Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN DENGAN

SKIZOFRENIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


KOTO KATIAK PADANG PANJANG

Proposal Tugas Akhir


Diajukan untuk Memenuhi Ujian Ahli Madya Keperawatan

Disusun Oleh :

Attini Putri Haderani


1610104082029

AKADEMI KEPERAWATAN NABILA


PADANG PANJANG
TAHUN 2018/2019
Akademi Keperawatan Nabila Padang Panjang

PERSETUJUAN

TA berjudul : ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA


PASIEN DENGAN SKIZOFRENIA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTO
KATIAK PADANG PANJANG
Disusun Oleh : Attini Putri Haderani
NIM : 1610104082029

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Memperoleh


Gelar Ahli Madya Keperawatan

Telah Disetujui oleh Pembimbing seperti tertera dibawah ini :

Padang Panjang, 11 Februari 2019

Pembimbing

Ns. Febri Syafyu Sari, M. Kep


NIDN 1025028801
Akademi Keperawatan Nabila Padang Panjang

PERSETUJUAN

TA berjudul : ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA


PASIEN DENGAN SKIZOFRENIA DI
PUSKESMAS KOTO KATIAK PADANG
PANJANG
Disusun Oleh : Attini Putri Haderani
NIM : 1610104082029

Telah dapat diterima sebagai Salah Satu Syarat Ujian Memperoleh Gelar
Ahli Madya Keperawatan (A.Md.Kep)

Pembimbing Penguji I Penguji II

Ns. Febri Syafyu S, M. Kep Ns. Ridhyalla A, M.Kep Ns. Weni Lidya H, M.Kep
NIDN 1025028801 NIDN 1027098902 NIDN 1016128402

Direktur

Ns. Ridhyalla Afnuhazi, M.Kep


NIDN 1027098902
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal penelitian dengan
judul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Skizofrenia di Puskesmas Koto Katiak
Padang Panjang”. Studi Kasus ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Ahli Madya Keperawatan pada Program Studi Diploma III
Keperawatan Akademi Keperawatan Nabila Padang Panjang. Terwujudnya
proposal ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu
dalam kesempatan ini penulis menyampai terimakasih yang setulus tulusnya
kepada:
1. Ns. Ridhyalla Afnuhazi, M. Kep selaku direktur AKPER Nabila Padang
Panjang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan keperawatan
2. Ns. Febri Syafyu S, M.Kep selaku dosen pembimbing penulisan studi kasus
yang telah membimbing penulis
3. Ns. Ridhyalla Afnuhazi, M. Kep selaku penguji I yang telah memberikan kritik
dan saran serta masukan kepada penulis
4. Ns. Weni Lidya H, M.Kep selaku penguji II yang telah memberikan kritik dan
saran serta masukan kepada penulis
5. Teman - teman seperjuangan penulis dalam menempuh Studi Kasus jenjang
DIII Keperawatan yang ikut serta dalam memberikan bantuan, semangat, serta
do’a untuk kelancaran tugas akhir ini
6. Kedua Orangtua serta kakak dan adik tersayang yang selalu mendukung,
memberikan kasih sayang, bimbingan, nasihat, semangat, dan do’a yang tiada
putus-putusnya serta pelajaran-pelajaran berharga bagi penulis
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari penulisan proposal
ini, oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat berarti bagi penulis
untuk lebih baik di masa mendatang. Semoga proposal ini dapat membawa manfaat
bagi pengembangan dan peningkatan bagi ilmu keperawatan. Terimakasih.

Padang Panjang, 11 Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 4
D. Metoda Telaahan dan Tehnik Pengambilan Data ............................... 5
E. Manfaat Studi Kasus .............................................................................. 5
BAB II .................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 7
A. Definisi ..................................................................................................... 7
B. Epidemologi ............................................................................................ 8
C. Kriteria Diagnosis Skizofrenia .............................................................. 8
D. Etiologi ................................................................................................... 11
E. Manifestasi Klinis ................................................................................. 13
G. Penatalaksanaan ................................................................................... 17
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu

mendapatkan perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan

skizofrenia yaitu terjadi perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku.

Stuart (2013) mengatakan skizofrenia merupakan gangguan

neurobiologikal otak yang persisten dan serius, sindroma secara klinis yang

dapat mengakibatkan kerusakan hidup baik secara individu, keluarga dan

komunitas. Dapat disimpulkan skizofrenia adalah gangguan pemikiran,

emosi, perilaku, yang mengalami gangguan bersosialisasi dan beraktivitas.

Yang berdampak buruk pada individu, keluaraga dan masyarakat.

Menurut World Health Organization (WHO, 2016) jumlah

penderita skizofrenia mencapai 450 juta jiwa diseluruh dunia dan Indonesia

menduduki peringkat ke-4 dengan penduduk terbanyak di dunia.

Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), menunjukkan

prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia sebesar (1,7%) atau

mencapai sekitar 400.000 orang. Dari jumlah tersebut provinsi dengan

prevalensi gangguan jiwa berat tertinggi adalah di DI Yogyakarta dan Aceh

(2,7%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7%) atau

1
sebanyak 4.377 orang. Untuk Sumatera Barat menepati urutan kelima

(1,9%) dari seluruh provinsi di Indonesia (Riset Kesehatan Dasar, 2013).

Penatalaksanaan klien dengan skizofrenia perlu dikelola secara

integrasi. Menurut Keliat (2011) penataksanaan pada pasien skizofrenia

dengan terapi keperawatan, psikofarmakologis dan psikologis. Sedangkan

menurut Durand (2007) dapat berupa terapi biologis (obat anti psikosis,

elektrokonvulsif) dan terapi spikososial. Penatalaksanaan yang diberikan

secara komprehensif pada klien skizofrenia menghasilkan perbaikan yang

optimal dan mencegah kekambuhan.

Kasus skizofrenia ditemukan pada laki-laki mulai umur 18-25 tahun

sedang wanita biasanya mulai umur 26-45 tahun dan jarang muncul pada

masa anak-anak, bila muncul pada masa anak-anak biasanya mengenai 4-

10 anak diantara 10.000 anak Kondisi yang ada lebih dari 80% penderita

skizofrenia di Indonesia tidak diobati dan tidak tertangani dengan optimal

baik oleh keluarga maupun tim medis yang ada. Pasien-pasien yang

menderita skizofrenia dibiarkan berada dijalan-jalan, bahkan ada pula yang

dipasung oleh keluarga. Dengan kondisi seperti ini memungkinkan terjadi

peningkatan jumlah penderita skizofrenia dari waktu ke waktu (Sasanto,

2009).

Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses

perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di rumah

agar adaptasi klien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas perilaku

keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan klien sehingga status

2
klien meningkat. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa salah satu faktor

penyebab gangguan jiwa adalah perilaku keluarga yang tidak tahu cara

menangani klien Skizofrenia di rumah (Keliat, 2006 ).

Kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan skizofrenia

sangat dibutuhkan pengetahuan. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang

skizofrenia membuat penafsiran dan pemahaman yang salah dalam merawat

pasien. Kurangnya pengetahuan keluarga akan mempengaruhi tindakan

yang akan dilakukan misalnya dipasung, dikerangkeng dan direndam dalam

air kolam. Hal ini tidak hanya terjadi pada keluarga dengan status ekonomi

rendah, pendidikan rendah saja namun dialami pula oleh keluarga dengan

kalangan atas (Hawari, 2007).

Dukungan keluarga merupakan salah satu obat penyembuh yang

sangat berarti bagi penderita skizofrenia. Menurut Friedmen (2010)

dukungan keluarga dapat melemahkan dampak stress dan secara lansung

memperkokoh kesehatan mental individu dan keluarga. Hasil penelitan

Jorge (2010) tentang dukungan keluarga dalam pengunaan obat pada pasien

skizofrenia di Mexico Amerika menemukan bahwa 43% penguanaan obat

secara teratur. Pengunaan obat secara teratur sangat erat kaitanya dengan

dukungan keluarga, makin tinggi dukungan keluarga makin teratur klien

mengunakan obat.

Berdasarkan data keseluruhan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan

Padang Panjang, jumlah keseluruhan pasien gangguan jiwa di wilayah kerja

puskesmas berdasarkan laporan pada tahun 2018 yaitu sekitar 133 orang.

3
sedangkan jumlah tertinggi pasien gangguan jiwa terdapat di Puskesmas

Koto Katiak yaitu 40 orang dengan jumlah pasien baru 8 orang.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menulis

Studi Kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Jiwa pada Pasien dengan

Skizofrenia di Puskesmas Koto Katiak Padang Panjang tahun 2019”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah diatas, rumusan masalah dalam studi kasus ini

adalah bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada Pasien dengan Skizofrenia

di Puskesmas Koto Katiak Padang Panjang tahun 2019.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Penulis mampu melaksanakan dan melaporkan Asuhan Keperawatan

Jiwa pada Pasien dengan Skizofrenia di Puskesmas Koto Katiak Padang

Panjang secara langsung dan komprehensif meliputi aspek

biopsikososial dengan pendekatan proses keperawatan dari tahap

pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

2. Tujuan khusus

a. Mampu melakukan pengkajian pada Pasien dengan Skizofrenia di

Puskesmas Koto Katiak Padang Panjang tahun 2019.

b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan jiwa pada Pasien

dengan Skizofrenia di Puskesmas Koto Katiak Padang Panjang

tahun 2019.

4
c. Mampu menyusun perencanaan tindakan keperawatan jiwa pada

Pasien dengan Skizofrenia di Puskesmas Koto Katiak Padang

Panjang tahun 2019.

d. Mampu melaksanakan intervensi keperawatan jiwa pada Pasien

dengan Skizofrenia di Puskesmas Koto Katiak Padang Panjang

tahun 2019.

e. Mampu melaksanakan evaluasi hasil dari asuhan keperawatan jiwa

yang dilakukan pada Pasien dengan Skizofrenia di Puskesmas Koto

Katiak Padang Panjang tahun 2019.

f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan jiwa yang telah

dilakukan pada Pasien dengan Skizofrenia di Puskesmas Koto

Katiak Padang Panjang tahun 2019.

D. Metoda Telaahan dan Tehnik Pengambilan Data

Penulis menggunakan metode deskriptif yang berbentuk studi kasus

dengan tehnik pengambilan data pada kasus dengan pengamatan,

wawancara, pemeriksaan fisik, dokumentasi/catatan perawat, pastisipasi

aktif dan lain-lain.

E. Manfaat Studi Kasus

Dari segi praktis, makalah studi kasus ini akan bermanfaat bagi:

1. Bagi pelayanan keperawatan jiwa di Puskesmas

Hasil studi kasus ini, dapat menjadi masukan bagi pelayanan di

puskesmas agar dapat melakukan asuhan keperawatan jiwa pada pasien

skizofrenia dengan baik.

5
2. Bagi pasien

Diharapkan pasien dapat mengetahui penyakit yang dideritanya, baik

dari pengertian, penyebab maupun penanggulangannya serta perawatan

dirinya agar pasien dapat memenuhi kebutuhan secara mandiri.

3. Bagi keluarga

Diharapkan keluarga mengerti tentang penyakit yang diderita anggota

keluarga baik pengertian, penyebab, dan perawatannya. Agar bisa

memberi motivasi untuk mematuhi pengobatan untuk pasien skizofrenia

dan tidak mengisolasi pasien dengan skizofrenia tersebut.

4. Bagi Mahasiswa

Hasil studi kasus ini dapat dijadikan salah satu rujukan bagi mahasiswa

berikutnya, yang akan menyusun makalah studi kasus pada asuhan

keperawatan jiwa pada pasien skizofrenia.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein” yang

artinya retak atau pecah (split), dan “phren” yang artinya pikiran, yang

selalu dihubungkan dengan fungsi emosi. Dengan demikian seseorang yang

menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa

atau keretakan kepribadian serta emosi (Sianturi, 2014).

Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat di bidang psikiatri,

menyebabkan hendaya berat, tidak mampu mengenali realitas sehingga

tidak mampu menjalankan kehidupan sehari-hari seperti orang normal,

dengan perjalanan kronis ditandai dengan kekambuhan yang terjadi secara

berulang (Ascher, et al., 2011).

Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiological yang serius dan

menetap, ditandai dengan kognitif dan persepsi serta afek yang tidak wajar

(Laraia, 2009). Penyakit ini bersifat kronik dan melalui 3 fase, yaitu fase

prodromal, fase aktif, dan fase residual. Fase prodromal dimulai dengan

perubahan perasaan dan mood, fase aktif biasanya disebut dengan psikosis

yaitu munculnya gejala halusinasi, delusi, dan ilusi (Sadock & Sadock,

2010).

7
B. Epidemologi

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder

IV Text Revised (DSM-IV-TR) insidens tahunan skizofrenia berkisar

antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografis. Di Amerika

Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi

terentang dari 1 sampai 1,5 persen; konsisten dengan rentang tersebut,

penelitian Epidemiological Cachtment Area (ECA) yang disponsori oleh

National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur

hidup sebesar 0,025 sampai 0,5 persen populasi total diobati untuk pasien

skizofrenia dalam 1 tahun. Walaupun duapertiga dari pasien yang diobati

tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah

dari pasien skizofrenia mendapat pengobatan, tidak tergantung pada

keparahan penyakit (Sadock & Sadock, 2010).

C. Kriteria Diagnosis Zkizofrenia

Sebelum menetapkan diagnosis kepada pasien skizofrenia, seorang

dokter harus mengetahui dan memahami gejala-gejala khas yang dialami

oleh pasien skizofrenia.

Kriteria diagnostik di Indonesia menurut PPDGJ-III yang

menuliskan bahwa walaupun tidak ada gejala-gejala patognomonik khusus,

dalam praktek dan manfaatnya membagi gejala-gejala tersebut ke

dalam kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang

sering terdapat secara bersama-sama yaitu:

8
1. Thought echo

Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitas berbeda atau thought insertion or withdrawal

yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya

(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu diluar dirinya

(withdrawal) dan tought broadcasting yaitu isi pikiran tersiar keluar

sehingga orang lain mengetahuinya.

2. Waham atau Delusinasi

a. Delusion of control yaitu waham tentang dirinya sendiri

dikendalilkan oleh suatu kekuatan tertentu.

b. Delusion of influen yaitu waham tentang dirinya sendiri dipengaruhi

oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.

c. Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh,

pikiran maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari

luar.

d. Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar

yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik atau

mukjizat.

3. Halusinasi Auditorik

a. Suara halusinasi yang berkomentar terus menerus terhadap perilaku

pasien.

9
b. Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (dia antara

berbagai suara yang berbicara).

c. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya dianggap

tidak wajar dan mustahil seperti waham bisa mengendalikan cuaca.

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada

secara jelas.

e. Halusinasi yang menetap dari setiap panca indera baik disertai

waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk

tanpa kandungan afektif yang jelas atau ide-ide berlebihan yang

menetap atau terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau

berbulan-bulan secara terus menerus.

f. Arus fikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan

(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan tidak

relevan atau neologisme.

g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh, gelisah (excitement) sikap

tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negattivisme,

mutisme dan stupor.

h. Gejala-gejala negative seperti apatis, bicara jarang serta respon

emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan

menurunnya kinerja social, tetapi bahwa semua hal tersebut tidak

disebabkan oleh depresi atau neuroleptika.

10
Adanya gejala-gejala khas diatas telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik

prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam

mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi,

bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat

sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara social.

D. Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam

menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain :

1. Faktor Genetik

Menurut Maramis (2009), faktor keturunan juga menentukan

timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian

tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak

kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah (0,9 -

1,8%); bagi saudara kandung (7 - 15%); bagi anak dengan salah

satu orangtua yang menderita skizofrenia (7 - 16%); bila kedua

orangtua menderita skizofrenia (40 - 68%); bagi kembar dua telur

(heterozigot) (2 - 15%); bagi kembar satu telur (monozigot) (61 -

86%).

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang

disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita

lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di

tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga

11
mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada

orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai

berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin

tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang

memiliki penyakit ini (Durand, 2007).

2. Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak

yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang

memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain.

Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas

neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu

otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang

berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa

neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya

juga memainkan peranan (Durand, 2007).

3. Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang

semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat

kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta

interaksi yang patogenik dalam keluarga. Banyak penelitian

yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi

penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother

12
kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang

memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan

menjadi penyebab skizofrenia pada anak- anaknya. Keluarga pada

masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan

kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk

anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang,

ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang

anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang

dibutuhkannya (Durand, 2007).

E. Manifestasi Klinis

Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 2

(dua), yaitu gejala positif dan negatif (Maramis, 2005).

1. Gejala positif

Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak

mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan

yang datang. Klien skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau

melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu

sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations,

gejala yang biasanya timbul, yaitu klien merasakan ada suara dari

dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi

kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu

yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri.

13
Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam

menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan

kenyataan. Misalnya, para penderita skizofrenia, lampu traffic di

jalan raya yang berwarna merah, kuning, hijau, dianggap sebagai

suatu isyarat dari luar angkasa. Beberapa penderita skizofrenia

berubah menjadi paranoid, mereka selalu merasa sedang di amat-

amati, diintai, atau hendak diserang.

Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana klien

skizofrenia tidak mampu memproses dan mengatur pikirannya.

Kebanyakan klien tidak mampu memahami hubungan antara

kenyataan dan logika. Karena klien skizofrenia tidak mampu

mengatur pikirannya membuat mereka berbicara secara serampangan

dan tidak bisa ditangkap secara logika. Ketidakmampuan dalam

berpikir mengakibatkan ketidakmampuan mengendalikan emosi dan

perasaan. Hasilnya, kadang penderita skizofrenia tertawa atau

berbicara sendiri dengan keras tanpa mempedulikan sekelilingnya.

Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa memahami

siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu

manusia, juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana dia

berada, dan sebagainya.

2. Gejala Negatif

Klien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti

kehilangan energi dan minat dalam hidup yang membuat klien

14
menjadi orang yang malas. Karena kliens kizofrenia hanya memilki

energi yang sedikit, mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang lain

selain tidur dan makan. Perasaan yang tumpul membuat emosi klien

skizofrenia menjadi datar. Klien skizofrenia tidak memilki ekspresi

baik dari raut muka maupun gerakan tangannya, seakan-akan dia

tidak memiliki emosi apapun. Mereka mungkin bisa menerima

pemberian dan perhatian orang lain, tetapi tidak bisa mengekspresikan

perasaan mereka.

Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan

berharap, selalu menjadi bagian dari hidup klien skizofrenia, mereka

tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa

membina hubungan relasi dengan orang lain, dan tidak mengenal

cinta. Perasaan depresi adalah sesuatu yang sangat menyakitkan,

disamping itu, perubahan otak secara biologis juga memberi andil

dalam depresi. Depresi yang berkelanjutan akan membuat klien

skizofrenia menarik diri dari lingkungannya. Mereka selalu

merasa aman bila sendirian. Dalam beberapa kasus, skizofrenia

menyerang manusia usia muda antara 15 sampai 30 tahun, tetapi

serangan kebanyakan terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Skizofrenia bisa

menyerang siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin, ras, maupun

tingkat sosial ekonomi. Diperkirakan penderita penderita skizofrenia

sebanyak 1% dari jumlah manusia yang ada di bumi.

15
F. Patofisiologi

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-

tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-

lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid,

prodromal, fase aktif dan keadaan residual. Pola gejala premorbid

merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang

ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia

yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan

diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa

hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat

berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian

retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa

sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala,

nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock,

2003).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata

secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan

perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan

pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual

ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia.

Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata

secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku

aneh (Buchanan, 2005).

16
G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi

biologis, dan terapi psikososial (Durand, 2007).

1. Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu

terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi

elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan

penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala

skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine)

dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk

kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol

(haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat

menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak

mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat

tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup

tepat bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat

menyaring stimulus yang tidak relevan.

Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock

pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an,

electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan

untuk skizofrenia. Tetapi terapi ini telah menjadi pokok

perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan.

ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai

17
gangguan jiwa, termasuk skizofrenia. Antusiasme awal terhadap

ECT semakin memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak

menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia meskipun

penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum

prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT

merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien

seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke

tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta

seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan

setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai

serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.

Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak

(prefrontal lobotomy), yaitu proses operasi primitif dengan

cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu gila

yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Cara ini

cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,

khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada

tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita

kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah,

bahkan meninggal.

2. Terapi Psikososial

Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan

situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa

18
(RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis,

sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien

skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan

ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai

pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat

dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga.

Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik.

Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi

dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di

dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang

pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada

situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi,

sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan

berkomunikasi. Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus

dari terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang

telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.

Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi

yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.

Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk

mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang

negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap

persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang

keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari beberapa

19
penelitian, ternyata campur tangan keluarga sangat membantu

dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah

kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi

secara individual.

20
DAFTAR PUSTAKA

Lasgita, Rosalia Diah Indra (2016) Gambaran Karakteristik Pasien Yang


Mengalami Skizofrenia Di Rsj H. Mustajab Purbalingga Tahun 2015.
Bachelor Thesis, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Durand, V.M, Barlow, D.H. 2007. Essentials of Abnormal Psychology.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Blazer D.G. 2000. Mood Disorder: Epidemiology in : Sadock BJ, Sadock VA,
Editors. Comprehensive Textbook of Psychiantry 7 th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Buchanan and Carpenter. 2005. Concept of Schizophrenia in Kaplan & Sadock’s
Comprehensive Textbook of Psychiatri, 8th Edition, Lippincott
William and Wilkins.
Hawari, Dadang, 2003. Pendekatan Holistik pada Gangguan jiwa: Skizofrenia,
Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Gaya Baru.
_______. 2006. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia Edisi 2
Cetakan Ke 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Keliat, B.A & Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC
Riskesdas. 2013. Data Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Kesehatan
Nasional.
Sadock, B.J, Sadock, V.A. 2003. Synopsis of Psychiatry. 9th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins

Anda mungkin juga menyukai