DI INDONESIA
84 Votes
Kegiatan partisipasi politik di masa ini berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui
saluran partai politik yang mengakomodasikan ideologi dan nilai primordialisme yang
tumbuh di tengah masyarakat, namun hanya melibatkan segelintir elit politik. Dalam masa ini
yang dikecewakan dari Soekarno adalah masalah presiden yang hanya sebagai simbolik
semata begitu juga peran militer.
Akhirnya massa ini mengalami kehancuran setelah mengalami perpecahan antar elit dan antar
partai politik di satu sisi, serta di sisi lain akibat adanya sikap Soekarno dan militer mengenai
demokrasi yang dijalankan. Perpecahan antar elit politik ini diperparah dengan konflik
tersembunyi antar kekuatan parpol dengan Soekarno dan militer, serta adanya
ketidakmampuan setiap kabinet dalam merealisasikan programnya dan mengatasi potensi
perpecahan regional ini mengindikasikan krisis integral dan stabilitas yang parah. Keadaan
ini dimanfaatkan oleh Soekarno untuk merealisasikan nasionalis ekonomi, dan
diberlakukanya UU Darurat pada tahun 1957, maka sebuah masa demokrasi terpimpin kini
telah mulai.
Periode demokrasi terpimpin ini secara dini dimulai dengan terbentuknya Zaken Kabinet
pimpinan Ir. Juanda pada 9 April 1957, dan menjadi tegas setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Kekuasaan menjadi tersentral di tangan presiden, dan secra signifikan diimbangi
dengan peran PKI dan Angkatan Darat. Kekuatan-kekuatan Suprastruktur dan infrastruktur
politik dikendalikan secara hampir penuh oleh presiden. Dengan ambisi yang besar PKI
mulai menmperluas kekuatannya sehingga terjadi kudeta oleh PKI yang akhirnya gagal di
penghujung September 1965, kemudian mulailah pada massa orde baru.
Implementasi demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan baru terbatas pada
interaksi politik diparlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan.
Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada
periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan hal-hal mendasar. Pertama,
pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Kedua, presiden yang secara konstitusional
ada kemungkinan untuk menjadi dictator. Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka
dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian menjadi peletak dasar
bagi system kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan
politik kita.
Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959, dengan
menggunakan UUD Sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Pada masa ini
adalah masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat
ditemukan dalam perwujudan kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan rakyat
atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan.
Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak
percaya kepad pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya.
Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode ini merupakan contoh konkret dari
tingginya akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi. Ada hampir 40 partai yang terbentuk
dengan tingkat otonomi yang tinggi dalam proses rekruitmen baik pengurus, atau pimpinan
partainya maupun para pendukungnya.
Demokrasi parlementer gagal karena (1) dominannya politik aliran, sehingga membawa
konsekuensi terhadap pengelolaan konflik; (2) basis sosial ekonomi yang masih sangat
lemah;(3) persamaan kepentingan antara presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan
Darat, yang sama-sama tidak senang dengan proses politik yang berjalan.
3. Perkembangan Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sejak berakhirnya pemillihan umum 1955, presiden Soekarno sudah menunjukkan gejala
ketidaksenangannya kepada partai-partai politik. Hal itu terjadi karena partai politik sangat
orientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan dan kurang memperhatikan kepentingan
politik nasional secara menyeluruh.disamping itu Soekarno melontarkan gagasan bahwa
demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia yang dijiwai oleh
semangat kekeluargaan dan gotong royong.
Politik pada masa ini diwarnai oleh tolak ukur yang sangat kuat antara ketiga kekuatan politik
yang utama pada waktu itu, yaitu: presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan
Angkatan Darat. Karakteristik yang utama dari demokrasi terpimpin adalah: menggabungkan
sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR peranan lembaga legislatif dalam sistem
politik nasionall menjadi sedemikian lemah, Basic Human Right menjadi sangat lemah, masa
demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semnagt anti kebebasan pers, sentralisasi
kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Wajah demokrasi mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi,
poltik dan, ideologi sesaat atau temporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru
ditandai oleh adanya kebebasan politik yang besar. Presiden Soeharto yang menggantikan Ir.
Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi,
yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model
demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila. Dalam masa
yang tidak lebih dari tiga tahun ini, kekuasaan seolah-olah akan didistribusikan kepada
kekuatan masyarakatan. Oleh karena itu pada kalangan elit perkotaan dan organisasi sosial
politik yang siap menyambut pemilu 1971, tumbuh gairah besar untuk berpartisipasi
mendukung program-program pembaruan pemerintahan baru.
Perkembangan yang terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara
dengan masyarakat. Negara Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan
relatif otonom, dan sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkungan kekuasaan
danproses formulasi kebijakan. Kedaan ini adalah dampak dari (1) kemenangan mutlak dari
kemenangan Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik yangkuat kepada negara;
(2) dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasai, depolitisasai, dan
institusionalisasi; (3) dipakai pendekatan keamanan; (4) intervensi negara terhadap
perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan kepda negara untuk
mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi; (5) tersedianya sumber biaya
pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari komoditas nonmigas dan
pajak domestik, mauppun yang berasal dari bantuan luar negeri, dan akhirnya (6) sukses
negara orde baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakya sehingga
menyumbat gejolak masyarakat yang potensinya muncul karena sebab struktural.
Pemberontakan G-30-S/PKI merupaka titik kulminasi dari pertarungan atau tarik tambang
politik antara Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunisme Indonesia. Ciri-ciri
demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan,
terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan
ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh;
dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik,
pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai
politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga
nonpemerintah. Beberapa karakteristik pada masa orde baru antara lain: Pertama, rotasi
kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hamper ridak pernah terjadi. Kedua, rekruitmen politik
bersifat tertutup. Ketiga, PemilihanUmum. Keempat, pelaksanaan hak dasar waega Negara.
(Rukiyati, dkk. 2008:114-117)
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto,
maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan
reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara
yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya
UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan
tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.
Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya
laginya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar
lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan
terhadap model demokrasi yang dilaksana-kan dibandingkan dengan model Demokrasi
Pancasila di era Orde Baru. Dalam masa pemerintahan Habibie inilah muncul beberapa
indicator kedemokrasian di Indonesia. Pertama, diberikannya ruang kebebasan pers sebagai
ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, diberlakunya
system multi partai dalam pemilu tahun 1999.
Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah demokresi Pancasila,
tentu saja dengan karakteristik tang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan
demokrasi perlementer tahun 1950-1959. Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004)
jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua, ritasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai
pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa. Ketiga, pola rekruitmen politik untuk pengisian
jabatan politik dilakukan secara terbuka. Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin
seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat
https://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-1/ilmu-kewarganegaraan/perkembangan-
demokrasi-di-indonesia/
Dari hasil pemilu 1971 sampai pemilu 1997, pucuk pemerintahan tidak
pernah mengalami pergantian, hanya pejabat setingkat menteri yang silih berganti.
Namun terjadi kemajuan pesat di bidang pembangun secara fisik dengan bantuan dari
negara asing yang memberikan pinjaman lunak. Oleh karena besarnya pinjaman yang
menjadi beban pemerintah, bersamaan dengan krisis ekonomi maka pemerintahan
menjadi goyah. Selain itu, dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara
pada rezim orde baru kurang kosekuen dalam pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Tanggal 21 Mei 1998 presiden resmi mengundurkan diri.
Pada masa orde baru, kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor
ekonomi sudah diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi,
sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan
Orde Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan
Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita
masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter
dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan koruptor masih bercokol di
negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi
semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak
pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal
reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan lama
yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru
“terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat
sangat minimal) pada masa orba terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti
pembatasan ruang gerak pers, pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai
poltik, kekuasaan militer untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
I. Pembukaan
II. II. Pasal-pasal: 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal peraturan peralihan dan 2 pasal
aturan tambahan.
ABSTRAK:
Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang memegang penuh kedaulatan Rakyat. Pada
sistem ini rakyat ikut berpatisipasi langsung dalam pemerintahan. Salah satu bentuk pemerintahan yang
menganut sistem ini adalah masa orde baru, yaitu masa kepemimpinan presiden Soeharto. Demokrasi yang
digunakan rezim orde baru adalah demokrasi Pancasila yaitu demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai
Pancasila. Tapi pada kenyataannya banyak penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Yang
menimbulkan kekecewaan pada masyarakat dan mengakibatkan terjadi banyak pemberontakan di Indonesia
ABSTRACT:
Democration is a system of goverment which hold the full sovereignty of the people. In this system the
people have participate directly in government. One of kind the government that adheres the system is Orde
Baru, I’ts time for President Soeharto’s leadership. Democration which use from rezim of Orde Baru is
Democration of Pancasila that democration which based on the Pancasila’s values. But in the fact many
deviation that held by Orde Baru’s government. That make disaffection in the people and effected many
rebellion in he Indonesia.
Penduluan
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya
berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Baik secara langsung (demokrasi langsung) atau
melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang
diutarakan di Athena Kuno pada abad ke-5 SM. Kata demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos
yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu
bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan
orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi
sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Hal ini berarti kekuasaan
tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan, dan
suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang
diambil berdasarkan suara terbanyak.
Perubahan sistem pemerintahan di Indonesia yang menandai sebuah perubahan
kepemimpinan yang besar ketika Soekarno yang telaha menjadi presiden di Indonesia harus
digantikan oleh Soeharto yang secara tidak langsung merubah kepemerintahan di Indonesia. Sistem
pemikiran politik yang pada masa Soekarno di kenal dengan Orde Lama yang memnganut sistem
pemerintahan Demokrasi pemimpin diganti oleh Soeharto yang dikenal dengan Orde Baru yang
kemudian dikenal dengan sistem politik Demokrasi Pancasila.
Dalam pelaksanaan demokrasi dalam masa orde baru inilah terjadi banyak penyimpangan baik
yang disengaja maupun tidak disengaja. Dalam hal ini puncaknya adalah ketidakpuasn masyarakat
terhadap kinerja dari pemerintah pada masa orde baru. Demokrasi yang dijadikan sebagai bentuk
dari sistem pemerintahan pada masa orde baru tidak dapat berjalan dengan baik, karena
pemerintah yang seakan bertindak otoriter pada masa itu. Demokrasi pancasila yang dijadikan
sistem pemerintahan, ternyata di dalam pelaksanaannya terjadi banyak penyimpangan. Demokrasi
yang dijalankan oleh pemerintah orde baru sekilas terlihat begitu mengakomodasi kepentingan
rakyat. Tetapi, pada kenyataanya jika dilihat lebih jauh maka sebenarnya kepentingan rakyat
tersebut diatur dalam sebuah kendali yang yang paling utama dalam hal ini yaitu pemerintah orde
baru itu sendiri.
Oleh karena itu artikel dengan judul “Implementasi Pemikiran Demokrasi Pada Pemerintahan
Orde Baru Tahun 1965-1998” dibuat agar dapat dipahami implementasi pemikiran demokrasi pada
masa orde baru tahun 1966-1998.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara
umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh
dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi memiliki dua komponen dasar: substantif dan prosedural. Komponen pertama
adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat nilai-nilai dasar bagi suatu tatanan (sistem)
kehidupan politik dan ketatanegaraan yang keberadaanya mutlak diperlukan serta membedakannya
dengan sistem yang lain. Komponen kedua adalah seperangkat tata cara yang dipergunakan agar
sistem tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks masyarakat tertentu. Jika
komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat universal dan permanen, maka komponen kedua
bersifat kontekstual dan bentuknya terus menerus mengalami perkembangan serta terbuka (open-
ended).
Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial. Prinsip
demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat
Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip
demokrasi adalah:
1. Kedaulatan rakyat;
4. Hak-hak minoritas;
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat
manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.
Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk
lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi
hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara
dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga
negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan,
pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Sistem demokrasi
dibagi menjadi dua yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung (perwakilan). Ciri-ciri
pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut :
7. Semua warga negara memiliki kedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan
8. Kebebasan pers
Di Indonesia demokrasi dari masa ke masa mengalami perkembangan baik pada saat revolusi,
orde Lama, orde baru, reformasi hingga sekarang. Di setiap perkembangan demokrasi di Indonesia
terdapat pedoman dan aturan yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan atau tujuan yang hendak
dicapai dari pemerintahan yang berkuasa saat itu. Dalam Pelaksanaan demokrasi di Indonesia
terkadang mengalami kegagalan, salah satunya disebabkan karena ketidakkonsistenannya penguasa
sehingga peraturan yang dibuat hanya menguntungkan golongan tertentu.
Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan ekonomi
yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum memberikan dampak
ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam masa transisi.
Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara ekonomi adalah masalah riil kaum ekonomi
bawah yang belum diakomodasi dalam proses demokratisasi. Ini adalah salah satu tantangan
terberat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan
demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik. Setiap
manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat dan bermasyarakat.
Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main. Aturan main tersebut sesuai
dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam undang-undang maupun peraturan
pemerintah.
Dalam pada itu Jenderal Soeharto berusaha dengan gigih meyakinkan Soekarno bahwa
sebagian pembantu-pembantunya dalam kabinet yang menjadi tuntutan massa demonstran-
demonstran, antaranya Dr. Soebandrio, tidak mungkin dipertahankan lagi. Presiden Soekarno sudah
dapat memahami dan menerima keadaan itu. Tetapi pada tanggal 16 Maret 1966, tiba-tiba Presiden
Soekarno mengeluarkan pengumuman, yang isinya pada hakekatnya mencabut isi dari Surat
Perintah 11 Maret 1966. Pengumuman Presiden Soekarno ini sangat mengejutkan Jenderal Soharto
dan para Panglima militer, serta membangkitkan kemarahan massa kembali. Jenderal Soeharto
bertindak mendahului massa, sehingga keadaan tetap dikuasai. Pada tanggal 18 Maret 1966
dikeluarkan Surat Keputusan atas nama Presiden oleh Jenderal Soeharto, menangkap dan menahan
lima belas Menteri, serta menunjuk penggantinya sekali. Tindakan Jenderal Soeharto yang
mendahului massa ini, sangat mencengangkan. Jenderal Soeharto yang tadinya diduga dan dituduh
lamban, ternyata seorang yang bertindak tepat pada waktunya, dengan perhitungan yang masak.
Kekuatan Presiden Soekarno sudah habis. Menurut hukum revolusi, riwayatnya sudah tamat, dan
Presiden Soekarno sudah tidak ada lagi. Kekuasaan sudah berada dalam tangan Jenderal Soeharto.
Sementara itu Jenderal Soeharto telah berusaha menyempurnakan MPRS, DPRGR, DPA dan Lembaga
Pemerintah Pusat yang lain. Dengan cara begini, ia telah mengambil langkah-langkah untuk
memberikan nafas bagi kehidupan demokrasi kembali, setapak demi setapak, sesuai dengan
kemungkinan. Pada tanggal 20 Juni 1966, sampai tanggal 6 Juli 1966, diadakan sidang MPRS, yang
ke-IV di Jakarta. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara, diminta memberikan laporan kepada
sidang, mengenai pemberontakan G 30 S yang gagal. Pemberian laporan pertanggungan jawab oleh
Presiden Soekarno itu, sekaligus juga merupakan langkah mematuhi UUD 45 (Sjarif, 1972:43).
Masa Orde Baru menunjukkan adanya peranan Presiden yang semakin besar. Disni
kemudian nampak dari adanya pemusatan kekuasaan di tangan presiden Soeharto yang telah
menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan. Dalam bidang politik, dominasi Presiden
Soeharto telah membuatnya menjadi penguasa mutlak karena tidak Pada masa ini menunjukkan
adanya keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu. Tetapi ternyata di dalam pemilu tersebut tidak
diberlakukan adanya nilai-nilai demokrasi, alasannya adalah karena tidak ada kebebasan memilih
bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk
memenangkan pemilu (Budiardjo, 2009: 132).
Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai suatu proses demokratisasi.
Orde Baru mencoba membangun antitesa terhadap paradigma Orde Lama, dengan mengurangi
keterlibatan politik rakyat, atau yang disebut dengan depolitisasi. Pada masa Orde Baru bisa
dikatakan bahwa pemerintahannya melaksanakan pembangunan ekonomi, dan hal tersebut
merupakan prestasi besar bagi Indonesia, selain itu ditambah dengan meningkatnya sara dan
prasarana yang bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Masa Orde Baru juga menunjukkan
besarnya peranan Presiden dalam pemerintahan.
Dalam hal ini secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan presiden
Soeharto. Masa Orde Baru menunjukkan adanya keberhasilan dalam penyelenggaraan Pemilu, pada
masa ini memang menginginkan adanya Pemilu. Slogan yang ada pada awal Orde baru yakni
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak
diberlakukan dalam pemilu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan
tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi pemilu (OPP). Sebelum fusi partai tahun
1973, semua OPP kecuali Golkar menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para
pemilih, antara lain karena adanya azas monoloyalitas. Contohnya saja monoloyalita pegawai negeri
sipil (PNS).
Pada umumnya yang menjadi pemegang pemerintahan masa Orde Baru adalah kalangan
militer. Banyaknya krisis dan ketegangan politik yang terjadi pada masa Orde baru, misalnya saja
menjelang pemilihan umum 1997 telah memicu kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik
yang berbeda. Juga terdapat krisis hukum pada masa Orde Baru yang banyak muncul ketidakadilan.
Pada pertengahan 1997 korupsi, kolusi, nepotisme mulai merajalela (Winarno, 2007: 9). Kemudian
pada tahun 1998 mulai terjadi krisi politik merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan Orde Baru.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemereintah Orde Baru selalu didasarkan pada alasan
pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah hanya berupa upaya
memepertahankan kekuasaan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Hal tersebut berarti bahwa
demokrasi yang dijalankan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan
demokrasi rekayasa. Kekuasaan sentralistik yang digunakan oleh pemerintah menunjukkan berbagai
akibatnya di akhir pemerintahan Orde baru.
Pada zaman orde baru, banyak pejabat berpidato bahwa politik harus ditinggalkan. Sebab
dengan berpolitik terlalu jauh, maka bangsa tidak akan sempat membangun. Jika politik
dikedepankan maka banyak orang akan berebut kekuasaan, sehingga melupakan program-program
mensejahterakan rakyat (Agustinus & Yusoff, 2010: 4).
a. Pembentukan Kabinet Pembangunan yang bernama AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan
nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai
persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program kabinet AMPERA yang disebut
Catur karya adalah sebagai berikut:
a) Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan
b) Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
c) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
d) Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
b. Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa
jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan.
c. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik Setelah pemilu 1971 maka dilakukan
penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga
dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi
didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga
kekuatan sosial-politik, yaitu:
a) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, danPartai Islam Perti
yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam).
b) Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, PartaiMurba, IPKI, dan
Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
c) Golongan karya (golkar).
d. Pemilihan Umum Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum
sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu tahun 1971, 1977,1982,
1987, 1992, dan1997.
e. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat pada tanggal 2 Agustus 1969.
f. Kebijakan lain yang di ambil pemerintah Orde baru adalah menetapkan peran ganda ABRI yang di
kenal dengan Dwifungsi ABRI.ABRI tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan dan keamanan
Negara tetapi juga berperan di bidang politik.Hal terbukti dari banyaknya anggota ABRI yang
ternyata memegang jabatan sipil seperti walikota,bupati dan gubenur bahkan ABRI memiliki jatah di
keanggotaan MPR/DPR.Alasan yang mendasari kebijakan tersebut tertuang dalam pasal 27 ayat
(1)UUD 1945.Pasal tersebut mengemukakan bahnwa “segala warga Negara bersama
kedudukankannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.Bukan hanya
pada bidang politik pemerintahan,ternyata kedudkan ABRI dalam masyarakat Indonesia juga
merambat di sector ekonomi.Banyak anggota ABRI menjadi kepala skepala BUMN maupun
komisaris di berbagai perusahaan swasta .
Demokrasi di indonesia berkaitan erat dengan tingkah laku para elit plitiknya. Indonesia
termasuk sebagai bangsa yang beruntung karena sejak awal mayoritas telah memilih sistem
demokrasi sebagai sistem yang mengatur negara Indonesia. Rakyat indonesia sendiri seakaan
memiliki kepercayaan penuh terhadap sistem demokrasi di Indonesia. Kenyataan inilah yang menjadi
modal penting untuk dikembangkan lebih baik lagi secara bertanggung jawab (Riyanto, 2010: 2).
Hasil dari sistem demokrasi di Indonesia belum bisa sepenhnya dirasakan oleh rakyat
Indonesia. Hal ini dikarenakan kesalahan dan kelemahan pemimpi negeri ini secara berpolitik. Upaya
perbaikan yang dilakukan terhadap sistem politik ini pun menghasilkan sesuatu yang lebih
menyakitkan dan melelahkan. Hal inilah yang terjadi pada Indonesia pada pemerintahan orde baru
(1966-1998). Pada masa ini Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto yang pada tanggal 11 Maret
1966 menerima Surat perintah yang kemudian dikenal dengan nama “ SUPERSEMAR” mulai
memerintah di indonesia. Presiden Soeharto pun mencanangkan sebuah sistem pemerintahan bagru
yaitu demokrasi pancasila. Demokrasi ini berlandasakan pada pancasila, artina bahwa demokrasi ini
tidak boleh bertentangan dengan pancasila.
Tetapi pada prakteknya, demokrasi pancasila tidak berjalan semestinya. Banyak sekali
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah yang terlihat seperti memihak kepada
masyarakat ternyata dikendalikan oleh emerintahan Orde baru itu sendiri. Hal inilah yang kemudian
menjadikan rakyat semakin kecewa terhadap rezim otoriter Soeharto.
Pelaksanaan demokrasi Masa Orde Baru dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Adanya penataan kehidupan dan pembangunan kenegaraan dalam berbagai bidang
b) Penerapan demokrasi berdasarkan Pancasila (Demokrasi Pancasila)
c) Pemilu dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
d) Pembagian kekuasaan (MPR, DPR, DPA, BPK, MA, dan Presiden)
e) Ditetapkannya GBHN sebagai asas pembangunan nasional.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya pemerintahan Orde Baru mengarah pada
pemerintahan yang sentralistis. Demokrasi masa Orde Baru bercirikan pada kuatnya kekuasaan
Presiden dalam menopang dan mengatur seluruh proses politik yang terjadi. Lembaga kepresidenan
telah menjadi pusat dari seluruh proses politik dan menjadi pembentuk dan penentu agenda
nasional, mengontrol kegitan politik dan pemberi legacies bagi seluruh lembaga pemerintah dan
negara.
Periode 1966-1988, masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah pancasila,
UUD 1945 dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan
terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa demokrasi terpimpin. Namun dalam perkembangannya
peran presiden dan semakin dominan terhadap lembaga-lembaga Negara yang lain. Melihat praktek
demokrasi pada masa ini, nama pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politis penguasa saat
itu sebanyak kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
Akibatnya, secara subtantif tidak ada perkembangan demokrasi justru penurunan derajat
demokrasi. Sejumlah indikator yang menyebabkan demokrasi tidak terjadi pada masa Orde Baru
yaitu (As’ad, 2009: 99):
Pemilihan umum bagi suatu Negara demokrasi berkedudukan sebagai sarana untuk
menyalurkan hak asasi politik rakyat. Pemilihan umum memiliki arti penting sebagai berikut
(Barokah, 2011: 10-11):
Rakyat yang mulai menyadari bahwa pemerintah telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan
yang menyimpang merasa tidak puas dan pada akhinya melakukan pemberontakan secara besar-
besaran pada tahun 1998. Yang kemudian pemberontakan itu berhasil mengkudeta presiden
Soeharto yang menandai dimulainya masa reformasi.
Rakyat indonesia merasakan bahwa mereka tiak diberi kesempatan untuk menyuarakan
aspirasi mereka, karena pemerintah dalam pemilu, baik intervensi tersebut secara langsung maupun
tidak langsung. Pemilu yang dilakukan beberapa kali pun tidak berjalan sesuai fungsinya yakni untuk
mengoreksi pemerintah. Hal ini terlihat dari kontrol pemerintah terhadap pemilu sehingga tokoh
atau pemilu itu saja yang berkuasa di Indonesia selama puluhan tahun.
Hal ini menunjukkan demokrasi tidak terlahat pada praktek pesta demokrasi di masa Orde
baru. Demokrasi pada masa ini yang mengatur hak-hak politik dan sipil dengan melakukan sistem
penyederhanaan partai. Rakyat dipaksa untuk memilih partai yang sudah disediakan oleh
pemerintah saja. Tentu ini mencederai demokrasi dalam berorganisasi karena dalam hal ini rakyat
tidak diberi kebebasan dalam menuangkan aspiasi mereka.
Pemerintahan orde baru memamg merupakan pemerintahan yang berjalan di atas hukum.
Hukum yang dimaksudkan disini adalah hukum yang dijadikan oleh pemerintah untuk melakukan
apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Hukum inilah yang yang dijadikan alat untuk
mengontrol sebuah pemerintahan yang dilakukan oleh rakyatnya. Tetapi hal ini tidak terjadi pada
masa orde baru. Pada masa ini kekuatan militter sangatlah tinggi. Sehingga hukum pada masa orde
baru hanya dijadikan sebagai legitimasi untuk melanggengkan kekuaaan rezim orde baru. Haislnya,
rakyat seakan merasa takut untuk berurusan dengan aparat penegak hukum karena apabila mereka
berurusan dengan penegak hukum dapat dipastikan bahwa mereka berada di pihak yang besalah.
Hal ini dikarenakan pada masa rezim orde baru, sesuatu hal yang tidak sependapat dengan
pemerintah maka dianggap salah dan harus berhadapaan dengan para aparat peneak hukum pada
masa itu.
Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi alat kontrol yang dianggap paling efektif bagi
pemerintahan orde baru, tetapi yang terjadi justru para wakil rakyat tersebut menjadi orang-orang
yang jauh dari rakyat, dan semaki dekat dengan dengan pemerintah. Jika ada masyarakat yang
mencoba melakukan protes, maka protes mereka pun ditanggapi dengan senjata. Dalam hal ini
aparat seakan tidak pernah salah dan tidak mengenal supremasi hukum.
Sistem pemerintahan demokrasi pada orde baru dijadikan sebuah alat untuk menutupi
penyimpangan-penyimangn yang dilakukan oleh pemerintah. Hal inilah yang kemudian
memunculkan kekecewaan di masyarakat. Kekecewaan inilah yang kemudian mendorong
masyarakat untuk mengakhiri sistem pemerintahan rezim orde baru. Kekecewaan memuncak pada
bulan Mei 1998, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Trisakti. Peristiwa inilah yang kemudian
berhasil mengkudeta presiden Soeharto dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie yang memulai
masa pemerintaha baru yaitu masa reformasi
Daftar Rujukan
Agustino,L., & Yusoff, M.A., 2010. Politik Lokal di Indonesia: Dari Otokratik Ke Reformasi Politik. Jurnal Ilmu
Politik, 21 (1): 4-10.
As’ad, S. 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3E Indonesia.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Riyanto, A. 2010. Konsep Demokrasi di Indonesia dalam Pemikiran Akbar Tanjung dan A. Muhaimin
Iskandar. Jakarta: Paramida.
Usman, Sjarif. 1972. Mengapa Rakyat Indonesia Mendukung Presiden Soeharto. cetakan ke III. Djakarta.
Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas publik mensyaratkan bahwa kebijakan administratif, etis, dan keuangan dari
pejabat atau instansi publik harus transparan untuk diperiksa, disoroti, bahkan ditantang
apakah manfaatnya memang untuk kepentingan umum. Akuntabilitas publik karenanya
menjadi poros utama dari suatu pemerintahan demokratis dengan sistem perwakilan.
Penulis : Dibaca : 7248 Tanggapan : 0
Kritik keras kepada teori-teori Max Weber ini utamanya datang dari mereka yang melihat
bahwa birokrasi ala Weber menjadikannya terlalu dominan, terperangkap dalam usaha
memaksimalkan budjet semata, serta menjadikannya tidak kompetitif terhadap sektor swasta
karena akhirnya kekakuannya menjadikannya kurang efisien. Kritik lain, sistem ini tidak
cocok untuk masyarakat yang sedang dilanda badai perubahan atau situasi tidak pasti yang
berkepanjangan.
Pada waktu kritik tajam ke arah kompetensi pemerintahan Gus Dur banyak muncul, orang
kembali berfikir bahwa pemerintahan birokratik Orde Baru mungkin lebih efektif dan efisien.
Orang lantas berfikir bahwa Orde Baru, minus penindasan HAM, tirani, otoritarian,
militerisme, pemerasan daerah, personifikasi Soeharto dan kroninya, serta praktek KKN,
adalah suatu model yang mungkin diinspirasikan oleh Weber. Terlalu banyak minus tadi
menjadikan konsep Weber pada Orde Baru menjadi compang camping. Tidak ada
akuntabilitas publik, tidak ada efisiensi, tidak ada perwujudan dari masyarakat demokratis
melalui sistem perwakilan. Yang muncul hanya wajah seram suatu rezim yang tiran.
Pemerintahan Gus Dur yang terpilih secara demokratis tidak secara cepat dan nyata
melahirkan budaya akuntabilitas publik dan supremasi hukum. Sementara disintegritasi sosial
dan merendahnya perikemanusiaan masih berlanjut.
Beban warisan dosa Orde Baru yang begitu menghimpit dan berpotensi memecah belah
bangsa, birokrasi yang dipreteli oleh politisisasi, gegap gempitanya euforia demokrasi (yang
porsi terbesarnya bertitik berat pada kebebasan menyatakan pendapat) dan tertunda-tundanya
pemulihan krisis ekonomi menjadikan makin sulitnya tugas pemerintahan Gus Dur. Belum
lagi tantangan ke depan sebagai anggota masyarakat global begitu banyak menghadang.
Apapun pilihan kita, betapapun kita harus jatuh bangun belajar berdemokrasi yang mungkin
akan ditandai oleh berjatuhannya martir, nampaknya akuntabilitas publik harus mulai dan
tetap ditegakkan dan terus menerus ditularkan mulai dari kelompok terkecil dan terbawah
masyarakat sampai elite kekuasaan dan politik.
Pemikiran Weberian dalam sosoknya yang murni ditambah dengan kearifan dalam
menentukan prioritas kepentingan publik serta fleksibilitas menghadapi tantangan masa
depan masyarakat global, ditambah lagi sedikit dengan kesantunan berpolitik dan usaha
mempertebal kemanusiaan kita, rasanya masih dapat menyelamatkan bangsa ini.