Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

OTITIS MEDIA AKUT STADIUM PERFORASI


DAN MASTOIDITIS AKUT

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK Unsyiah
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh :
Al Bukhari
Khairul Saleh Pulungan
Rifai Alamsyah Harahap
YuliaDasmayanti

Pembimbing
dr. T. Husni T.R.,M.Kes, Sp.THT-KL

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSU Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2015
i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan berkah dan
anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “OTITIS
MEDIA AKUT STADIUM PERFORASI DAN MASTOIDITIS AKUT”. Shalawat
berangkaikan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa perubahan
besar dalam kehidupan manusia dari zaman yang penuh dengan kebodohan menuju zaman
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan kasus ini ditulis untuk melengkapi tugas-tugas penulis dalam menjalankan
klinik kepaniteraan senior di SMF/Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala-Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Dalam penulisan dan penyusunan laporan kasus ini penulis telah banyak mendapatkan
bantuan dan bimbingan dari dr. T. Husni T.R., M.Kes, Sp.THT-KL selaku pembimbing
penulisan laporan kasus. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan
ucapan terima kasih kepada yaitu dr. T. Husni T.R., M.Kes, Sp.THT-KL karena telah
membantu penulis menyelesaikan laporan kasus ini, dan juga para supervisor dokter di
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KLFakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD dr.
ZainoelAbidin Banda Aceh
Penulis menyadari sepenuhnya laporan kasus ini masih sangat banyak kekurangan, tidak
ada kata sempurna dalam penyelesaian tugas ini. Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian
yang dibahas merupakan beberapa penyebabnya. Oleh karena itu, penulis harapkan kepada
semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran agar laporan kasus ini dapat menjadi lebih
baik di kemudian hari.Penulis juga berharap penyusunan laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri dan juga bagi para pembaca. Dengan disusunnya laporan kasus ini
diharapkan dapat menjadi bahan belajar untuk pengembangan ilmu, serta menjadi inspirasi
untuk menciptakan karya yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih memberkati dan melimpahkan
rahmat serta karuniaNya kepada kita semua.
Banda Aceh, 22Juli 2015

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3


2.1. Anatomi Telinga ............................................................................................. 3
2.2. Fisiologi Pendengaran .................................................................................... 5
2.3. Definisi Otitis Media Akut ............................................................................. 6
2.4. Etiologi Otitis Media Akut ............................................................................. 6
2.5. Patofisiologi Otitis Media Akut ...................................................................... 7
2.6. Epidemiologi Otitis Media Akut .................................................................... 7
2.7. Stadium Otitis Media Akut ............................................................................. 8
2.8. Manifestasi Klinis ........................................................................................... 11
2.9. Diagnosis ........................................................................................................ 11
2.10 Penatalaksanaan ............................................................................................. 12
2.11 Komplikasi ..................................................................................................... 14
2.12 Definisi Mastoiditis ....................................................................................... 15
2.13 Epidemiologi Mastoiditis............................................................................... 15
2.14 Etiologi Mastoiditis ....................................................................................... 15
2.15 Faktor Resiko Mastoiditis .............................................................................. 15
2.16 Patogenesis Mastoiditis ................................................................................. 16
2.17 Manifestasi Klinis Mastoiditis ....................................................................... 16
2.18 Diagnosis Mastoiditis .................................................................................... 17

BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................................. 18


3.1. Identitas pasien ............................................................................................... 18
3.2. Anamnesis ...................................................................................................... 18
3.3. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................... 19
3.4. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 24
3.5. Diagnosis Banding .......................................................................................... 27
3.6. Diagnosis ........................................................................................................ 27
3.7. Penatalaksanaan .............................................................................................. 28
3.8. Prognosis ........................................................................................................ 28

BAB IV DISKUSI KASUS ................................................................................................. 29

BAB V KESIMPULAN ....................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi otitis media. Secara mudah, otitis
media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif. Masing-masing
golongan mempunyai bentuk akut dan kronis. Otitis Media Akut (OMA) merupakan
inflamasi pada sebagian atau seluruh bagian dari mukosa telinga tengah, tuba Eusthacius,
antrum mastoid dan sel-sel mastoid yang timbul mendadak, dan menimbulkan gejala sesuai
dengan stadium penyakit. Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak
maupun bayi dibandingkan pada orang dewasa muda maupun dewasa tua. Pada bayi
terjadinya OMA dipermudah oleh karena bentuk anatomi dari tuba Eustachius yang lebih
pendek, lebar dan letaknya agak horizontal. Pada anak-anak makin sering menderita infeksi
saluran napas atas (ISPA) baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri, maka makin
besar pula kemungkinan terjadinya OMA disamping oleh karena sistem imunitas anak yang
belum berkembang secara sempurna. Pada orang dewasa OMA meskipun jarang, OMA
dapat ditemukan pada pasien yang mengalami infeksi saluran napas sebelumnya, dan pada
kasus OMA unilateral dapat dicurigai adanya keterlibatan karsinoma nasofaring1,2,3.
Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran pernapasan
atas. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya otitis media berusia 1 tahun sekitar 62%,
sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75%
anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir
setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih.1,4
Beberapa ahli menggolongkan Mastoiditis ke dalam komplikasi Otitis Media Supuratif
Kronik (OMSK).5Suatu penelitian yang dilakukan oleh Lin YS menemukan bahwa
komplikasi terbanyak dari Otitis Media Supuratif Kronik adalah Mastoiditis (14%-74%).6
Mastoiditis terbagi menjadi dua, yaitu Mastoiditis akut dan kronis. Mastoiditis akut
biasanya berhubungan dengan Otitis Media Akut (OMA) dan merupakan komplikasi yang
serius. Penyakit ini lebih banyak mengenai anak-anak terutama anak yang berusia <4
tahun.7,8 Sedangkan mastoiditis kronis biasanya lebih berhubungan dengan OMSK dan
terutama dengan formasi kolesteatoma. Kolesteatoma merupakan agregasi epitel skuamous
jinak yang dapat tumbuh dan mengubah struktur dan fungsi normal dari jaringan lunak dan
tulang disekitar.7 Komplikasi dari Otitis Media Akut dan Kronis ini dapat menyebabkan
morbiditas yang besar dan bahkan mortalitas karena infeksinya dapat berkembang menjadi

1
abses Periostitis dan Subperiosteal atau dapat menyebabkan infeksi intrakranial yang lebih
serius.9,10

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 2.1 Anatomi telinga

2.1.1 Telinga Luar


Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga
terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk
huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit
liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat / Kelenjar
serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua
pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam
rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit
dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami
modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok
yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan
serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi1.

3
2.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
- Batas luar : Membran timpani
- Batas depan :Tuba eustachius
- Batas bawah :Vena jugularis (bulbus jugularis)
- Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
- Batas dalam :Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal,
kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkapbundar (round window) dan
promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya
berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi
oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis
lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut umbo.
Membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang
menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam 4
kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak
lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-
depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling
berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada
inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria
yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat
dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara.
maleus, inkus dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah
yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan

4
telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah1.
Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba
auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane
timpani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan.
Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk
mencegah pecahnya membran timpani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka
dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan
yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran timpani1.

2.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis.Ujung atau puncak koklea disebut
holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap.Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas,
skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli
dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala
vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala
media adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria,
dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar
dan kanalis corti, yang membentuk organ corti1.

2.2 Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membranReissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
5
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di
lobus temporalis1,4.
Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan
ganggan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli
retrokoklea. Sumbatan Tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan
terdapat tuli konduktif. Gangguan pada vena jugularis berupa aneurisma akan menyebabkan
telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung1.

2.3 Definisi Otitis Media Akut


Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah.
Otitis media akut didefinisikan bila proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara
cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal dan
sistemik.2
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.
Secara fisiologis terdapat mikroorganisme pencegahan masukunya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibodi.1,3

2.4 Etiologi Otitis Media Akut


Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-
75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap
kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus laintergolong sebagai non-patogenik karena tidak
ditemukan mikroorganisme penyebabnya.Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering
adalah Streptococcus pneumonia (50%), diikuti oleh Haemophilus influenza (20%) dan
Moraxella catarhalis (10%). 3 Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yangmenjalani rawat inap di rumah sakit.Haemophilus
influenza sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang
dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak3,12.
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiriatau bersamaan
dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling seringdijumpai pada anak-anak, yaitu
respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%).Kira-
kira 10-15% dijumpai parainfluenzavirus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa
6
dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan
adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya4.

2.5 Patofisiologi Otitis Media Akut


Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada
tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan
terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba
Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan
transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan
atas (ISPA).
Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya OMA.
Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena: 1. morfologi tuba eustachius yang
pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal; 2. sistem kekebalan tubuh masih dalam
perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering
terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin
juga berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar,
penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan sistem imun2,3.
Pada dewasa terjadinya otitis media akut lebih disebabkan oleh adanya faktor resiko
berupa adanya infeksi saluran nafas sebelum gejala pada telinga. Selain itu juga dapat
disebabkan paparan lingkungan seperti asap rokok, alergen dan iritan yang menyebabkan
gangguan pada tuba eustachius. Gejala yang menonjol pada dewasa adalah adanya nyeri pada
telinga yang dapat disertai demam atau tidak.11,12

2.6 Epidemiologi Otitis Media Akut


Otitis Media pada dewasa jarang terjadi, hanya sedikit informasi dan publikasi tentang
manajemen infeksi telinga tengah pada dewasa.Selain dikaitkan dengan infeksi pada hidung
sebelumnya, dapat dikaitkan pula dengan infeksi yang lama pada telinga tengah.Pada infeksi
telinga tengah yang menetap, perlu dicurigai adanya underlying disease seperti Carsinoma
Nasofaring.Infeksi akut dapat disebabkan adanya infeksi virus sebelumnya yang masuk akibat
disfungsi dari tuba.Pasien-pasien ini harus dievaluasi lebih kurang enam minggu untuk melihat
apakah terjadi resolusi atau tidak.Timpanometri dan audiometri diperlukan juga selain

7
perujukan kebagian THT untuk evaluasi lebih lanjut jika tidak terjadi perbaikan dalam enam
minggu11,12.

2.7 Stadium Otitis Media Akut


OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium
hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi1,4.

Gambar 2.2. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,
dengan adanya absorpsi udara.Retraksi membran timpani terjadi dan posisi maleus menjadi
lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga
menyebabkannya tersumbat.Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan
tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat.Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak
dapat dideteksi.Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa
yangdisebabkan oleh virus dan alergi.Tidak terjadi demam pada stadium ini.

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai
oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa
yang sulit terlihat.Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi terjadi di telinga tengah dan
membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang

8
menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari.

Gambar 2.3 Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di
telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selainitu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di
kavumtimpani menyebabkan membran timpani menonjol ataubulging ke arahliang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di
telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.Dapat disertai
dengan gangguan pendengaran konduktif.Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan
kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran
timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat
tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis.Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil
ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar
dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup
kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali.
Membran timpani mungkin tidak menutup kembali.

9
Gambar 2.4 Membran Timpani Supurasi

4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah
yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).Stadium ini sering disebabkan oleh
terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.Setelah nanah keluar, anak
berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.Jika membran
timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga
minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut.Jika kedua keadaan tersebut
tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu
disebut otitis media supuratif kronik.

Gambar 2.5 Membran Timpani Perforasi

5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya
kering. Pendengaran kembali normal.Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan,

10
jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik dan virulensi kuman rendah. Apabila
stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik.
Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar
secara terus-menerus atau hilang timbul.Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala
sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani
tanpa mengalami perforasi membran timpani1,2.

2.8 Manifestasi Klinis Otitis Media Akut


Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) tergantung dari stadium penyakit dan
umur penderita. Gejala stadium supurasi berupa demam tinggi dan suhu tubuh menurun pada
stadium perforasi. Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA)berdasarkan umur penderita,
yaitu1,2:
a) Bayi dan anak kecil
Gejala: demam tinggi bisa sampai 39⁰C merupakan tanda khas, sulit tidur, tiba-
tibamenjerit saat tidur, mencret, kejang-kejang, dan kadang-kadang anak memegang
telingayang sakit
b) Anak yang sudah bisa bicara
Gejala: biasanya rasa nyeri dalam telinga, suhu tubuh tinggi, dan riwayat batuk pilek
sebelumya
c) Anak lebih besar dan orang dewasa
Gejala: rasa nyeri dan gangguan pendengaran (rasa penuh dan pendengaran berkurang)

2.9 Diagnosis Otitis Media Akut


1. Anamnesis gejala yang didapati pada pasien
2. Pemeriksaan telinga dengan menggunakan lampu kepala
3. Otoskop untuk melihat gambaran membran timpani yang lebih jelas
4. Kultur sekret dari membran timpani yang perforasi untuk mengetahui mikroorganisme
penyebab

Diagnosis otitis media akut juga harus memenuhi 3 hal berikut1,2,3:


1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
2. Ditemukan tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan disuatu rongga tubuh) di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu tanda berikut:
 Mengembungnya membran timpani

11
 Gerakan membran timpani yang terbatas
 Adanya bayangan cairan di belakang membran timpani
 Cairan yang keluar dari membran timpani
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan adanya salah
satu diantara tanda berikut:
 Kemerahan pada membran timpani
 Nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal

2.10 Penatalaksanaan Otitis Media Akut1,2,4


Terapi tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan padastadium awal ditujukan
untuk mengobati infeksi saluran nafas atas, denganpemberian antibiotik, dekongestan lokal
atau sistemik dan antipiretik.
1. Stadium oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba eustachiussehingga tekanan negative di
telinga tengah hilang.
- Diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0.5% (anak<12tahun) atau HCL efedrin 1%
dalam larutan fisiologis untuk anak di atas 12 tahun atau dewasa.
- Mengobati sumber infeksi lokal dengan antibiotika bila penyebabnya bakteri.

2. Stadium hiperemis (presupurasi)


- Diberikan antibiotika, obat tetes hidung dan analgesik.
- Bila membrane timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan
miringotomi.
- Terapi awal diberikan antibiotika golongan penisilin intramuskular agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah,sehingga tidak terjadi mastoiditis selubung,
gangguanpendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Antibiotika diberikan
minimal 7 hari.
- Bila pasien alergi penisilin, maka diberikan eritromisin.

3. Stadium supurasi
- Diberikan dekongestan, antibiotika, analgetik/antipiretik.
- Pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh
sehingga gejala-gejala kliniscepat hilang dan ruptur (perforasi) dapat dihindari.
4. Stadim perforasi

12
- Diberikan obat cuci telinga perhidrol atau H2O2 3% selama 3-5hari serta antibiotika
yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekretakan hilang dan perforasi akan menutup
sendiri dalam 7-10 hari.

5. Stadium resolusi
- Antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila tidak ada perbaikan membran
timpani, sekret dan perforasi.
- Pengobatan pada anak-anak dengan kecenderungan mengalamiotitis media akut dapat
bersifat medis atau pembedahan.Penatalaksanaan medis berupa pemberian antibiotik
dosis rendahdalam jangka waktu hingga 3 bulan. Alternatif lain adalahpemasangan tuba
ventilasi untuk mengeluarkan secret terutama padakasus-kasus yang membandel.
Keputusan untuk melakukanmiringotomi umumnya berdasarkan kegagalan profilaksis
secaramedis atau timbul reaksi alergi terhadap antimikroba yang lazimdipakai, baik
golongan sulfa atau penisilin.

Penatalaksanaan OMA harus memasukkan penilaian adanya nyeri.Jika terdapat nyeri,


harus memberikan terapi untuk mengurangi nyeri tersebut. Penanganan nyeri harus dilakukan
terutama dalam 24 jam pertama onset OMA tanpa memperhatikan penggunaan antibiotik.
Penanganan nyeri telinga pada OMA dapat menggunakan analgetik seperti: asetaminofen,
ibuprofen, preparat topikal seperti benzokain, naturopathic agent, homeopathic agent,
analgetik narkotik dengan kodein atau analog, dan timpanostomi / miringotomi.
Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien dengan alergi
hidung.Dekongestan oral berguna untuk mengurangi sumbatan hidung.Tetapi baik
antihistamin maupun dekongestan tidak memperbaiki penyembuhan atau meminimalisir
komplikasi dari OMA, sehingga tidak rutin direkomendasikan.
Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih kontroversi.Dasar pemikiran
untuk menggunakan kortikosteroid dan antihistamin adalah obat tersebut dapat menghambat
sintesis atau melawan aksi mediator inflamasi, sehingga membantu meringankan gejala pada
OMA.Kortikosteroid dapat menghambat perekrutan leukosit dan monosit ke daerah yang
terkena, mengurangi permeabilitas pembuluh darah, dan menghambat sintesis atau pelepasan
mediator inflamasi dan sitokin.
Walaupun observasi yang hati-hati dan pemberian obat merupakan pendekatan pertama
dalam terapi OMA, terapi pembedahan perlu dipertimbangkan pada anak dengan OMA
rekuren, otitis media efusi (OME), atau komplikasi supuratif seperti mastoiditis dengan osteitis.

13
Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk penatalaksanaan OMA termasuk timpanosintesis,
miringotomi, dan adenoidektomi.
Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah dengan menggunakan
jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi.Risiko dari prosedur ini adalah perforasi kronik
membran timpani, dislokasi tulang-tulang pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik,
laserasi nervus fasialis atau korda timpani. Oleh karena itu, timpanosintesis harus dibatasi pada:
anak yang menderita toksik atau demam tinggi, neonatus risiko tinggi dengan kemungkinan
OMA, anak di unit perawatan intensif, membran timpani yang menggembung (bulging) dengan
antisipasi ruptur spontan (indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan komplikasi supuratif
akut, OMA refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik.
Timpanosintesis dapat mengidentifikasi patogen pada 70-80% kasus.Walaupun
timpanosintesis dapat memperbaiki kepastian diagnostik untuk OMA, tapi tidak memberikan
keuntungan terapi dibanding antibiotik sendiri.Timpanosintesis merupakan prosedur yang
invasif, dapat menimbulkan nyeri, dan berpotensi menimbulkan bahaya sebagai
penatalaksanaan rutin.
Miringotomi adalah tindakan insisi pada membran timpani untuk drainase cairan dari
telinga tengah.Pada miringotomi dilakukan pembedahan kecil di kuadran posterior-inferior
membran timpani.Untuk tindakan ini diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga
yang sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan steril.Miringotomi hanya
dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh ahlinya.Disebabkan insisi biasanya
sembuh dengan cepat (dalam 24-48 jam), prosedur ini sering diikuti dengan pemasangan
tabung timpanostomi untuk ventilasi ruang telinga tengah.Indikasi untuk miringotomi adalah
terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia berat, gagal dengan terapi antibiotik, pasien
imunokompromise, neonatus, dan pasien yang dirawat di unit perawatan intensif.2

2.11 Komplikasi Otitis Media Akut


Komplikasi yang dapat terjadi adalah komplikasi infra temporal dan intra
kranial.Secara epidemiologi terjadi pada 1 dari 300.000 kasus pertahun.Komplikasi
infratemporal meliputi mastoiditis, kelumpuhan saraf fasialis, dan otitis media
kronik.Sementara komplikasi intrakranial yang dapat terjadi adalah meningitis, ensefalitis,
abses otak, abses subaraknoid dan abses subdural12.

2.12 DefinisiMastoiditis

14
Mastoiditis merupakan suatu infeksi pada rongga mastoid dari tulang temporal.5,7,13
Karena mastoid berbatasan dan suatu perluasan dari telinga tengah, sehingga pada
kenyataannya setiap anak atau orang dewasa dengan Otitis Media Akut (OMA) atau penyakit
inflamasi kronik pada telinga tengah akan mengalami mastoiditis

2.13 Epidemiologi Mastoiditis


Mastoiditis biasanya terjadi pada anak. Sebelum adanya antibiotik, mastoiditis merupakan
salah satu penyebab utama kematian pada anak-anak.13 Insidensi Matoiditis sangatlah
bervariasi di seluruh dunia. Insiden Mastoiditis rata-rata 4 kasus per 100.000 anak setiap
tahunnya dengan usia diatas 5 tahun. Beberapa penelitian epidemiologi di Amerika Utara dan
di Inggris menunjukkan bahwa insiden dari Mastoiditis adalah kurang dari 2 kasus per 100.000
anak setiap tahunnya, angka ini sedikit meningkat pada penelitian di Scandinavia. Pada tahun
2007, Kvaerner et al melaporkan insidens dari Mastoiditis adalah 4,3-7,1 kasus per 100.000
anak berusia 2-16 tahun. Di negara-negara Eropa Selatan, terdapat beberapa penelitian tentang
Mastoiditis pada pasien yang berjumlah sedikit, tetapi tidak terdapat hasil epidemiologis yang
resmi.7,14

2.14 Etiologi Mastoiditis


Mastoiditis biasanya disebabkan oleh infeksi telinga tengah. Infeksi ini mungkin menyebar
dari telinga ke tulang mastoid dari tengkorak. Tulang mastoid terisi oleh bahan-bahan
infeksious dan struktur seperti sarang lebah ini dapat mengalami kerusakan.13 Mastoiditis dapat
terjadi pada pasien-pasien imunosupresi atau pada mereka yang mengabaikan Otitis Media
Akut yang dideritanya. Penyakit ini agaknya berkaitan dengan virulensi dari organisme
penyebab. Organisme penyebab yang lazim adalah sama dengan penyebab Otitis Media Akut.15
Organisme penyebab yang paling umum pada Mastoiditis adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza, Branhamella catarralis dan β Haemolityc streptococcus. Organisme-
organisme ini biasanya menyebabkan infeksi monobakterial pada Otitis Media dengan
inflamasi mukoperiosteum di telinga tengah, pembengkakan, dan hiperplasia mukosa.16

2.15 Faktor Resiko Mastoiditis


Mastoiditis biasanya berasal dari infeksi di telinga tengah. Penyakit ini merupakan
komplikasi tersering dari Otitis Media, tapi insidensinya secara keseluruhan masih rendah.
Faktor patogenik yang berperan penting adalah derajat pneumatisasi mastoid, virulensi dari
organisme yang menginfeksi, status imun dari host, dan terapi antibiotik yang telah terbukti
15
untuk Otitis Media. Terapi antibiotik yang tidak adekuat dapat menjadi predisposisi dari
Mastoiditis.17Mastoiditis lebih sering terjadi di laki-laki yang berusia antara 1 sampai 3 tahun.16

2.16 Patogenesis Mastoiditis


Tahap-tahap patologis yang berperan dalam perkebangan Mastoiditis adalah sebagai
berikut:16
 Penutupan aditus ad antrum
 Eksudat terperangkap dalam sel mastoid
 Penyebaran pus atau eksudat ke periosteum melalui vena di mastoid dan membentuk abses
subperiosteal mastoid
 Demineralisasi dari septa tulang dan osteonekrosis dari dinding mastoid yang mencair
 Terbentuk rongga besar yang berisi nanah.Progresivitas dari Mastoiditis terdiri dari 5 tahap
dan mungkin dapat bertahan pada salah satu tahap tertentu, sebagai berikut:7
 Hiperemis pada dinding mukosa dari sel udara mastoid
 Transudasi dan eksudasi dari cairan dan/atau pus dalam sel
 Nekrosis dari tulang sebagai akibat hilangnya vaskularitas septa
 Dinding sel menghilang dengan penggabungan dalam ruang abses
 Penyebaran proses inflamasi ke area disekitar

2.17 Manifestasi Klinis Mastoiditis


Manifestasi klinis dari Mastoiditis adalah nyeri telinga yang menetap dan berdenyut, otore
(keluar cairan dari dalam telinga), sakit kepala, dan terjadi penurunan pendengaran. Otore yang
persisten lebih dari 3 minggu merupakan tanda yang menetap yang menunjukkan adanya
keterlibatan dari mastoid. Nyeri biasanya terlokalisasi di dalam atau di belakang telinga dan
biasanya bertambah parah pada malam hari. Nyeri yang menetap merupakan tanda peringatan
dari penyakit mastoid. Tanda-tanda ini mungkin sulit dievaluasi pada pasien yang masih sangat
muda. Pendengaran yang menurun biasanya umum terjadi.7,13
Selain itu, juga terdapat tanda-tanda seperti demam, tenderness di daerah mastoid,
pembengkakan regio postaurikular dengan hilangnya sulkus dan pinna terdorong ke bawah
depan, atap meatal atau dinding posterior menurun, membran timpani bisa perforasi dan
mengeluarkan banyak sekret, atau bisa hiperemis dan bulging.13,18

2.18 Diagnosis Mastoiditis

16
Trias klasik dari Mastoiditis, terdiri dari aurikel yang menojol dengan pembengkakan
retroaurikuler, tenderness di daerah mastoid dan otore. Mastoiditis harus dicurigai pada kasus
dimana OMA gagal membaik atau bahkan memburuk lebih dari periode 2-3 minggu. Pada
pemeriksaan otoskopi, akan terlihat tanda-tanda dari otitis media akut atau subakut dengan atau
tanpa perforasi membran timpani. Dinding posterior dari meatus akustikus eksternus dapat
menjadi eritematous dan membengkak (dinding posterior kanal menurun). Diagnosis yang
terbaik adalah menggunakan CT-Scan karena dapat juga mendeteksi komplikasi lainnya
dengan baik. Selain sel udara mastoid dan ruang telinga tengah terlihat berawan, CT-Scan juga
dapat memperlihatkan erosi pada struktur tulang mastoid. Parameter inflamasi seperti WBC
(Whole Blood Cell count), CRP (C-Reactive Protein), dan Laju endap darah meningkat secara
nyata. Kultur dari cairan yang keluar dari telinga juga dapat dilakukan untuk mengetahui
bakteri yang menginfeksi.13,17

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Nn. DA
Umur : 13 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
CM : 1-05-78-43
Alamat : Kp. Keuramat Kuta Alam, Banda Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar

3.2 ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berusia 13 tahun datang ke IGD RSUDZA Banda Aceh
tanggal 8 Juli 2015 dengan:
Keluhan Utama : Sakit telinga sebelah kiri
Keluhan Tambahan : Demam, Bengkak belakang telinga kiri disertai berair
Riwayat penyakit sekarang :
♦ Sakit telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu, sakit dirasakan terus menerus tanpa
dipengaruhi oleh aktifitas. Nyeri disertai keluarnya cairan berwarna kemerahan.
♦ Awalnya pasien berobat ke Puskesmas dengan keluhan demam, batuk pilek dan terasa
penuh ditelinga sebelah kiri oleh dokter Puskesmas telinga pasien dibersihkan
memakai alat dengan cara memasukkan kedalam liang telinga. Dua hari setelah
dibersihkan tiba-tiba telinga pasien mengeluarkan cairan warna kemerahan yang
disertai bengkak dibelakang telinga.
♦ Selain itu pasien mengeluhkan sulit berdiri tegak dan mempertahankan posisi, namun
pemeriksaan ulang penulis tanggal 10 Juli 2015 pasien sudah dapat berdiri dan
mempertahankan posisi.
♦ Pasien mengeluh terjadi penurunan pendengaran sejak keluar cairan dari telinga kiri
♦ Riwayat telinga berdenging (+)
♦ Riwayat telinga berair sebelumnya (-)
♦ Riwayat trauma pada telinga (-)
♦ Nyeri pada dahi dan wajah (-)
♦ Nyeri tenggorok (-)

18
Riwayat penyakit dahulu:
♦ Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
♦ Riwayat bersin-bersin pagi hari (-), karena debu, bulu binatang atau makanan (-),
riwayat asma bronkial (-)

Riwayat penyakit keluarga :


♦ Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan :


♦ Pasien sering menggunakan cutton bad untuk membersihkan liang telinga.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 90 x/menit
Frekuensi nafas : 26 x/menit
Suhu : 38,10C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : tidak ada kelainan
Mata: Konjungtiva : anemis (+)
Sklera : ikterik (-)
Toraks: Jantung : dalam batas normal
Paru : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : deformitas (-), edema (-)

Status Lokalis THT


Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Auricula Kelainan Tidak ada Tidak ada
Kongenital
Trauma Tidak ada Tidak ada

19
Radang Tidak ada Tidak ada
Kelainan Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Ada
Canalis Akusticus Cukup Lapang Cukup lapang Sempit
Eksternus Hiperemis Tidak ada Hiperemis
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret/Serumen Bau Tidak ada Ada
Warna Tidak ada Kemerahan
Jumlah Sedikit Banyak
Jenis Kering Basah
Membran Timpani
Utuh Warna Putih mutiara Sulit dinilai
Refleks Cahaya Positif Sulit dinilai
Bulging Tidak ada Sulit dinilai
Retraksi Tidak ada Sulit dinilai
Atrofi Tidak ada Sulit dinilai
Perforasi Perforasi Tidak ada Ada
Jenis Sulit dinilai
Kuadran Sulit dinilai
Pinggir Sulit dinilai
Mastoid Tanda Radang Tidak ada Ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Ada
Nyeri Ketok Tidak ada Ada
Bengkak Tidak ada Ada
Fluktuasi Negative Negatif
Tes Garpu Tala Rinne Negatif Positif
Schwabach Negatif Memanjang
Weber Lateralisasi ke Telinga Kiri

20
Kesimpulan Tuli Konduktif Auricula Sinistra
Audiometri Tidak dilakukan
Timpanometri Tidak dilakukan

Hidung
Pemeriksaan Kelainan
Hidung Luar Deformitas Tidak ada
Kelainan Kongenital Tidak ada
Trauma Tidak ada
Radang Tidak ada
Massa Tidak ada

Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Rinoskopi Anterior
Vestibulum Vibrise Ada Ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Cavum nasi Cukup lapang Cukup lapang Cukup lapang
Sempit
Lapang
Sekret Lokasi Tidak ada Tidak ada
Jenis
Jumlah
Bau
Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Septum Cukup lurus/ Cukup lurus Cukup lurus
deviasi

21
Permukaan
Warna Merah muda Merah muda
Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Warna Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Mudah Digoyang Tidak ada Tidak ada
Pengaruh Tidak ada Tidak ada
Vasokonstriktor

Rinoskopi Posterior (Nasofaring)


Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Koana Sempit
Lapang
Warna Merah muda Merah muda
Mukosa Edema Tidak ada Tidak ada
Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada
Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Konka inferior
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Adenoid Ada/tidak Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Tertutup secret Tidak ada Tidak ada
Muara tuba eustachius
Edema mukosa Tidak ada Tidak ada
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Massa
Ukuran

22
Bentuk
Permukaan
Ada/tidak Tidak ada Tidak ada
Post Nasal Drip
Jenis

Orofaring dan Mulut


Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Trismus Tidak ada Tidak ada
Uvula Edema Tidak ada Tidak ada
Bifida Tidak ada Tidak ada
Palatummole Simetri/tidak Simetris Simetris
+Arkus Faring Warna Merah muda Merah muda
Bercak/eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding faring Warna Merah auda Merah muda
Permukaan Tidak bergranul Tidak bergranul
Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Muara kripti Tidak ada Tidak ada
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Peritonsil Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Gigi Karier/Radiks Tidak ada Tidak ada
Kesan Higiene mulut baik Higiene mulut baik
Lidah Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

23
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada

Pemeriksaan Kelenjar getah bening leher


- Inspeksi : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
- Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Foto Klinis

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah RutinTanggal 9 Juli 2015


Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Hemoglobin 10,7 gr/dl 12 - 15 gr/dl
Eritrosit 4,2 .106/mm3 4,2-5,4. 106/mm3
Leukosit 16,9.103/mm3 4,5-10,5.103/ mm3
Trombosit 260.103 / mm3 150-450.103/ mm3
Hematokrit 32 % 37-47%

24
Hitung Jenis
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Eosinofil 1 0-6
Basofil 0 0-2
Netrofil Segmen 88 50-70
Limfosit 7 20-40
Monosit 4 2-8

Ginjal-Hipertensi
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Ureum 36 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,80 0,51-0,95 mg/dL

Kimia Klinik
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Protein Total 5,1 6,4-8,3 g/dL
Albumin 2,60 3,5-5,2 g/dL

Elektrolit
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Na 134 135 - 145 mmol/dL
K 3,7 3,5-4,5 mmol/dL
Cl 94 90-110 mmo;/dL
Ca 8,0 8,6-10,3 mg/dL

Darah RutinTanggal 15 Juli 2015


Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Hemoglobin 8,4 gr/dl 12 - 15 gr/dl
Eritrosit 3,2 .106/mm3 4,2-5,4. 106/mm3
Leukosit 25,5.103/mm3 4,5-10,5.103/ mm3
Trombosit 597.103 / mm3 150-450.103/ mm3
Hematokrit 25 % 37-47%

Hitung Jenis

25
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Eosinofil 0 0-6
Basofil 0 0-2
Netrofil Segmen 89 50-70
Limfosit 7 20-40
Monosit 4 2-8

Kimia Klinik
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Protein Total 5,3 6,4-8,3 g/dL
Albumin 2,28 3,5-5,2 g/dL

Elektrolit
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Na 138 135 - 145 mmol/dL
K 3,3 3,5-4,5 mmol/dL
Cl 105 90-110 mmo;/dL

Pemeriksaan MSCT Scan Temporal Bone dengan kontras

26
 Tampak air cell mastoid dekstra normal, sinistra sklerotik
 Tampak destruksi didaerah mastoid sinistra dengan area hipodens didalamnya
 Canalis Acusticus internus sinistra tampak obstruksi
 Koklea dekstra normal, sinisrta dekstruksi
 Pada pemberian kontras tampak kontras enhancement abnormal didaerah lesi
o Kesimpulan: mastoiditis tipe sklorotik serta obstruksi canalis acusticus
internus sinistra.

Pemeriksaan foto Thorak PA

 Cor dalam batas normal


 Lung : corakan bronkovaskular paru ramai dan kasar, hilus ramai dan kasar dengan
infiltrat perihiler
 Soft tissue dan skeletal normal
 Sinus costoprenicus dekstra terselubung
o Kesimpulan: bronkopnemonia-lung bilateral

3.5 DIAGNOSIS BANDING


1. Otitis Media Akut Stadium Perforasi + Mastoiditis akut aurissinistra +
Hipoalbumin + Hipokalemi
27
2. Otitis Media Akut Stadium Supuratif + Mastoiditis akut auris sinistra + Hipoalbumin
+ Hipokalemi
3. Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Benigna + Mastoiditis kronis auris sinistra +
Hipoalbumin + Hipokalemi

3.6 DIAGNOSIS
Otitis Media Akut Stadium Perforasi + Mastoiditis Akut auris sinistra+ Hipoalbumin +
Hipokalemi

3.7 PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

 IVFD Ringer Laktat 20 gtt/ menit


 Inj Ceftriaxone 750 mg/12 jam
 Paracetamol 500 mg tab 3x1
 Inj Ranitidin ½ amp/12 jam
 Inj. Keterolac 10 mg/ 8 jam
 Ofloxacin 2 x 5 tetes pada telinga kiri
 H2O2 3% 3x5 tetes pada telinga kiri
 Ambroxol syr 3x5 ml
Edukasi
 jaga higiene telinga
 jangan mengorek telinga
 jaga jangan sampai masuk air ke telinga

Planning
- Foto rontgen Mastoid 2 posisi
- CT Scan Mastoid
- Foto Thorak
- Insisi drainage bila terdapat gambaran Abses pada CT Scan mastoid.

28
3.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam Ad bonam
Quo ad functionam Ad bonam
Quo ad sanationam Ad bonam

BAB IV
DISKUSI KASUS

Pada kasus di atas, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Dari anamnesis didapatkan Sakit telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu, sakit
dirasakan terus menerus tanpa dipengaruhi oleh aktifitas. Nyeri disertai keluarnya cairan
berwarna kemerahan.Awalnya pasien berobat ke Puskesmas dengan keluhan batuk pilek,
demam dan terasa penuh ditelinga sebelah kiri oleh dokter Puskesmas telinga pasien
dibersihkan memakai alat dengan cara memasukkan kedalam liang telinga. Dua hari setelah
dibersihkan tiba-tiba telinga pasien mengeluarkan cairan warna kemerahan yang disertai
bengkak dibelakang telinga.
Dari teori yang didapatkan gejala klinis Otitis media akut biasanya berupa rasa nyeri
dalam telinga, suhu tubuh tinggi dan riwayat batuk pilek sebelumya. Makin sering anak-anak
terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya
OMA dipermudah karena: 1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak
horizontal; 2. sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif
lebih besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke
telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya penyakit
telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan
sistem imun2,3.

29
Dari pemeriksaan fisik Lokal didapatkan Canalis akustikus eksterna tampak sempit,
sekret kental berwarna kemerahan, membran timpani sulit dinilai. Pemeriksaan retroaurikular
didapatkan pembengkakan, warna kemerahan, nyeri tekan dan fluktuasi negatif.
Pada teori dinyatakan Diagnosis otitis media akut harus memenuhi 3 hal berikut1,2,3:
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
2. Ditemukan tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan disuatu rongga tubuh) di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu tanda berikut:
 Mengembungnya membran timpani
 Gerakan membran timpani yang terbatas
 Adanya bayangan cairan di belakang membran timpani
 Cairan yang keluar dari membran timpani
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan adanya salah
satu diantara tanda berikut:
 Kemerahan pada membran timpani
 Nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hemoglobin 8,4gr/dl, leukosit
25,5.103/mm3, Netrofil segmen 89. Pada pemeriksaan Fungsi pendengaran Tes Garputala
didapatkan Rinne Negatif, Weber Lateralisasi ke telinga yang sakit (kiri) serta Schwabach
memanjang.
Hasil laboratorium pada pasien didapatkan penurunan Hemoglobin, 8,4 g/dl.
Normalnya 12 - 15 gr/dl. Hal ini diperkirakan akibat perdarahan pada telinga sebelah kiri dan
pasien sedang mengalami menstruasi pertama. Leukosit pasien 25.5.103/mm3(normal 4,5-
10,5.103/ mm3)dan Neutrofil Segmen 89 (normal 50-70). Peningkatan leukosit dan Neutrofil
Segmen ini terjadi akibat terjadinya proses Infeksi yang bersumber dari telinga sebelah kiri
pasien dan Pneumonia dekstra et sinistra. Hasil laboratorium yang lain juga menunjukkan
albumin 2,28 g/dl yang menandakan pasien mengalami hipoalbumin hal ini disebabkan
difisiensi intake absorbsi protein yang tidak adekuat dan peningkatan kehilangan protein massif
hal ini disebabkan oleh kondisi medis baik yang akut maupun kronik.. Pada pemeriksaan
kalium didapatkan 3,3 mmol/dL, hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami hipokalemi
yang diakibat oleh intake makanan yang tidak adekuat.
Pasien juga didiagnosis Mastoiditis akut, dari klinis pasien didapatkan nyeri telinga
kiri, keluar cairan telinga, sakit kepala, dan terjadi penurunan pendengaran, demam dan tegang
pada belakang telinga.

30
Trias klasik dari Mastoiditis, terdiri dari aurikel yang menojol dengan pembengkakan
retroaurikuler, tenderness di daerah mastoid dan otore. Pada pemeriksaan otoskopi, akan
terlihat tanda-tanda dari otitis media akut atau subakut dengan atau tanpa perforasi membran
timpani. Dinding posterior dari meatus akustikus eksternus dapat menjadi eritematous dan
membengkak (dinding posterior kanal menurun). Diagnosis yang terbaik adalah menggunakan
CT-Scan karena dapat juga mendeteksi komplikasi lainnya dengan baik. Selain sel udara
mastoid dan ruang telinga tengah terlihat berawan, CT-Scan juga dapat memperlihatkan erosi
pada struktur tulang mastoid. Parameter inflamasi seperti WBC (Whole Blood Cell count), CRP
(C-Reactive Protein), dan Laju endap darah meningkat secara nyata.
Pada pemeriksaan MSCT Scan Temporal bone dengan kontras didapatkan Tampak air cell
mastoid sinistra sklerotik, tampak destruksi di daerah mastoid sinistra dengan area hipodens
didalamnya, canalis acusticus internus sinistra tampak obstruksi dengan kesimpulan
mastoiditis dan obstruksi canalis acusticus internus sinistra.
Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien yaitu IVFD Ringer Laktat 20 gtt/
menit, Inj Ceftriaxone 750 mg/12 jam, Inj Ranitidin ½ amp/12 jam, Inj. Keterolac 10 mg/ 8
jam, Paracetamol 500 mg tab 3x1, Ambroxol 3x5 ml, Ofloxacin 2x5 tetes pada telinga kiri,
H2O2 3 x 5 tetes pada telinga kiri. Selain itu pasien diberikan nasehat agar menjaga higiene
telinga, jangan mengorek liangtelinga sendiri di rumah dan menjaga agar jangan sampai masuk
air ke telinga.
Pada Otitis Media Akut Stadium perforasi diberikan obat cuci telinga perhidrol atau
H2O2 3% selama 3-5hari serta antibiotika yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekretakan
hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.Jika terdapat nyeri, harus
memberikan terapi untuk mengurangi nyeri tersebut. Penanganan nyeri harus dilakukan
terutama dalam 24 jam pertama onset OMA tanpa memperhatikan penggunaan antibiotik.
Penanganan nyeri telinga pada OMA dapat menggunakan analgetik seperti: asetaminofen,
ibuprofen, paracetamol, preparat topikal seperti benzokain, naturopathic agent, homeopathic
agent, analgetik narkotik dengan kodein atau analog.
Perkembangan pasien selama dirawat di ruangan mengalami perbaikan; nyeri telinga
kiriberkurang, pusing berkurang,keluar cairan merah dari telinga kiri tidak ada, namun pada
pasien masih terdapat gejala berupa ssesak nafas, batuk dan demam. Pada tanggal 11 juli 2015
pasien dikonsul ke bagian anak divisi Respirologi, pasien pindah rawah ke PICU. Tanggal 16
juli 2015 pasien PAPS (Pulang Atas Permintaan Sendiri).

31
BAB V
KESIMPULAN

Seorang perempuan berusia 13 tahun dating ke IGD RSUDZA Banda Aceh dengan
keluhan sakit telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu, sakit dirasakan terus menerus tanpa
dipengaruhi oleh aktifitas. Nyeri disertai keluarnya cairan berwarna kemerahan.Awalnya
pasien berobat ke Puskesmas dengan keluhan batuk pilek, demam dan terasa penuh ditelinga
sebelah kiri oleh dokter Puskesmas telinga pasien dibersihkan memakai alat dengan cara
memasukkan kedalam liang telinga. Dua hari setelah dibersihkan tiba-tiba telinga pasien
mengeluarkan cairan warna kemerahan yang disertai bengkak dibelakang telinga.
Dari pemeriksaan fisik Lokal didapatkan Canalis akustikus eksterna tampak sempit,
sekret kental berwarna kemerahan, membran timpani sulit dinilai. Pemeriksaan retroaurikular
didapatkan pembengkakan, warna kemerahan, nyeri tekan dan fluktuasi negatif.nyeri telinga
kiri, keluar cairan telinga, sakit kepala, dan terjadi penurunan pendengaran, demam dan tegang
pada belakang telinga.
Dari pemeriksaan penunjang dan laboratorium didapatkan Hemoglobin 8,3gr/dl,
leukosit 25,5.103/mm3, Netrofil segmen 89. Pada pemeriksaan Fungsi pendengaran Tes
Garputala didapatkan Rinne Negatif, Weber Lateralisasi ke telinga yang sakit (kiri) serta
Schwabach memanjang.
Pasien didiagnosis denganotitis media akut stadium perforasi dengan mastoiditis.Terapi
medikamentosa yang diberikan pada pasien yaitu IVFD Ringer Laktat 20 gtt/ menit, Inj

32
Ceftriaxone 750 mg/12 jam, Inj Ranitidin ½ amp/12 jam, Inj. Keterolac 10 mg/ 8 jam,
Paracetamol 500 mg tab 3x1, ambroxol 3x5 ml, Ofloxacin 2x 5 tetes pada telinga kiri, H2O2 3
x 5 tetes pada telinga kiri. Selain itu pasien diberikan nasehat agar menjaga higiene telinga,
jangan mengorek liangtelinga sendiri di rumah dan menjaga agar jangan sampai masuk air ke
telinga.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat Obat


ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi
IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2012.
2. Munilson,Jacky. Yan Edward, Yolazenia. Penatalaksanaan Otitis Media Akut. Diunduh
dari respository.unand.ac.id pada 1Juli 2015.
3. Donaldson, Jhon. 2014. Acute otitid media diakses pada
http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview#aw2aab6b2b4aa 1 Juli 2015.
4. Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. NelsonTextbook of Pediatrics.
18th ed. USA: Saunders Elsevier.
5. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2011. h.72-73.
6. Lin YS, Lin LC, Lee FP, Lee KJ. The Prevalence of Chronic Otitis Media and Its
Complication Rates in Teenagers and Adult patients. Otolaryngology Head Neck Surgery.
2010: 40(2); 165-170.
7. Devan PP. Mastoiditis. [Online]. 2014 August 12 [cited on 2015 July 1]. Available
from:URL: http://emedicine.medscape.com/article/966099-overview
8. Aziz MA, Hoshy H. Acute Mastoiditis: A One Year Study in The Pediatric Hospital of
Cairo University. BMC Ear, Nose, & Throat Disorders. 2010: 10; 1-6.
9. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins KT, et al.
Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. USA: Elsevier; 2007.
10. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology - Head & Neck Surgery.
USA: Mc Graw Hill; 2004.
11. Heather L, Burrows. 2013. Otitis Media. Guidelines for Clinical Care. University of
Michigan Health System diunduh dari
www.med.umich.edu/1info/fhp/practiceguides/om/OM.pdf pada 1 Juli 2015.
12. Donaldson, Jhon. 2014. Acute otitid media diakses pada
http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview#aw2aab6b2b4aa 1 Juli 2015.
13. Vorvick LJ. Mastoiditis. [Online]. 2012 August 30 [cited on 2015July 1]. Available
from:URL: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003016.htm

33
14. Djeric DR, Folic MM, Blazic SR, Djoric IB. Acute Mastoiditis in Children as Persisting
Problem. The Journal of International Advanced Otology. 2014: 10(1); 60-3.
15. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC;
1997.
16. Tarantino V, D’Agostino R, Taborelli G, Melagrana A, Porcu A, Stura M. Acute
Mastoiditis: A 10 year Retrospective Study. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology. 2002: 66; 143-8.
17. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A Step by Step Learning Guide.
New York: Thieme; 2006.
18. Bull PD. Lecture Notes on Disease of The Ear, Nose and Throat. 9th ed. India: Blackwell
Science Ltd; 2002.

35

Anda mungkin juga menyukai