Anda di halaman 1dari 30

2.

4 TUGAS, FUNGSI, DAN KEWENANGAN BPOM


Menurut Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan, pada pasal 2 terdapat tugas BPOM yaitu :
1. BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas obat, bahan
obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen
kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan, pada pasal 3 terdapat fungsi BPOM yaitu :
1. Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM
menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
b. pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
c. penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;
d. pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama
Beredar;
e. koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan instansi
pemerintah pusat dan daerah;
f. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
g. pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
h. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM;
i. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
BPOM;
j. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM; dan
k. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan BPOM.
2. Pengawasan Sebelum Beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengawasan Obat dan Makanan sebelum beredar sebagai tindakan pencegahan
untuk menjamin Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan.
3. Pengawasan Selama Beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengawasan Obat dan Makanan selama beredar untuk memastikan Obat dan
Makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/
manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta tindakan penegakan hukum.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan, pada pasal 4 terdapat kewenangan BPOM yaitu :
Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM mempunyai
kewenangan:
a. menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan
makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan Makanan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

2.4.1. Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor,


dan Zat Adiktif
Menurut pasal 12 pada Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2017 tentang
Badan pengawas Obat dan Makanan, Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika,
Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif mempunyai tugas menyelenggarakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan obat, bahan obat,
narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif. Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, yaitu:
a. Penyusunan kebijakan di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan
pengawasan selama Beredar meliputi standarisasi, registrasi, dan
pengawasan produksi dan distribusi obat, bahan obat, narkotika,
psikotropika, prekursor, dan zat adiktif’
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar meliputi standarisasi, registrasi,
pengawasan produksi dan pengawasan distribusi obat, bahan obat,
narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif,
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar
meliputi standarisasi, registrasi, pengawasan produksi dan pengawasan
distribusi obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor dan zat
adiktif.
d. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi dalam rangka Pengawasan
Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar meliputi
standarisasi, registrasi, pengawasan produksi dan pengawasan
distribusi obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor dan zat
adiktif,
e. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang Pengawasa Sebelum
Beredar dan Pengawasan Selama Beredar meliputi standarisasi,
registrasi, pengawasan produksi dan pengawasan distribusi obat,
bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif,
f. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala registrasi,
pengawasan produksi dan pengawasan distribusi obat, bahan obat,
narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif.

2.4.2. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan,


dan Kosmetik
Menurut pasal 16 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik mempunyai tugas menyelenggarakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan obat tradisional,
kosmetik, dan suplemen kesehatan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen
Kesehatan, dan Kosmetik menyelenggarakan fungsi:
a. Penyusunan kebijakan di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi, registrasi, pengawasan
produksi dan pengawasan distribusi obat tradisional, suplemen kesehatan, dan
kosmetik;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi, registrasi, pengawasan
produksi dan pengawasan distribusi obat tradisional, suplemen kesehatan, dan
kosmetik;
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Pengawasan
Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi,
registrasi, pengawasan produksi dan pengawasan distribusi obat tradisional,
suplemen kesehatan, dan kosmetik;
d. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi dalam rangka Pengawasan Sebelum
Beredar dan Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi, registrasi,
pengawasan produksi dan pengawasan distribusi obat tradisional, suplemen
kesehatan, dan kosmetik;
e. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang Pengawasan Sebelum Beredar
dan Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi, registrasi, pengawasan
produksi dan pengawasan distribusi obat tradisional, suplemen kesehatan, dan
kosmetik; dan
f. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala

2.4.4 Tugas, Fungsi dan Kewenangan Deputi Bidang Penindakan


Menurut pasal 24 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Deputi Bidang Penindakan mempunyai tugas
menyelenggarakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan penindakan terhadap
pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat
dan Makanan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
Deputi Bidang Penindakan menyelenggarakan fungsi :
a. Penyusunan kebijakan penindakan meliputi cegah tangkal, intelijen, dan
penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang- undangan
di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
b. Pelaksanaan kebijakan penindakan meliputi cegah tangkal, intelijen, dan
penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang- undangan
di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria penindakan meliputi
cegah tangkal, intelijen, dan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
d. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan penindakan meliputi cegah tangkal,
intelijen, dan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan; dan
e. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala.

Selain tugas pokok dan fungsi BPOM juga menerbitkan Sertifikat sebagai berikut:
A. Sertifikasi CPOB/CPBBAOB
Cara Pembuatan Obat yang baik (CPOB) merupakan suatu cara
penjaminan mutu obat yang dihasilkan sesuai persyaratan dan tujuan. Pada
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.04.1.33.12.11.09937 tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi
Cara Pembuatan Obat yang Baik menyebutkan bahwa sebuah Industri
Farmasi yang membuat obat, lembaga yang melakukan proses pembuatan
sediaan radiofarmaka, lembaga berwenang di bidang pengawasan nuklir
dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang melakukan proses pembuatan obat
untuk pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit, harus wajib
memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Sedangkan Industri Farmasi yang membuat bahan baku aktif obat wajib
memenuhi standar dari pedoman Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat
yang Baik (CPBBAOB).
Pemenuhan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
dan Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik (CPBBAOB)
dibuktikan dalam bentuk sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan melalui permohonan tertulis kepada Kepala Badan
POM. Pada pembuatan sertifikat baru, selain Formulir permohonan
pemohon juga harus melampirkan permohonan persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) yang ditujukan kepada Kepala Badan POM. Dalam
jangka waktu 14 hari kerja, dilakukan evaluasi pada permohonan RIP serta
pemberian hasil persetujuan RIP ataupun perbaikan RIP. Kemudian
pemohon mengajukan permohonan inspeksi untuk dilakukan kualifikasi
terhadap pembangunan industri telah memenuhi persyaratan CPOB dengan
mengisi formulir yang ada.
Evaluasi hasil inspeksi sertifikasi waktu penyelesaiannya perlu 20
hari sejak inspeksi sertifikasi. Lalu untuk evaluasi Corrective And
Preventive Action (CAPA) yaitu tindakan perbaikan dan tindakan
pencegahan terhadap temuan hasil inspeksi waktu penyelesaianya 30 hari
setelah menerima CAPA. Setelah dilakukan inspeksi dan hasil evaluasi
menyatakan telah memenuhi persyaratan CPOB, Kepala Badan POM
menerbitkan Sertifikat CPOB atau surat rekomendasi pemenuhan
persyaratan CPOB sebagai kelengkapan permohonan izin industri farmasi
dan penerbitan CPOB/CPBBAOB akan terbit setelah 14 hari sejak fasilitas
dinyatakan memenuhi syarat.
Sertifikat CPOB berlaku 5 tahun selama industri farmasi masih
berproduksi dan memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-
undangan. Pada waktu 6 bulan sebelum masa berlaku sertifikat habis, wajib
melakukan re- sertifikasi dengan mengajukan formulir permohonan kepada
Kepala Badan POM. Re-sertifikasi dilakukan melalui penilaian terhadap
pemenuhan CPOB atau CPBBAOB yang merupakan dari hasil inspeksi
rutin, riwayat produk yang dihasilkan serta inspeksi yang dilakukan dalam
rangka re-sertifikasi. Untuk dokumen-dokumen yang dibutuhkan, dapat
dilihat pada Gambar 2.2 sampai Gambar 2.5.
Adapun persyaratan Permohonan Sertifikasi CPOB/CPBBAOB
1. Dokumen Administratif

2. Surat permohonan

3. Mengisi formulir permohonan sertifikasi CPOB/CPBBAOB

4. Fotokopi izin industri farmasi

5. Bukti pembayaran PNBP sesuai ketentuan peraturan perundang-


undangan

6. Dokumen Teknis

7. Denah RIP yang disetujui

8. Progress pembangunan, daftar peralatan dan status kualifikasi


Gambar 2.2 Formulir Permohonan Sertifikat CPOB/CPBBAOB
Gambar 2.3 Surat Permohonan Resertifikat
Gambar 2.4 Surat Permohonan Inspeksi
B. Sertifikasi CPOTB/CPKB
Untuk pengaturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOTB) diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.06.11.5629 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik. Dalam Pasal 2 berbunyi bahwa Industri obat
tradisional wajib menerapkan CPOTB dalam seluruh aspek dan rangkaian
pembuatan obat tradisional. Untuk Industri Obat Tradisional yang telah
menerapkan CPOTB diberikan sertifikat CPOTB, dan sertifikat diberikan
berdasarkan bentuk sediaan dimana hal ini diatur pada pasal 3.
Pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Sertifikasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik dimana pada Pasal 4
berbunyi pemohonan sertifikasi dilakukan secara tertulis ke Badan POM. Pasal 5
menjelaskan bahwa Permohonan Sertifikasi CPOTB dikenai biaya sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan Sertifikasi CPOTB jika ditolak, maka biaya yang telah
dibayarkan tidak dapat ditarik kembali. Untuk membuat sertifikasi baru dijelaskan
pada pasal 6 :
a. Rencana Induk Pembangunan (RIP) atau denah bangunan; dan / atau
b. Sertifikasi CPOTB.
c. Penetapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) merupakan
persyaratan kelayakan dasar agar suatu industri kosmetik mampu
menghasilkan produk yang aman, bermanfaat dan bermutu. Produsen yang
telah menerapkan Cara Pebuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) dapat
mengajukan permohonan sertifikasi sesuai dengan bentuk sediaan yang
dibuat. Untuk permohonan Sertifikasi CPOTB pemohon dapat mengajukan
sertifikasi dengan menggunakan format yang dapat dilihat pada Gambar
2.6 bagian I dan II.
Paling lama untuk dilakukan inspeksi dalam waktu 30 hari sejak
diterimanya permohonan sertifikasi CPOTB, hasil inspeksi diterima paling lama 20
hari sekali dilakukan inspeksi, hal ini diatur dalam pasal 9. Prosedur permohonan
sertifikasi dimulai dari pelaksanaan inspeksi sertifikasi lalu evaluasi inspeksi
sertifikasi dilanjutkan dengan evaluasi Corrective And Preventive Action (CAPA)
yaitu tindakan perbaikan dan tindakan pencegahan terhadap temuan hasil inspeksi
waktu penyelesaianya 20 hari setelah menerima CAPA dan penerbitan sertifikasi
CPOTB waktu penyelesaianya 10 hari sejak diterimanya ijin IOT/IEBA. Masa
berlaku sertifikat CPOTB adalah 5 tahun dengan syarat industri Obat Tradisional
masih memproduksi dan memenuhi peraturan perundang- undangan.
Pemohon yang melakukan perubahan nama badan hukum dan alamat harus
mengajukan permohonan perubahan sertifikat, untuk masa berlakunya mengikuti
dengan masa berlaku sertifikat yang berikutnya yang dimana diatur dalam pasal 14.
Pada pasal 15 menyatakan bahwa sertifikasi ulang paling lambat 6 bulan sebelum
masa berlaku sertifikat berakhir. Permohonan sertifikasi ulang diajukan kepada
Kepala Badan dengan menggunakan format permohonan sertifikasi ulang seperti
pada Gambar 2.7.
Untuk mendapatkan sertifikasi maka pemohon harus membawa persyaratan
permohonan Sertifikasi CPOTB/CPKB sebagai berikut :
a. Dokumen Administratif
1. Surat permohonan

2. Bukti pembayaran PNBP sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan


b. Dokumen Teknis
1. Rencana Induk Pembangunan (RIP) IOT dan IEBA/Denah Bangunan
Industri
Kosmetik yang telah disetujui oleh Kepala Badan POM
2. Dokumen sistem mutu sesuai dengan persyaratan CPOTB/CPKB
Permohonan Resertifikasi CPOTB/CPKB, pemohon harus membawa persyaratan
sebagi berikut :
a. Dokumen Administratif
1. Surat permohonan

2. Bukti pembayaran PNBP sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan


b. Dokumen Teknis
1. Rencana Induk Pembangunan (RIP) IOT dan IEBA/Denah Bangunan
Industri
Kosmetik yang telah disetujui oleh Kepala Badan POM

2. Sertifikat CPOTB/CPKB
3. Dokumen sistem mutu sesuai dengan persyaratan CPOTB/CPKB

4. Progres CAPA inspeksi terakhir.


Alur Permohonan Sertifikasi dan Resertifikasi CPOTB/CPKB, Perubahan Fasilitas
CPOTB yang Memerlukan Inspeksi dan/atau Perubahan Sertifikat CPOTB/CPKB
karena Perubahan Administrasi dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.6 Surat Permohonan Sertifikasi CPOTB (I)
Gambar 2.6 Surat Permohonan Sertifikasi CPOTB (II)

Gambar 2.7 Surat Permohonan Sertifikasi Ulang

Gambar 2.8 Alur Pemohon Sertifikasi dan Resertifikasi CPOTB/CPKB


Keterangan:
1. Sertifikasi dan Resertifikasi CPOTB/CPKB atau Perubahan dengan perlunya
dilakukan pemeriksaan sarana produksi.

2. Perubahan tanpa perlu dilakukan pemeriksaan sarana produk.

2.5.3 Tugas, Fungsi dan Kewenangan Deputi Bidang Pengawasan Pangan


Olahan dan Bahan Berbahaya
Keputusan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 80 Tahun 2017 tentang
Badan Pengawas dan Makanan mencantumkan Deputi Bidang Pengawasan Pangan
Olahan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM serta
dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan mempunyai
tugas menyelenggarakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pengawasan pangan olahan.
Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan
menyelenggarakan fungsi :
a. Penyusunan kebijakan di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi, regsitrasi, pengawasan
produksi, dan pengawasan distribusi pangan olahan;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan
Selama Beredar meliputi standardisasi, regsitrasi, pengawasan produksi, dan
pengawasan distribusi pangan olahan;
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Pengawasan
Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi,
regsitrasi, pengawasan produksi, dan pengawasan distribusi pangan olahan;
d. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi dalam rangka Pengawasan Sebelum
Beredar dan Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi, regsitrasi,
pengawasan produksi, dan pengawasan distribusi pangan olahan;
e. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar meliputi standardisasi, regsitrasi, pengawasan
produksi, dan pengawasan distribusi pangan olahan;
f. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Badan POM.
Pangan olahan yang diedarkan di Indonesia dalam kemasan terkecil wajib memiliki
izin edar.

A. Pangan Olahan Yang Memerlukan Izin Edar


Menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 27 Tahun 2017
Tentang Pendaftaran Pangan Olahan setiap Pangan olahan yang di produksi di
dalam negeri atau yang diimport untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran
wajib memiliki Izin Edar. Kemasan eceran merupakan kemasan akhir pangan yang
tidak boleh dibuka untuk dikemas kembali dan diperdagangkan. Izin edar tersebut
diterbitkan oleh Kepala Badan POM. Selain itu pangan olahan dalam kemasan
eceran yang memerlukan izin edar, yaitu :
a. Pangan fortifikasi;
b. Pangan SNI wajib;
c. Pangan program pemerintah;
d. Pangan yang ditujukan untuk uji pasar; dan/atau
e. BTP.
Sedangkan pangan olahan yang tidak memerlukan izin edar, yaitu :
a. Pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga pangan, tetapi
wajib memiliki sertifikat produksi pangan;
b. Pangan olahan yang mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari;
c. Pangan olahan yang diimpor dalam jumlah kecil berdasarkan hasil kajian
atas permohonan surat keterangan impor sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk keperluan :
1. Sampel dalam rangka pendaftaran;
2. Penelitian;
3. Konsumsi sendiri;
d. Pangan Olahan yang digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku dan tidak
dijual secara langsung kepada konsumen akhir;
e. Pangan Olahan yang dikemas dalam jumlah besar dan tidak dijual secara
langsung kepada konsumen akhir;
f. Pangan yang dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli dalam jumlah
kecil sesuai permintaan konsumen;
g. Pangan siap saji; dan/atau
h. Pangan yang hanya mengalami pengolahan minimal (pasca panen) meliputi
pencucian, pengupasan, pengeringan, penggilingan, pemotongan, penggaraman,
pembekuan, pencampuran, dan/atau blansir serta tanpa penambahan Bahan
Tambahan Pangan (BTP), kecuali BTP untuk penelitian.
Penggolongan pangan olahan dapat dibedakan berdasarkan tempat produksinya,
yaitu:
a. Pangan Olahan yang diproduksi di Indonesia dapat dibedakan menjadi:
1. Pangan Olahan yang diproduksi sendiri
2. Pangan Olahan yang diproduksi berdasarkan kontrak
(tollmanufacturing/makloon).
Jika pangan olahan diproduksi sendiri maka pendaftaran dapat diajukan oleh
produsen, sedangkan jika pangan olahan diproduksi berdasarkan kontrak maka
yang mengajukan pendaftaran yang memberikan kontrak.
b. Pangan Olahan yang diproduksi di negara lain dan diimpor ke dalam
wilayah Indonesia
Sebelum dilakukan pendaftaran pangan olahan yang akan didaftarkan harus
memenuhi parameter keamanan, mutu, dan gizi sebagai berikut:
1. Parameter keamanan, yaitu cemaran fisik, batas maksimum cemaran
mikroba, dan cemaran kimia serta persyaratan BTP dan bahan penolong sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan;
2. Parameter mutu, yaitu pemenuhan persyaratan mutu sesuai dengan standar
dan persyaratan yang berlaku; dan
3. Parameter gizi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Selain itu, pangan olahan yang didaftarkan juga harus memenuhi persyaratan label,
cara produksi pangan olahan yang baik, cara distribusi pangan olahan yang baik
dan cara ritel pangan olahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengajuan pendaftaran untuk setiap pangan olahan dan juga
termasuk yang memiliki perbedaan dalam hal berikut :
a. Jenis pangan;
b. Jenis kemasan;
c. Komposisi;
d. Nama dan/atau alamat sarana produksi di wilayahIndonesia;
e. Nama dan/atau alamat sarana produksi asal di luar negeri;
f. Nama dan/atau alamat importir/distributor; dan/atau
g. Desain label.
Pangan Olahan yang didaftarkan menggunakan bahan kemasan, nama jenis pangan,
bahan baku, BTP, dan/atau mencantumkan klaim yang belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan, dilakukan pengkajian terlebih dahulu.
B. Persyaratan Pendaftaran Pangan Olahan Berdasarkan Tempat Produksi
Diproduksi di Indonesia
Persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran produk pangan olahan yang
diproduksi sendiri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
A. Memiliki izin usaha untuk jenis pangan yang didaftarkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
B. Memenuhi persyaratan CPPOB untuk jenis Pangan yang didaftarkan.
Sedangkan pada pangan olahan Pemberi Kontrak sebagaimana dimaksud pada
Pasal 9 ayat (2) harus memiliki izin usaha di bidang pangan.

C. Diproduksi di Negara Lain yang di Impor ke Dalam Wilayah Indonesia


Pendaftaran panganolahan yang diproduksi di negara lain dan diimpor ke dalam
wilayah Indonesia diajukan oleh importir atau distributor yang mendapatkan
penunjukkan dari perusahaan di negara asal produk. Importir atau distributor harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki izin di bidang importasi pangan untuk importir atau izin di bidang
distribusi/perdagangan pangan untuk distributor;
b. Memiliki surat penunjukkan berupa surat perjanjian dari perusahaan di negara
asal harus mencantumkan:
1. Pemberian hak kepada perusahaan yang ditunjuk untuk melakukan
pendaftaran Izin Edar PanganOlahan;
2. Penunjukan bersifat eksklusif atau non-eksklusif; dan
3. Jangka waktu berlakunya penunjukan.
Surat penunjukan disahkan oleh notaris, kamar dagang setempat, pemerintah
setempat, atau Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Jika terjadi
perselisihan pada surat penunjukan yang bersifat non-eksklusif, proses pendaftaran
dapat dilanjutkan setelah tercapainya penyelesaian secara tuntas antara pihak yang
berselisih.
Produsen Pangan Olahan di negara asal harus memenuhi persyaratan CPPOB untuk
jenis Pangan yang didaftarkan yang terdapat pada :
Pasal 12
1. Dalam hal Pangan Olahan yang diproduksi di Indonesia atau yang diimpor ke
dalam wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian lisensi, data pendaftaran harus
disertai dengan data pendukung berupa surat perjanjian.
2. Informasi tentang pihak pemberi lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dicantumkan pada Label.
Pasal 13
1. Pemenuhan persyaratan CPPOB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf b dan persyaratan Cara Distribusi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c, dibuktikan dengan hasil pemeriksaan
terhadap pemenuhan persyaratan CPPOB dan Cara Distribusi Pangan Olahan yang
Baik.
2. Pemenuhan persyaratan CPPOB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6),
dibuktikan dengan Sertifikat GMP/HACCP/ISO-22000/PMR/sertifikat serupa
yang diterbitkan oleh lembaga berwenang/terakreditasi dan/atau hasil audit dari
pemerintah setempat.
3. Pemeriksaan setempat dilakukan jika diperlukan pembuktian terhadap
pemenuhan persyaratan CPPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 14
1. Sebelum melakukan Pendaftaran Pangan Olahan, Pendaftar wajib mengajukan
permohonan audit sarana produksi atau sarana distribusi kepada Kepala Balai
Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat.
2. Audit sarana produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan pedoman CPPOB.
3. Audit sarana distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan pedoman Cara Distribusi Pangan Olahan yang Baik.
4. Hasil audit sarana produksi atau sarana distribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan oleh Kepala Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
kepada Pendaftar dengan tembusan kepada Direktur Inspeksi dan Sertifikasi
Pangan.
5. Dikecualikan dari kewajiban pengajuan audit sarana produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bagi sarana produksi yang telah dilakukan audit oleh
lembaga yang berwenang dalam rangka sertifikasi halal, hygiene &
sanitasi/CPPOB, atau sertifikat kesehatan yang dibuktikan dengan hasil audit
sarana.
Pasal 15
1. Audit sarana dalam rangka Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
hanya dilakukan 1 (satu) kali pada setiap Pendaftaran untuk jenis Pangan Olahan
yang sama.
2. Dalam hal jenis Pangan Olahan yang didaftarkan berbeda dengan jenis Pangan
Olahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan audit sarana kembali.

D. Kriteria dan Tanggung Jawab Perusahaan dan Pendaftar


Pasal 16
1. Pelaksanaan Pendaftaran Pangan Olahan dilakukan oleh Pendaftar.
2. Pendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memahami kriteria dan
persyaratan Pangan Olahan yang didaftarkan.
Pasal 17
Perusahaan bertanggungjawab terhadap kelengkapan, kebenaran, dan keabsahan
dokumen yang diajukan saat Pendaftaran Pangan Olahan.
Pasal 18
Dalam hal Pendaftar merupakan pihak yang diberi kuasa oleh Perusahaan maka:
a. Perusahaan harus melaporkan pihak penerima kuasa kepada Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan dan Direktur Penilaian Keamanan Pangan.
b. Izin Edar Pangan Olahan diterbitkan untuk perusahaan yang mengajukan
pendaftaran; dan
c. Perusahaan bertanggung jawab atas semua hal yang terkait dengan pendaftaran
Pangan Olahan yang diajukan oleh pihak yang diberi kuasa.

2.5 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BPOM


Menurut Peraturan BPOM Nomor 28 Tahun 2017 tentang Rencana Strategis Badan
Pengawas Obat dan Makanan (RENSTRA BPOM) tahun 2015-2019, untuk
mendukung tujuan pembangunan subbidang kesehatan dan gizi masyarakat dan
mencapai tujuan dan sasaran strategis BPOM periode 2015-2019, dilakukan upaya
secara terintegrasi. Arah kebijakan BPOM yang akan dilaksanakan, yaitu sebagai
berikut.
1. Penegakan hukum melalui proses penyidikan;
2. Penegakan hukum yang dilakukan bertujuan untuk memberikan efek jera
terhadap pelaku pelanggaran/ tindak pidana serta sebagai peringatan kepada pelaku
usaha lain;
3. Penguatan kewenangan dan wibawa BPOM untuk secara efektif melaksanakan
pengawasan hulu ke hilir dan tindak lanjut hasil pengawasan;
4. Pelaksanaan pelayanan publik yang lebih efisien dan mendekatkan BPOM ke
masyarakat;
5. Peningkatan penindakan yang bisa memberikan efek jera terhadap pelanggaran
hukum atas jaminan keamanan, manfaat, dan mutu obat dan makanan;
6. Peningkatan pemahaman dan keterlibatan pelaku usaha, pemangku kepentingan,
dan masyarakat dalam pengawasan obat dan makanan.
Sedangkan menurut PERKA BPOM no 2 tahun 2015 tentang RENSTRA
Badan POM tahun 2015-2019, untuk mendukung tujuan pembangunan subbidang
kesehatan dan gizi masyarakat dan mencapai tujuan dan sasaran strategis BPOM
periode 2015-2019, dilakukan upaya secara terintegrsi dalam fokus dan lokus
pengawasan Obat dan Makanan. Arah Kebijakan BPOM yang akan dilaksanakan:
1) Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk
melindungi masyarakat Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis
risiko dimulai dari perencanaan yang diarahkan berdasar pada aspek teknis,
ekonomi, sosial dan spasial. Dengan pendektan resiko yaitu dengan
memproritaskan pengawasan pada hal hal yang berdampak resko lebih besar agar
pengawasan yang di lakukan menjadi lebih optimal
2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong kemandirian
pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk Obat
dan Makanan. Dengan melakukan penerapan Risk Management Program secara
mandri dan terus menerus oleh produsen obat dan makanan
3) Peningkatan Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik melalui
kemitraan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan
Obat dan Makanan dalam upaya memastikan bahwa Obat dan Makanan yang
beredar di masyarakat itu aman untuk dikonsumsi.
4) Penguatan kapasitas kelembagaan pengawasan obat dan makanan melalui
penataan struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif,
budaya kerja yang sesuai dengan nilai organisasi serta pengelolaan sumber daya
yang efektif dan efisien.
Untuk dapat melaksanakan kebijakan tersebut, BPOM merumuskan strategi
sebagai berikut:
1. Penguatan Regulasi dalam memperkuat pengawasan Obat dan Makanan;
2. Penguatan Kelembagaan BPOM;
3. Revitalisasi Pelayanan Publik BPOM;
4. Revitalisasi Sistem Manajemen Informasi Obat dan Makanan;
5. Revitalisasi Pengawasan dan penegakan hukum di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
6. Koordinasi dan Sinergisme Lintas Sektor dalam Sistem Pengawasan Terpadu;
7. Revitalisasi Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan (Pengujian dan
Investigasi);
8. Revitalisasi Komunikasi Publik BPOM.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi serta arah kebijakan strategis Badan POM
yang mendukung arah pembangunan nasional periode 2015 – 2019, Pusat
Penyidikan Obat dan Makanan berkomitmen untuk melaksanakan 9 agenda
prioritas yang disebut NAWA CITA, untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat
Indonesia. Sembilan agenda prioritas pembangunan (NAWACITA) antara lain
sebagai berikut.
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara (Perkuat peran dalam kerjasama
global dan regional)
2. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia (Pembangunan kesehatan
khususnya pelaksanaan program Indonesia sehat)
3. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan
terpercaya (Membangun transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah)
4. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
(Peningkatan kapasitas inovasi dan teknologi)
5. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan (Pengurangan ketimpangan antar kelompok
ekonomi masyarakat)
6. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik (peningkatan kedaulatan pangan)
7. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya (Pemberantasan
narkotika dan psikotropika)
8. Melakukan revolusi karakter bangsa
9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia
Arah kebijakan dan strategi tersebut harus dijabarkan pada perencanaan tahunan
dengan penekanan sesuai isu nasional terkini (penjabaran tahunan Nawacita) dan
atau mengacu alternatif penekanan sebagai berikut :
 Tahun 2019:
a. Percepatan penguatan pengawasan Obat dan Makanan dalam kerangka
kelembagaan yang baru, serta pemenuhan gap sumberdaya dan kebijakan.
b. Revitalisasi peran evaluasi program (Renstra 2015-2019) dalam rangka
peningkatan kinerja pengawasan Obat dan Makanan periode berikutnya.

2.6 SISTEM PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN (SISPOM)


Sistem pengawasan obat dan makanan atau sering disingkat dengan
SISPOM merupakan suatu sistem yang diharapkan mampu mendeteksi,
mencegah dan mengawasi produk-produk dengan tujuan melindungi keamanan,
keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri.
Dibentuknya sistem ini dikarenakan kemajuan teknologi yang berdampak pada
jumlah produksi yang meningkat dan penyebaran produk semakin luas. Selain
itu, kemajuan teknologi juga berdampak pada pola konsumsi masyarakat yang
semakin meningkat. Sementara itu, pengetahuan masyarakat masih belum
memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar, dan
aman sehingga resiko kesehatan dan keselamatan konsumen menjadi terancam.

2.6.1 Kerangka Konsep SISPOM

Peredaran obat dan makanan khususnya makanan olahan memiliki


aspek permasalahan yang luas dan kompleks. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem
pengawasan yang komprehensif untuk menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan
mutu produk obat dan makanan.

Gambar 2.10 Alur Pengawasan Obat dan Makanan

Pengawasan tersebut dimulai dari stadardisasi dan sertifikasi sarana


produksi atau distribusi, penilaian pre-market produk, pengawasan post-market
produk dan sarana, sampling dan pengujian, setelah hasil pengujian didapat,
dilakukan penegakan hukum sesuai dengan undang-undang yang dilanggar serta
melakukan pengamanan pasar dalam negeri dari produk obat dan makanan yang
tidak memenuhi syarat, mutu, dan ilegal/palsu
Penilaian (pre-market evaluation) yang merupakan evaluasi produk
sebelum memperoleh nomor izin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan
diedarkan kepada konsumen. Penilaian dilakukan terpusat, dimaksudkan agar
produk yang memiliki izin edar berlaku secara nasional. Pengawasan setelah
beredar (post-market control) untuk melihat konsistensi mutu produk, keamanan
dan informasi produk yang dilakukan dengan melakukan sampling produk Obat
dan Makanan yang beredar, serta pemeriksaan sarana produksi dan distribusi
Obat dan Makanan, pemantauan farmakovigilan dan pengawasan
label/penandaan dan iklan. Pengawasan post-market dilakukan secara nasional
dan terpadu, konsisten, dan terstandar. Pengawasan post-market dilakukan
secara nasional dan terpadu, konsisten, dan terstandar.
Pada pengujian laboratorium, produk yang disampling berdasarkan risiko
terlebih dahulu. Tahapan selanjutnya setelah dilakukan sampling adalah uji
melalui laboratorium guna mengetahui apakah Obat dan Makanan tersebut telah
memenuhi syarat keamanan, khasiat/manfaat dan mutu. Hasil uji laboratorium
ini merupakan dasar ilmiah yang digunakan sebagai untuk menetapkan produk
tidak memenuhi syarat yang digunakan untuk ditarik dari peredaran.
Penegakan hukum di bidang Pengawasan Obat dan Makanan. Penegakan
hukum didasarkan pada bukti hasil pengujian, pemeriksaan, maupun investigasi
awal. Proses penegakan hukum sampai dengan projusticia dapat berakhir dengan
pemberian sanksi administratif seperti dilarang untuk diedarkan, ditarik dari
peredaran, dicabut izin edar, disita untuk dimusnahkan. Jika pelanggaran masuk
pada ranah pidana, maka terhadap pelanggaran Obat dan Makanan dapat diproses
secara hukum pidana.
Untuk melakukan pengawasan dengan benar dan terorganisir serta
menekan sekecil mungkin resiko yang terjadi, Badan POM menerapkan Sistem
Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) yang terdiri dari 3 (tiga) lapisan
penting yaitu:
a) Subsistem pengawasan produsen;
b) Subsistem pengawasan pemerintah/Badan POM; dan
c) Subsistem pengawasan masyarakat/konsumen.
Gambar 2.11 Lapisan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan

2.6.1.1 Subsistem Pengawasan Produsen


Sistem pengawasan internal produsen yang berdasarkan pada
cara produksi yang baik (good manufacturing practices) atau lebih
dikenal dengan sebutan CPOB (GMP). Melalui proses ini diharapkan
agar segala bentuk penyimpangan standar mutu dapat terdeteksi sejak
dini. Secara hukum, produsen bertanggung jawab atas pengawasan mutu
dan keamanan produk yang mereka hasilkan. Segala bentuk
penyimpangan dan pelanggaran dari standar yang ditetapkan dapat
berdampak sanksi baik administratif maupun hukum. Sistem
pengawasan produsen ditunjukan untuk menghasilkan produk yang
berkualitas.
2.6.1.2 Subsistem Pengawasan Pemerintah / BPOM
Sistem pengawasan pemerintah dilakukan oleh Badan POM
sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam melakukan pengaturan
dan standarisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu sebelum
diedarkan di pasar, inspeksi berkala, pengambilan sampel dan pengujian
laboratorium untuk produk obat dan makanan yang sudah beredar,
pengumuman publik, serta penegakan hukum. Dalam meningkatkan
kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap keamanan, khasiat,
dan mutu produk, secara berkala dilakukan kegiatan komunikasi,
informasi, dan edukasi publik. Hasil sistem pengawasan pemerintah
akan terbentuk dalam wujud public warning.

2.6.1.3 Subsistem Pengawasan Masyarakat / Konsumen


Sistem pengawasan masyarakat yang dilakukan secara mandiri
oleh konsumen. Hal ini berusaha dicapai dengan meningkatkan
kesadaran dan pengetahuan mengenai kualitas serta penggunaan produk
secara benar. Dengan tingkat kesadaran dan pengetahuan yang tinggi
terhadap mutu dan kegunaan produk, masyarakat diharapkan dapat
melindungi diri dari produk obat dan makanan yang tidak memenuhi
syarat.
Tingginya tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat
tentunya akan mendorong produsen untuk terus menjaga dan
meningkatkan kualitas produknya. Sistem pengawasan masyarakat akan
memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan komunikasi, informasi
dan edukasi.

2.6.2 Prinsip Dasar SISPOM


Sistem Pengawasan Obat dan Makanan memiliki tujuh prinsip dasar,
antara lain:
a. Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan professional.

b. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat risiko dan


berbasis bukti-bukti ilmiah.
c. Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh
siklus proses.
d. Berskala nasional/lintas propinsi, dengan jaringan kerja
internasional.
e. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum.
f. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan
kuat yang berkolaborasi dengan jaringan global.
g. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk.

Anda mungkin juga menyukai