Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun system imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan
napas yang signifikan pada anak-anak. Bukti menunjukkan bahwa tonsillitis
kronik atau percobaan multiple penggunaan antibiotik oral untuk tonsillitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsil. Di
Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per
tahun, dipertimbangkan hamper 45.000 kasus setiap tahun.(1)
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pilar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses
peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi
tenggorokan kesalahsatu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil
tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation)
pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Nyeri tenggorok dan demam
yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher harus
dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri
dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman
penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob
Bacteroides atau kuman campuran.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsil

Tonsilla lingualis, tonsilia adenoid (Faringeal) tonsilla palatina, dan tonsilla


tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan
saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan
jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan.
Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa
kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan
kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. (7)

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Gambar 2. Cincin Waldeyer

Tonsil palatina

2
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting
dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral
faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa
Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium
tuba eustachius (tonsil Gerlach’s). (7)

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla
ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol
kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke
dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas
permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan
lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.

Gambar 3. Tonsil Palatina


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil.Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,
daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.Tonsil terletak di
lateral orofaring. Dibatasi oleh: (7)

 Lateral  Muskulus konstriktor faring superior


 Anterior  Muskulus palatoglosus

 Posterior  Muskulus palatofaringeus

3
 Superior  Palatum mole

 Inferior  Tonsil lingual

Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal. (7)

Vaskularisasi Tonsil
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu :
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya
arteritonsilaris dan arteri palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden

3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal

4. Arteri faringeal asenden

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.Aliran balik melalui pleksus
vena di sekitar kapsul tonsil,
vena lidah dan pleksus faringeal.
(7)

4
Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil

2.2 Fisiologi Tonsil

Peran imunitas tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk menginduksi


sekresi bahan imun dan mengatur produksi dari imunoglobulin sekretoris. Peran
tonsil mulai aktif antara umur 4-10 tahun dan akan menurun setelah masa
pubertas. Hal ini menjadi alasan fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada
anak-anak daripada orang dewasa.Anak-anak mengalami perkembangan daya
tahan tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur 7 hingga 8 tahun dan tonsil
merupakan salah satu organ imunitas pada anak yang memiliki fungsi imunitas
yang luas. (4)
Berdasarkan penelitian, tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase
awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan
sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah.Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa parenkim tonsil mempu menghasilkan antibodi.Tonsil
memegang peranan dalam menghasilkan IgA, yang menyebabkan jaringan
jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen.Sewaktu baru lahir, tonsil
secara histologi tidak mempunyai sentrum germinativum, biasanya ukurannya
kecil.Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan
adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan
dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau
sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses
involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik

2.3 Definisi Abses Peritonsil

5
Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau
Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang
terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supuratif. Abses peritonsil adalah abses
yang terbentuk pada kelenjar ludah di supratonsillar yang dikenal sebagai kelenjar
weber. (9)

Gambar 5. Dari kiri ke kanan : Abses peritonsil dextra,


Abses peritonsil sinistra

2.4 Epidemiologi Abses Peritonsil


Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun,
namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini
memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun.

2.5 Etiologi Abses Peritonsil


Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Abses peritonsil
disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob.

6
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan
Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. Sedangkan virus yang
dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza. (5)

2.6 Gejala Klinis Abses Peritonsil


Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya
abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke
arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di
palatum mole. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman
pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk.Kebanyakan
pasien menderita nyeri hebat.
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia
yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m.
Masseter menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi,
nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
sengau (rinolalia), karena oedem palatum molle yang terjadi karena infeksi
menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya
inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan
spasme muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari
trismus. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan
submukosa faring.Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi.
Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih
menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan
nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). (1)

7
2.7 Patofisiologi Abses Peritonsil
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah
orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada
jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut
berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi
yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan
meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa
tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat
menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus
atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring
dan retrofaring terdekat. (8)

Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil
yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan
cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-
sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan
dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut
lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan
terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi
infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan
sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan
terjadinya abses. (8)

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat


longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun
sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium
permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah
kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya

8
akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru. (8)

2.8 Diagnosa Abses Peritonsil

Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis
abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah
salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis
akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral. (1)

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring.
Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena
ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan
pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis.
Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang
terkena, di fossa supratonsiler. (5)

Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan bahkan seperti bintil-


bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan
peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema
dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah. Asimetri palatum
mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan, serta pada palpasi palatum
mole teraba fluktuasi. (5)

Pemeriksaan Penunjang
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk
penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu
dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan
aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin dengan
menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe

9
berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan
material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita
abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan: (1)
 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver
function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.

 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral


soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu
dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

 CT Scan biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang


terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena.

2.9 Diagnosa Banding Abses Peritonsil


1. Tonsiitis Kronik
2. Abses parafaring
3. Abses submandibular

4. Carcinoma Tonsil

Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses


leher dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua penyakit
abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka
mulut merupakan keluhan yang paling umum.Untuk membedakan abses peritonsil

10
dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang cermat.

2.10 Penatalaksanaan Abses Peritonsil


Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.

c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara


parenteral atau peroral.

d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat


simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin
pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur
mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of chioce pada
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam
selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis
awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan
infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari
4 gr/hari. (2)
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
di insisi untuk mengeluarkan nanah.Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir.Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera
gejala-gejala pasien.

Insisi dan drainase


Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut
intraoral drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses

11
yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat
diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada
daerah paling berfluktuasi.
Teknik insisi, pada penderita yang memerlukan anastesi umum, posisi
penderita saat tindakan adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan
ETT (Endotrakeal tube). Anestesi topical dapat berupa xylocaine spray atau
menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan
jaringan tonsil yang lain. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada
pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling
fluktuatif, pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara
dasar uvula dengan molar terakhir, pada pertengahan garis horizontal antara
pertengahan basis uvula dan M3 atas, pada pertemuan garis vertikal melalui titik
potong pinggir medial pilar anterior dengan lidah dengan garis horizontal melalui
basis uvula, pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah
dengan garis horizontal melalui basis uvula. (2)

Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap
dengan menggunakan alat penghisap. Tindakan ini (menghisap pus) penting
dilakukan untuk mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya
pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih
dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang keluar dan lubang
insisi yang cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan antiseptik
dan diberi terapi antibiotika. (2)

12
Teknik insisi

Drainase dengan aspirasi jarum


Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini, pertama
insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada beberapa penelitian
yang mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan jarum sebagai salah satu terapi
bedah pada abses peritonsil. Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan
aspirasi jarum dibanding insisi dan drainase adalah:
 Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah
 Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal
(yang biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase)
 Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita/ tidak menakutkan
 Tidak/ kurang mencederai struktur jaringan sekitar
 Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen/ pus guna
pemeriksaan mikroskopis dan tes kultur/ sensitifitas
 Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan
 Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum
 Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil

Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah: (2)


 Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang
 Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal
 Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan
proses penyembuhan lama.

Tindakan aspirasi abses peritonsil

13
Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang
kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses
peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada
penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan
kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya kekambuhan.

Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi:


 Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera/ bersamaan dengan drainase abses
 Tonsilektomi a tiede: dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase
 Tonsilektomi a froid: dilakukan 4-6 minggu setelah drainase

Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi


abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan 2-3
minggu setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setalah 2-3 minggu, menimbulkan
bekas luka yang terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan
menimbulkan perdarahan serta sisa tonsil. (2)

Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil


dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam
perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang
sama dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy).

Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:


 Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit
 Memberikan drainase pus yang lengkap
 Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang
timbul
 Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)
 Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak
enak mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase)

Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsi adalah:


 Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi
 Dapat terjadi thrombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis
 Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:

14
 Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau
abses yang berlokasi di kutub bawah
 Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan
resiko meluas ke daerah leher dalam
 Penderita dengan DM yang memerlukan toleransi terhadap terapi berbagai
antibiotika
 Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat karena abses
akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam.

Tonsilektomi

2.11 Komplikasi Abses Peritonsil

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:


 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau
piemia.
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

 Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik


apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.

15
 Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis
septik ke selubung karotis atau carotid sheath.

 Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.

 Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri


supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses


peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi
penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini. (4)

2.12 Prognosis Abses Peritonsil


Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian
kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan
aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan
nyawa pasien.
Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada
saat operasi.

16
BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan Abses Peritonsil

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerob dan anaerob di daerah
peritonsiler. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler


adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus sp. Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin
sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa untuk kultur
sensitifitas terhadap antibiotik. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis
tinggi dan obat simtomatik.Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan
kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada
daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.Indikasi-indikasi
untuk tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis
dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsil
sebelumnya, riwayat faringitis eksudatif yang berulang.

Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler


berkisar antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi

17
abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan. Pada individu dengan abses
peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera
atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.

18

Anda mungkin juga menyukai