Anda di halaman 1dari 6

Moralitas

Moralitas sebagai pedoman yang dapat dimiliki, individua tau kelompok mengenai apa itu
benar dan salah atau baik dan jahat.
Beberapa tahun yang lalu, B.F. Goodrich, pemanufaktur komponen kendaraan
pesawat terbang, memenangkan kontrak militer untuk mendesain, menguji dan memproduksi
rem pesawat A7D, sebuah pesawat baru yan sedang didesain Angkatan Udara. Untuk
mengonversi berat, Goddrich menjamin bahwa rem yang diproduksinya tidak melebihi berat
106 pound, terdiri atas empat piringan kecil atau “rotor”, dan mampu menghentikan pesawat
dalam jarak tertentu. Kontrak tersebut secara potensial sangat menguntungkan bagi
perusahaan sehingga para manajer sangat berminat untuk menciptakan rem yang “bermutu”,
yaitu dengan sukses dapat lolos tes dan mampu menghentikan pesawat seperti yang
diharapkan. Kermit Vandivier, seorang karyawan Goddrich, mendapatkan tugas untuk
bekerja sama dengan para insinyur Goodrich untuk membuat laporan tentang tes rem
tersebut, yang tidak akan dipersoalkan oleh pemerintah dan mungkin tidak perlu diulang.
Namun saying, tulis Vandivier kemudian, ketika rem kecil itu diuji linings pada permukaan
rotor berulang kali “terhapus” sebab tidak terdapat luas permukaan yang mencukupi untuk
menghentikan pesawat sehingga menyebabkan panas yang berlebih dan merusak lining.”
Supervisornya, meskipun demikian, berkata bahwa “tidak peduli apa yang terjadi pada rem
ketika diuji, kita tertap akan meloloskannya.” Setelah beberapa tes dilakukan, Vandivier
menjelaskan kepada supervisornya bahwa, “Laporan itu hanya mungkin dibuat dengan
memanipulasi data tes, yang ditimpali oleh supervisornya bahwa dia sadar betul akan
tuntutan yang harus dipenuhi, tetapi dia diperintahkan untuk membuat laporan tertulis tidak
peduli bagaimana atau apa yang telah terjadi. Dengan demikian Vandivier harus memutuskan
apakah dia ingin berpartisipasi dalam membuat laporan palsu.
Vandivier berkomentar :
Pekerjaan saya bergaji besar, menyenangkan dan menantang dan masa depan tampak
sangat cerah. Saya dan Istri telah membeli rumah, jika saya menolak ambil bagian dalam
penipuan A7D, saya harus mundur atau dipecat. Laporan mungkin akan dibuat oleh orang
lain, namun saya akan mendapatkan kepuasan dengan mengetahui bahwa saya tidak terlibat
dalam hal itu. Namun tagihan – tagihan tidak dibayar dengan kepuasan personal, begitu pula
rumah tidak dibayar dengan prinsip-prinsip etis. Saya membuat keputusan saya sendiri.
Paginya saya menelpon atasan saya dan bilang kepadanya bahwa saya siap untuk mulai
membuat laporan kualifikasi.
Ketika mengerjakan laporan, vandivier berkata, dia berbincang dengan eksekutif
senior yang ditugaskan di proyek itu dan bertanya kepadanya “apakah suara hatinya akan
mengusiknya bila hal tersebut menyebabkan tewasnya seorang pilot, dan inilah yang dia
katakana bahwa saya kuatir tentang banyak hal yang tidak berkaitan dengan saya dan dia
menasihati saya untuk lakukan saja apa yang diperintahkan.
Dalam kasus Goodrich, keyakinan Vandivier bahwa yang benar itu baik dan
membahayakan hidup orang lain itu salah dan keyakinannya bahwa itu baik dan
ketidakjujuran itu buruk, merupakan contoh pedoman moral yang ia pegang. Pedoman moral
mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis tindakan yang kita yakini benar atau
salah secara moral dan nilai yang kita terapkan pada objek yang kita yakini secara moral baik
atau secara moral buruk. Norma moral biasanya dinyatakan sebagai aturan atau pernyataan
umum, semacam “Selalu katakanlah kebenaran” membunuh orang tak berdosa itu salah, atau
tindakan dinilai benar sejauh memberikan kebahagiaan.” Nilai moral biasanya diekspresikan
sebagai pernyataan yang mendideskripsikan objek atau ciri objek yang bernilai semacam
“Kejujuran itu baik” dan “Ketidakadilan itu buruk.”
Biasanya standar moral pertama kali terserap ketika kanak-kanak dari keluarga,
teman, dan beragam pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah,
music dan perkumpulan. Kemudian ketika dewasa, pengalaman, pembelajaran,
perkembangan intelektual akan mengarahkan orang dewasaa untuk meninjau ulang standar-
standar tersebut. Sebagian dibuang, dan yang baru diadopsi untuk menggantikannya.
Diharapkan, melalui proses pendewasaan ini, orang akan mengembangkan standar-standar
yang secara intelektual memadai dan yang lebih sesuai untuk menghadapi dilemma moral
kehidupan orang dewasa. Sejelas yang dinyatakan Vandivier kita tidak selalu hidup sesuai
dengan standar moral yang kita pegang: yaitu kita tidak selalu melakukan apa yang kita
percaya secara moral baik ataupun kita selalu mencari apa yang kita percaya secara moral
baik.
Standar moral tidak dapat dikontraskan dengan standar yang kita yakini tentang hal-
hal yang bukan moral. Contoh standar nonmoral termasuk standar etika yang kita gunakan
untuk menilai sikap yang baik atau buruk, standar hukum yang digunakan untuk menilai yang
benar dan salah secara hukum, standar Bahasa yang digunakan untuk menilai benar dan salah
secara gramatikal, standar estetika yang digunakan untuk menilai seni yang baik atau yang
buruk, standar atletik yang digunakan untuk menilai sebagus apa sepak bola atau bola basket
yang dimainkan. Sebenarnya, ketika kita membuat penilaian tentang cara yang salah atau
yang benar dalam mengerjakan sesuatu, atau penilaian tentang hal yang baik atau yang buruk,
penilaian kita didasarkan pada standar yang beda. Dalam kasus Vandavier kita dapat
menebak bahwa dia mungkin berkeyakinan bahwa laporan harus ditulis dengan tata Bahasa
yang bagus, bahwa dipecat dari pekerjaan yang bergaji bagus, menyenangkan dan menantang
telah terbayang sebelum membuat laporan yang jujur, dan bahwa semuanya telah sesuai
dengan hukum. Norma tentang tata Bahasa yang bagus, pekerjaan yang bergaji bagus,
menyenangkan dan menantang, dan hukum pemerintah juga merupakan standar. Akan tetapi
standar ini bukan standar moral. Kasus Vandivier juga menunjukkan bahwa kita sering
memilih standar nonmorald aripada standar moral.
Ciri-ciri yang membedapakan standar yang moral dan bukan moral? Ini bukan
pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Namun demikian, para ahli etika mengajukan lima
ciri yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral. Pertama, standar moral berkaitan
dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius ata benar akan
menguntungkan manusia.” Sebagai contoh, sebagian besar orang amerika memiliki standar
moral melawa pencurian, pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan, penyalahgunaan anak,
penyerangan, skandal, penipuan, pelanggaran hukum dan sebagainya. Semua itu berkaitan
dengan hal yang dirasakan orang merupakan bentuk kejahatan yang sangat serius. Dalam
kasus Vandivier, jelas bahwa berbohong dalam laporan kepada pemerintah dan
membahayakan hidup pilot keduanya merupakan kejahatan serius dan persoalan moral,
sementara standar gramatikal bukanlah persoalan moral.
Kedua, standar moral dietapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu.
Standar hukum dan legal dibuat oleh otoritas pembuat undang-undang atau keputusan
pemilih. Standar moral, dengan demikian, tidak dibuat oleh kekuasaan, demikian pula
validitasnya tidak terletak pada prosedur pengambilan suara. Namun, validitas standar moral
terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung dan membenarkannya jadi
sejauh nalarnya mencukupi, maka standarnya tetap sah.
Ketiga, dan mungkin yang paling mengagetkan, kita merasa bahwa standar moral
harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya?) kepentingan diri. Yakni,
jika seseorang mempunyai kewajiban moral untuk melakukan sesuatu, makai a diharapkan
melakukannya bahkan jika hal tersebut bertentangan dengan nilai nonmoral lainnya atau
kepentingan diri. Dalam kasus Vandivier, misalnya, kita merasa bahwa Vandivier seharusnya
memilih nilai moral kejujuran dan menghargai hidup ketimbang nilai-nilai nonmoral yang
menginginkan pekerjaan yang bergaji bagus, menyenangkan dan menantang. Hal ini tidak
berarti, tentunya, bahwa bertindak untuk kepentingan diri selalu salah: artinya adalah salah
memilih kepentingan diri di atas kepentingan moral.
Keempat, dan secara umum, standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak
memihak “Fakta bahwa anda akan diuntungkan oleh sebuah kebohongan dan bahwa saya
akan dirugikan tidak relecan untuk mempertanyakan apakah berbohong itu secara moral
salah. Para filsuf menyatakan hal ini dengan mengatakan bahwa standar moral didasarkan
pada “sudut pandang moral” yaitu sudut pandang yang tidak mengevaluasi standar menurut
apakah mereka membela kepentingan individua tau kelompok tertentu, namun sudut pandang
yang melampaui kepentingan personal menuju pijakan universal di mana kepentingan setiap
orang dilihat sejajar. Filsuf yang lain membuat pernyataan yang sama bahwa standar moral
didasarkan pada penalaran yang tidak memmihak bahwa seorang “pengamat yang ideal” atau
seorang “penonton yang tidak memihak” akan diterima, atau dalam memutuskan persoalan
moral “masing-masing bernilai satu dan tak satupun bernilai lebih dari satu.” Meskipun
ketidakberpihakan merupakan ciri standar moral, ia harus diseimbangkan dengan semacam
keberpihakan, khususnya, pemihakan yang muncul dari kepedulian dan preferensi terhadap
mereka yang memiliki hubungan khusus seperti anggota keluarga dan teman. Meskipun
moralitas mengatakan bahwa kita hendaknya tidak berpihak dalam konteks dimana keadilan
dipertanyakan, seperti menentukan gaji dalam perusahaan public, moralitas juga
memerhatikan konteks tertentu, seperti memperdulikan anggota keluarga yang dimana
kepedulian individual secara moral sah dan bahkan secara moral diperlukan.
Yang terakhir, standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata
tertentu, misalnya jika bertindan bertentangan dengan standar moral, normalnya saya akan
merasa bersalah, malu, menyesal, saya akan menyebut tingkah laku saya “immoral” atau
“salah” dan saya akan merasakan diri saya amat buruk dan mengalami hilangnya rasa percaya
diri. Jika membaca dengan cermat pernyataan Vandivier, misalnya akan terlihat bahwa dia
kemudian merasa malu dan menyesal tentang apa yang telah dia lakukan (Ternyata,
kemudian Vandivier memberikan kesaksian di depan Kongres dalam upaya menyatakan yang
benar). Namun demikian, jika kita melihat orang lain bertindak berlawanan dengan standar
moral yang kita terima, kita biasanya akan merasa marah, jengkel, dan bahkan jijik terhadap
orang tersebut; kita akan mengatakan mereka tidak melaksanakan kewajiban moral mereka
atau tanggung jawab moral mereka dan kita menghargai mereka.
Standar moral, dengan demikian merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan
yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan
otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak,
dan yang penyelenggaranya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan dengan
kosa kata moral tertentu. Kita menyerap standar tersebut sebagaimana anak-anak
menyerapnya dari beragam pengaruh dan kemudian meninjau ulang semuanya ketika dewasa.

Etika

Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral
masyarakat, ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan
kita dan apakah standar ini masuk akal atau tidak masuk akal-standar yaitu, apakah didukung
dengan penalaran yang bagus atau yang jelek. Seseorang mulai memedulikan etika ketika dia
menggunakan standar moral yang diserap dari keluarga, gereja dan teman.
Sebagai contoh, Vandivier dan Goodrich, vandivier tampaknya hampir menerima
standar moral bahwa ia mempunyai kewajiban untuk mengatakan kebenarannya, dan dengan
demikian dia merasa bahwa dalam situasi tertentu adalah salah menulis laporan palsu tentang
rem tersebut. Namun kita mungkin bertanya apakah menulis tentang apa yang dia anggap
laporan yang salah, benar-benar salah dalam lingkup itu. Vandivier mempunyai beberapa
kewajiban keuangan baik terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Dia menyatakan misalnya
bahwa dia baru saja menikah dan membeli sebuah rumah, sehingga dia mempunyai
kewajiban untuk membayar tiap bulannya dan harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Jika
dia tidak menulis laporan sebagaimana diperintahkan, dia akan diepca dan tidak dapat
membayar tanggungannya. Bukankah kewajiban moral terahadap diri dan keluarganya jauh
lebih berat ketimbang kewajiban untuk tidak menulis laporan palsu? Perusahaan dan seluruh
manajernya menekankan bahwa tindakan terbaik adalah menulis laporan yang meluluskan
rem itu. Jika ada masalah dengan rem dan kontrak tersebut, perusahaanlah (B.F Goodrich)
yang akan bertanggung jawab, bukan Vandavier, yang hanya seorang pekerja rendahan.
Karena perusahaan, bukan Vandavier, yang akan bertanggung jawab, apakah perusahaan
mempunyai hak moral untuk membuat keputusan final mengenai laporan itu, di samping
Vandivier yang hanya pekerja rendahan? Apakah hak moral menjadi milik partai yang akan
dinilai bertanggung jawab terhadap keputusan itu? Apakah dasar hak semacam itu dan
apakah kita harus menerimanya? Akhirnya, pikirkanlah bahwa Vandivier menyatakan bahwa
pada akhirnya penolakan personalnya untuk berpartisipasi dalam menulis laporan
memberinya perasaan “puas” namun tidak akan membuat perbedaan terhadap apa yang
terjadi karena orang lain akan dipekerjakan untuk menulis laporan tersebut. Karena
konsekuensinya akan sama, entah dia setuju atau menolak, lalu apakah dia benar-benar
mempunyai kewajiban moral untuk menolak? Apakah seseorang mempunyai kewajiban
moral untuk mengerjakan sesuatu yang tidak akan membuat perbedaan.
Etika bukan hanya cara untuk memplajari moralitas, ilmu-ilmu social semacam
antropologi, sosiologi dan psikologi juga mempelajari moralitas namun melakukannya
denganc ara yang sangat berbeda dari pendekatan moralitas yang merupakan ciri etika.
Meskipun etika merupakan studi normative mengenai etika ilmu-ilmu social terlibat dalam
studi deskriptif etika. Sebuah studi normative merupakan penelusuran yang tujuan
eksplisitnya adalah menentukan sejauh mana dapat menentukan standar yang benar atau yang
didukung oleh penalaran yang terbaik, dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan
tentang moral yang benar dan salah dan moral yang baik dan jahat.
Sebuah studi deskriptif tidak berusaha untuk mencapai kesimpulan apaun tentang hal
yang benar-benar baik atau buruk atau benar atau salah. Namun studi deskriptif berusaha
mendeskripsikan atau menjelaskan dunia tanpa mencapai kesimpulan apa pun tentang apakah
dunia itu sebagaimana diharapkan. Antropolog dan sosiolog, misalnya, mungkin mempelajari
standar moral yang dianut oleh dasar atas kebudayaan tertentu. Dalam melakukannya, mereka
berusaha mengembangkan deskripsi akurat standar moral kebudayaan dan mungkin bahkan
memformulasikan teori eksplanatori tentang struktur mereka. Namun demikian, bagi
antropolog dan sosiolog, bukanlah tujuan mereka untuk menentukan apkah standar moral
tersebut benar atau tidak benar.
Etika sebaliknya, adalah studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah
menentukan sejauh apakah standar moral yang diberikan (atau penilaian moral yang
berdasarkan pada standar itu) lebih atau kurang benar. Sementar sosiolog bertanya “Apakah
orang Amerika yakin, bahwa penyuapan itu salah?” ahli etika bertanya “Apakah menyuap itu
salah?” ahli etika tertarik mengembangkan pernyataan dari teori normative yang masuk akal,
sementara studi antropoigis atau sosiologis tentang moralitas bertujuan untuk menyediakan
karakterisasi deskriptif tentang keyakinan orang.

Anda mungkin juga menyukai