumah, tungau, spora jamur, bulu binatang, tepung sari, beberapa
makanan laut (Muttaqin, 2008). Makanan lain yang dapat menjadi faktor pencetus adalah
telur, kacang, bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan dan susu sapi (Depkes RI,
2009).

2) Infeksi saluran pernapasan

Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan dua pertiga pasien asma
dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan (Muttaqin, 2008).
Asma yang muncul pada saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya
sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat Anti-Inflamasi Non
Steroid (AINS), atau dapat juga terjadi karena mendapatkan pemicu seperti debu dan bulu
binatang di tempat kerja yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas yang berulang.
Ini disebut dengan occupational asthma yaitu asma yang disebabkan karena pekerjaan
(Ikawati, 2010).

3) Tekanan jiwa

Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak labil
kepribadiannya, ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Muttaqin, 2008). Ekspresi
emosi yang dimunculkan secara berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus asma (Depkes
RI, 2009).

4) Olahraga/kegiatan jasmani yang berat

Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA) terjadi segera setelah
olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat. Lari cepat dan bersepeda merupakan dua jenis
kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma (Muttaqin, 2008).

5) Obat-obatan

Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu (Muttaqin, 2008). Obat
tersebut misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker, dan lain-lain (Depkes RI, 2009)

6) Polusi udara

Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau kendaraan, asap rokok,
asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal serta bau yang tajam
(Muttaqin, 2008).

TANDA DAN GEJALA ASMA

Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada.
Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari (PDPI, 2003). Setelah
pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk
bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan
memanjang selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang
sempit karena mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan ciri
khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk
produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson, 2006).

Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala-
gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran tekanan nadi). Pada
pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa, dikenal
dengan istilah “status asmatikus”. Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten
yang tidak berespon terhadap terapi konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari
24 jam (Smeltzer & Bare, 2002).

Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes, 2009). Gejala asma dapat diperburuk oleh
keadaan lingkungan seperti perubahan temperatur, terpapar bulu binatang, uap kimia, debu,
serbuk, obat-obatan, olahraga berat, infeksi saluran pernapasan, asap rokok dan stres (GINA,
2005). Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, pada asma
alergik biasanya disertai pilek atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai sekret,
namun dalam perkembangannya pasien asma akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid,
putih dan terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasien asma yang hanya mengalami
gejala batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah cough variant asthma
(Sundaru, 2009).

KLASIFIKASI ASMA

Terdapat jenis-jenis asma menurut Smeltzer & Bare (2002) yaitu:

a. Asma alergik

Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan dan jamur.
Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat musiman, biasanya pasien juga memiliki
riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis eczema atau rhinitis alergik. Pajanan
terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak dengan asma alergik sering dapat mengatasi
kondisi sampai masa remaja.

b. Asma idiopatik atau nonalergik

Jenis asma ini tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor seperti common cold,
infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat mencetuskan
serangan. Selain itu beberapa agen farmakologi juga dapat menjadi faktor seperti aspirin dan
agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adrenergik dan pengawet
makanan. Serangan pada asma ini menjadi lebih berat dan sering, kemudian dapat
berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema.
c. Asma gabungan

Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik dari bentuk
alergik maupun idiopatik/nonalergik.

PATOFISIOLOGI ASMA

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada pasien
asma (PDPI, 2003). Inflamasi saluran napas pada pasien asma merupakan hal yang mendasari
gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi saluran napas yang menyebabkan hambatan
aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan (Sundaru, 2009).
Obstruksi pada pasien asma dapat disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi
bronkus yang menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronkus
dan pengisian bronkus dengan mukus yang kental (Smeltzer & Bare, 2002).

Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe
alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar,
golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan
sel mast pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang menyebabkan
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE
yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai
macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos
bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme
bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa
minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008).

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabutdan
SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsang menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Sistem saraf otonom mempersarafi
paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada
asma idiopatik, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor pencetus maka
akan meningkatkan pelepasan jumlah asetilkolin. Ini menyebabkan bronkokonstriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi (Smeltzer & Bare, 2002).

PENATALAKSANAAN ASMA \

Tujuan utama penatalaksanaan asma menurut PDPI (2003) adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal kembali tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Terdapat tujuh komponen program
penatalaksanaan asma yaitu:

a. Edukasi

Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tujuan dari seluruh
edukasi adalah membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma. Edukasi terkait dengan cara dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus,
mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma. Bentuk
pemberian edukasi dapat berupa komunikasi saat berobat, ceramah, latihan, diskusi, sharing,
leaflet, dan lain-lain (PDPI, 2003).

b. Menilai dan memonitor derajat asma secara berkala

Penilaian klinis berkala antara 1 – 6 bulan dan monitoring asma oleh pasien dilakukan pada
penatalaksanaan asma. Ini dikarenakan berbagai faktor yaitu gejala dan berat asma berubah
sehingga membutuhkan perubahan terapi, pajanan pencetus menyebabkan perubahan pada
asma, dan daya ingat serta motivasi pasien perlu direview sehingga membantu penanganan
asma secara mandiri. Pemeriksaan faal paru, respon pengobatan saat serangan akut, deteksi
perburukan asimptomatik sebelum menjadi serius, respon pengobatan jangka panjang, dan
identifikasi pencetus perlu dimonitor secara berkala (PDPI, 2003).

c. Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

Pasien asma ada yang dengan mudah mengenali faktor pencetus namun ada juga yang tidak
dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Identifikasi faktor pencetus perlu dilakukan
dengan berbagai pertanyaan mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan
seperti alergen yang dihirup, pajanan lingkungan kerja, polutan dan iritan di dalam dan di luar
ruangan, asap rokok, refluks gastroesofagus dan sensitif dengan obat-obatan (PDPI, 2003).

d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena). Obat-obatan asma ditujukan untuk mengatasi dan
mencegah gejala obstruksi jalan napas yang terdiri atas pengontrol dan pelega. Pengontrol
merupakan medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol (controllers) sering disebut pencegah yang terdiri dari (PDPI, 2003):

1) Glukokortikosteroid inhalasi

Merupakan pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma dan
merupakan pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Berbagai penelitian
menunjukkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan serta memperbaiki kualitas hidup.

2) Glukokortikosteroid sistemik

Pemberian melalui oral atau parenteral, digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma
persisten berat (setiap hari atau selang sehari), namun penggunaanya terbatas mengingat
risiko efek sistemik yaitu osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak, glaukoma, obesitas dan
kelemahan otot.

3) Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui
reaksi yang diperantai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel
inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, manosit) serta menghambat saluran kalsium pada sel
target. Pemberian secara inhalasi pada asma persisten ringan dan efek samping minimal
berupa batuk dan rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi.

4) Teofilin

Teofilin merupakan bronkodilator yang memiliki efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi.


Digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dengan merelaksasi
secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal. Efek samping berupa mual,
muntah, diare, sakit kepala, insomnia dan iritabilitas.

5) Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Memiliki efek relaksasi otot polos, meningkatkan
pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.

6) Leukotriene modifiers

Merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan
latihan berat. Selain itu juga memiliki efek antiinflamasi.
Pelega pada prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti mengi, batuk dan rasa berat di dada, serta tidak memperbaiki inflamasi jalan napas
atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Pelega (reliever) terdiri dari:

1) Agonis beta-2 kerja singkat

Golongan terdiri dari salbutamol, terbutalin, fenoterol dan prokaterol yang telah beredar di
Indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi memiliki kerja lebih
cepat dan efek samping minimal. Efek samping dapat berupa rangsangan kardiovaskular,
tremor otot rangka dan hipokalemia.

2) Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi, mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan asetilkolin dari
saraf kolinergik pada jalan napas. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide
dan tiotropium bromide. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.

3) Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak ada agonis beta-
2 atau tidak merespon dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus
hati-hati pada usia lanjut atau pada pasien gangguan kardiovaskuler.

Selain pemberian obat pelega dan pengontrol asma, beberapa cara digunakan sebagai
terapi pelengkap untuk mempercepat proses penyembuhan

asma seperti homeopati, terapi herbal, ayuverdik medicine, ionizer, osteopati dan manipulasi
chiropractic, spleoterapi, teknik pernapasan Buteyko, akupuntur, hipnosis, dan lain-lain
(PDPI, 2003). Salah satu terapi pelengkap untuk pasien asma adalah teknik pernapasan
Buteyko. Teknik pernapasan ini didasarkan pada usaha mengembalikan cara bernapas yang
benar pada pasien asma (Vitahealth, 2005).

e. Menetapkan terapi penanganan terhadap gejala

Terapi dilakukan sesuai dengan keadaan pasien, terapi ini dianjurkan kepada pasien yang
memiliki pengalaman buruk terhadap gejala asma dan dalam kondisi darurat. Penanganan
dilakukan di rumah pasien dengan menggunakan obat bronkodilator seperti β2-agonis
inhalasi dan glukokortikosteroid oral (GINA, 2005)

f. Kontrol secara teratur

Penatalaksanaan jangka panjang harus memperhatikan tindak lanjut (follow up) teratur dan
rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lebih lanjut. Pasien dianjurkan untuk
kontrol tidak hanya saat terjadi serangan akut, namun kontrol teratur sesuai jadwal yang telah
ditentukan, interval berkisar 1-6 bulan tergantung pada keadaan asma. Ini dilakukan untuk
memastikan asma tetap terkontrol dengan mengupayakan penurunan terapi seminimal
mungkin (PDPI, 2003).
g. Pola hidup sehat

Dalam penatalaksanaan asma, pola hidup sehat sangat penting seperti melakukan olahraga
secara teratur untuk meningkatkan kebugaran fisik, menambah rasa percaya diri dan
meningkatkan ketahanan tubuh. Bagi pasien yang memiliki jenis asma dimana serangan
timbul setelah exercise (Exercise-Induced Asthma/EIA) dianjurkan menggunakan beta-2
agonis sebelum melakukan olahraga. Berhenti atau tidak merokok dan menghindari faktor
pencetus juga dapat dilakukan oleh pasien asma untuk mencegah terjadinya serangan asma
(PDPI, 2003).

TINGKAT KONTROL ASMA

Penatalaksanaan asma bertujuan mengontrol penyakit yang disebut dengan asma


terkontrol, di mana kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (PDPI, 2003). GINA yang
merupakan organisasi kerjasama WHO dengan National Heart, Lung and Blood Institute
(NHLBI) Amerika Serikat memperkenalkan panduan diagnosis dan tata laksana asma.
Panduan pengobatan asma menurut GINA menekankan pentingnya upaya pengobatan
mencapai dan mempertahankan asma terkontrol (GINA, 2011). Menurut Depkes RI (2009),
untuk menentukan kondisi pasien dapat dilihat ciri-ciri dari asma terkontrol, terkontrol
sebagian dan tidak terkontrol yang dijelaskan sebagai berikut:

Manifestasi klinis asma yaitu gejala-gejala yang timbul, seperti gangguan tidur,
keterbatasan aktivitas harian, kerusakan fungsi paru dan penggunaan obatobatan dapat
dikontrol dengan terapi yang sesuai. Jika asma berhasil dikontrol, maka hanya akan terjadi
rekurensi gejala berkala dan eksaserbasi berat akan menjadi sangat jarang. Penurunan gejala
asma menunjukkan perbaikan kontrol asma (NHLBI, 2003). Tingkat asma terkontrol
memungkinkan pasien dapat melakukan aktivitas kehidupannya seperti orang sehat lainnya
(GINA, 2011).

Berbagai faktor berperan dalam mempengaruhi tingkat kontrol asma seperti usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, merokok, asma derajat berat, penggunaan obat kortikosteroid
yang salah, genetik, penyakit komorbid (rhinitis alergi), kepatuhan berobat yang buruk,
pengetahuan mengenai asma dan berat badan berlebih (Atmoko, 2009). Mengevaluasi kontrol
asma membutuhkan suatu metode yang sederhana dan praktis bukan saja untuk membantu
petugas kesehatan tetapi juga berguna untuk penelitian. Kriteria ideal alat ukur asma adalah
sederhana, praktis, bermanfaat, dapat diaplikasikan oleh pasien, petugas kesehatan dan
peneliti, serta mampu merefleksikan kontrol asma jangka panjang, bersifat diskriminatif dan
menunjukkan respon terhadap perubahan (Kusumawati, 2010).

Penilaian yang telah divalidasi untuk menilai kontrol klinis asma menghasilkan tujuan
sebagai variabel kontinu serta menyediakan nilai numerik untuk membedakan tingkat kontrol
yang berbeda-beda. Contoh instrumen yang telah divalidasi adalah Asthma Control Test
(ACT), Asthma Control Questionnare (ACQ) dan Asthma Control Scoring System (ACSS),
Childhood Asthma Control Test (C-ACT), Asthma Theraphy Assesment Questionnare
(ATAQ). Instrumeninstrumen berupa kuesioner dengan atau tanpa pemeriksaan fungsi paru
ini memiliki potensi meningkatkan pemeriksaan kontrol asma, menyediakan pemeriksaan
yang objektif dan dapat dilakukan berulangkali yang dapat ditulis dalam lembar kemajuan
dalam waktu tertentu. Selain itu untuk dapat mengukur dengan cepat dan tepat diperlukan
suatu alat ukur yang dapat digunakan secara akurat (NHLBI, 2003).

Berdasarkan beberapa alat ukur yang digunakan untuk menilai tingkat kontrol asma,
kuesioner yang paling sering digunakan yaitu kuesioner Asthma Control Test (ACT)
(Sundaru, 2011). ACT lebih valid, reliable, mudah digunakan dan lebih komprehensif
dibandingkan jenis kuesioner lain sehingga dapat digunakan secara luas (Edisworo, 2009).
ACT adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang pasien asma
untuk mengetahui asmanya terkontrol atau tidak. Kuesioner ini terdiri dari lima pertanyaan,
dikeluarkan oleh American Lung Association bertujuan memberi kemudahan kepada petugas
kesehatan dan pasien untuk mengevaluasi asma pada pasien yang berusia diatas 12 tahun dan
menetapkan terapi pemeliharaannya. ACT tidak memakai kriteria faal paru untuk menilai
kontrol asma (Nathan et al, 2004 dalam Widysanto dkk, 2009). Parameter yang dinilai dalam
kuesioner ACT adalah gangguan aktivitas harian akibat asma, frekuensi gejala asma, gejala
malam, penggunaan obat pelega dan persepsi terhadap kontrol asma (Zaini, 2011).

Pertanyaan pada Asthma Control Test berjumlah lima buah dan tiap pertanyaan diskor
mulai dari 1 sampai dengan 5. Telah dilakukan uji validasi dengan sensitifitas 68,4% dan
spesifisitas 76,2% (Eddy, 2008 dalam Kusumawati, 2010). Interpretasi hasil yaitu apabila
jumlah nilai sama atau lebih kecil dari 19 adalah asma tidak terkontrol, apabila nilai 20-24
adalah asma terkontrol sebagian dan apabila nilai 25 adalah asma terkontrol penuh. Tujuan
Asthma Control Test adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol, mengubah pengobatan
yang tidak efektif menjadi lebih tepat, melaksanakan pedoman pengobatan secara lebih tepat
dan memberikan pendidikan atau pengetahuan tentang bahaya keadaan asma yang tidak
terkontrol. Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat dipakai secara luas untuk
menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang (Widysanto dkk, 2009).

Anda mungkin juga menyukai