Anda di halaman 1dari 7

1.

Hakikat Ibadah

Dalam syariat islam ibadah mempunyai dua unsur, yaitu ketundukan dan kecintaan yang
paling dalam kepada Allah SWT. Unsur yang tertinggi adalah ketundukan, sedangkan
kecintaan merupakan implementsi dari ibadah tersebut. Disamping itu ibadah juga
mengandung unsur kehinaan, yaitu kehinaan yang paling rendah di hadapan Allah SWT.
Pada mulanya ibadah merupakan “hubungan” hati dengan yang dicintai, menuangkan isi hati,
kemudian tenggelam dan merasakan keasyikan, akhirnya sampai kepada puncak kecintaan
kepada Allah SWT.

Orang yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak dinamakan
‘abid (orang yang beribadah), begitu juga orang yang cinta kepada sesuatu tetapi tidak tunduk
kepadanya, seperti orang yang mencintai anaknya atau temannya. Kecintaan yang sempurna
adalah kepada Allah SWT. Setiap kecintaan yang bersifat sempurna terhadap selain Allah
SWT adalah batil.

Dengan melihat hakikat dan pengertiannya Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa ibadah
merupakan kewajiban dari apa yang disyariatkan Allah SWT yang disampaikan oleh para
rasul-Nya dalam benyuk perintah dan larangan. Kewajiban itu muncul dari lubuk hati orang
yang mencintai Allah SWT.[3]

Manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan akal dari makhluk lainnya
(Q.S At Tiin). Kenyataannya, manusia tidak selalu menggunakan akal sehatnya, bahkan ia
lebih sering dikuasai nafsunya, sehingga ia sering terjerumus ke dalam apa yang disebut
dehumanisasi,yaitu proses yang menyebabkan kerusakan, hilang, atau merosotnya nilai –
nilai kemanusiaan. Disinilah perlunya agama bagi manusia.

Dengan agama, hidup manusia menjadi bermakna. Makna agama terletak pada fungsinya
sebagai kontrol moral manusia. Melalui ajaran – ajarannya, agama menyuruh manusia agar
selalu dalam keadaan sadar dan menguasai diri. Keadaan sadar dan menguasai diri pada
manusia itulah yang merupakan hakikat agama, atau hakikat ibadah. Melalui ibadah
(pengabdian) kepada Allah, hidup manusia terkontrol. Di mana pun dan dalam keadaan apa
pun, manusia dituntut untuk selalu dalam keadaan sadar sebagai hamba Allah dan mampu
menguasai dirinya, sehingga segala sikap, ucapan, dan tindakannya selalu dalam kontrol
Ilahi.[4]

2.3 Jenis ibadah

Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat
yang berbeda antara satu dengan lainnya:

1. Ibadah Mahdhah, artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara
hamba dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a) Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al-
Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika
keberadaannya.

b) Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw.

Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul
saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer
disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum
Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah
Rasul-rasul mereka.

c) Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran
logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi
memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran,
dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak,
melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini,
maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

d) Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah
kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah
kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan
salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.

2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah) yaitu ibadah yang
di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi
antara hamba dengan makhluk lainnya . Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik,
tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas
sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh
sebagai garis amal. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:

a). Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan
Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.

b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk
ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak
dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam
ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.

c). Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau
madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat,
buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

2.6 Implementasi Ibadah dalam Kehidupan Manusia


Islam adalah sebuah agama yang lengkap dan paripurna. Ia mencakup segala aspek
kehidupan mulai dari doa bangun tidur di pagi hari sampai tata cara dan adab tidur pada
malam hari. Dari ide tentang penciptaan manusia hingga hukum dan filosofi pemerintahan
dan hubungan antar negara. Bahkan, Islam berkembang dalam perbandingan yang lurus
dengan logika dan ilmu pengetahuan. Maka sepantasnya seseorang yang mengaku sebagai
umat Islam yag baik juga adalah seorang ideologis dan berilmu karena Islam tidak bisa
diterapkan tanpa ilmu. Baik dalam aspek ibadah, sama-sama tidak bisa diterapkan tanpa ilmu
pengetahuan. Karenanya, Islam selalu memiliki rasionalisasi atas segala ajarannya dan selalu
bisa dihadapkan dengan oposisi biner[3] baik dalam bentuk agama lain ataupun ilmu
pengetahuan sekuler.

Ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada manusia tidak hanya mengenai
ibadah kepada-Nya dengan selalu beramal kepada Allah SWT, menaati perintah dan
menjauhi larangan-Nya, tetapi juga beribadah dengan jalan beramal baik kepada sesama
manusia. Manusia ditetapkan oleh Allah SWT sebagai makhluk paling mulia dan diutus ke
muka Bumi sebagai pemimpin atau khalifah dan menjadi rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi
alam semesta. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya
manusia lainnya. Untuk itu, Allah telah menetapkan amal-amal yang harus dikerjakan
manusia untuk manusia lainnya, dan memang sudah menjadi kodrat manusia untuk selalu
berbuat dan berakhlak baik kepada dirinya sendiri maupun manusia lainnya. Contoh ibadah
sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan pada saat kita menunaikan ibadah yang
bersifat hablum minallah, seperti shalat. Pada saat kita memulai ibadah shalat, melakukan
takbiratul ihram, kita melafadzkan takbir “Allahu Akbar”, Allah Maha Besar, suatu ucapan
yang mengagungkan dan membesarkan nama Allah SWT, sehingga hal ini termasuk ibadah
hablum minallah. Sedangkan ketika mengakhiri shalat kita mengucapkan salam
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”, Semoga kedamaian dilimpahkan
kepadamu diiringi dengan rahmat dari Allah dan juga barakah dari Allah untukmu. Ucapan
ini dapat diklasifikasikan sebagai ucapan ibadah kepada sesama manusia karena salam
tersebut ditujukan kepada sesama muslim.

Ibadah ini Allah SWT tetapkan sebagai wujud keharusan kepada manusia agar
memiliki kepedulian sosial terhadap manusia lainnya. Selain itu, Islam juga mengenal sistem
ekonomi yang berlandaskan syariat Islam yang mengharamkan riba’ sehingga tidak
membebani orang-orang yang kurang mampu, sistem ekonomi ini dikenal dengan sebutan
sistem ekonomi syariah atau sistem ekonomi muamalah. Contoh-contoh memperlihatkan
bahwa ibadah tak dapat dilepaskan dan dipisahkan dari keseharian umat manusia.

Allah SWT telah menetapkan dan mengatur hubungan baik sesama manusia dan
secara kodrati, manusia memang memiliki hasrat dan keinginan untuk berbuat baik di antara
mereka dan bersama-sama menuju suatu tujuan bersama.

Hal inilah yang kemudian mendasari terbentuknya masyarakat. Secara sosial,


manusia-manusia sebagai anggota masyarakat akan memiliki peranan, tugas, dan
kewajibannya masing-masing bergantung kepada kapasitas anggota masyarakat tersebut.
Peranan perseorangan dalam mewujudkan kewajibannya di dalam masyarakat merupakan
cerminan amal ibadah seseorang terhadap masyarakat atau manusia lainnya. Dengan kata
lain, dengan menunaikan kewajibannya di masyarakat, seseorang telah beribadah.

Fungsi Ibadah
Setiap muslim tidak hanya dituntut untuk beriman, tetapi juga dituntut untuk beramal
sholeh. Karena Islam adalah agama amal, bukan hanya keyakinan. Ia tidak hanya terpaku
pada keimanan semata, melainkan juga pada amal perbuatan yang nyata. Islam adalah agama
yang dinamis dan menyeluruh. Dalam Islam, Keimanan harus diwujudkan dalam bentuk amal
yang nyata, yaitu amal sholeh yang dilakukan karena Allah. Ibadah dalam Islam tidak hanya
bertujuan untuk mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga untuk
mewujudkan hubungan antar sesama manusia. Islam mendorong manusia untuk beribadah
kepada Allah SWT dalam semua aspek kehidupan dan aktifitas. Baik sebagai pribadi maupun
sebagai bagian dari masyarakat. Ada tiga aspek fungsi ibadah dalam Islam.
1. Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya dapat dilakukan melalui
“muqorobah”[7] dan “khudlu”[8]. Orang yang beriman dirinya akan selalu merasa diawasi
oleh Allah. Ia akan selalu berupaya menyesuaikan segala perilakunya dengan ketentuan Allah
SWT. Dengan sikap itu seseorang muslim tidak akan melupakan kewajibannya untuk
beribadah, bertaubat, serta menyandarkan segala kebutuhannya pada pertolongan Allah SWT.
Demikianlah ikrar seorang muslim seperti tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Fatihah ayat 5

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan.”
Atas landasan itulah manusia akan terbebas dari penghambaan terhadap manusia, harta
benda dan hawa nafsu.
2. Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya
Dengan sikap ini, setiap manusia tidak akan lupa bahwa dia adalah anggota masyarakat
yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menerima dan memberi nasihat. Oleh karena itu,
banyak ayat Al-Qur'an ketika berbicara tentang fungsi ibadah menyebutkan juga dampaknya
terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat. Contohnya:
Ketika Al-Qur'an berbicara tentang sholat, ia menjelaskan fungsinya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[9]
Dalam ayat ini Al-Qur'an menjelaskan bahwa fungsi sholat adalah mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar. Perbuatan keji dan mungkar adalah suatu perbuatan merugikan
diri sendiri dan orang lain. Maka dengan sholat diharapakan manusia dapat mencegah dirinya
dari perbuatan yang merugikan tersebut.
Ketika Al-Qur'an berbicara tentang zakat, Al-Qur'an juga menjelaskan fungsinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”[10]
Zakat berfungsi untuk membersihkan mereka yang berzakat dari kekikiran dan
kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap harta benda. Sifat kikir adalah sifat buruk yang anti
kemanusiaan. Orang kikir tidak akan disukai masyarakat
zakat juga akan menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati pemberinya dan
memperkembangkan harta benda mereka. Orang yang mengeluarkan zakat hatinya akan
tentram karena ia akan dicintai masyarakat. Dan masih banyak ibadah-ibadah lain yang
tujuannya tidak hanya baik bagi diri pelakunya tetapi juga membawa dapak sosial yang baik
bagi masyarakatnya. Karena itu Allah tidak akan menerima semua bentuk ibadah, kecuali
ibadah tersebut membawa kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda:
“Barangsiapa yang sholatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar,
maka dia hanya akan bertambah jauh dari Allah” (HR. Thabrani)
3. Melatih diri untuk berdisiplin
Adalah suatu kenyataan bahwa segala bentuk ibadah menuntut kita untuk berdisiplin.
Kenyataan itu dapat dilihat dengan jelas dalam pelaksanaan sholat, mulai dari wudhu,
ketentuan waktunya, berdiri, ruku, sujud dan aturan-aturan lainnya, mengajarkan kita untuk
berdisiplin. Apabila kita menganiaya sesama muslim, menyakiti manusia baik dengan
perkataan maupun perbuatan, tidak mau membantu kesulitan sesama manusia, menumpuk
harta dan tidak menyalurkannya kepada yang berhak. Tidak mau melakukan “amar ma'ruf
nahi munkar”, maka ibadahnya tidak bermanfaat dan tidak bisa menyelamatkannya dari siksa
Allah SWT. [11]
Makna Spiritual Ibadah Bagi Kehidupan Sosial
Ibadah memiliki dimensi keakhiratan sekaligus keduniawian. Ibadah dalam ajaran Islam
tidak hanya dimaksudkan dalam kerangka hubungan
dengan Allah semata, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang tinggi bagi para
pemeluknya. Semua bentuk ibadah memiliki makna sosialnya masing-masing sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, ibadah shalat. Kandungan sosial dari ibadah shalat adalah bahwa shalat
mengajarkan makna persaudaraan dan persatuan manusia yang begitu tinggi. Ketika
melaksanakan shalat di masjid lima kali dalam sehari, maka sesungguhnya ibadah tersebut
tengah menghimpun penduduknya lima kali sehari. Dalam aktivitas tersebut, mereka saling
mengenal, saling berkomunikasi, dan saling menyatukan hati. Mereka shalat dibelakang
seorang imam, mengadu kepada Tuhan yang satu, membaca kitab yang sama, serta
menghadap kiblat yang sama. Mereka juga melakukan amalan yang sama yakni sujud, ruku,
dan sebagainya. Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 10:

Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu ( yang berselisih ) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat
rahmat.” ( Q.S Al-Hujurat:10).
Kedua, ibadah puasa. Puasa mampu menumbuhkan kepekaan sosial bagi pelakunya.
Dengan berpuasa, si kaya merasakan betapa tidak enaknya merasakan lapar. Puasa
mengajarkan kepadanya untuk bisa mengenali serta merasakan penderitaan orang yang
sehari-hari senantiasa berada dalam kekurangan dan berbalut kemiskinan. Kemudian puasa
diakhiri dengan membayar zakat fitrah yang memaksa seseorang untuk berderma, sekalipun
mungkin hatinya belum sadar ini akan menjadi latihan dan pembinaan tersendiri bagi orang
yang besangkutan untuk menjadi orang yang dermawan dan peduli terhadap orang-orang
yang lemah.

Ketiga, ibadah zakat. Ibadah zakat memiliki fungsi dan hikmah ganda. Secara individu
zakat mengandung hikmah untuk membersihkan dan menyucikan diri beserta harta bendanya.
Dengan begitu, zakat melatih manusia menghilangkan sifat kikir, rakus, tamak yang melekat
pada dirinya. Zakat menjadi tanda kedermawanan, solidaritas, dan kasih sayang seorang
muslim terhadap saudara-saudaranya agar bisa ikut merasakan rezeki sebagai karunia Allah
SWT.
Keempat, ibadah haji. Dalam ibadah haji terkandung pengalaman nilai-nilai kemanusiaan
yang universal. Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan
kemudian mengenakan pakaian ihram. Dengan mengenakan pakaian ihram pada saat haji,
manusia diajarkan untuk menanggalkan perbedaan status sosial yang mereka sandang dan
bersatu dalam persamaan dan persaudaraan. Pada saat melaksanakan ihram, seseorang
dilarang menyakiti binatang, dilarang membunuh, menumpahkan darah, serta dilarang
mencabut pepohonan.
Maknanya manusia harus menerapkan apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan
Hadist ke dalam kehidupan sosial.

Anda mungkin juga menyukai