Anda di halaman 1dari 24

IMPLEMENTASI PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DALAM

PELAKSANAAN HUKUMNYA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-


UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA KOTA
SEMARANG

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan aturan yang sesuai dengan fitrah diciptakannya

manusia dan sejalan dengan kepentingan kahidupannya. Islam

memperhatikan moralitas manusia memelihara kebersihan masyarakat,

serta tidak mentoleransi timbulnya materealisme yang mendorong

terjadinya kerusakan akhlak dalam masyarakat.1

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat

berhubungan satu sama lain, sehingga menghasilkan keturunan serta hidup

dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan petunjuk dari

Rasul-nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ar-rum ayat 21 :

  


  
 

 
 
   
  
 
Artinya :Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya


kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

1
Musfir Aj-Jahrni, poligam dari berbagai Persepsi (Jakarta: Gema Insanai Press, 1997),
66.

1
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.2
Cukup logis bahwa dalam menetapkan berbagai ketentuan untuk

mengatur ikatan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk pernikahan,

sehingga dengannya kedua bela pihak suami dan istri dapat memperoleh

kedamaian, kecintaan, keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini

sangat diperlukan untuk mencapai tujuan perkawinan yang paling besar

yaitu ibadah kepada Allah.

Secara realita perkawinan adalah bertemunya dua makhluk lawan

jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan.

Sedang tujuan perkawinan itu adalah agar manusia mempunyai kahidupan

bahagia dunia dan akhirat, atau dengan kata lain perkawinan bertujuan

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah,

warahmah. Seiring dengan tujuan tersebut, dapat diartikan juga agar

perkawinan menjadi kekal abadi sehingga tidak putus begitu saja.

Pondasi untuk membentuk dan membina kelangsungan keluarga

demikian itu adalah adanya ikatan lahir batin antara seorang suami dan

seorang istri. Hukum mengharapkan itu semua terwujud apabila

dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku.3

Pandangan hukum Islam, pemerintah atau penguasa dibenarkan

membuat segala jenis peraturan terutama mengenai hal-hal yang tidak

2
Tim Disbintalad, AL-Qur’an Terjemahan Indonesia (Jakarta: Sari Agung, 1995),
796.
3
Titik Triwulan dan Trianto, Poligami prespektif Perikatan Nikah (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2007), 5.

2
diatur secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi sejauh tidak

bertentangan kedua nash tersebut. Menurut ajaran Islam perintah atau

aturan penguasa wajib untuk ditaati sebagaimana firman Allah dalam surat

an-Nisa’ ayat 59 :

 
  
 
   
   
  
  
 
  
  
 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Ayat ini menjelaskan secara tegas bahwa disamping mentaati Allah

dan Rasullnya, kita juga diperintahkan agar mentaati peraturan yang

ditetapkan oleh ulil amri (pemerintah). Ketaatan kepada pemerintah ini

hukumnya wajib, hanya saja ketaatan itu terbatas pada peraturan

pemerintah yang tidak membawa kepada kemaksiatan.4

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1,

perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

4
Kamal Muchtar, “asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan” (Jakarta:
Bulan Bintang, 2004), 58

3
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang esa”.5

Dengan pasal ini dapat diliat tujuan pernikahan itu sendiri yaitu

untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhana yang

maha esa.6 Rumusan tersebut mengandung harapan bahwa dengan

melangsungkan pernikahan akan diperoleh suatu kebahagiaan , baik

materil maupun spiritual.

Pernikahan adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan

hukum ia mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suaTu

perbuatan hukum ditentukan oleh hukum positif. Hukum positif dibidang

pernikahan di Indonesia sejak 2 Januari Tahun 1974 adalah Undang-

Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dengan demikian sah tidaknya

diditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang

tersebut.7

Sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

disebutkan pada pasal 2 ayat (2) : tiap-tiap perkawinan dicatat menrut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan di dalam

Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan, pasal 6 ayat (2) : “perkawinan

yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak

5
Undang-undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan
(surabaya; Kesindo Utama, 2006), 40
6
Asmin, Status Perkawinan Antara Agama (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), 20.
7
Ibid.

4
mempunyai kekuatan hukum”. Kemudian pasal 7 ayat (1) menyatakan :

“perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah”.8

Kalau kita merujuk pada hukum fundamental yang lebih dulu

tertanam di masyarakat Indonesia yang beragama Islam khususnya, dalam

hal ini fiqih, memang tidak memberikan perhatian yang serius terhadapan

pencatatan perkawinan, walaupun ada dalam ayat Al-Qur’an yang

menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi. Mengapa demikian

pertama, karena adanya larangan penulisan sesuatu selain Al-Qur’an.

Akibatnya kultur tulis tidak terlalu berkembang sebanding dengan kultur

hafalan (oral). Kedua, Kelanjutan yang pertama maka mereka sangat

mengandalkan hafalan (ingatan), agaknya mengingat sebuah peristiwa

perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga,

tradisi walimat al-ursy, walaupun dengan seekor kambing merupakan

saksi syar’i tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan

yang berlangsung pada awal Islam belum terjadi antar wilayah negara

yang berbeda, biasanya perkawina pada masa itu berlangsung dimana

calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama

sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.

Perkawinan Sirri banyak menimbulkan dampak buruk bagi

kelangsungan rumah tangga. Akibat hukum bagi perkawinan yang tidak

memiliki akte nikah, secara yuridis suami atau istri dan anak yang

dilahirkan tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataannya yang

8
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika
Pressindo, 2001), 114

5
berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anak yang diakui oleh negara

sebagai anbak luar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan

keluarga dengan ibu dengan keluarga ibunya. Istri dan anak yang

ditelantarkan oleh suami dan ayah biologisnya tideak dapat melakukan

tuntutan hukum baik pemenuhan ekonomi maupun harta kekayaan milik

bersama.9

Demikianlah untuk melangsunkgan perkawinan harus dilaksankan

menurut tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang

menyebutkan perkawinan itu hanya dibawah tangan. Namun kenyataan

masih banyak masyarakat melaksanakan pernikahan dibawah tangan pasca

berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Khususnya di kota

Semarang.

Apabila dianalisis dilakukannya pernikahan-pernikahan dibawah

tangan tersebut tidaklah menjadi kesalahan masyarakat seutuhnya, karena

selain sosialisasi hukum dan pemerintahan yang dinilai masih kurang

optimal mengakomodir Khususnya masyarakat Kota Semarang juga

proses pelaksanaan pengajuan Istbat Nikah itu sendiri yang kurang epektif

dalam hal pelaksanaan pasal 2 ayat 2 Undang-undang nomor 1 Tahun

1974.10

9
Abdullah Wasian, akibat hukum perkawinan siri (tidak dicatatkan) terhadap
kedudukan istri, anak dan harta kekayaan (Tinjauan Hukum Islam dalam Undang-
undang Perkawinan).
10
Ibid 121-122

6
Berdasarkan konsep Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta

kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 (2) dan pasal 7 (1) tersebut maka

peneliti tertarik meneliti permasalahan Itsbat Nikah di Kota Semarang.

Selanjutnya agar ketidak pastian pernikahan yang sudah terlanjur

dilakukan di bawah tangan tidak serius berkesinambungan dan berlarut-

larut, maka sebaiknya demi kemaslahatan masyarakat Itsbat Nikah

dilakukan untuk melegalkan perkawinan menurut hukum dan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 sehingga dengan demikian peneliti dapat

menyimpulkan uapaya-upaya konkrit yang bisa dilakukan untuk

meminimalisir pernikahan dibawah tangan.

Berlandaskan atas asumsi tersebut maka peneliti menganggap

tentang “IMPLEMENTASI PERMOHONAN ITSBAT NIKAH

DALAM PELAKSANAAN HUKUMNYA SETELAH

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI

PENGADILAN AGAMA KOTA SEMARANG” menarik untuk

dilakukan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka, penulis merumuskan

masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran kasus dan prosedur pengajuan Itsbat Nikah di

Pengadilan Agama Kota Semarang ?

7
2. Bagaimana Implementasi permohonan istbat nikah dalam Pelaksanaan

Hukumnya Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Di Pengadilan Agama Kota Semarang ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis Bagaimana gambaran kasus dan prosedur

pengajuan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Kota Semarang

2. Untuk menganalisis serta mengetahui Bagaimana Implementasi

permohonan istbat nikah dalam Pelaksanaan Hukumnya Setelah

Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di Pengadilan

Agama Kota Semarang

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat meberikan manfaat,

baik secara teoritis maupun praktis antara lain :

1. Secara teoritis

a. Untuk memperkaya wawasan keislaman dalam bidang hukum,

baik Hukum Islam dan Hukum positif

b. Dengan hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan

kontribusi ilmiyah bagi Fakultas hukum di Unissula Semarang

c. Sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka peningkatan mutu

serta prestasi dibidangg hukum, baik hukum Islam maupun hukum

positif.

8
d. Sebagai acuan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan

tambahan pustaka bagi siapa saja yang membutuhkannya.

2. Secara Praktis

a. Dapatr dijadikan masukan bagi orang yang konsen dibindang

hukum

b. Sebagai kontribusi bagi pejabat pencatat nikah.

c. Dapat memenuhi persyaratan kelulusan strata 2 (S2)

E. KERANGKA KONSEPTUAL

1. Pengertian Itsbat Nikah

Menurut bahasa itsbat nikah terdiri dari dua kata yaitu kata “

itsbat” yang merupakan masdar atau asal kata dari “atsbata” yang

memiliki arti “menetapkan”, dan kata “ nikah” yang berasal dari kata

“nakaha” yang memiliki arti “saling menikah”, dengan demikian kata

“itsbat nikah” memiliki arti yaitu “penetapan pernikahan”.11

Menurut Peter Salim kata itsbat nikah memiliki pengertian

penetapan tentang kebenaran nikah. Itsbat nikah sebenarnya sudah

menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu

dengan sebutan isbat nikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah.

Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah

dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat

11
www.search.com. Pengertian Isbat, diakses tanggal 28 Desember 2014

9
oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah

Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas dan Administrasi Pengadilan).12

Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan

kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini

sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang

perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan

diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,

sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk

ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya

dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak

ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan

Pasal 2 Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa

patokan untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum

masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan

12
H. Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik pada Peradilan Agama, Yogyakarta, UII Press, 2009: 21.

10
perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau

tidak ditentukan lain dalam UUP. 13

Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.14

Pencatatan perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum

karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum

terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek

lain dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah

pengawasan atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan

Agama akan mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah

dilangsungkannya sebuah perkawinan.

Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut

dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat

yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat

sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat

Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya.

Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan

adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang

13
Mohd. Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hlm. 2.
14
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan, “bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”

11
terjadi suami istri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta

Nikah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata tersebut, adanya suatu

perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta

nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta perkawinan

atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan

perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat

Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta

Nikah atau Buku Nikah merupakan unsur konstitutif (yang

melahirkan) perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara

hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. Sedangkan menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akta

Nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti

keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu walaupun sebagai

alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya

perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang menentukan

keberadaan dan keabsahan perkawinan.15

Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang

perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal

4 Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa

15
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006) hlm.6.

12
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam

sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974 tentang perkawinan.

Pasal 5 KHI merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan

bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatan

perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat

Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun

1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Selanjutnya Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi

ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan

dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah; (2)

perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat

Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Pasal 7 menyebutkan bahwa: (1) perkawinan hanya dapat

dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat

Nikah; (2) dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat

Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama; (3) itsbat

nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai

hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka

penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya

keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d)

Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka

yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang

13
No.1 Tahun 1974; (4) yang berhak mengajukan permohonan itsbat

nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak

yang berkepentingan dengan perkawinan itu.16

Sedangan dari hokum syar’i sendiri secara eksplisit memang

tidak satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan

keharusan adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi

seperti sekarang ini, pencatatan perkawinan menjadi sebuah keharusan

bagi seseorang, hal ini disebabkan karena banyak sekali mudharat yang

akan ditimbulkan jika tidak dilakukan pencatatan. Islam menggariskan

bahwa setiap kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari,

sebagaimana ungkapan sebuah kaedah fikih yang berbunyi :

‫الضرر يزال‬

“Kemudharatan harus dihilangkan”

Kemudian sebagai upaya untuk mengurai kesalah pemahaman

tentang sah perkawinan menurut peraturan perundang-udangan,

Syekhul Azhar (Guru Besar) DR. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam

fatwanya mengemukakan tentang al-zawaj al-‘urfy adalah sebuah

pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syakh Jaad al-haq

mengklasifikasikan ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua

16
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hlm. 2.

14
katagori, yaitu peraturan syara’ dan peraturan yang bersifat al-
17
tawtsiqiy.

Peraturan syara’ adalah peraturan yang menentukan sah atau

tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang

ditetapkan Syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan dalam kitab-

kitab fikih dari berbagai madzhab yang pada intinya adalah kemestian

adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad

(wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan

menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul

yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai

kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri

oleh dua orang saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam, di

mana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara

langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua orang saksi tersebut mengerti

tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat lainnya seperti yang

telah dibentangkan dalam kajian fiqih, dan tidak terdapat larangan

hukum syara’. 18

Peraturan tersebut di atas merupakan unsur-unsur pembentuk

akad nikah. Apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam

17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006),hlm.6.

18Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia


Islam(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 41

15
Syari’at Islam telah secara sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad

nikah itu secara syar’i telah dianggap sah, sehingga halal bergaul

sebagaimana layaknya suami istri yang sah dan anak dari hubungan

suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.

Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan

dengan tujuan agar pernikahan di kalangan ummat Islam tidak liar,

tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak

yang berwenang untuk itu yang diatur dalam peraturan perundangan

administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan

yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis dalam

masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari

pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Misalnya sebagai upaya

antisipasi dari adanya pengingkaran akad nikah oleh seorang suami di

kemudian hari, meskipun pada dasarnya dapat dilindungi dengan

adanya para saksi, tetapi sudah tentu akan lebih dapat dilindungi lagi

dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang untuk itu.

Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa

Adillatuhu, dengan tegas membagi syarat nikah kepada syarat syar’iy

dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy adalah suatu syarat tentang

keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam

hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah

ditentukan. Sedangkan syarat tawtsiqiy merupakan suatu yang

dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu

16
tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan di kemudian

hari. Syarat tawtsiqiy tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu

perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya

hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah

merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadiran dua orang saksi itu

dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’iy, karena

merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang

menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan,

disamping sebagai syarat tawtsiqiy.

Contoh syarat tawtsiqiy dalam al-Qur’an adalah syarat

pencatatan jual beli dengan tidak secara tunai, sebagaimana ditegaskan

dalam Surat al-Baqarah ayat 282, “Ya ayyuhalladzina aamanuu idza

tadayantum bidaidin illa ajalin musamma faktubuh” dan pada ayat

setelahnya dinyatakan “wa in kuntum ‘ala safarin wa lam tajidu katiban

farihanumm maqbuudlah” Apabila penggalan dua ayat ini, dipahami

secara tektual belaka tanpa mengaitkannya dengan ajaran pada ayat

berikutnya, maka kesimpulan yang segera diperoleh adalah adanya

kemestian pencatatan utang piutang dan kewajiban memberikan barang

tanggungan sebagai jaminan utang. seolah-olah utang-piutang tidak

dianggap sah apabila tidak dicatatkan dan atau tidak ada barang

jaminan. Pemahaman seperti ini tidak sejalan dengan pemahaman para

ulama yang ahli dibidangnya. Sebab menurut kesimpulan para ulama,

kedudukan pencatatan dan barang jaminan, hanyalah sebagai alat bukti

17
belaka dan sebagai jaminan bahwa utang tersebut akan dibayar sesuai

waktu yang dijanjikannya. Kesimpulan para ulama tersebut adalah

karena pemahaman ayat di atas dihubungkan dengan ayat setelahnya

“fa in amina ba’dlukun ‘ala ba’dlin falyuaddi alladzi u’tumina

amanatahu” ayat terakhir ini menunjukkan pencatatan dan barang

jaminan adalah alat tawtsiqiy, apabila tautsiqiy atau kepercayaan itu

telah ada pada masing-masing pihak, maka pencatatan dan barang

jaminan itu tidak diperlukan lagi dan utang piutang merupakan amanah

yang wajib dibayar. 19

Perkembangan pemikiran tentang dasar perintah pencatatan nikah,

setidaknya ada dua alasan, yaitu qiyas dan maslahah mursalah.20[3]

a. Qiyas

Diqiyaskan kepada pencatatan kegiatan mudayanah yang dalam

situasi tertentu diperintahkan agar dicacat. Firman Allah QS. al-

Baqarah ayat 282:

ْ ‫فَا‬
...... ُ ‫كتُبُوه‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَ ْي ٍن إِلَى أ َ َج ٍل ُم‬
‫س ًّمى‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .

19Cicero, http://id.wikipedia.org/wiki/Cicero, diakses tanggal 30 Desember


2014

18
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain

harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan

sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian

yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa'

ayat 21:

َ‫ض َوأ َ َخ ْذن‬


ٍ ‫ض ُك ْم ِإلَى َب ْع‬ َ ‫ْف تَأ ْ ُخذُونَهُ َوقَ ْد أ َ ْف‬
ُ ‫ضى َب ْع‬ َ ‫َو َكي‬ .2
‫ظا‬ً ‫ِم ْن ُك ْم ِميثَاقًا َغ ِلي‬
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-
isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.

b. Maslahah Mursalah.

Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan

oleh syari’at dan juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir

atas dasar kebutuhan masyarakat. Penetapan hukum atas dasar

kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum

Islam. Dalam hal ini, itsbat nikah dipandang sebagai suatu

kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

F. Metode Penelitian

a. Pendekatan penilitan

Penilitian ini merupaka penilitan yuridis empiris yakni penelitian akan

melihat serta menganalisis Implementasi permohonan istbat nikah

dalam Pelaksanaan Hukumnya Setelah Berlakunya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Kota Semarang

19
b. Spesifikasi pendekatan

Spesifikasi dalam penelitian ini Deskriftif Analis, yaitu memberikan

gambaran terhadap suatu objek penelitian yakni menguraikan

Implementasi permohonan istbat nikah dalam Pelaksanaan Hukumnya

Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di

Pengadilan Agama Kota Semarang

c. Sumber data

Sumber-sumber penilitan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

adal;ah sumber-sumber penelitian yang berupa :

1. Bahan hukum primer

2. Bahan hukum sekunder

3. Bahan hukum tersier

Menurut Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa untuk

mencegah isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai

apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-

sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum

sekunder.21

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

terdiri dari Alqur’an, hadits dan fiqih, ataupun pendapat para fuqaha,

21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana prenada, Jakarta, 2010, hlm. 144-146.

20
serta akan disertakan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-

Undang.

Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang

hukum yang yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum serta komentar atau pendapat para pakar

mengenai masalah yang diangkat.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang berdasarkan

hukum kamus besar Indonesia, dan kamus-kamus hukum.

d. Metode Pengumpulan Data

Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dengan menggunakan

metode penelitian lapangan (field research) yaitu tehnik pengumpulan

data primer dengan melihat secara langsung di lokasi penelitian dengan

menggunakan tehnik sebagai berikut :

1. Observasi yaitu mengadakan pengamatan secara seksama terhadap

2. kondisi obyektif yang akan diteliti langsung dilapangan

3. Interview (wawancara) yaitu suatu tehnik mengumpulkan data

dengan jalan mengadakan wawancara kepada informan yang

dianggap mengetahui masalah penilitan.

4. Mengumpulkan data-data tertulis, termasuk dari berbagai referensi

atau literatur (library reseaerch) yang terkait dengan masalah

penilitan.

e. Metode Anilis Data

21
Dari keseluruhan bahan-bahan hukum yang ada, maka kegiatan

terakhir yang dilakukan adalah menganalisa bahan-bahan hukum

secara kualitatif yaitu menguraikan bahan-bahan hukum kedalam

bentuk kalimat secara sistematis berdasarkan kenyataan yang diperoleh

dari penelitian, sehingga memudahkan untuk menarik kesimpulan

dalam menjawab permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini

dengan membandingkan data dalam data sekunder.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penilitan ini disusun menjadi suatu karya ilmiah dalam

bentuk tesis yang terbagi dalam 4 bab, disajikan dalam bentuk diskripsi,

adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok bahasannya

adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, menguraikan mengenai latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penilitian, kerangka

berpikir, metode penelitian dan sistematika penulisan

Bab II tinjauan pustaka yang berisi Dasar Hukum Pelaksanaan,

Sebab-sebab Isbat Nikah, syarat-syarat mengajukan pelaksanaan Isbat

Nikah.

Bab III hasil penelitian dan pembahasan yang berisi tentang

gambaran kasus dan prosedur pengajuan Itsbat Nikah di Pengadilan

Agama Kota Semarang, dan Implementasi permohonan Istbat Nikah

dalam Pelaksanaan Hukumnya Setelah Berlakunya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Kota Semarang

22
Bab IV penutup yang memuat simpulan yang diperoleh dari

analisis pembahasan dan hasil penelitian serta saran yang brkaitan dengan

penelitian serta pembahasan pada bab sebelumnya.

23
H. Jawdal Penelitian

BULAN
No Kegiatan
Des, 2014 Jan, 2015 Feb, 2015 Mar, 2015

1 Bimbingan prop.Tesis

2 Ujian proposal Tesis

3 Penelitian Tesis

4 Bimbingan Tesis

5 Ujian tesis

6 Perbaikan

7 Penggandaan

24

Anda mungkin juga menyukai