Anda di halaman 1dari 37

BEBERAPA ASPEK HUKUM PUASA

DALAM AL-QURAN

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS al-Baqarah, 2: 185)

Faman kâna minkum marîdhan (Siapa di antara kamu yang menderita sakit)

Marîdh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi
dua:

Penderita (sama sekali) tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia diwajibkan untuk berbuka (sebagai
satu-satunya pilihan); dan

Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan,
maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa sebagai sebuah anjuran yang dipandang lebih baik
untuk dilaksanakan daripada memaksakan diri untuk berpuasa yang pada akhirnya justeru akan
menimbulkan dampak buruk pada dirinya .

Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang,
membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar Ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari
bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa al-
Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman Ibnu Sirin tersebut. Namun
demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah SWT sengaja memilih redaksi demikian,
guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia
layak berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan
alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa
dalam kesempatan yang lain.

2. Au ‘alâ safarin (atau dalam perjalanan)

Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang
musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan
bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan
jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,
maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).

Perbedaan lain berkaitan dengan ‘illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar
(perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak
antara Jakarta-Jogja yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan,
apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak? Ini antara
lain berpulang kepada tinjauan sebab izin (‘illat) safar (perjalanan) ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka
(demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam
kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk
juga perjalanan bisnis dan mubâh (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya
alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika
perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh
izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka
memperoleh rahmat kemudahan dari Allah SWT?

Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka?
Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang
mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa hal ini
sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka
itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam al-
Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, “Kami berada dalam
perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi s.a.w.
tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa.”

Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang
mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini
adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan al-Quran sendiri dalam
konteks puasa, “Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan.”

Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi’ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-
Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:

3. Fa ‘iddatun min ayyâmin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).

Ulama keempat mazhab Sunni menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga
terjemahnya lebih kurang berbunyi, “Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak
berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain.”

Kalimat “lalu ia tidak berpuasa” adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat
sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban
mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.

Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi’ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian —
buat mereka – menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak
berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di
atas.

Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis — tetapi
dinilai lemah — yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui ‘Aisyah r.a. yang
menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatâbi’ât,
yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadhâ’) itu harus dilakukan berkesinambungan
tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatâbi’ât
dalam fa ‘iddatun min ayyâmin ukhar mutâtâbi’ât yang berarti berurut atau bersinambung itu,
kemudian dihapus oleh Allah SWT. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini,
sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.
Meng-qadha’ (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal
Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya
segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak
mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah,
bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat
menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam Malik, asy-Syafi’i, dan
Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi
makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan
alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.

4. Wa ‘alal ladzîna yuthiqûnahû fidyatun tha’âmu miskîn (Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS al-Baqarah [2]:
184).

Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat
bahwa pada mulanya Allah SWT. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni
berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang bependapat bahwa ayat ini
berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua
kemungkinan. Musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia
harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi
enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk
berbuka dengan syarat membayar fidyah.

Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama. Mayoritas memahami


penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang
sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki
lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit
sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga
dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal
ini terdapat rincian sebagai berikut:

Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan “mengganti puasanya” di hari
lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah “janin” atau “anaknya” yang sedang
menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya
wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.

Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa.
Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha’ (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum
atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam
liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada
setiap masyarakat.

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf [ialah berada dalam mesjid dengan
niat mendekatkan diri kepada Allah] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.” (QS al-Baqarah, 2: 187)

5. Uhilla lakum lailatash-shiyâmir-rafatsu ilâ nisâ’ikum (Dihalalkan kepada kamu pada


malam Ramadhan bersebadan dengan isteri-isterimu) (QS al-Baqarah [2]: 187)

Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini
berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam
pengertian hubungan seks adalah “mengeluarkan sperma” dengan cara apa pun. Karena itu
walaupun ayat ini tidak melarang berciuman, atau berpelukan antar suami-isteri, namun para
ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat
menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut isteri Nabi s.a.w.,
‘Aisyah r.a., Nabi s.a.w. pernah mencium isterinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium
atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian ternyata “basah”, maka puasanya batal; ia
harus menggantinya pada hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang
bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan
kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi s.a.w. adalah berpuasa dua bulan berturut-turut.
Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus
memberi makan enam puluh orang miskin.

Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar.
Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari. paling tidak dalam batas waktu yang
memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat
mayoritas ulama.

6. Wakulû wasyrabû hattâ yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi
minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu
fajar).

Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks)
sampai terbitnya fajar.

Pada zaman Nabi s.a.w., beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun
beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan
larangan di atas. Imsâk yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak
lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih
dapat dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu dingatkan, bahwa
hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan
azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk
menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.

7. Tsumma atimmush shiyâma ilal laîl (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
malam).

Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya
fajar.

Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang
juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata
malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang
memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat
pertama didukung oleh banyak hadis Nabi s.a.w., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh
pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan “malam”. Kata lail berarti “sesuatu yang
gelap” karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.

Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi s.a.w. untuk mempercepat berbuka puasa,
dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir
maghrib sebenarnya belum masuk.

Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat al-Quran yang berbicara
tentang puasa Ramadhan. Dan tentu saja tulisan ini belum menjawab semua persoalan hukum si
seputar puasa. Oleh karena, diperlukan pembahasan lebih lanjut,

(Dikutip dengan beberapa perubahan dari tulisan M. Quraish Shihab dalam buku “membumikan
Al-Quran”, untuk kepentingan pengajian Jamaah Masjid Margo Rahayu, Namburan Kidul,
Yogyakarta)

METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN, Sebuah Pengantar


August 9, 2010 at 12:01 pm | Wawasan al-Quran
- Posted by Muhsin Hariyanto | Add Your Comments

METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN: Sebuah


Pengantar

Al-Quran adalah Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai mukjizat
yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah
ibadah[1] Diturunkannya kepada jin dan manusia agar bisa dijadikan petunjuk (hudan) dan
pembeda (furqân) antara kebenaran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah:

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).. (QS.al-Baqarah, 2: 185)

Allah menurunkan al-Quran untuk dibaca dengan penuh penghayatan (tadabbur), meyakini
kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya.

Allah berfirman:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. an-Nisâ’,
4: 82)

Juga firman Allah,

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci.” (QS.
Muhammad, 47: 24)

Agar bisa mewujudkan perintah Allah tersebut, seorang harus bisa memahami makna dan
kandungannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata;
Apabila anda ingin mengambil pelajaran dari al-Quran, maka pusatkanlah hati dan pikiran
anda di saat membaca dan mendengarnya. Dan pasanglah pendengaran anda baik-baik karena
Allah berfirman ”Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya”.[2]

Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab, sebagaimana firman Allah,

”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” (QS. Yûsuf, 12: 2).

Dengan demikian, orang yang ingin menafsirkan AL-Quran harus memahami bahasa Arab baik
kaedah lughawiyahnya seperti nahwu, sharf (gramatical), maupun ta’bîriyyah (linguistic) seperti
majâz, balâghah, i’jâz dan lainnya. Juga ‘Ulûmul Qurân, seperti asbâb an-nuzûl, nâsikh-
mansûkh, qirâ’ah dan lainnya. Studi interdisipliner juga diperlukan oleh seorang Mufassir,
mengingat al-Quran tidak hanya berbicara masalah keimanan, ibadah dan syari’ah saja, tetapi
juga memuat isyarat-isyarat ilmu pengetahuan yang lainnya.

Allah berfirman:

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab.” (QS. al-An’âm, 6: 38)

Sebagai sebuah metode, kaedah-kaedah penafsiran telah ada sejak zaman sahabat, namun
menjadi sebuah disiplin ilmu yang berada di dalam ilmu tafsir, penentuan tahunnya agak sulit
dilacak. Yang jelas ketika ekspansi dakwah islam masuk wilayah-wilayah ‘ajam (non Arab) dan
ajaran Islam tersebar luas terutama abad ketiga hijrah, maka di sini muncul ilmuan muslim yang
mengajarkan Islam termasuk menulis masalah Islam sesuai dengan disiplin mereka masing-
masing. Untuk memudahkan mereka melakukan penafsiran sekaligus memberikan rambu-rambu
agar tidak terjerumus dalam kesalahan, maka dibakukanlah kaedah-kaedah tersebut.

Secara global penafsiran ayat-ayat al-Quran dilakukan oleh al-Quran sendiri (tafsîr al-Qurân bi
al-Qurân). Ayat-ayat yang di-mujmal-kan pada suatu tempat akan dijelaskan di tempat lain, baik
itu disebutkan pada tempat yang sama seperti firman Allah:

”Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu
bulan.” (QS al-Qadr, 97: 2 ditafsirkan oleh QS al-Qadr, 97: 3)

atau disebutkan pada tempat (surat) yang lain sebagaimana tafsir ayat:

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka ….” (QS al-Fâtihah,
1: 7)

Ditafsirkan oleh ayat :

”Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-
orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
(QS. an-Nisâ’, 4: 69)

Apabila metode ini tidak ada, maka umat Islam bisa menafsirkan al-Quran dengan Sunnah
Rasulullah s.a.w.. Karena ia (Sunnah Rasulullah s.a.w.) merupakan penjelasan bagi al-Quran.
Rasulullah s.a.w. bersabda,

ُ‫أ َ ََل إِنِي أُوتِيتُ ْالقُ ْرآنَ َو ِمثْلَهُ َمعَه‬

“Ketahuilah, aku diberi al-Quran dan sesuatu yang serupa dengannya (al-Quran) bersamanya
(yaitu as-Sunnah).” (HR. Ahmad dari Al-Miqdam bin Ma’di Kariba al-Kindi).

Ketika Aisyah ditanya bagaimana kepribadian (akhlak) Rasulullah s.a.w. , beliau menjawab:

َ‫َكانَ ُخلُقُهُ ْالقُ ْرآن‬

Maksudnya: Akhlak Rasulullah s.a.w. refleksi dari keseluruhan syari’at Alllah yang terdapat di
dalam al-Quran (HR. Muslim ).

Apabila tidak ada tafsir (al-Quran) dari Sunnah Rasulullah s.a.w., maka umat Islam bisa
menggunakan perkataan para sahabat Rasulullah s.a.w.. Karena mereka melihat fakta dan realita
kejadian Sunnah dan menerima ilmu langsung dari Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud berkata;
“Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada satu ayat dari Kitabullah, kecuali saya
mengetahui untuk siapa diturunkan dan di mana diturunkan, kalau ada orang yang lebih
mengetahui tentang Kitabullah akan saya datangi sekalipun ada di ujung dunia”.

Begitu juga dengan Abdullah bin Abbas yang dijuluki oleh Rasulullah s.a.w. sebagai penerjemah
al-Qurân dan sahabat yang lain seperti Said bin Musayyab, dan lainnya.

Kalau dengan al-Quran, Sunnah Rasulullah s.a.w. dan perkataan sahabat tidak ada, maka
sebagian ulama mengharuskan merujuk kepada perkataan Tabi’in. seperti Hasan Bashri, Atha’
bin Rabah, Mujahid bin Jubair murid Abdullah bin Abbas yang pernah mengemukakan Al-Quran
dari awal sampai akhir dan menanyakan tafsir dari setiap ayat yang dibaca. Sufyan At-Tsauri
berkata; Apabila ada tafsir dari Mujahid maka itu sudah cukup.[3]Ibnu Jarir meriwayatkan
dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, menyebutkan penafsiran itu ada empat macam:

Pertama, penafsiran yang diketahui oleh orang Arab melalui tuturannya.

Kedua, penafsiran yang bisa diketahui oleh semua orang, yaitu yang menyangkut halal dan
haram.

Ketiga, penafsiran yang hanya diketahui oleh para ulama,

Keempat, penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[4]

Karena al-Quran diturunkan dengan Bahasa Arab, maka untuk memahami apalagi
menafsirkannya dibutuhkan pemahaman terhadap bahasa Arab dan kaedah-kaedahnya, di
samping pemahaman terhadap ‘Ulûmul Qurân yang lain, juga fikih, qawâid (kaedah-kaedah) dan
ushulnya, dan disiplin ilmu yang lain sebagai penunjang. Menafsirkan ayat-ayat Allah dengan al-
ahwâ’ (hawa nafsu) semata tanpa didasari dengan ilmu dan pengetahuan termasuk kebohongan
terhadap Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta
“ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. an-
Nahl, 16: 116)
Rasulullah s.a.w. dalam banyak hadisnya mengingatkan untuk tidak menafsirkan ayat-ayat Allah
tanpa ilmu, di antaranya adalah:

‫آن ِب َرأ ِي ِه أ َ ْو ِب َما َلَ َي ْعلَ ُم فَ ْل َيت َ َب َّوأ َم ْق َعدَهُ ِمنَ الن‬
ِ ‫ِار َّّ َم ْن قَا َل فِي ْالقُ ْر‬

Maksudnya; Barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya atau tanpa


dilandaskan dengan ilmu maka silahkan mengambil tempatnya di neraka”. (HR an-Nasa’i dari
Abdullah bin Abbas)

Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah s.a.w. bersabda;:

َ ‫طأ‬
َ ‫اب فَقَدْ أ َ ْخ‬
َ ‫ص‬َ َ ‫آن ِب َرأْ ِي ِه فَأ‬
ِ ‫َم ْن قَا َل فِي ْالقُ ْر‬

“Barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya, meskipun bisa jadi benar, maka
ia tetap dinyatakantelah keliru.” (HR. at-Tirmidzi, Abu Daud, dan Nasa’i dari Jundub bin
Abdullah)

Abu Bakar berkata: “Langit yang mana aku bernaung, bumi yang mana aku berpijak, kalau aku
menafsirkan Kitabullah tanpa ilmu”.

Ini menunjukkan kehati-hatian ulama salaf (sahabat, tabi’in dan berikutnya), untuk menafsirkan
ayat-ayat Allah tanpa berlandaskan hujjah dan argumentasi yang jelas. Adapun penafsiran yang
dilakukan dengan dasar ilmu dan pengetahuan, baik syariah maupun lughawiyah maka tidaklah
termasuk dalam ancaman di atas[5], menafsirkan al-Quran dengan ijtihad ra’yu sudah
ditradisikan sejak zaman Rasulullah s.a.w., dan itu dilakukan oleh isteri beliau Aisyah yang
banyak menafsirkan masalah-masalah penting dalam agama[6]. Dan Rasulullah sendiri
merekomendasikan Mu’adz bin Jabal untuk melakukan Ijtihad dengan ra’yu, dalam memutuskan
permasalahan ummat, apabila dia tidak mendapatkan jawabannya itu pada al-Quran dan Sunnah.
Dan hal seperti ini mesti dilakukan agar Al-Quran benar-benar bisa menjadi hudan (petunjuk)
bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

[1] Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li ath-Thiba’, tt,
hal. 15.

[2] QS. Qâf, 50: 37; Lihat: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Kitab al-Fawâid, (Beirut: Daarul Kutub
Araby, 1414) hal. 1

[3] Ibnu Katsir, ‘Imaduddin. Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, Muqaddimah. (Riyadh: Dâr as-Salâm,
cetakan I, 1997). hal. 20.

[4] Taqiyyuddin Ahmad ibnu Taimiyyah. Majmû’ Fatawû, Tafsîr (Makkah: Mathba’ah al-
Hukûmah, t.t.) juz. 13, hal. 375.

[5] Ibnu Katsir. Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, Muqaddimah. Hal.13

[6] ‘Abdullah ibn Su’ûd al-Badr, Tafsîr Ummîl Mu’minîn ‘Âisyah Radhiyallâhu ‘Anhâ, (Jakarta:
Dâr al-Falâh, 1422).
TAFSIR ATAS AL-QURAN, Antara Kebebasan dan
Keterbatasan
August 9, 2010 at 11:48 am | Wawasan al-Quran
- Posted by Muhsin Hariyanto | Add Your Comments

TAFSIR ATAS AL-QURAN:

Antara Kebebasan dan Keterbatasan

Wacana kebebasan dan pembatasan dalam hal penafsiran al-Quran hingga kini masih
menjadi perbincangan yang menarik. Pertanyaan pentingnya, benarkah semua orang layak
dibebaskan untuk menafsirkan al-Quran karena sifat keterbukaan al-Quran untuk dipahami
oleh setiap manusia? Ataukah, karena rumitnya al-Quran untuk dipahami, hanya ada
sejumlah orang yang berhak menafsirkannya dengan sejumlah rambu yang harus disepakati?
Lalu bagaimana cara menafsirkannya?

Prolog

Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad s.a.w., sekaligus petunjuk untuk
umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan
tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama
mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.

Redaksi ayat-ayat al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat
dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian
menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal al-Quran, para sahabat Nabi s.a.w.
sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta
memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat,
atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka
dengar atau mereka baca itu.[1] Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir
adalah “penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan
manusia (mufasir)”,[2] dan bahwa “kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau
hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut
secara berdiri sendiri.”[3]

Rasulullah Muhammad s.a.w.. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah
(QS an-Nahl, 16: 44). Tugas ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti
benar. Hal ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan
dalam al-Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan “kurang tepat”,
misalnya QS at-Taubah, 9: 42; QS Ali Imran, 3: 128, QS ‘Abasa, 80: 1, dan sebagainya, yang
kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma’shum (terpelihara dari kesalahan atau dosa).

Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka
memahami atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang
bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi s.a.w. tersebut ada
yang hanya sekadar merupakan contoh-contoh kongkret yang beliau angkat dari masyarakat
beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat
berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhûb ‘alayhim (QS al-Fatihah, 1: 7) sebagai
“orang-orang Yahudi”,[4] atau “quwwah” dalam QS al-Anfal, 8: 60 yang memerintahkan
mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai “panah”.[5]

Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi s.a.w.. bermacam-macam, baik dari segi cara,
motif, maupun hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya, ketika
menafsirkan shalât al-wusthâ dalam QS al-Baqarah, 2: 238 dengan “shalat Ashar”,[6] penafsiran
itu adalah penafsiran muthâbiq dalam arti sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan
ketika menafsirkan QS al-Mu’min, 40: 60, tentang arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya
dengan beribadah.[7] Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talâzum. Artinya, setiap doa
pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS
Ibrahim, 14: 27. Di sana beliau menafsirkan kata “akhirat” dengan “kubur”.[8] Penafsiran
semacam ini dinamakan penafsiran tadhâmun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.

Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat al-Quran
tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh
generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga “karena Nabi s.a.w.. sendiri tidak menafsirkan
semua ayat al-Quran”.[9] Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-
ayat al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan,
setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.

Kebebasan dalam Menafsirkan al-Quran

Jika kita perhatikan perintah al-Quran yang memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-
ayatnya dan kecamannya terhadap mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama
tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa al-Quran diturunkan untuk setiap manusia
dan masyarakat kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia
pada abad ke-21 serta generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami al-Quran sebagaimana
tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya al-Quran.

Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat
kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-
penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran
seseorang akan berbeda satu dengan lainnya.

Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan al-
Quran. Karena hal ini merupakan perintah al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang
diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini
adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut
dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.

Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam


menafsirkan al-Quran, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap
disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran
bahkan malapetaka dalam kehidupan.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap orang bebas berbicara atau melakukan praktik-
praktik dalam bidang kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai
pengetahuan tentang ilmu tersebut.

Pembatasan dalam Menafsirkan al-Quran


Telah dikemukakan di atas bahwa al-Quran mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan
kandungannya, dan bahwa para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda
pendapat atau keliru dalam memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan
mereka sejak dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran al-Quran.

Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud
firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat
dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka;
kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak
diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[10]

Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat
(bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).

Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat al-Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh
Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung
beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau
pengertiannya oleh seseorang, seperti yâ sîn, alif lâm mîm, dan sebagainya. Pendapat ini
didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat al-Quran kepada muhkam (jelas) dan
mutasyâbih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wîl (arti)-nya kecuali Allah,
sedang orang-orang yang dalam ilmunya berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyâbih” (QS Ali ‘Imran, 3: 7).[11] Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara
umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami
maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang
tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.

Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa
tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang
materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh
akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima
apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi s.a.w..[12]

Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim An-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat
Nabi s.a.w., Abu Hurairah, tentang ayat “neraka saqar adalah pembakar kulit manusia” (QS al-
Muddatstsir, 74: 29) untuk dinisbatkan kepada Rasulullah s.a.w..[13]

Syaikh Muhammad ‘Abduh (1849-1905), salah seorang ahli Tafsir yang paling mengandalkan
akal, menganut prinsip “tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh
pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh al-Quran.” Ketika
menafsirkan firman Allah dalam QS al-Qari’ah, 101: 6-7 tentang “timbangan amal perbuatan di
Hari Kemudian”, ‘Abduh menulis: “Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa
yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang
diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan
permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan.”[14] Bahkan, ‘Abduh terkadang tidak
menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu
membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat ‘Umar bin Khaththab ketika
membaca abba dalam surat ‘Abasa (QS ‘Abasa, 80: 32) yang berbicara tentang aneka ragam
nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.[15]15

Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan
banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan
tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Quran,
sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi s.a.w., dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip
pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.
Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan al-
Quran.

Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi:

(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat al-
Quran. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk
menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para
ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.

Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam Tafsîr An-Nûr karya Prof. Hasbi Ash-
Shiddieqy, atau Al-Azhar karya HAMKA, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang
apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang
dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan
pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui,
karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.

(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:

[a] subjektivitas mufasir;

[b] kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaedah;

[c] kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;

[d] kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian [pembicaraan] ayat;

[e] tidak memperhatikan konteks, baik asbâb al-nuzûl, hubungan antarayat, maupun kondisi
sosial masyarakat;

[f] tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.

Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para
pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat al-Quran.

Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya pembatasan-
pembatasan dalam penafsiran al-Quran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan
menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial,
perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahasa.

Perubahan Sosial

Ditemukan banyak ayat al-Quran yang berbicara tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat
ideal yang sifatnya adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif (QS al-Fath,
48: 29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (QS Yunus, 10: 49; QS al-
Hijr, 15: 5, dan lain-lain), dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola
yang tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS Fathir, 35: 43; al-Fath, 48: 23, dan
lain-lain).
Perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama
diakibatkan oleh potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua
kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam
menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat al-Quran. Walaupun telah disepakati
bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah (yang tidak terjangkau oleh
pikiran/manusia) perintah agama harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan
makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu’amalah), perintah agama
terlebih dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.[16]

Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Sementara ulama berpendapat bahwa “syari’at” (al-Quran dan hadis) harus dipahami
berdasarkan pemahaman masyarakat pada masa turunnya.[17]17 Ini mengakibatkan antara lain
pembatasan dalam memahami teks-teks ayat al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan
tingkat pengetahuan masyarakat pada masa turunnya al-Quran yang jauh terbelakang dibanding
perkembangan ilmu dewasa ini.

Pembatasan di atas tentunya tidak dapat diterima, apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa
al-Quran diturunkan untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil untuk
menjadikan semua orang berpikir dengan pola yang sama. Dan karena al-Quran memerintahkan
setiap orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan pikirannya antara lain
berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Atas dasar ini, pendapat-pendapat yang
dikemukakan di atas mengenai pembatasan dalam penafsiran al-Quran amat sulit diterima.

Selanjutnya perlu dibedakan antara pemikiran ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap
teori ilmiah. Ketika ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini
bulat, maka mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah “Dan Allah
jadikan untuk kamu bumi ini terhampar” (QS Nuh, 71: 19) bahwa keterhamparan yang dimaksud
tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh
siapa pun dan ke mana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak
menyatakan “Allah ciptakan” tetapi “jadikan untuk kamu”. Demikian juga ketika eksperimen
membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis janin (bayi dalam perut), maka
pemahaman kita terhadap ayat “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan
(hamil)” (QS ar-Ra’d, 13: 8), pemahaman kata “apa” beralih dari yang tadinya dipahami sebagai
jenis kelamin bayi menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan,
bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata “apa” dalam istilah al-Quran dapat mencakup
segala sesuatu. Di sisi lain, kalimat “Allah mengetahui” bukan dalam arti “hanya Allah yang
mengetahui”, bila yang dimaksud dengan “apa”-nya adalah jenis kelamin janin.

Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat al-Quran seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak
dapat ditempuh bila pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas diterapkan.
Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat
dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat al-Quran, apalagi bila
membenarkannya atas nama al-Quran. Karena itu, pemakaian teori ilmiah yang belum mapan
dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini akan mengakibatkan bahaya
yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab
Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah yang sejati.

Bidang Bahasa
Perlu digarisbawahi bahwa walaupun al-Quran menggunakan kosakata yang digunakan oleh
orang-orang Arab pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama
dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. al-Quran dalam hal ini
menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik yang mereka
kenal.[18]

Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah memberikan pengertian-pengertian baru
bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh al-Quran.Dalam hal ini seseorang tidak bebas
untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa
pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufasir, disamping harus memperhatikan
struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus
memperhatikan penggunaan al-Quran terhadap setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam
memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan
secara umum tidak dibenarkan untuk menggunakan pengertian pengertian baru yang
berkembang kemudian.

Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat
petunjuk bahwa pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam hal
ini seseorang mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya
dari sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.

Kata ‘alaq dalam wahyu pertama “Dia (Tuhan) menciptakan manusia dari ‘alaq” (QS 96: 2)
mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang
berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di sini seseorang mempunyai
kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan alasannya.

Perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan
ditampung, selama ia dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran. Bahkan
agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu memperoleh pahala dari Tuhan,
walaupun seandainya ia kemudian terbukti keliru.

Epilog: Sketsa Metode Penafsiran al-Quran[19]


Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks
pemahaman al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang harus dilalui untuk mencapai
pemahaman yang tepat tentang makna ayat-ayat al-Quran.” Dengan kata lain, metode penafsiran
al-Quran merupakan: seperangkat kaedah yang seharusnya dipakai oleh mufassir (penafsir)
ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran.

Perkembangan wacana metode tafsir hingga saat ini secara garis besar mengenalkan empat
macam (metode), yaitu: ijmâlî (global), tahlîlî (analitik), muqârin (perbandingan) dan maudhû’î
(tematik).

Lahirnya metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan perubahan sosial yang selalu dinamik.
Dinamika perubahan sosial mengisyaratkan kebutuhan pemahaman yang lebih kompleks.
Kompleksitas kebutuhan pemahaman atas al-Quran itulah yang mengakibatkan, tidak boleh
tidak, para mufassir harus menjelaskan pengertian ayat-ayat al-Quran yang berbeda-beda.

Apabila diamati, akan terlihat bahwa metode penafsiran al-Quran akan menentukan hasil
penafsiran. Ketepatan pemilihan metode, akan menghasilkan pemahaman yang tepat, begitu juga
sebaliknya. Secara sistematik, penafsiran al-Quran dapat digambarkan dengan skema sebagai
berikut:

Tafsir Al-Quran
Komponen Eksternal Komponen Internal
Kepribadian Bentuk Metode
Jati Diri al-Qurân: Corak Tafsir:
Mufassir: Tafsir: Tafsir:
 Sejarah al-Quran ·
 Asbâb an-Nuzûl Global
 Qirâât (Ijmâlî)
 Nâsikh-Mansûkh
 Muhkam-Mutasyâbih
 Mukjizat al-Quran
 Munâsabât
 Kaedah Tafsir
 Dll.
o Ikhlas
o Jujur
o Berakhlak Mulia
o Akidah Yang Benar
o Dll.
o Riwayat (Ma’tsûr)
o Pemikiran (Ra’yî)
 Analitik (Tahlîlî)
 Komparatif (Muqâran)
 Tematik (Maudhî’i)
 Tas.a.w.uf (Shûfî/Isyârî)
 Fiqh (Fiqhî)
 Filsafat (Falsafî)
 Ilmiah (‘Ilmî)
 Sosial-Kemasyarakatan
(Adabî/Ijtimâ’i)
 Dll.

Tampak dengan jelas pada skema di atas posisi metodologi tafsir, yaitu dengan media atau jalan
yang harus ditempuh jika ingin sampai ke tujuan instruksional dari suatu penafsiran. Tujuan itu
disebut corak penafsiran. Itu berarti, dalam bentuk apa pn penafsiran dilakukan, ma’tsûr atau
ra’yî, niscaya tidak akan dapat mencapai salah satu corak penafsiran tanpa memakai salah satu
dari empat metode penafsiran itu. Untuk dapat menggunakan suatu metode, seseorang dituntut
secara mutlak agar menguasai ilmu (tentang) metode tersebut, atau apa yang disebut dengan
“metodologi tafsir”.

Dengan demikian, metodologi tafsir menduduki posisi yang teramat penting di dalam tatanan
ilmu tafsir, karena tidak mungkin sampai kepada tujuan tanpa menempuh jalan yang menuju ke
sana.

Pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran dari masa ke masa menampakkan dinamikanya yang
tiada pernah berhenti. Pemaknaan demi pemaknaan terhadapnya, di samping menghasilkan
beberapa kesepakatan, juga memunculkan perdebatan panjang, bahkan menampakkan gejala
semakin menguat untuk tidak pernah berhenti. Hal ini antara lain disebabkan oleh interaksi para
mufassir dengan sejumlah pendekatan keilmuan yang semakin lama semakin meluas. Terlepas
dari pro-kontra, di antara pendekatan keilmuan yang terkesan dominan bagi para mufassir dalam
upaya memahami makna ayat-ayat al-Quran saat ini: Ilmu Tafsir – sebagai sebuah kerangka
metodologi tafsir atas al_Quran — selalu akan berkembang selaras dengan kebutuhan umat
(baca: kaum muslimin dan muslimat) terhadap hidayah Allah – untuk mereka, kapan pun dan di
mana pun — melalui kitab suci al-Quran.

Al-Quran yang dahulu pernah menjadi senjata handal Nabi Muhammad s.a.w. – dengan
ketakwaan primanya — untuk melakukan perubahan dari alam kegelapan menuju alam terang-
benderang, kini dan masa yang akan datang seharusnya juga bisa digunakan oleh umat Islam –
yang memiliki ketakwaan yang sepadan – untuk menjadi senjata yang sama: “menjadi pelita
bagi seluruh umat manusia”.

Insyâallâh.

REFERENSI:

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib Syed Muhammad Naquib., Konsep Pendidikan dalam Islam,
Bandung: Penerbit Mizan, 1984.

Adz-Dzahabiy, Muhammad Husain, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Dar Al-Kutub Al-


Haditsah, 1961.

Ibn Katsir, Isma’il., Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Singapura: Sulaiman Mar’iy, t.t.

Al-Maktabah asy-Syâmilah (DVD), Edisi II.

Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, Mesir: Dar al-Hilal, 1962.

An-Naisaburi, al-Hakim Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, Beirut: Dar al-Afaq, 1980.

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Asy-Syathibi, Abu Ishaq., Al-Muwâfaqât, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.

As-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulûm Al-Qur’ân, Cet. II, Mesir: Al-Azhar, t.t.

Al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Mesir: Al-Halabiy, II, 1957.

[1]Lihat Muhammad Husain adz-Dzahabiy, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Dar al-Kutub al-
Haditsah, 1961, jilid 1, h. 59.

[2]Ibid., h. 15.

[3]Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t., jilid II, h. 35.

[4]Ismail Ibn Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-’Azhîm, Singapura: Sulaiman Mar’iy, t.t. jilid I, h. 29.

[5]Ibid., h. 321.
[6]Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya.

[7]Diriwayatkan oleh At-Turmudzi.

[8]Ibid.

[9]Adz-Dzahabi, At-Tafsîr, h. 53.

[10]Lihat lebih jauh Az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Mesir: al-Halabiy, 1957, jilid
II, h. 164.

[11]Lihat As-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Mesir: al-Azhar, cet. 11, t.t.. h. 3.

[12]Lihat Adz-Dzahabiy, At-Tafsîr, h. 59.

[13]Al-Hakim An-Naisaburi, Ma’rifâh ‘Ulûm al-Hadîts, Beirut: Dar al-Afaq, 1980, h. 20.

[14]Syaikh Muhammad ‘Abduh, Tafsîr Juz ‘Amma, Mesir: Dar al-Hilal, 1962, h. 139.

[15]Ibid., h. 26.

[16]Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 300.

[17]Ibid., hal. 82.

[18]Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung:
Penerbit Mizan, 1984, h. 28.

[19]Lebih lanjut lihat Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002. h. 54-59.

(Disadur dari Tulisan M. Quraish Shhab dalam buku Membumikan Al-Quran, dengan beberapa
modfikasi, untuk keperluan diskusi kelas pada Fakultas Agama Islam UM Yogyakarta)

KESETIAKAWANAN SOSIAL DALAM PANDANGAN


AL-QURAN
July 26, 2010 at 8:55 am | Wawasan al-Quran
- Posted by Muhsin Hariyanto | Add Your Comments

KESETIAKAWANAN SOSIAL

DALAM PANDANGAN AL-QURAN

Oleh: Muhsin Hariyanto

Perbincangan di seputar kesetiakawanan atau yang juga dikenal dalam bahasa Ingrris dengan
sebutan solidarity, hingga kini menjadi sebuah diskusi yang masih menarik, dan ditengarai akan
selalu menarik perhatian setiap anggota masyarakat, karena artipentingnya pranata social ini
sebagai pilar penyangga bangunan harmoni sosial, di mana pun kapan pun dan bagi siapa pun
Memang tidak mudah untuk mendefinisikan makna kesetiakawanan sosial dalam konteks yang
beragam. Tetapi, untuk sekadar memetakan pengertian esensialnya, kesetiakawanan adalah
sebuah pranata sosial yang di dalamnya terkandung ciri-ciri penting, yaitu: kepedulian, rasa
sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan dan ketulusan.[1]

Sejumlah tantangan kompleks yang muncul-termasuk potensi konflik yang ditimbulkan oleh
dorongan ego setiap manusia, yang pada saatnya bisa menjebak mereka menjadi manusia-
manusia yang tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, karena menganggap yang terpenting
adalah dirinya. Sedang orang lain baru dianggap (menjadi) menjadi penting karena berpotensi
“menguntungkan” bagi dirinya.[2] Oleh karena itu, untuk membangun kesetiakawanan sosial,
setiap orang, sebagai anggota mansyarakat, dituntut untuk memiliki kepedulian dan
ketenggangrasaan terhadap orang lain, dan bahkan menganggap orang lain sebagai entitas yang
penting, sepenting dirinya.[3]

Dalam merespon wacana kesetikawanan (sosial) tersebut, kita (umat Islam) bisa mengajak dialog
dengan al-Quran, sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib terhadap para sahabatnya: istanthiq al-
Quran, yang ternyata menurut M. Quraish Shihab[4] tersirat dalam gagasan “ukhuwwah”.[5]

Kajian mengenai ukhuwah (Ar.: Ukhuwwah), dalam pandangan M. Quraish Shibab, menjadi
dianggap memiliki arti penting dewasa ini, karena adanya fenomena yang sangat meresahkan:
sinyal-sinyal menuju “disintegrasi sosial”. Banyak orang mempertanyakan: “sejaumana peran
Islam di dalamnya?” Di sini, Islam menawarkan gagasan “ukhuwah Islamiyah”. Bukan sekadar
penjelasan normatif, tetapi sampai pada solusi atas problem sosial yang sudah pernah, sedang
dan akan dialami oleh umat manusia secara kongkret.

Kata Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar
kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa
persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.

Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak
yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah
diartikan sebagai “setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan
keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”. Secara majazi kata
ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi,
dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk
kata ukhuwwah digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.

Ukhuwah dalam al-Quran

Dalam al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 (lima puluh
dua) kali. Kata ini dapat berarti:

Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat yang berbicara tentang kewarisan,
atau keharaman mengawini orang-orang tertentu, misalnya:[6]

َ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم ِمن‬


َ ‫الَّلتِي أَ ْر‬ َّ ‫ت َوأ ُ َّم َهات ُ ُك ُم‬
ِ ‫َاَلت ُ ُك ْم َو َبنَاتُ ْاْلَخِ َوبَنَاتُ ْاْل ُ ْخ‬َ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم أ ُ َّم َهات ُ ُك ْم َو َبنَات ُ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم َو َع َّمات ُ ُك ْم َوخ‬ ْ ‫ُح ِر َم‬
ْ ْ َّ ‫سائِ ُك ُم‬
‫الَّلتِي دَخَلت ُ ْم ِب ِه َّن فَإِ ْن لَ ْم تَ ُكونُوا دَخَلت ُ ْم ِب ِه َّن فَ ََّل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم‬ َ ِ‫ور ُك ْم ِم ْن ن‬ ِ ‫الَّلتِي فِي ُح ُج‬ َّ ‫سائِ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم‬ ُ
َ ِ‫ضا َع ِة َوأ َّم َهاتُ ن‬ َ ‫الر‬ َّ
‫ورا َر ِحي ًما‬ ُ َ َ
ً ‫ف إِن ّللاَ كانَ غف‬ َّ َّ َ
َ ‫سل‬ ْ َ َّ َ ْ ُ ْ َ
َ ‫صَّلبِك ْم َوأن تجْ َمعُوا بَيْنَ اْلختي ِْن إَِل َما قد‬ ْ َ ُ َ َ ْ َّ ُ
ْ ‫َو َحَّلئِل أ ْبنَا ِئك ُم الذِينَ ِمن أ‬ َ ُ َ

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu[7]; anak-anakmu yang perempuan; saudara-


saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti (redaksi) doa Nabi Musa a.s. yang
diabadikan al-Quran:[8]

‫َارونَ أ َ ِخي‬
ُ ‫يرا ِم ْن أ َ ْه ِلي ه‬
ً ‫َواجْ َع ْل ِلي َو ِز‬

3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti dalam firman-Nya,[9]

َ‫ّللاَ َما لَ ُك ْم ِم ْن ِإلَ ٍه َغي ُْرهُ أَفَ ََّل تَتَّقُون‬


َّ ‫َو ِإلَى َعا ٍد أَخَا ُه ْم ُهودًا قَا َل َياقَ ْو ِم ا ْعبُد ُوا‬

Seperti telah diketahui kaum ‘Ad membangkang terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud,
sehingga Allah memusnahkan mereka (baca antara lain:[10]

‫از‬ َ ‫سو ًما فَت ََرى ْالقَ ْو َم فِي َها‬


ُ ‫ص ْر َعى َكأَنَّ ُه ْم أَ ْع َج‬ ُ ‫س ْب َع لَيَا ٍل َوثَ َمانِيَةَ أَي ٍَّام ُح‬
َ ‫س َّخ َرهَا َعلَ ْي ِه ْم‬
َ ‫ص ٍر َعاتِيَة‬ َ ٍ‫َوأ َ َّما َعادٌ فَأ ُ ْه ِل ُكوا بِ ِريح‬
َ ‫ص ْر‬
‫ٍ ن َْخ ٍل خَا ِويَة‬

4. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.[11]

‫ب‬ َ ‫احدَة ٌ فَقَا َل أ َ ْك ِف ْلنِي َها َو َع َّزنِي فِي ْال ِخ‬


ِ ‫طا‬ ِ ‫ي نَ ْع َجةٌ َو‬
َ ‫ِإ َّن َهذَا أ َ ِخي لَهُ تِ ْس ٌع َوتِ ْسعُونَ نَ ْع َجةً َو ِل‬

5. Persaudaraan seagama.[12]

َ‫ّللاَ لَعَ َّل ُك ْم ت ُ ْر َح ُمون‬ ْ َ ‫إِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ إِ ْخ َوة ٌ فَأ‬
َّ ‫ص ِل ُحوا بَيْنَ أَخ ََو ْي ُك ْم َواتَّقُوا‬

Dari pembahasana kebahasaan ini kita temukan lagi dua macam ragama persaudaraan, yang
walaupun secara tegas tidak disebut oleh al-Quran sebagai “persaudaraan”, namun substansinya
adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah:

1. Saudara sesama manusia (ukhuwwah insâniyyah).

Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lelaki dan
seorang perempuan (Adam dan Hawa)[13]

َّ ‫ّللاِ أَتْقَا ُك ْم ِإ َّن‬


ٌ ‫ّللاَ َع ِلي ٌم َخ ِب‬
‫ير‬ َّ َ‫ارفُوا ِإ َّن أ َ ْك َر َم ُك ْم ِع ْند‬ ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَك ٍَر َوأ ُ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم‬
َ ‫شعُوبًا َوقَبَائِ َل ِلت َ َع‬ ُ َّ‫يَاأَيُّ َها الن‬

2. Saudara sesama makhluk dan seketundukan kepada Allah.

Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh (saudara) digunakan pada berbagai
bentuk persamaan. Dari sini 1ahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas
menyatakan:[14]

َ ْ‫ش ْيءٍ ث ُ َّم إِلَى َربِ ِه ْم يُح‬


‫ش ُرون‬ َ ‫ب ِم ْن‬ ْ ‫ير بِ َجنَا َح ْي ِه إِ ََّل أ ُ َم ٌم أ َ ْمثَالُ ُك ْم َما فَ َّر‬
ِ ‫طنَا فِي ْال ِكتَا‬ ِ ‫َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َو ََل‬
ُ ‫طا ِئ ٍر يَ ِط‬
Ragam Ukhuwah Islamiyah

Ukhuwah Islamiyah, dalam pandangan M. Quraish Shihab, lebih tepat dimaknai sebagai
ukhuwah yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah dikemukakan pula beberapa
ayat yang mengisyaratkan bentuk atau jenis “persaudaraan” yang disinggung oleh al-Quran.
Semuanya dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam
persaudaraan:

Ukhuwwah ‘ubûdiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.

Ukhuwwah insâniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena
mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.

Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.

Ukhuwwah fi dîn al-Islâm, persaudaraan antarsesama Muslim.

Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah berdasarkan pemahaman


terhadap teks ayat-ayat al-Quran. Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh al-Quran adalah
persaudaraan seagama Islam, dan persaudaraan yang jalinannya bukan karena agama. Ini
tecermin dengan jelas dari pengamatan terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam
al-Quran, yang menunjukkan dua arti kata akh, yaitu:

Pertama, ikhwan, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan tidak sekandung. Kata ini
ditemukan sebanyak 22 (dua puluh dua) kali sebagian disertakan dengan kata ad-dîn (agama)
seperti dalam firmanNya.[15]

ِ ‫ص ُل ْاْل َيا‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َي ْعلَ ُمون‬ ِ ‫الزكَاة َ فَإ ِ ْخ َوانُ ُك ْم ِفي الد‬
ِ َ‫ِين َونُف‬ َّ ‫فَإِ ْن تَابُوا َوأَقَا ُموا ال‬
َّ ‫ص ََّلة َ َو َءات َُوا‬

Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka adalah saudara-
saudara kamu seagama.

Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata ad-dîn (agama) seperti:[16]

ْ ‫ّللاُ يَ ْعلَ ُم ْال ُم ْف ِسدَ ِمنَ ْال ُم‬


‫ص ِلحِ َولَ ْو‬ ْ ِ‫فِي الدُّ ْنيَا َو ْاْل ِخ َرةِ َويَ ْسأَلُونَكَ َع ِن ْاليَت َا َمى قُ ْل إ‬
ُ ‫ص ََّل ٌح لَ ُه ْم َخي ٌْر َوإِ ْن تُخَا ِل‬
َّ ‫طو ُه ْم فَإ ِ ْخ َوانُ ُك ْم َو‬
‫يز َح ِكي ٌم‬ َّ ‫ّللاُ َْل َ ْعنَتَ ُك ْم ِإ َّن‬
ٌ ‫ّللاَ َع ِز‬ َّ ‫شَا َء‬

Teks ayat-ayat tersebut secara tegas dan nyata menunjukkan bahwa al-Quran memperkenalkan
persaudaraan seagama dan persaudaraan tidak seagama.

Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh al-Quran adalah ikhwah, terdapat sebanyak 7 (tujuh)
kali dan digunakan untuk makna persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,[17]

َ‫ّللاَ لَعَ َّل ُك ْم ت ُ ْر َح ُمون‬ ْ َ ‫ِإنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ ِإ ْخ َوة ٌ فَأ‬
َّ ‫ص ِل ُحوا بَيْنَ أَخ ََو ْي ُك ْم َواتَّقُوا‬

Menarik untuk dipertanyakan, mengapa al-Quran menggunakan kata ikhwah dalam arti
persaudaraan seketurunan ketika berbicara tentang persaudaraan sesama Muslim, atau dengan
kata lain, mengapa al-Quran tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini digunakan untuk
makna persaudaraan tidak seketurunan? Bukankah lebih tepat menggunakan kata terakhir, jika
melihat kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri dari banyak bangsa dan suku, yang
tentunya tidak seketurunan?
Menurut M. Quraish Shihab, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan mempererat jalinan
hubungan antar sesama Muslim, seakan-akan hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh
keimanan (yang di dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata al-mu’minûn), melainkan juga “seakan-
akan” dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga
merupakan kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan persaudaraan
yang harmonis di antara mereka, dan tidak satu pun yang dapat dijadikan dalih untuk
melahirkan keretakan hubungan.

Faktor Penunjang Persaudaraan

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan.
Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita
merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya
menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta,
serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar “take and give,” tetapi justeru
“mengutamakan orang lain atas diri mereka”, walau diri mereka sendiri kekurangan.
Sebagaimana firman Allah:[18]

‫ُور ِه ْم َحا َجةً ِم َّما أُوتُوا َويُؤْ ثِ ُرونَ َعلَى أَ ْنفُ ِس ِه ْم‬
ِ ‫صد‬ َ ‫َوالَّذِينَ تَبَ َّو ُءوا الد‬
ِ ْ ‫َّار َو‬
ُ ‫اْلي َمانَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم ي ُِحبُّونَ َم ْن هَا َج َر ِإلَ ْي ِه ْم َو ََل َي ِجدُونَ فِي‬
ْ ْ َ ُ َ ْ ُ
َ‫صة َو َمن يُوقَ ش َّح نَف ِس ِه فأولئِكَ ُه ُم ال ُمف ِلحُون‬ ْ ٌ َ ‫صا‬َ ‫َولَ ْو َكانَ بِ ِه ْم َخ‬

Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di
antara sesamanya, dan dorongan kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang
akan melahirkan rasa persaudaraan.

Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan mencari titik-singgung dan titik-
temu persaudaraan. Jangankan terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian.
Sebagaimana firman Allah berikut:[19]

ِ ‫ضنَا َب ْعضًا أَ ْر َبابًا ِم ْن د‬


َّ ‫ُون‬
ِ‫ّللا‬ ُ ‫ش ْيئًا َو ََل َيت َّ ِخذَ َب ْع‬ َّ ‫س َواءٍ َب ْينَنَا َو َب ْي َن ُك ْم أ َ ََّل نَ ْعبُدَ ِإ ََّل‬
َ ‫ّللاَ َو ََل نُ ْش ِركَ ِب ِه‬ ِ ‫قُ ْل َياأ َ ْه َل ْال ِكت َا‬
َ ‫ب ت َ َعالَ ْوا ِإلَى َك ِل َم ٍة‬
َ‫فَإ ِ ْن ت ََولَّ ْوا فَقُولُوا ا ْش َهدُوا بِأنَّا ُم ْس ِل ُمون‬
َ

dan[20]

‫ين – قُ ْل ََل ت ُ ْسأَلُونَ َع َّما أَجْ َر ْمنَا َو ََل‬ َ ‫ّللاُ َوإِنَّا أَ ْو إِيَّا ُك ْم لَعَلَى ُهدًى أ َ ْو فِي‬
ٍ ِ‫ض ََّل ٍل ُمب‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َّ ‫ض قُ ِل‬ َّ ‫قُ ْل َم ْن يَ ْر ُزقُ ُك ْم ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم َوا‬
َ‫نُ ْسأ َ ُل َع َّما تَ ْع َملُون‬

Petunjuk al-Quran Untuk Memantapkan Ukhuwah

Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali al-Quran menggarisbawahi bahwa


perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut
merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan
kehidupan makhluk di pentas bumi.[21]

‫ّللاُ َو ََل تَتَّ ِب ْع أَ ْه َوا َء ُه ْم َع َّما‬ ِ ‫ص ِد ًقا ِل َما َبيْنَ َيدَ ْي ِه ِمنَ ْال ِكت َا‬
َّ ‫ب َو ُم َهي ِْمنًا َعلَ ْي ِه فَاحْ ُك ْم َب ْينَ ُه ْم ِب َما أ َ ْنزَ َل‬ َ ‫ق ُم‬ ِ ‫َاب ِب ْال َح‬
َ ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْكَ ْال ِكت‬
ْ ُ ُ ُ ُ
ِ ‫احدَةً َول ِك ْن ِليَ ْبل َوك ْم فِي َما َءاتَاك ْم فَا ْستَبِقوا ال َخي َْرا‬
‫ت‬ َ ً ُ ُ َ َ
ِ ‫ّللاُ ل َجعَلك ْم أ َّمة َو‬ َ ً
َّ ‫ق ِل ُك ٍل َجعَلنَا ِم ْنك ْم ِش ْر َعة َو ِم ْن َها ًجا َول ْو شَا َء‬
ُ ْ ِ ‫َجا َءكَ ِمنَ ْال َح‬
َّ ‫ِإلَى‬
َ‫ّللاِ َم ْر ِجعُ ُك ْم َج ِميعًا فَيُن َِبئ ُ ُك ْم ِب َما ُك ْنت ُ ْم فِي ِه ت َْختَ ِلفُون‬

Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal
budi seperti binatang atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah
dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang
berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar
kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian,
kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya “mati”,
atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya,[22]

‫سفًا‬ ِ ‫ار ِه ْم إِ ْن لَ ْم يُؤْ ِمنُوا بِ َهذَا ْال َحدِي‬


َ َ‫ث أ‬ ِ َ ‫سكَ َعلَى َءاث‬ ِ َ‫فَلَعَلَّكَ ب‬
َ ‫اخ ٌع نَ ْف‬

َ َّ‫ض ُكلُّ ُه ْم َج ِميعًا أَفَأ َ ْنتَ ت ُ ْك ِرهُ الن‬


َ‫اس َحتَّى يَ ُكونُوا ُمؤْ ِمنِين‬ ِ ‫َولَ ْو شَا َء َربُّكَ َْل َمنَ َم ْن فِي ْاْل َ ْر‬

Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt. memberikan beberapa petunjuk
sesuai dengan jenis persaudaraan yang diperintahkan. Pada kesempatan ini, akan
dikemukakan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara umum dan
persaudaraan seagama Islam.

1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam memperkenalkan konsep
khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk
memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan
penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad Saw. melarang memetik buah sebelum siap untuk
dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu
kecil. Nabi Muhammad Saw. juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala
sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak mengenalkan istilah
“penaklukan alam”, karena secara tegas al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam
untuk manusia adalah Allah,[23]

َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َيتَ َف َّك ُرون‬ ِ ‫ت َو َما ِفي ْاْل َ ْر‬


ٍ ‫ض َج ِمي ًعا ِم ْنهُ ِإ َّن ِفي ذَلِكَ َْل َيا‬ َّ ‫س َّخ َر لَ ُك ْم َما ِفي ال‬
ِ ‫س َم َوا‬ َ ‫َو‬

Secara tegas pula seorang Muslim diajar untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan
untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada saat berkendaraan seorang
Muslim dianjurkan membaca, Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang kami
sendiri tidak mempunyai kesanggupan menundukkannya,[24]

َ ‫س ْب َحانَ الَّذِي‬
َ‫س َّخ َر لَنَا َهذَا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرنِين‬ ُ ‫ور ِه ث ُ َّم ت َ ْذ ُك ُروا ِن ْع َمةَ َربِ ُك ْم إِذَا ا ْست ََو ْيت ُ ْم َعلَ ْي ِه َوتَقُولُوا‬ ُ ‫ِلتَ ْست َُووا َعلَى‬
ِ ‫ظ ُه‬

2. Untuk mewujudkan persaudaraan antarpemeluk agama, Islam memperkenalkan ajaran,[25]

‫ِين‬
ِ ‫يد‬َ ‫لَ ُك ْم دِينُ ُك ْم َو ِل‬

dan:[26]

َّ ‫ب َوأ ُ ِم ْرتُ ِْل َ ْع ِد َل َب ْي َن ُك ُم‬


‫ّللاُ َر ُّبنَا َو َر ُّب ُك ْم لَنَا‬ َّ ‫ع َوا ْست َ ِق ْم َك َما أ ُ ِم ْرتَ َو ََل تَت َّ ِب ْع أ َ ْه َوا َء ُه ْم َوقُ ْل َءا َم ْنتُ ِب َما أ َ ْنزَ َل‬
ٍ ‫ّللاُ ِم ْن ِكت َا‬ ُ ْ‫َف ِلذَلِكَ َفاد‬
‫ير‬
ُ ‫ص‬ ْ َّ ‫أ َ ْع َمالُنَا َولَ ُك ْم أ ْع َمال ُك ْم ََل ُح َّجةَ بَ ْينَنَا َوبَ ْي َن ُك ُم‬
ِ ‫ّللاُ يَجْ َم ُع َب ْينَنَا َوإِلَ ْي ِه ال َم‬ ُ َ

Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik-singgung dan titik-temu antarpemeluk agama.
Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan
hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling
menyalahkan.[27]

ِ ‫ضنَا بَ ْعضًا أ َ ْربَابًا ِم ْن د‬


َّ ‫ُون‬
ِ‫ّللا‬ ُ ‫ش ْيئًا َو ََل يَت َّ ِخذَ َب ْع‬ َّ ‫س َواءٍ بَ ْينَنَا َوبَ ْي َن ُك ْم أ َ ََّل نَ ْعبُدَ ِإ ََّل‬
َ ‫ّللاَ َو ََل نُ ْش ِركَ ِب ِه‬ ِ ‫قُ ْل يَاأ َ ْه َل ْال ِكت َا‬
َ ‫ب ت َ َعالَ ْوا ِإلَى َك ِل َم ٍة‬
َ‫فَإ ِ ْن ت ََولَّ ْوا فَقُولُوا اش َهدُوا بِأنا ُم ْس ِل ُمون‬
َّ َ ْ
Bahkan al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya untuk
menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah “kalimah sawa’ (titik-temu)” tidak
dicapai:[28]

‫( قُ ْل ََل ت ُ ْسأَلُونَ َع َّما أَجْ َر ْمنَا َو ََل‬24)‫ين‬ َ ‫ّللاُ َوإِنَّا أ َ ْو إِيَّا ُك ْم لَعَلَى ُهدًى أَ ْو فِي‬
ٍ ِ‫ض ََّل ٍل ُمب‬ َّ ‫ض قُ ِل‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫قُ ْل َم ْن يَ ْر ُزقُ ُك ْم ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم َوا‬
‫ق َوه َُو ْالفَتَّا ُح ْال َع ِلي ُم‬
ِ ‫ قُ ْل يَجْ َم ُع بَ ْينَنَا َربُّنَا ث ُ َّم َي ْفت َ ُح بَ ْينَنَا ِب ْال َح‬- َ‫نُ ْسأ َ ُل َع َّما تَ ْع َملُون‬

Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh
Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak umat Islam.

ِ ‫ّللاَ ي ُِحبُّ ْال ُم ْقس‬


َ‫ِطين‬ ُ ‫ار ُك ْم أَ ْن تَبَ ُّرو ُه ْم َوت ُ ْق ِس‬
َّ ‫طوا إِلَ ْي ِه ْم إِ َّن‬ ِ ‫ّللاُ َع ِن الَّذِينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الد‬
ِ َ‫ِين َولَ ْم ي ُْخ ِر ُجو ُك ْم ِم ْن ِدي‬ َّ ‫ََل يَ ْن َها ُك ُم‬

Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan keuangan/material kepada sebagian


penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim, al-Quran menegur mereka
dengan firman-Nya:[29]

َّ ‫ّللاَ َي ْهدِي َم ْن َيشَا ُء َو َما ت ُ ْن ِفقُوا ِم ْن َخي ٍْر فَ ِِل َ ْنفُ ِس ُك ْم َو َما تُ ْن ِفقُونَ ِإ ََّل ا ْب ِتغَا َء َوجْ ِه‬
‫ّللاِ َو َما ت ُ ْن ِفقُوا ِم ْن َخي ٍْر‬ َّ ‫ْس َعلَيْكَ ُهدَا ُه ْم َولَ ِك َّن‬ َ ‫لَي‬
َ ْ َ َ
َ‫ف إِل ْي ُك ْم َوأ ْنت ُ ْم ََل تُظل ُمون‬
َّ ‫ي َُو‬

3. Untuk memantapkan persaudaraan antarsesama Muslim, al-Quran pertama kali


menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat
mengeruhkan hubungan di antara mereka.

Setelah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman bersaudara, dan memerintahkan untuk
melakukan ishlâh (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua
orang (kelompok) kaum Muslim, al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan
hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya:[30]

‫سى أ َ ْن يَ ُك َّن َخي ًْرا ِم ْن ُه َّن َو ََل ت َْل ِم ُزوا‬ َ ‫ساءٍ َع‬ َ ِ‫سى أ َ ْن يَ ُكونُوا َخي ًْرا ِم ْن ُه ْم َو ََل ن‬
َ ِ‫سا ٌء ِم ْن ن‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ََل يَ ْسخ َْر قَو ٌم ِم ْن قَ ْو ٍم َع‬
َّ ‫ان َو َم ْن لَ ْم َيتُبْ فَأُولَئِكَ ُه ُم ال‬
َ‫ظا ِل ُمون‬ ِ ْ َ‫وق َب ْعد‬
ِ ‫اْلي َم‬ ُ ‫س‬ُ ُ‫س ِاَل ْس ُم ْالف‬ ِ ‫س ُك ْم َو ََل ت َنَا َب ُزوا ِب ْاْل َ ْلقَا‬
َ ْ‫ب ِبئ‬ َ ُ‫أ َ ْنف‬

Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang yang beriman (mu’min; pl.: mu’minûn) untuk
menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing,
yang diibaratkan oleh al-Quran seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal
dunia.[31]

‫ض ُك ْم َب ْعضًا أَي ُِحبُّ أ َ َحد ُ ُك ْم أَ ْن يَأ ْ ُك َل لَحْ َم‬


ُ ‫سوا َو ََل َي ْغتَبْ بَ ْع‬ َّ ‫ظ ِن إِثْ ٌم َو ََل ت َ َج‬
ُ ‫س‬ َّ ‫ض ال‬ َّ ‫يرا ِمنَ ال‬
َ ‫ظ ِن إِ َّن بَ ْع‬ ً ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا اجْ ت َ ِنبُوا َك ِث‬
َّ ‫أ َ ِخي ِه َم ْيتًا فَك َِر ْهت ُ ُموهُ َواتَّقُوا‬
َّ ‫ّللاَ ِإ َّن‬
‫ّللاَ ت ََّوابٌ َر ِحي ٌم‬

Menarik untuk diketengahkan, bahwa al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak merumuskan
definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh
praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan, atau tecermin
— misalnya — dalam hadis Nabi Saw. antara lain,[32]

‫سدُوا َو ََل تَ َبا َغضُوا َو ََل تَدَا َب ُروا َو ُكونُوا‬


َ ‫سوا َو ََل تَ َحا‬
ُ َ‫سوا َو ََل تَنَاف‬ َّ ‫سوا َو ََل ت َ َج‬
ُ ‫س‬ ِ ‫ظ َّن أ َ ْكذَبُ ْال َحدِي‬
َّ ‫ث َو ََل ت َ َح‬
ُ ‫س‬ َّ ‫ظ َّن فَإ ِ َّن ال‬
َّ ‫ِإيَّا ُك ْم َوال‬
‫ّللاِ إِ ْخ َوانًا‬
َّ َ‫ِعبَاد‬

Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian pula,
bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan
bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek)
harus didahulukan daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga
karena “melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya, demikian pula
sebaliknya.”

Semua petunjuk al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara tentang interaksi antarmanusia
pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah. Perhatikan — misalnya — larangan
melakukan transaksi yang bersifat batil,[33]

َ‫اْلثْ ِم َوأَ ْنت ُ ْم تَ ْع َل ُمون‬ ِ َّ‫اط ِل َوتُدْلُوا ِب َها ِإلَى ْال ُح َّك ِام ِلت َأ ْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن أ َ ْم َوا ِل الن‬
ِ ْ ‫اس ِب‬ ِ َ‫َو ََل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالب‬

Larangan riba,[34]

‫ّللاُ ْالبَ ْي َع‬ ِ ‫طانُ ِمنَ ْال َم ِس ذَلِكَ ِبأَنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬
َّ ‫الربَا َوأَ َح َّل‬ َ ‫ش ْي‬ ِ َ‫الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬
ُ َّ‫الربَا ََل يَقُو ُمونَ ِإ ََّل َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬
َّ ‫طهُ ال‬
ِ َّ‫ص َحابُ الن‬
َ‫ار ُه ْم فِي َها خَا ِلدُون‬ ْ َ‫ّللاِ َو َم ْن َعادَ فَأُولَئِكَ أ‬ َّ ‫ف َوأ َ ْم ُرهُ إِلَى‬ َ ‫ظةٌ ِم ْن َربِ ِه فَا ْنت َ َهى فَلَهُ َما‬
َ َ‫سل‬ َ ‫الربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬
ِ ‫َو َح َّر َم‬

َ‫الر َبا ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬ َّ ‫َياأ َ ُّي َها الَّذِينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا‬
َ ‫ّللاَ َوذَ ُروا َما َب ِق‬
ِ َ‫ي ِمن‬

Anjuran menulis utang-piutang,[35]

َّ ُ‫ب َك َما َعلَّ َمه‬


ُ‫ّللا‬ َ ُ ‫ب كَاتِبٌ أَ ْن َي ْكت‬ َ ْ ‫س ًّمى َفا ْكتُبُوهُ َو ْل َي ْكتُبْ َب ْينَ ُك ْم كَاتِبٌ ِب ْال َعدْ ِل َو ََل َيأ‬َ ‫َياأَيُّ َها َّالذِينَ َءا َمنُوا ِإذَا تَدَا َي ْنت ُ ْم ِبدَي ٍْن ِإ َلى أَ َج ٍل ُم‬
َ‫ض ِعيفًا أَ ْو ََل يَ ْست َِطي ُع أ ْن‬ َ
َ ‫س ِفي ًها أ ْو‬ ْ َ َّ
َ ‫ش ْيئًا َفإ ِ ْن َكانَ الذِي َعل ْي ِه ال َح ُّق‬ َ ُ‫َس ِم ْنه‬ ْ ‫ّللاَ َربَّهُ َو ََل َي ْبخ‬
َّ ‫ق‬ِ َّ ‫علَ ْي ِه ْال َح ُّق َو ْليَت‬َ ‫فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْم ِل ِل الَّذِي‬
‫اء‬
ِ َ‫ش َهد‬ُّ ‫ض ْونَ ِمنَ ال‬ َ ‫َان ِم َّم ْن ت َْر‬ ِ ‫ش ِهيدَي ِْن ِم ْن ِر َجا ِل ُك ْم فَإ ِ ْن لَ ْم َي ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َوا ْم َرأَت‬ َ ‫ي ُِم َّل ه َُو فَ ْليُ ْم ِل ْل َو ِليُّهُ ِب ْال َعدْ ِل َوا ْست َ ْش ِهد ُوا‬
ُ‫يرا إِلَى أَ َج ِل ِه ذَ ِلك ْم‬ َ
ً ِ‫يرا أ ْو َكب‬ ُ ْ َ َ َ
َ ُ‫ش َهدَا ُء إِذا َما دُعُوا َوَل ت َ ْسأ ُموا أ ْن تَكتبُوه‬
ً ‫ص ِغ‬ َ ُّ ‫ب ال‬ ْ
َ ‫َض َّل إِ ْحدَا ُه َما فَتُذَ ِك َر إِحْ دَا ُه َما ْاْل ُ ْخ َرى َوَل يَأ‬
َ ِ ‫أ َ ْن ت‬
‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَ ََّل تَ ْكتُبُوهَا‬ َ ‫ِيرونَ َها بَ ْي َن ُك ْم فَلَي‬ُ ‫اض َرة ً تُد‬ِ ‫ارة ً َح‬َ ‫ش َهادَةِ َوأَدْنَى أ َ ََّل ت َْرتَابُوا ِإ ََّل أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬ َّ ‫ّللاِ َوأ َ ْق َو ُم ِلل‬
َّ َ‫ط ِع ْند‬ُ ‫س‬ َ ‫أ َ ْق‬
‫ش ْيءٍ َع ِلي ٌم‬ ُ
َ ‫ّللاُ بِك ِل‬ َّ ‫ّللاُ َو‬ ُ
َّ ‫ّللاَ َويُعَ ِل ُمك ُم‬ ُ َّ ُ
َّ ‫سوق بِك ْم َواتقوا‬ ٌ ُ َّ َ ُ ْ ْ
ُ ‫ش ِهيد ٌ َوإِن تَفعَلوا فإِنهُ ف‬ َ
َ ‫ار كَاتِبٌ َوَل‬ َ ُ‫َوأَش ِهد ُوا إِذا تَبَايَ ْعت ْم َوَل ي‬
َّ ‫ض‬ َ ُ َ ْ

Larangan mengurangi atau melebihkan timbangan,[36]

َ‫( َوإِذَا كَالُو ُه ْم أَ ْو َوزَ نُو ُه ْم ي ُْخس ُِرون‬2) َ‫اس يَ ْست َْوفُون‬ َ ‫( َو ْي ٌل ِل ْل ُم‬3)
ِ َّ‫( الَّذِينَ إِذَا ا ْكت َالُوا َعلَى الن‬1) َ‫ط ِففِين‬

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(1) (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(2) dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.(3)” (QS al-Muthaffifîn [83]: 1-3), dan lain-
lain.

Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Quran secara tegas memerintahkan orang-
orang yang beriman untuk merujuk Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya
terjadi perbedaan pemahaman al-Quran dan Sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan
pengamalan maupun tidak, maka petunjuk al-Quran dalam hal ini adalah:

َ‫سو ِل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُون‬


ُ ‫الر‬
َّ ‫ّللاِ َو‬ َ ‫سو َل َوأُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَإِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬ َّ ‫ّللاَ َوأَ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬
ً‫سنُ ت َأ ْ ِويَّل‬
َ ْ‫اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأح‬
َ َّ ِ‫ب‬

Konsep-konsep Dasar Pemantapan Ukhuwah

Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa para ulama
mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan
pengamalan ajaran agama.

a. Konsep tanawwu’ al-’ibâdah (keragaman cara beribadah).


Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi Saw. dalam bidang pengamalan
agama, yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan,
selama semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu meragukan pernyataan
ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan:
“Berapaka hasil 5 + 5?”, melainkan yang ditanyakan adalah, “Jumlah sepuluh itu merupakan
hasil penambahan berapa tambah berapa?”

b. Konsep al-mukhti’u fî al-ijtihâd lahû ajr (Yang salah dalam berijtihad pun [menetapkan
hukum] mendapat ganjaran).

Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa,
bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya
keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah bukan wewenang
makhluk, tetapi wewenang Allah Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian.
Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang
pendapatnya diikuti, haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah
melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah mempelajari
dengan saksama dalil-dalil keagaman (al-Quran dan Sunnah).

c. Konsep lâ hukma lillâh qabla ijtihâd al-mujtahid (Allah belum menetapkan suatu
hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid).

Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi masing-masing
mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong,
yang disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang tersedia. Tuan rumah
mempersilakan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia di atas meja dan
mengisi gelasnya — penuh atau setengah — sesuai dengan selera dan kehendak masing-masing
(selama yang dipilih itu berasal dari minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa
pun isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi. Jangan mempersalahkan
seseorang yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika
memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.

Memang al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti
dan mutlak. Yang mutlak adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-
firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami al-Quran dan
Sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan, kecenderungan
pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja
tingkat kecerdasan dan pemahaman masing-masing mujtahid.

Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan menyebutkan, “Pendapat
kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi
mungkin saja benar.” Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa
sebagai manusia mereka memiliki keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang
akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah yang paling benar.

Ukhuwah Dalam Praktik

Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah satu ayat dalam
surat al-Hujurât dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiyah. Ayat yang
dimaksud adalah,[37]
َ‫ّللاَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْر َح ُمون‬ ْ َ ‫إِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ إِ ْخ َوة ٌ فَأ‬
َّ ‫ص ِل ُحوا بَيْنَ أَخ ََو ْي ُك ْم َواتَّقُوا‬

Kata ishlâh atau shalâh yang banyak sekali berulang dalam al-Quran, pada umumnya tidak
dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justeru digunakan dalam kaitannya dengan
perbuatan nyata. Kata ishlâh hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara
dua orang (atau lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya
dengan memperhatikan penggunaan al-Quran terhadapnya.

Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalâh dan ishlâh. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab, kata shalâh diartikan sebagai antonim dari kata fasâd (kerusakan), yang juga dapat
diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata ishlâh digunakan oleh al-Quran dalam dua
bentuk: Pertama, ishlâh yang selalu membutuhkan objek; dan kedua, adalah shalâh yang
digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalâh dapat diartikan terhimpunnya sejumlah
nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang
dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan hal
yang dilakukannya itu dinamai ishlâh.

Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah
sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:[38]

َّ ‫ّللاُ فِي َحا َجتِ ِه َو َم ْن فَ َّر َج َع ْن ُم ْس ِل ٍم ُك ْربَةً فَ َّر َج‬


ُ‫ّللاُ َع ْنه‬ َّ َ‫ظ ِل ُمهُ َو ََل يُ ْس ِل ُمهُ َم ْن َكانَ فِي َحا َج ِة أ َ ِخي ِه َكان‬ ْ َ‫ْال ُم ْس ِل ُم أ َ ُخو ْال ُم ْس ِل ِم ََل ي‬
ْ َّ ُ‫ست ََره‬
‫ّللاُ يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة‬ ْ ِ ‫ِب َها ُك ْربَةً ِم ْن ُك َر‬
َ ‫ب يَ ْو ِم ال ِقيَا َم ِة َو َم ْن‬
َ ‫ست ََر ُم ْس ِل ًما‬

Dari riwayat at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas dilengkapi dengan,[39]

ُ‫ََل يَ ُخونُهُ َو ََل يَ ْك ِذبُهُ َو ََل يَ ْخذُلُه‬

Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa
pertolongan.

Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiyah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil


kongkret dalam kehidupannya.

Untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah, yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi
persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan
yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga
seluruh umat merasakan nikmatnya.

Implementasi konsep ukhuwah (Islamiyah) dalam pandangan al-Quran memerlukan kesadaran


setiap orang untuk bersinergi, dan tidak mungkin akan terwujud di ketika setiap orang – dalam
bangunan sosial – menerjemahkannya dalam bentuk sikap anergis.

Manifestasi persaudaraan Islam ini telah dicontohkan dengan gemilang oleh Nabi dan para
sahabatnya. Dalam bentuk saling menolong oleh siapa pun kepada siapa pun. Sebagai wujud
kesaadaran untuk mengamalkan pesan moral al-Quran.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, al-Maktabah al-Syâmilah, Ishdâr Tsânî, UEA: Shakhr, 2007.


http://www.media.isnet.org

http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=963

http://www.vitanouva.net/index.php?topic=1495.0

http://www.sejutablog.com/egoisme-penyebab-kerusakan-alam-lingkungan/

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan), 1992.

——, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati), 2002.

——,Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan), 2005.

[1] http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=963.

[2] http://www.vitanouva.net/index.php?topic=1495.0

[3] http://www.sejutablog.com/egoisme-penyebab-kerusakan-alam-lingkungan/

[4] Makalah ini sepenuhnya ditulis berdasarkan paparan yang telah dituangkan dalam ketiga
judul buku oleh M. Quraish Shihab: Tafsir al-Mishbah, Membumikan al-Quran dan Wawasan
al-Quran.

[5] Lebih lanjut lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Quran (Jakarta: Lentera Hati), 2002; Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan), 1992;
Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan), 2005.

[6] QS an-Nisâ’ [4]: 23

[7] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak
perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga
yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaannya.

[8]QS Thâhâ [20]: 29-30

[9] QS al-A’râf [7]: 65

[10] QS al-Hâqqah [69]: 6-7

[11] QS Shâd [38]: 23

[12] QS al-Hujurât [49: 10

[13] QS al-Hujurât [49]: 13

[14] QS al-An’âm [6]: 38


[15] QS at-Taubah [9]: 11

[16] QS al-Baqarah [2]: 220

[17] QS a1-Hujurât [49]: 10

[18] QS al-Hasyr [59]: 9

[19] QS Âli ‘Imrân [3]: 64

[20] QS Saba’ [34): 24-25

[21] QS al-Mâidah [5]: 48

[22] QS al-Kahfi [18]: 6; (QS Yunus [10]: 99

[23] QS al-Jâtsiyah [45]: 13

[24] QS al-Zukhruf [43]: 13

[25] QS al-Kâfirûn [109]: 6

[26] QS Al-Syûrâ [42): 15

[27] QS Âli ‘Imrân [3]: 64

[28] QS Saba’ [34]: 24-26

[29] QS al-Baqarah [2]: 272

[30] QS al-Hujurât [49]: 11

[31] QS al-Hujurât [49]: 12

[32] ()523 ‫ ص‬/ 6 ‫جامع اْلصول في أحاديث الرسول – )ج‬

[33] QS al-Baqarah [2]: 275

[34] QS al-Baqarah [2]: 275

[35] QS al-Baqarah [2]: 282

[36] QS al-Nisâ’ [4]: 59

[37] QS al-Hujurât [49]: 10

[38] 120 ‫ ص‬/ 2 ‫الجمع بين الصحيحين البخاري ومسلم – ج‬

[39] 325 ‫ ص‬/ 4 ‫سنن الترمذي – ج‬


KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN
AS-SUNNAH
July 26, 2010 at 8:36 am | Wawasan al-Quran
- Posted by Muhsin Hariyanto | Add Your Comments

KESEHATAN

DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani,
harta, dan keturunan.

Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika
ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.

Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang
pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.

1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;

2. Afiat.

Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesra, kata “afiat” dipersamakan dengan “sehat”. Afiat diartikan sehat dan
kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap badan
serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).

Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu
kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan
kesehatan masyarakat.

Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu digarisbawahi satu hal
pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat.

Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati diakui
tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-masing kata
tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.

Pakar bahasa al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata sehat
berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti “dan” adalah kata penghubung yang
sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang
disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara
keduanya.

Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian banyak doa,
yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat.

Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai “perlindungan Allah untuk hamba-
Nya dari segala macam bencana dan tipu daya”. Perlindungan itu tentunya tidak dapat
diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-
Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai: “berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai
dengan tujuan penciptaannya.”

Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya
dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun membaca
tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan
membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang
terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.

KESEHATAN FISIK

Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis kesehatan, yang
diakui pula oleh pakar-pakar Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun
1983 merumuskan kesehatan sebagai “ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang
dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-
Nya), dan memelihara serta mengembangkannya.”

Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu.

Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad saw.:

ُ‫ار َوتَقُو ُم اللَّ ْي َل قُ ْلت‬ ُ َ‫ّللاِ أَلَ ْم أ ُ ْخبَ ْر أَنَّكَ ت‬


َ ‫صو ُم النَّ َه‬ َّ َ‫سلَّ َم يَا َع ْبد‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫ّللا‬ ِ ‫ّللاِ ب ِْن َع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬
ُ ‫اص قَا َل قَا َل َر‬ َّ ‫َع ْن َع ْب ِد‬
ًّ‫سدِكَ َعلَيْكَ َحقًّا َوإِ َّن ِلعَ ْينِكَ َعلَيْكَ َحقًّا َوإِ َّن ِلزَ ْو ِجكَ َعلَيْكَ َحقا‬ َّ َ ُ ْ َ
َ ‫ص ْم َوأف ِط ْر َوق ْم َونَ ْم فإِن ِل َج‬ ْ ْ َ َ َ َ َّ
ُ ‫سو َل ّللاِ قا َل فَّل تفعَل‬ ُ ‫بَلَى يَا َر‬

Terjemah:

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw telah bertanya
(kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan dan selalu berjaga di malam
hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya Rasulullah.”Rasulullah saw pun lalu bersabda:
“Jangan kau lakukan semua itu. Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah
kamu, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas
dirimu, dan isterimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash)

Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas dalam
beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu.

Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan


prinsip: “Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.”

Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan
Sunah Nabi saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan.

Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga
kebersihan. Kebersihan dikaitkan dengan tobat (taubah) dalam QS al-Baqarah [2]: 222:

‫ط َّه ْرنَ فَأْتُوه َُّن ِم ْن‬ ْ َ‫يض َو ََل ت َ ْق َربُوه َُّن َحتَّى ي‬
َ َ ‫ط ُه ْرنَ فَإِذَا ت‬ ِ ‫سا َء فِي ْال َم ِح‬َ ِ‫يض قُ ْل ه َُو أَذًى فَا ْعت َِزلُوا الن‬ ِ ‫َويَ ْسأَلُونَكَ َع ِن ْال َم ِح‬
َ‫ط ِه ِرين‬َ َ ‫ّللاَ ي ُِحبُّ الت َّ َّوا ِبينَ َوي ُِحبُّ ْال ُمت‬ َّ ‫ْث أ َ َم َر ُك ُم‬
َّ ‫ّللاُ ِإ َّن‬ ُ ‫َحي‬
Terjemah:

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat
dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS al-Baqarah [2]: 222)

Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan


kesehatan fisik.

Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah:

‫الرجْ زَ فَا ْه ُج ْر‬ َ َ‫( َوثِيَا َبكَ ف‬5)


ُّ ‫( َو‬4)‫ط ِه ْر‬

Terjemah:

Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (QS al-
Muddatstsir [74]: 4-5).

Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan


membesarkan nama Allah Swt.

Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi:

‫ان‬ ِ َ‫ظافَةُ ِمن‬


ِ ‫اْل ْي َم‬ َ َّ‫الن‬

Terjemah:

Kebersihan adalah bagian dari iman.

Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if. Kendati begitu, terdapat sekian
banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:

َ ‫ش ْعبَةً فَأ َ ْف‬


‫ضلُ َها قَ ْو ُل ََل إِلَهَ إِ ََّل‬ ْ ِ‫س ْبعُونَ أَ ْو ب‬
ُ َ‫ض ٌع َو ِستُّون‬ ِ ْ ‫سلَّ َم‬
ْ ِ‫اْلي َمانُ ب‬
َ ‫ض ٌع َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ قَا َل قَا َل َر‬
‫ان‬ ِ ْ ‫ش ْع َبةٌ ِم ْن‬
ِ ‫اْلي َم‬ ُ ‫ق َو ْال َح َيا ُء‬ َّ ‫طةُ ْاْلَذَى َع ْن ال‬
ِ ‫ط ِري‬ َ ‫ّللاُ َوأَدْنَاهَا ِإ َما‬
َّ

Terjemah:

Iman, terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang, puncaknya adalah ucapan “Tiada Tuhan
selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan, dan malu itu adalah
sebagian dari iman” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan
bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di
bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam
konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal ‘karantina’, Nabi Muhammad
Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya,

‫ض َوأَ ْنت ُ ْم بِ َها فَ ََّل ت َْخ ُر ُجوا ِم ْن َها‬


ٍ ‫ض فَ ََّل تَدْ ُخلُوهَا َوإِذَا َوقَ َع بِأ َ ْر‬
ٍ ‫ُون بِأ َ ْر‬ َّ ‫س ِم ْعت ُ ْم بِال‬
ِ ‫طا ع‬ َ ‫إِذَا‬
Terjemah:

Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu,
tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya. (Hadis Riwayat al-
Bukhari dari Usamah bin Zaid)

Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-Mâ’idât Bait
Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan — baik dari al-Quran maupun hadis
Nabi Saw. — yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.

Al-Quran juga mengingatkan:

َ‫يَابَنِي َءادَ َم ُخذُوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل َمس ِْج ٍد َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َو ََل تُس ِْرفُوا ِإنَّهُ ََل ي ُِحبُّ ْال ُمس ِْرفِين‬

Terjemah:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan. (QS al-A’râf [7]: 31)

Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:

‫ب اب ِْن آدَ َم‬ ْ ‫سلَّ َم َيقُو ُل َما َم َِل َ آدَ ِمي ِو َعا ًء ش ًَّرا ِم ْن َب‬
ِ ‫ط ٍن ِب َح ْس‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫َع ْن ِم ْقدَ ِام ب ِْن َم ْعدِي ك َِر‬
َ ‫ب قَا َل‬
ٌ ُ ُ ٌ ُ ُ
‫ام ِه َوثلث ِلش ََرابِ ِه َوثلث ِلنَفَ ِس ِه‬ َ ٌ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ‫أ ُ ُك ََّلتٌ يُ ِق ْمن‬
ِ َ‫ص ْلبَهُ فَإ ِ ْن َكانَ َل َم َحالة فثلث ِلطع‬

Terjemah:

Dari Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada
perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun
harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan
sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Hadis Riwayat at-Tirmidzi).

Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan,
berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-Harali
(wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut rijs.

‫س أَ ْو فِ ْسقًا‬
ٌ ْ‫ير فَإِنَّهُ ِرج‬ ْ َ‫طا ِع ٍم ي‬
ٍ ‫طعَ ُمهُ إِ ََّل أَ ْن يَ ُكونَ َم ْيتَةً أ َ ْو دَ ًما َم ْسفُو ًحا أ َ ْو لَحْ َم ِخ ْن ِز‬ َ ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى‬ َّ َ‫ي إِل‬ ِ ُ ‫قُ ْل ََل أ َ ِجد ُ فِي َما أ‬
َ ‫وح‬
ٌ ُ‫ط َّر َغي َْر بَاغٍ َو ََل َعا ٍد فَإ ِ َّن َربَّكَ َغف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ ُ ‫ض‬ َّ ‫أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر‬
ْ ‫ّللاِ ِب ِه فَ َم ِن ا‬

Terjemah:

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]: 145).
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat
serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsafi dalam
bukunya Child Between Heredity and Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam
bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran ini, menulis
bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan
pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam
waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi
oleh kuantitas dan kualitas makanan.

Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam hal ini, al-Biqa’i dalam
tafsirnya mengenai surah al-Fatihah, mengemukakan sabda Nabi Saw.:

ِ ‫ط هللاِ ِفى اْل َ ْر‬


ُ‫ض ي َُؤدِبُ هللاُ ِب ِه ِع َبادَه‬ ُ ‫س ْو‬
َ ‫ض‬
ُ ‫ال َم َر‬

Terjemah:

Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah) mendidik hamba-hamba-
Nya.

Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti
menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat
pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa
makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada
hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang
harus dihindari oleh orang yang bertakwa.

Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa
penyakit.

‫اح ٍد ْال َه َر ُم‬ َ ‫ض ْع دَا ًء ِإ ََّل َو‬


ِ ‫ض َع لَهُ دَ َوا ًء َغي َْر دَاءٍ َو‬ َ ‫ّللاَ َع َّز َو َج َّل لَ ْم َي‬
َّ ‫تَدَ َاو ْوا فَإ ِ َّن‬

Terjemah:

Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat
penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (Hadis Riwayat Abu Dawud dan at-
Tirmidzi dari — sahabat Nabi — Usamah bin Syuraik).

Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka prinsip-
prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam
upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan
transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa
prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik bahasan
ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip
dimaksud antara 1ain adalah:

Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat manusia.

Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk
dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.
Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa
membedakan ras atau agama.

Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat.

Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat, maka
dahulukanlah kepentingan orang yang hidup.

Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa “transplantasi” dapat
dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia — yang hidup
maupun yang mati – terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah
izin dan pihak keluarga.

Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan (awam) bahwa
setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat menyalahgunakan kesehatannya, dan ini
dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi “pemilik” organ (jenazah), atau orang yang
mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan
keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungjawaban dari seseorang
terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara sadar, karena hakikat manusia bukan organ
dan jasmaninya:

ُ ‫ص َو ِر ُك ْم َوأَ ْم َوا ِل ُك ْم َولَ ِك ْن يَ ْن‬


‫ظ ُر إِلَى قُلُوبِ ُك ْم‬ َّ ‫سلَّ َم إِ َّن‬
ُ ‫ّللاَ ََل يَ ْن‬
ُ ‫ظ ُر إِلَى‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ قَا َل قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫ّللا‬
‫َوأ َ ْع َما ِل ُك ْم‬

Terjemah:

Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu, tetapi memandang hati dan perbuatanmu.
(Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim. Di samping itu,
izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau enggan berkata “menghilangkan”
kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama manusia, dan dia
menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata
dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga
keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini
terlihat pula peranan izin.

Dapat ditambahkan bahwa al-Quran menegaskan:

‫اس َج ِميعًا َو َم ْن أَحْ يَاهَا فَ َكأَنَّ َما‬


َ َّ‫ض فَ َكأَنَّ َما قَتَ َل الن‬
ِ ‫سا ٍد فِي ْاْل َ ْر‬
َ َ‫سا بِ َغي ِْر نَ ْف ٍس أ َ ْو ف‬ً ‫ِم ْن أَجْ ِل ذَلِكَ َكت َ ْبنَا َعلَى بَنِي إِس َْرائِي َل أَنَّهُ َم ْن قَت َ َل نَ ْف‬
َ‫ض لَ ُمس ِْرفُون‬ ِ ‫يرا ِم ْن ُه ْم َب ْعدَ ذَلِكَ ِفي ْاْل َ ْر‬
ً ‫ت ث ُ َّم ِإ َّن َك ِث‬ِ ‫سلُنَا ِب ْال َب ِينَا‬ َ َّ‫أَحْ َيا الن‬
ُ ‫اس َج ِمي ًعا َولَقَدْ َجا َءتْ ُه ْم ُر‬

Terjemah:

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-
rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
(QS al-Maidah [5]: 32).

“Menghidupkan” di sini bukan saja yang berarti “memelihara kehidupan”, tetapi juga dapat
mencakup upaya “memperpanjang harapan hidup” dengan cara apa pun yang tidak melanggar
hukum.

Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat al-Quran dipahami dalam konteks peristiwa
paling mutakhir dalam bidang kesehatan.

Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah “sebab”,
sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti
ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan al-Quran dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 80,

ْ ‫َو ِإذَا َم ِر‬


ِ ‫ضتُ فَ ُه َو َي ْش ِف‬
‫ين‬

Terjemah:

Apabila aku sakit, Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku.

KESEHATAN MENTAL

Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang terjadi karena gangguan
mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang diderita saudaranya setelah diberi
obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi Saw:

ِ‫ّللا‬ ُ ‫طنُهُ فَقَا َل َر‬


َّ ‫سو ُل‬ ْ َ‫سلَّ َم فَقَا َل ِإ َّن أ َ ِخي ا ْست َْطلَقَ ب‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى النَّ ِبي‬: ‫ّللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ِ ‫س ِعي ٍد ْال ُخد ِْري ِ َر‬ َ ‫َع ْن أ َ ِبي‬
‫ت ث ُ َّم َجا َء‬ٍ ‫ث َم َّرا‬ َ ‫ط ََّلقًا فَقَا َل لَهُ ث َ ََّل‬ْ ِ‫س ًَّل فَلَ ْم يَ ِزدْهُ إِ ََّل ا ْست‬ َ ‫سقَاهُ ث ُ َّم َجا َءهُ فَقَا َل إِنِي‬
َ ‫س َق ْيتُهُ َع‬ َ ‫سلَّ َم ا ْس ِق ِه َع‬
َ َ‫س ًَّل ف‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ
ُْ‫ب بَطن‬ َ َ‫ّللاُ َو َكذ‬َّ َ‫صدَق‬ َ ‫سل َم‬ َّ َ ‫ّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َّ ‫صلى‬ َّ َ ِ‫ّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ْ
ُ ‫سقَ ْيتُهُ فَلَ ْم يَ ِزدْهُ ِإ ََّل ا ْستِط ََّلقًا فَقَا َل َر‬َ ْ‫س ًَّل فَقَا َل لَقَد‬
َ ‫الرابِعَةَ فَقَا َل ا ْس ِق ِه َع‬ َّ
َ ‫سقَاهُ فَ َب َرأ‬
ََ ‫أ َ ِخيكَ ف‬

Terjemah:

Dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Ada seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w lalu berkata:
Saudaraku terasa mual-mual perutnya. Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum]
madu! Setelah lelaki itu memberikan madu kepada saudaranya, beliau datang lagi kepada Nabi
s.a.w. dan menyatakan: Aku telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah
memulas. Kejadian itu berulang sehingga tiga kali. Pada kali yang keempat, Rasulullah s.a.w.
bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Lelaki tersebut masih lagi menyatakan: Aku benar-
benar telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah mulas. Maka Rasulullah
s.a.w. bersabda: Maha benar Allah yang telah berfirman: Dari perut lebah itu keluar minuman
(madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalam minuman itu terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Oleh sebab itu, mungkin ada yang tidak sesuai dengan perut
saudaramu itu. Akhirnya Rasulullah s.a.w. sendiri yang memberikan minum madu, dan
sembuhlah saudara lelaki itu. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Al-Quran al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang lemah
iman dinilai oleh al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta
pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan
sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.

Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang,
dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana
memerintahkan kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka secara wajar.

Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong, kemudian ‘pipis’
[kencing] membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun
Nabi [lalu] menegurnya, dengan bersabda:

‫ار َع ْن قَ ْل ِب ِه‬
َ ‫ش ْيءٍ َي ِز ْي ُل َهذَا الغُ َب‬ ُّ َ ‫ط ِه ُرهَا فأ‬
َ ‫ي‬ َ ُ‫اْل َرقَةَ ال َما ُء ي‬ ْ َ‫َم ْه ًَّل ِبأ ُ ِم ْالف‬
ِ ‫ض ِل ِإ َّن َهذَا‬

Terjemah:

Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan
dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan
kasar)?

Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, bahwa sebagian kompleksitas gejala sakit
kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya adalah pada
perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa.

Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental
mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.

Dalam al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fî qulûbihim maradh.

Kata qalb atau qulûb dipahami dalam dua makna, yaitu “akal dan hati.” Sedang kata maradh
biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci pakar bahasa – Ibnu Faris – mendefinisikan
kata tersebut sebagai “segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas
keseimbangan/ kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada
tidak sempurnanya amal seseorang.”

Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat
pula ke arah kekurangan.

Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang
menimpa hati dan yang menimpa akal.

Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan adalah semacam kelicikan,


sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya
pendidikan. Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda. Seseorang yang
tidak tahu serta tidak menyadari ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit
akal-ganda (jâhil murakkab).

Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan


kebimbangan. Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-tingkat.
Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena
bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri
dan lain-lain adalah karena kekurangannya.

Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari
penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 88-89,

‫س ِل ٍيم‬ ٍ ‫ّللاَ بِقَ ْل‬


َ ‫ب‬ َّ ‫( إِ ََّل َم ْن أَت َى‬88) َ‫(يَ ْو َم ََل َي ْنفَ ُع َما ٌل َو ََل بَنُون‬89)

Terjemah:

(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap
Allah dengan hati yang bersih.

Islam mendorong manusia, agar memiliki hati (qalb) yang sehat dari segala macam penyakit
adalah dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah). Karena itulah Allah
berfirman:

ُ‫ّللاِ ت َْط َمئِ ُّن ْالقُلُوب‬ َّ ‫الَّذِينَ َءا َمنُوا َوت َْط َمئِ ُّن قُلُوبُ ُه ْم بِ ِذ ْك ِر‬
َّ ‫ّللاِ أ َ ََل بِ ِذ ْك ِر‬

Terjemah:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS al-Ra’d [13]: 28).

Itulah sebagian tuntunan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang kesehatan.

(Disadur dan dimodifikasai dari tulisan M. Quraish Shihab dalam buku Wawasan al-Quraan
untuk kepentingan diskusi pada PSIK-UM Yogyakarta)

Anda mungkin juga menyukai