Daftar Isi
Cover 1
....................................................................................................................................................
Daftar Isi 2
..............................................................................................................................................
Pendahuluan 3
........................................................................................................................................
Kelompok 1 4
..........................................................................................................................................
Kelompok 2 13
..........................................................................................................................................
Kelompok 3 24
..........................................................................................................................................
Kelompok 4 32
..........................................................................................................................................
Kelompok 5 40
..........................................................................................................................................
Kelompok 6 48
..........................................................................................................................................
Kelompok 7 50
..........................................................................................................................................
Kelompok 8 60
..........................................................................................................................................
Pendahuluan
Persepi merupakan proses sosial yang unik yang dimiliki oleh individu atau masyarakat.
Keunikan proses persepsi ini berasal dari pengalaman yang berbeda-beda dari setiap
individu. Pada level masyarakat, persepsi sosial juga bisa terjadi dan bersifat unik,
dikarenakan pengalaman dan nilai-nilai yang berbeda antar masyarakat satu dengan yang
lain.
Persepsi terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) juga bersifat unik. Setiap individu
dan masyarakat memiliki perbedaan persepsi dalam memandang ODGJ secara individu
maupun keluarga-keluarga yang memiliki ODGJ tertentu. Hal inilah yang menarik untuk
dikaji lebih lanjut di dalam matakuliah Psikologi Lintas Budaya pada tahun 2016.
Mahasiswa diajak untuk mencari tahu perbedaan persepsi masyarakat terhadap ODGJ.
Perbedaan maupun persamaan persepsi tersebut bisa dilihat dari lokasi tempat tinggal,
tingkat pendidikan, keberadaan ODGJ di keluarganya, dan lain sebagainya.
Tujuan dari menggali persamaan maupun perbedaan persepsi terhadap ODGJ di tengah
masyarakat adalah mahasiswa mampu melakukan asesmen dan analisis sederhana terhadap
persepsi masyarakat yang berbeda-beda. Sehingga nantinya, mahasiswa dapat melakukan
kajian-kajian psikologis lintas budaya di tengah masyarakat secara mandiri.
Berikut ini adalah rangkuman dari laporan yang telah dilakukan oleh mahasiswa dalam
melakukan asesmen dan analisis sederhana terhadap persamaan dan perbedaan persepsi
terdahap ODGJ di Bali.
Pengampu matakuliah
Kelompok 1
MASYARAKAT URBAN I (IBU PANCA)
beliau factor eksternal lebih dominan, namun factor internal dan eksternal saling
berkaitan.
Saat ditanyakan mengenai pencegahan apa yang bisa dilakukan oleh
masyarakat agar tidak menderita gangguan jiwa, beliau berkata bahwa orang
tersebut harus mensejahterakan keluarganya terlebih dahulu karena keluarga
merupakan komponen terkecil didalam hidup. Agar keluarga sejahtera dan
kebutuhan hidup terpenuhi, maka orang tersebut harus berusaha untuk mencari
pekerjaan yang layak. Agar mendapatkan pekerjaan yang layak, kualitas SDM dari
orang tersebut harus ditingkatkan. Apabila dalam lingkup keluarganya sudah
sejahtera, maka idealnya tidak aka nada penyakit masyarakat atau tidak akan
menderita gangguan jiwa. Selain hal tersebut, beliau juga berpendapat bahwa agar
terhindar dari gangguan jiwa, setiap orang harus mendalami agama atau
kepercayaannya. Karena, pasti ada factor non medis yang berpengaruh terhadap
penyakit apapun, termasuk gangguan jiwa. Walaupun factor non medis tersebut
hanya berperan sedikit saja dalam mempengaruhi gangguan jiwa karena tidak
adanya bukti yang kuat, lemahnya pembuktian, dan tidak bisa dimasukkan ke dalam
logika, tetapi, antara agama, adat, dan budaya tidak dapat dipisahkan, walaupun hal-
hal yang logis tentu lebih dominan.
Beliau sering sekali melihat orang yang menderita gangguan jiwa di pinggiran
jalan. Karena beliau bersosialisasi, makanya beliau sering melihat orang yang
menderita gangguan jiwa. Tetapi, beliau tidak pernah secara langsung berkomunikasi
dengan penderita gangguan jiwa karena di keluarganya tidak ada orang yang
menderita gangguan jiwa. Beliau juga berkata bahwa beliau merasa kasihan setiap
melihat penderita gangguan jiwa yang berada di pinggir jalan, karena kata beliau,
“kan mereka tidak ingin menjadi seperti itu, tetapi keadaan yang membuat kejiwaan
mereka terganggu.”
Masalah pemasungan terhadap orang yang menderita gangguan jiwa di
Indonesia, terutama di Bali masih sangat banyak. Beliau mengutarakan pendapatnya
bahwa memasung orang yang menderita gangguan jiwa merupakan hal yang sangat
tidak bijaksana dan sangat amat tidak manusiawi. Pemasungan terjadi karena
keluarga tersebut malu memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa,
sehingga tidak dibawa ke Rumah Sakit Jiwa. Padahal, seharusnya tidak boleh malu,
karena dengan membawa anggota keluarga ke Rumah Sakit Jiwa, itu tandanya
keluarga tersebut menyayangi anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa.
Dibawanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa tersebut ke Rumah Sakit
Jiwa juga membawa harapan agar orang tersebut bisa kembali ke lingkungan yang
baik.
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap penderita gangguan jiwa
menurut beliau ada banyak variasinya. Penanganan yang diberikan harus sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi pasien itu sendiri, tidak bisa digeneralisasikan. Kalau
memang gangguan jiwa yang diderita belum parah dan masih bisa dirawat dirumah,
maka silahkan saja rawat dirumah. Namun apabila sudah parah, maka lebih baik
dibawa ke Rumah Sakit Jiwa.
Mengenai pengobatan ke balian, beliau berpendapat bahwa hal tersebut
tidak salah dan tidak benar. Semua itu tergantung kepada setiap individu, karena hal
ini mengenai kepercayaan setiap individu yang berbeda-beda. Apalagi di Bali masih
banyak sekali hal-hal yang berbau mistis atau yang selalu disangkut-pautkan dengan
hal-hal mistis. Namun, alangkah baiknya apabila tindakan yang pertama kali diambil
adalah tindakan yang logis, seperti membawa orang yang menderita gangguan jiwa
ke Rumah Sakit Jiwa. “Tangani dulu secara medis,” katanya, “kita hidup dengan akal
dan logika.” Tetapi, beliau juga sadar bahwa pola pikir setiap orang berbeda-beda.
Kembali lagi kepada kepercayaan setiap masing-masing orang.
Subjek 2 merupakan seorang pria berusia 39 tahun yang sudah menikah dan
memiliki tiga anak. Memulai pertanyaan tentang apa yang beliau ketahui tentang
penderita gangguan jiwa, beliau menjawab bahwa penderita gangguan jiwa adalah
orang-orang gila, orang-orang yang dipasung, dan orang yang memiliki
keterbelakangan mental. Beliau tahu hanya sebatas itu saja katanya. Ketika dimintai
pendapat tentang bagaimana cara menangani orang yang menderita gangguan jiwa
dan bagaimana cara mencegah agar seseorang tidak menderita atau mengalami
gangguan jiwa, beliau berkata bahwa factor utama seseorang menderita gangguan
jiwa adalah lingkungan keluarganya. Tetapi, hal pertama yang harus dilakukan adalah
melihat dan memeriksa apa akar masalahnya. Apakah masalah keluarga, sosial,
ekonomi, dan lainnya. Setelah itu, baru diberi penanganan yang sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi orang yang menderita penyakit gangguan jiwa. Beliau
menyebutkan bahwa pertolongan yang dapat dilakukan adalah antara lain
membawa orang tersebut ke terapis atau psikiater untuk konsultasi, dan/atau
pemberian obat. Kalau sudah akut, baru sebaiknya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa agar
mendapatkan tindak lainjut yang lebih tepat dan lebih baik. Menurut beliau, semua
orang memiliki potensi untuk menderita atau mengalami gangguan jiwa. Karena,
setiap orang menghadapi banyak masalah dalam kehidupan sehari-harinya, oleh
karena itu pikiran menjadi terbebani dan mereka menjadi stress. Semua itu
tergantung bagaimana orang tersebut menghadapi masalahnya.
Tanda-tanda yang terlihat ketika orang tersebut akan menderita gangguan
jiwa menurut beliau adalah terlihat bingung. Tanda-tanda lain yang menunjukkan
bahwa orang tersebut adalah penderita gangguan jiwa adalah berkeliaran di jalan
raya, tidak memakai baju atau celana, suka berteriak-teriak sendiri secara tiba-tiba.
Hal yang akan dilakukan oleh beliau apabila beliau bertemu dengan penderita
gangguan jiwa adalah beliau akan menghindari orang tersebut apabila bertemu di
pinggir jalan. Kalua bertemu dengan penderita gangguan jiwa yang dikenal memang
belum pernah, tetapi, hal yang akan dilakukan oleh beliau adalah mengajak ngobrol
secara ringan apabila masih bisa diajak berbicara atau masih nyambung diajak
berkomunikasi yang ringan. Kalau memang sudah tidak bisa diajak berkomunikasi,
maka beliau hanya akan melakukan kontak mata dengan penderita gangguan jiwa
tersebut.
Ketika mendengar kata-kata pemasungan, beliau langsung berkata bahwa
beliau tidak setuju dengan pemasungan orang yang menderita gangguan jiwa.
Karena, menurut beliau, hal tersebut tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia.
Walaupun memang mereka sudah gila, tetapi mereka masih memiliki hak untuk
hidup. Kalau memang tingkat gangguan jiwanya sudah akut, lebih baik dibawa saja
ke Rumah Sakit Jiwa daripada dipasung.
Daripada dipasung, beliau juga menyarankan lebih baik diterapi atau dibawa
ke Rumah Sakit Jiwa. Ketika kondisi penderita gangguan jiwa memang sudah akut
dan harus dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, sebaiknya jangan dipaksakan untuk dirawat
dirumah. Karena tidak akan memungkinkan dan akan membahayakan anggota
keluarga yang lain. Beliau juga berpendapat bahwa tenaga kesehatan yang
menangani penderita gangguan jiwa seharusnya melakukan pendekatan atau
komunikasi persuasive secara lebih halus.
Mengenai peranan masyarakat dan pemerintah, beliau berkata bahwa
sebaiknya masyarakat tidak mengganggu penderita gangguan jiwa apabila bertemu
dengan mereka. Agar tidak saling mengganggu. Untuk pemerintah, ada baiknya
membangun Rumah Sakit Jiwa lagi di Bali, karena di Bali hanya ada satu Rumah Sakit
Jiwa dan semakin kesini penderita gangguan jiwa semakin banyak. Alangkah baiknya
apabila diadakannya pembangunan Rumah Sakit Jiwa yang lain, dan yang terpenting
adalah kualitas kenyamanan dari Rumah Sakit Jiwa tersebut.
Pencegahan yang bisa beliau sarankan agar seseorang tidak menderita
gangguan jiwa adalah memiliki, menjaga, dan membangun keharmonisan keluarga.
Kalau memang seseorang tersebut banyak pikiran atau pikirannya terbebani dan
butuh teman untuk cerita, bisa dibawa ke psikolog atau psikiater untuk konsultasi
dan bercerita. Dan hal yang penting juga untuk menjaga kenyamanan orang tersebut
di lingkungan tempat dia tinggal.
Beliau sering sekali melihat penderita gangguan jiwa di pasar, salah satunya
di pasar Badung. Beliau juga banyak melihat orang gila yang berkeliaran di jalan raya.
Di Bali, banyak sekali orang yang masih sering membawa orang yang menderita
penyakit gangguan jiwa ke balian atau orang pintar. Ketika beliau ditanyakan
pendapat terhadap hal tersebut, beliau berkata semua itu kembali ke masing-masing
orang. Karena, ketika mereka melakukan hal tersebut (membawa penderita
gangguan jiwa ke balian), itu berdasarkan kepercayaan yang mereka anut. Walaupun
beliau lebih menyarankan diberi penanganan medis, tetapi beliau berkata bahwa
sah-sah saja membawa penderita gangguan jiwa ke balian atau orang pintar. Yang
terpenting adalah jangan minta pengobatan dan kesembuhan ke balian tersebut,
kalau bertanya saja memang wajar. Dan harus hati-hati, jangan sampai ditipu oleh
balian tersebut.
Saran terhadap setiap keluarga agar tidak ada anggota keluarganya yang
menderita gangguan jiwa adalah selalu mengutamakan dan menomor satukan
keharmonisan keluarga. Yang kedua adalah selalu bersyukur. Karena, ketika
lingkungan keluarga sudah harmonis, maka, kita akan selalu bersyukur dengan apa
yang kita miliki, dan ketika kita sudah selalu bersyukur, maka apapun akan terasa
lancar dan tanpa bebas yang berat.
Apabila selanjutnya ingin dibawa ke balian atau orang pintar, itu urusan kepercayaan
masing-masing. Yang penting jangan meminta kesembuhan kepada balian tersebut.
Mengingat di Bali masih banyak keluarga yang memasung anggota
keluarganya yang menderita gangguan jiwa, beliau sebenarnya sangat tidak setuju
akan hal tersebut. Karena hal tersebut mengurangi hak seseorang untuk hidup
bebas.
Tanda-tanda yang dapat dilihat ketika seseorang akan menderita gangguan jiwa
menurut beliau adalah orang tersebut akan lebih suka menyendiri dan tidak betah
berada di rumahnya atau di lingkungan hidupnya.
Kembali ke hal pemasungan tadi, beliau juga berkata bahwa sebaiknya jangan
dipasung. Lebih baik dibawa ke psikiater agar dapar diberikan motivasi-motivasi dari
psikiater tersebut.
Kesimpulan yang dapat diambil dari wawancara yang telah dilakukan terhadapr
keempat subjek diatas adalah, semua subjek, baik dari urban maupun rural
menganggap bahwa penderita gangguan jiwa lebih baik ditangani secara medis
dibandingkan dibawa ke balian atau orang pintar, walaupun menurut mereka tidak
ada salahnya membawa penderita gangguan jiwa ke balian atau orang pintar, karena
kepercayaan setiap orang berbeda-beda. Mereka juga berpendapat bahwa
pemasungan merupakan hal yang salah karena memasung sama saja mengambil hak
hidup bebas seseorang. Semua subjek juga berkata bahwa cara mencegah seseorang
dari menderita gangguan jiwa adalah keharmonisan keluarga dan kenyamanan
berada di lingkungan hidup. Perhatian yang cukup serta kasih sayang yang imbang
juga berperan penting terhadap kejiwaan seseorang.
Kelompok 2
PENDAHULUAN
Latar belakang
Di daerah Bali, jumlah penderita gangguan jiwa dapat dikatakan sangat banyak
menurut data Dinas Kesehatan pada tahun 2011, penderita gangguan jiwa ringan di Provinsi
Bali hingga 6 bulan pertama tahun 2011 mencapai 305.623 orang. Angka tersebut
mengalami kenaikan dari 158.023 pada tahun 2010. Secara keseluruhan, jumlah penderita
gangguan jiwa di Bali mencapai angka 14,2 persen dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut
telah melampaui angka nasional sebesar 11,6 pesen. Berdasarkan data tersebut, dapat
diasumsikan bahwa masyarakat Bali cukup akrab dan mengenal orang dengan gangguan
jiwa. Setiap daerah di Bali, memandang orang dengan gangguan jiwa melalui sudut dan cara
yang berbeda-beda. Ada yang memandang sebagai hal yang biasa saja, ada juga yang
memandang sebagai hal yang buruk dan negatif. Berbicara tentang gangguan jiwa, tentu
saja tidak lepas dari orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan lingkungan disekitarnya.
Masyarakat tentu memiliki persepsi atau pandangan yang beragam mengenai orang dengan
gangguan jiwa. Pada laporan ini akan dijabarkan mengenai persepsi masyarakat Bali
mengenai orang dengan gangguan jiwa, yang dilihat dari sudut pandang masyarakat Rural
(desa) dan Urban (kota).
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan persepsi masyarakat rural dan urban di Bali
mengenai orang dengan gangguan jiwa.
MANFAAT
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang orang dengan gangguan jiwa dan
dapat lebih memahami cara pandang masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa.
KAJIAN PUSTAKA
Menurut PPDGJ-III, gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang yang
secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment) didalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi
psikologik, perilaku, biologik dan gangguan itu tidak hanya terletak didalam hubungan
antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim, 2002 ; Maramis, 2010). Menurut
Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2012) jumlah penderita gangguan jiwa didunia adalah 450
juta jiwa. Satu dari empat keluarga sedikitnya mempunya seorang dari anggota keluarga
yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Setiap empat orang yang membutuhkan
pelayanan kesehatan, seorang diantaranya mengalami gangguan jiwa dan tidak terdiagnosa
secara tepat sehingga kurang mendapat pengobatan dan perawatan secara tepat.
PPDGJ-III tidak menganggap bahwa setiap gangguan jiwa adalah suatu kesatuan yang
tegas dengan batas-batas yang jelas antara gangguan jiwa tertentu dengan gangguan jiwa
lainnya, sebagaimana juga antara adanya gangguan jiwa dan tidak ada gangguan jiwa. Suatu
anggapan yang salah bahwa penggolongan gangguan jiwa menggolongkan orang-orang.
Yang digolongkan adalah gangguan-gangguan yang diderita oleh seseorang. Sehingga harus
dihindarkan pemakaian istilah seperti, “seorang skizofrenik”, “seorang neurotik”, dan
“seorang pecandu zat”. Hendaknya menggunakan istilah: seseorang dengan skizofrenia,
seorang dengan gangguan neurotic, atau seorang dengan ketergantungan zat. Gila atau
sakit jiwa yang sering digunakan oleh masyarakat biasanya untuk menyebut orang yang
tidak menyadari realitas: lupa ingatan, ketawa sendiri, bicara sendiri, tidak berbaju
(telanjang meski di tempat umum). Menurut praktisi kesehatan, istilah “gila” atau “sakit
jiwa” yang dimaksud itu adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan bagian dari Gangguan
Jiwa.
Dokter Danardi Sosrosumihardjo, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI), menjelaskan orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ) adalah seseorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan,
yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna.
Kondisi itu menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai
manusia.
- Pehaman dan keyakinan agama: lemahnya iman dan kurangnya ibadah dalam
kehidupan sehari – hari terkait dengan kejadian gangguan jiwa.
METODE
PEMBAHASAN
Masyarakat yang disebut masyarakat Rural, apabila ia tinggal di kabupaten di luar ibu
kota Denpasar serta keseluruhan waktunya dihabiskan di desa, dimana interviewee
kelompok kami berasal dari Gianyar dan Tabanan. Sedangkan masyarakat Urban adalah
masyarakat yang tinggal dan menghabiskan sebagian besar waktunya setiap hari di Kota
Denpasar. Untuk mengetahui persepsi dari masyarakat Bali, dilakukan wawancara
mendalam dengan subjek yang mewakili masyarakat rural dan urban. Kemudian akan
dibandingkan apa persamaan dan perbedaan persepsi dari masing-masing subjek
perwakilan. Wawancara dilakukan dengan masing-masing dua (2) orang narasumber,
dimana persepsi para narasumber tersebut akan digunakan untuk mewakili persepsi
masyarakat Bali mengenai orang dengan gangguan jiwa. Berdasarkan hasil wawancara akan
dikemukakan persamaan dan perbedaannya, baik antar masyarakat rural, antar masyarakat
urban, kemudian diperoleh perbedaan persepsi antara masyarakat rural dan urban.
1) Dari hasil wawancara kepada 2 orang masyarakat rural, yang di wawancara dengan
topik "Bagaimana Pandangan Mereka Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa",
diperoleh beberapa persamaan dan perbedaan yakni :
Persamaan
- Sama-sama mengatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa memiliki ciri-ciri yakni
berpenampilan tidak terurus dengan rambut acak-acakan dan pakaian kotor.
- Sama-sama berpendapat bahwa stress, depresi dan ketidakpuasan seseorang
terhadap hidupnya sendiri dapat menjadi penyebab dari gangguan jiwa yang
diderita oleh seseorang.
- Sama-sama berpendapat bahwa orang gila tersebut bisa dibawa berobat ke
pengobatan tradisional Bali (balian) selama gangguan jiwanya masih ringan, jika
sudah berat maka lebih baik dibawa ke pengobatan medis.
- Sama-sama berpendapat bahwa salah satu hal yang dapat membantu orang dengan
gangguan jiwa dengan cara meningkatkan ketaqwaan terhadap kepercayaan masing-
masing.
- Sama-sama tidak setuju dengan pemasungan yang dilakukan pada orang-orang
dengan gangguan jiwa.
Perbedaan
- Narasumber I, yang merupakan subjek wawancara yang berasal dari Tabanan
mempercayai bahwa black magic yang ada di bali dapat menyebabkan orang
terserang gangguan jiwa, sedangkan narasumber II, subjek wawancara yang berasal
dari Gianyar tidak mempercayai hal tersebut.
gangguan jiwa, dan sama-sama tidak setuju terhadap pemasungan orang dengan
gangguan jiwa. Namun, kedua subjek memiliki pandangan yang berbeda terhadap faktor
black magic terhadap munculnya gangguan jiwa pada seseorang.
Perbedaan :
- Faktor penyebab gangguan jiwa menurut narasumber I adalah berasal dari pikiran
seseorang, sedangkan menurut narasumber II, penyebabnya adalah tekanan dari
masalah-masalah yang dihadapi serta kegagalan dalam mencapai sesuatu.
- Narasumber I menganggap pengaruh medis dan magis terhadap orang dengan
gangguan jiwa sama besarnya, sedangkan narasumber II mengatakan ragu mengenai
adanya pengaruh magis tersebut.
3) Keseluruhan hasil wawancara masyarakat rural dan urban dan telah didapatkan
beberapa persamaan dan perbedaan persepsi masyarakat mengenai orang dengan
gangguan jiwa, sebagai berikut :
Persamaan
Masyarakat urban dan rural berpendapat bahwa gangguan jiwa dapat
disebabkan oleh adanya stress dan depresi yang dialami seseorang. Mereka cenderung
melihat orang dengan gangguan jiwa sebagai suatu hal yang negatif dan merupakan
perilaku yang menyimpang. Selain itu, baik masyarakat urban ataupun rural mengatakan
bahwa gangguan jiwa biasa terjadi pada usia produktif, dikarenakan masalah-masalah
emosional dan meningkatnya beban hidup yang ditanggung oleh seseorang. Bagi
mereka, adanya pemasungan di Bali adalah suatu hal yang salah dan mereka tidak setuju
dengan hal tersebut. Pemasungan dianggap tidak baik dan akan memperburuk keadaan
dari orang dengan gangguan jiwa. Peran pemerintah dalam mencegah maupun
mengatasi orang dengan gangguan jiwa sangat diharapkan oleh kedua golongan
masyarakat ini. Adanya rumah sakit jiwa Bangli sangat membantu untuk mengatasi
orang dengan gangguan jiwa.
Perbedaan
Masyarakat rural berpendapat bahwa orang dengan gangguan jiwa adalah orang-
orang yang berpenampilan tidak terurus, sering berkeliaran dan menganggu orang-
orang sekitar. Sedangkan masyarakat urban melihat orang dengan gangguan jiwa
sebagai orang yang mengalami gangguan pada kejiwaannya, pikiran serta masalah
dalam hidupnya.
Pengobatan magis atau tradisional Bali seperti dukun atau balian, lebih dipercaya
oleh masyarakat rural. Pengobatan ini dikatakan dapat menyembuhkan orang
dengan gangguan jiwa. Sedangkan masyarakat urban justru tidak percaya dengan
pengobatan magis atau tradisional. Masyarakat urban lebih memilih cara medis
untuk membantu pengobatan orang dengan gangguann jiwa.
Masyarakat rural lebih menekankan ketakwaan dan keimanan sebagai jalan untuk
membantu penyembuhan orang dengan gangguan jiwa. Masyarakat rural
berpendapat bahwa orang dengan gangguan jiwa perlu mendekatkan diri dengan
Tuhan agar dapat memperoleh kesembuhan, misalnya melalui cara yoga dan
semadhi. Sedangkan masyarakat urban lebih menekankan pada dukungan sosial
untuk membantu proses pemulihan orang dengan gangguan jiwa. Peran keluarga
dan lingkungan sekitar lebih besar pengaruhnya untuk menyembuhkan orang
dengan gangguan jiwa.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil persamaan dan perbedaan persepsi masyarakat Bali yang telah
diperoleh, dapat disimpulkan bahwa masyarakat rural dan urban memiliki persepsi yang
berbeda terkait dengan orang dengan gangguan jiwa. Masyarakat rural atau pedesaan lebih
berkonsentrasi pada keimanan dan pengobatannya pun menggunakan cara tradisional atau
magis. Sedangkan masyarakat urban atau perkotaan melihat orang dengan gangguan jiwa
sebagai hal yang perlu diberi dukungan sosial agar dapat bangkit dari masalahnya.
Pengobatannya pun lebih pada cara medis daripada tradisional, karena masyarakat urban
ragu dan masih kurang percaya dengan bantuan balian atau dukun yang dapat
menyembuhkan orang dengan gangguan jiwa.
Namun baik masyarakat rural maupun urban menganggap pemasungan bukan hal
yang baik dan tidak pantas dilakukan untuk orang dengan gangguan jiwa. Masyarakat lebih
menyarankan untuk membawa orang dengan gangguan jiwa tersebut ke rumah sakit jiwa
atau dibawa ke pihak medis seperti psikiater dan disini peran pemerintah sangat diharapkan
untuk dapat memberikan bantuan untuk mengatatasi orang dengan gangguan jiwa yang ada
di Bali.
Dapat ditarik kesimpulan pula bahwa walaupun berpendidikan, masyarakat di Bali
memandang orang dengan gangguan jiwa dengan cara yang berseberangan. Daerah tempat
tinggal sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat Bali. Masyarakat Bali yang tinggal di
daerah pedesaan masih memiliki pemikiran primitive, seperti percaya pada hal – hal gaib
dan pengaruh-pengaruh magis yang menyebabkan seseorang menjadi sakit. Sedangkan
masyarakat perkotaan cenderung berpikiran lebih luwes dan realistis, bahwa pengaruh
magis mungkin saja ada, namun sebagian besar disebabkan oleh pikiran dan beban hidup
yang tengah dihadapi oleh orang dengan gangguan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Life&Style. http://lifestyle.bisnis.com/read/20140813/220/249621/jenis-gangguan-jiwa-versi-
ppdgj-iii diakses pada 13 Maret 2016
Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK- Unika Atmajaya
Nofaola, Maria. 2013. Gangguan Jiwa Itu Apa, Ya?.
http://marianofaola.com/2013/01/22/gangguan-jiwa-itu-apa-ya/. diakses pada 12
Maret 2016
Suryani (2013). Mengenal Gejala dan Penyebab Gangguan Jiwa. Makalah pada Seminar
Nasioanal “Stigma Terhadap Orang Gangguan Jiwa” BEM PSikologi UNJANI, di
Bandung.
Kelompok 3
LATAR BELAKANG
Provinsi Jawa Tengah tercatat ada 1.091 kasus yang mengalami gangguan jiwa dan
beberapa dari kasus tersebut hidup dalam pasungan. Angka tersebut diperoleh dari
pendataan sejak januari hingga november 2012 ( Hendry, 2012 ). Berdasarkan
jumlah kunjungan masyarakat yang mengalami gangguan jiwa ke pelayanan
kesehataan baik puskesmas, rumah sakit, maupun sarana pelayanan kesehatan
lainnya pada tahun 2009 terdapat 1,3 juta orang yang melakukan kunjungan, hal ini
diperkirakan sebanyak 4,09 % (Profil Kesehatan Kab/Kota Jawa tengah Tahun 2009).
LANDASAN TEORI
kemudian dalam taraf yang lebih jauh akan menyebabkan orang tidak mau untuk
mengetahui permasalahan kesehatan jiwa baik dalam dirinya sendiri maupun orang
lain. Di Indonesia, pengetahuan seseorang tentang gangguan jiwa dipengaruhi erat
oleh kultur budaya. Seseorang dengan gangguan jiwa sering dianggap terkena guna-
guna, menderita suatu dosa ataupun terkena pengaruh setan atau makhluk halus
lainnya (Hawari, 2009).
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN
PEMBAHASAN
mempelajari ilmu hitam yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat lokal.
Walaupun penyebab seperti itu tentu tidak dapat diterima oleh akal sehat, namun
hal tersebut diyakini ada. Dampak penderita gangguan jiwa menurut interviewee
kedua tergantung pada gangguan jiwa yang diderita. Apabila penderita gangguan
jiwa yang dibiarkan berkeliaran di jalan tentu saja mengganggu, namun ada pula
penderita gangguan jiwa yang tidak mengganggu. Namun, interviewee kedua
memandang bahwa penderita gangguan jiwa sudah tentu mengganggu, karena
penderita gangguan jiwa tersebut tidak dapat lagi mengontrol hidupnya secara
mandiri. Pendapat interviewee pertama tentang pengobatan penderita gangguan
jiwa dapat juga dilakukan dengan membawa ke orang pintar. Pengobatan medis
maupun “magis” tidak dapat dikatakan ampuh, karena hal tersebut tergantung pada
penyebab gangguan jiwa, apakah dari unsur medis atau “magis”. Ada pula
pengobatan dengan hipnoterapi yang bermanfaat untuk menggali informasi tentang
masalah yang dihadapi oleh penderita gangguan jiwa.
Berbeda dengan interviewee urban, menurut pandangan kedua interviewee
rural, bahwa penderita gangguan jiwa merupakan seseorang yang kehilangan
kesadaran mengenai dirinya. Kedua interviewee juga pernah berinteraksi langsung
dengan Penderita gangguan jiwa. Selain itu, kedua interviewee menyebutkan jenis-
jenis Penderita gangguan jiwa yang sama seperti: orang yang suka senyum-senyum
sendiri, tertawa sendir dan bersikap agresif sampai bisa menyakiti orang lain.
Mereka sama-sama takut dengan Penderita gangguan jiwa dengan sifatnya yang
agresif tersebut. Untuk pengobatan bagi penderita gangguan jiwa, kedua
interviewee sama-sama menyarankan untuk menempatkannya di Rumah Sakit Jiwa.
Perbedaan pendapat dari kedua interviewee rural tersebut yakni, interviewee
pertama, yaitu Ni Putu Putri Wulandari memandang bahwa penyebab seseorang
mengalami gangguan jiwa dari sisi psikologis yaitu adanya tekanan secara emosional,
sedangkan interviewee kedua, Ni Luh Suani Setiari memandang bahwa penyebab
seseorang menderita gangguan jiwa adalah dari sisi non-medis seperti hal-hal yang
bersifat “magis”. Hal tersebut dibuktikan dengan membawa penderita gangguan jiwa
ke balian.
Menurut Interviewee yang berasal dari Urban maupun Rural, penyebab
seseorang menderita gangguan jiwa adalah adanya tekanan yang dirasakan oleh
seseorang tersebut. Salah satu interviewee Rural maupun Urban mengatakan bahwa
salah satu dampak yang dapat ditimbulkan dari penderita gangguan itu adalah
tergantung dari penderita gangguan jiwa itu sendiri. Pengobatan bagi Penderita
Gangguan Jiwa itu sendiri dapat dilakukan dengan cara medis dan medis.
Terdapat perbedaan pandangan dari interviewee Urban dan Rural.
Interviewee Urban memandang bahwa Penderita Gangguan Jiwa adalah seseorang
yang mengalami gangguan atau kekurangan mental yang disebabkan oleh penyakit
dan lingkungan, seperti masalah keluarga, sosial, dan trauma masa lalu. Sedangkan
interviewee Rural memandang bahwa Penderita Gangguan Jiwa adalah seseorang
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil wawancara yang kelompok kami lakukan, maka dapat kami
simpulkan bahwa penderita gangguan jiwa merupakan seseorang yang mengalami
gangguan mental yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu stres yang berlebihan,
trauma masa lalu, tekanan yang tidak dapat diatasi, baik dari lingkungan keluarga
dan sosial. Selain itu, dapat pula dilihat penyebabnya dari sudut pandang medis,
magis, dan budaya. Dilihat dari dampak yang ditimbulkan pun beragam, bergantung
dari penderita gangguan itu sendiri. Masyarakat Urban maupun Rural secara umum
telah mengetahui gambaran mengenai penderita gangguan jiwa serta alternatif
pengobatan apa saja yang dapat diberikan. Namun, rata-rata mengatakan agar
penderita gangguan jiwa diberikan penanganan pertama dengan membawanya ke
Rumah Sakit Jiwa terlebih dahulu.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Kelompok 4
KETERANGAN
Responden 3 : Prabawa
Responden 3 bernama I Made Adi Prabawa, salah satu mahasiswa semester empat program studi
Manajemen fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Udayana yang berusia 19 tahun. Responden
beragama Hindu dan merupakan keturunan asli suku Bali. Responden berasal dari Denpasar dan
berdomisili di Jalan Tukad Citarum gang L nomor 1, Denpasar. Wawancara dilakukan pada hari
Selasa, 8 Maret 2016 pukul 16.04 WITA sampai 16.22 WITA di kediaman responden. Menurut
responden, gangguan jiwa merupakan keadaan di mana seseorang tidak mampu berpikir, bertindak
dan berbicara secara normal. Keadaan ini ditenggarai disebabkan oleh hal-hal supranatural yang ada
di kebudayaan Bali. Terdapat dua kemungkinan penyebab gangguan jiwa yaitu yang pertama,
keluarga penderita sendiri yang menggunakan penderita sebagai tumbal dan yang kedua pihak di
luar selain keluarga penderita yang merasa iri sehingga menyakiti penderita secara supranatural.
Namun umumnya yang menyakiti penderita tidak mungkin merupakan orang yang tidak memiliki
hubungan darah dengan penderita. Sehingga mereka yang menderita gangguan jiwa bila ditangani
secara medis oleh tenaga kesahatan kerap tidak berhasil disembuhkan. Bagi responden gangguan
jiwa hanya dapat ditangani secara spiritual agar dapat disembuhkan, begitu pula dengan
pencegahannya. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan konsultasi kepada pemuka-
pemuka agama yang dipeluk oleh penderita gangguan jiwa, meminta penolak bala untuk melindungi
diri dan seisi rumah dari niat buruk yang hendak menyakiti kita secara magis.
Persamaan :
1. Kedua responden sama-sama berdomisili di kota Gianyar, Bali, sama-sama beragama Hindu
dan asli suku Bali.
2. Adanya Penderita Gangguan Jiwa yang tinggal di lingkungan tempat Responden 4 dan
Responden 1 .
3. Kedua responden menyatakan bahwa ciri ciri fisik dari Penderita Gangguan Jiwa cenderung
tidak terawat, dan tidak mengenakan pakaian.
4. Kedua Responden berpendapat sama bahwa penanganan yang harus diberikan terhadap
Penderita Gangguan Jiwa adalah dibawa ke ahli yang dapat menanganinya,misalnya dirujuk
ke dokter jiwa dan Rumah Sakit Jiwa.
5. Kedua Responden masih mempertimbangkan hal gaib sebagai salah satu faktor penyebab
Gangguan Jiwa.
6. Kedua Responden cenderung menghindar jika Penderita Gangguan Jiwa menunjukkan
perilaku yang dapat membahayakan subjek (misalnya saat menbawa pisau,atau melempar
batu).
Perbedaan :
1. Responden 4 menyarankan kepada pihak keluarga yang salah satu anggota keluarganya
menderita gangguan jiwa agar segera dibawa ke pihak yang menangani masalah kejiwaan.
Sedangkan Responden 1 tidak berani menyarankan keluarga untuk membawa penderita
gangguan jiwa ke pihak yang dapat menangani dikarenakan timbulnya ketersinggungan
terhadap keluarga yang bersangkutan.
Persamaaan :
Perbedaan :
1. Responden 1 mendeskripsikan penderita gangguan jiwa sebagai berbicara yang ngaco, jalan
tidak terkontrol, kemudian juga tidak mengingat orang-orang di sekitarnya siapa yang
pernah ditemui dan tidak suka menggunakan pakaian.
2. Responden 3 mendeskripsikan penderita gangguan jiwa sebagai orang-orang gila yang kerap
ditemukan di jalan raya yang melupakan persepsi waktu, yang tidak menyadari di mana ia
berada, yang terkadang bersikap agresif dan yang tidak mampu bersosialisasi dengan orang
lain.
3. Responden 1 menekankan penyebab dan penanganan gangguan jiwa adalah hal-hal medis
dan lingkungan sekitar penderita, sedangkan responden 3 menganggap penyebab dan
penanganan gangguan jiwa adalah hal-hal supranatural.
4. Responden 1 menganggap penyebab gangguan jiwa berasal dari faktor eksternal dan
internal. Faktor internal seperti psikisnya yang mengalami tekanan, depresi, dan dari faktor
Eksternal mungkin lingkungan yang memang menciptakan proses sampai menjadi gangguan
jiwa terhadap seseorang.
5. Responden 3 menganggap terdapat dua kemungkinan yang dipercaya sebagai penyebab
gangguan jiwa. Pertama, pihak keluarga sendiri yang menggunakan anggota keluarganya
sebagai tumbal untuk mendapat kekayaan berupa harta benda atau kekuasaan. Kedua,
pihak lain di luar keluarga yang merasa iri lalu mengirim guna-guna untuk menyakiti salah
satu anggota keluarga tersebut. Bentuk guna-guna inilah yang beragam, dapat berupa
gangguan jiwa maupun penyakit fisik.
6. Responden 1 menganggap kalau sudah terjadi gangguan jiwa harus ditanggulangi, tetapi
kalau memang bisa sebelum terjadi hal-hal yang menyebabkan terjadinya gangguan itu
sebaiknya dicegah, tapi semisalnya kalau sudah terjadi ada baiknya menanggulanginya yang
pertama ketika tidak bisa di kontrol, atau cukup parah, yang terbaik harus dirujuk ke dokter
penyakit jiwa dan rumah sakit jiwa agar mendapat pengobatan yang lebih awal apakah
diberi obat atau diberikan terapi rehabilitasi.
7. Responden ketiga menganggap hal terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah adalah
berkonsultasi, meminta penangkal ilmu hitam ke pemuka agama atau orang “pintar” dalam
hal ini, pedanda. Penangkal ini akan menjadi benteng di rumah kita agar seisi rumah
terlindung dari niat buruk orang lain. Bila bukan penganut agama Hindu, umat agama lain
dapat meminta penolak bala dari pemuka agama atau tokoh adat masing-masing.
8. Terkait hal-hal gaib atau supranatural yang kerap ditenggarai sebagai penyebab gangguan
jiwa, responden pertama menganggap pandangan tersebut tidak benar dan harus dikoreksi.
Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu diberikan edukasi kepada masyarakat, bahwa dari
segi medis atau ilmu kesehatan ada faktor-faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa, serta
masyarakat mengerti dan paham bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor gaib, selain itu dapat diberikan sosialisasi, promosi iklan atau
terjun langsung ke masyarakat. Sedangkan responden ketiga setuju terhadap pandangan
tersebut, karena baginya penyakit atau gangguan yang disebabkan oleh ilmu supranatural
bila dibawa ke dokter tidak dapat sembuh, korban harus dibawa ke balian atau ahli spiritual.
Responden pernah mendengar beberapa kerabatnya mengantar penderita gangguan jiwa ke
balian lalu sembuh, namun ia kurang paham spesifikasi pengobatan yang diberikan.
KESIMPULAN
Menurut kami, berdasarkan observasi dan wawancara yang kami lakukan terhadap ke empat
responden kami, latar belakang pendidikan, pengalaman, dan budaya memiliki pengaruh
terhadap bagaimana sudut pandang mengenai pengertian, penyebab, dan pengobatan terhadap
penderita gangguan jiwa.
Budaya menjadi faktor yang berpengaruh bagi sudut pandang responden kami. Dapat dilihat
dari pendapat responden ke-3 kami. Walaupun responden kami berdomisili di Denpasar
yang termasuk daerah urban, akan tetapi kentalnya budaya yang memengaruhi nya
membuatnya sangat percaya akan hal – hal supranatural, di mana responden ke-3
menyatakan penderita gangguan jiwa tidak dapat terlepas dari pengaruh hal – hal yang
bersifat gaib.
Latar belakang pendidikan juga berpengaruh bagi sudut pandang responden kami.
Walaupun responden 1 berdomisili di desa Gianyar, namun telah menyelesaikan pendidikan
S1 nya. Bisa kita lihat melalui persepsi responden 1 yang lebih menekankan hal – hal medis
yang menjadi faktor penyebab dari gangguan jiwa.
Pengalaman yang dimiliki oleh keempat responden kami sangat memengaruhi stigma
mereka dalam memahami orang – orang yang menderita gangguan jiwa dan memengaruhi
sikap dan perilaku mereka dalam berinteraksi dengan penderita gangguan jiwa.
Kelompok 5
KODE FIELDNOTE : 01DKA-GG
Identitas Interviewee :
Alamat : Toko peralatan listrik Pak Ariana. Jalan Raya Peliatan Ubud, Gianyar
Umur : 41 tahun
1. Persepsi interviewee : menganggap orang gangguan jiwa secara positif dimana Bapak Ketut
mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan mental. Bapak ini
menganggap penderita gangguan jiwa secara positif karena dia mengatakan bila ada penderita
gangguan jiwa dia akan memperlakukannya dengan kelembutan dan tidak memarahinya.
2. Penyebab : Menurut responden penderita gangguan jiwa karena factor ekonomi yang paling
menonjol sehingga timbul depresi, dari depresi tersebut individu tidak dapat mengendalikan dirinya.
Bapak ini tidak percaya bahwa penyebab penderita gangguan jiwa adalah dari unsur magis, namun
pengobatannya dapat ditanya dari pihak medis. Sebelum ditanya ke magis, bapak ini akan melakukan
pendekatan terlebih dahulu. Jika tidak bisa keduanya baru ke rumah sakit jiwa.
Pengobatan : menurut bapak Ketut, pengobatan untuk penderita gangguan jiwa adalah dari keluarga
yang mengayomi dan memberi perhatian serta jangan sampai menge-judge.
1. Bapak Dewa Ketut Ariana mengatakan bahwa setiap orang bisa mengalami stress. Seperti pada
kalangan remaja biasanya ditemukan stress yang disebabkan oleh patah hati.
2. Bapak Dewa Ketut Ariana memiliki pengalaman berhadapan dengan penderita gangguan jiwa. Beliau
tidak merasa takut ataupun jijik karena penderita gangguan jiwa yang ditemuinya hanya meminta
sedikit uang atau sekedar rokok. Justru beliau merasa kasihan jikalau melihat orang gangguan jiwa
yang berkeliaran dijalan, seperti keluarganya seolah tidak ada yang mengurus. Menurut pernyataan
beliau, jikalau ada penderita gangguan jiwa yang membawa senjata baru kita patut lari atau
menghindar. Karena penderita gangguan jiwa tidak akan mengganggu kita apabila kita tidak
mengganggunya.
3. Jika orang dengan gangguan jiwa sampai dipasung itu berarti sudah parah. Dan juga itu berarti
emosinya tidak bisa dikendalikan dan mengamuk.
4. Menurut Bapak Dewa Ketut Ariana, Langkah selanjutnya setelah bertanya penyebab dari penyakit
gangguan jiwa tersebut ke magis (balian) adalah dengan melakukan ritual “mebayuh” atau yang
secara sederhana dapat dikatakan mandi suci yang bertujuan untuk penyucian diri.
Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Pedagang
1. Persepsi interviewee : menurut interviewee penderita gangguan jiwa berbeda dengan orang lain, dari
cara berpakaian, kebersihan dan lain-lain. Kadang berperilaku secara negative.
2. Penyebab : putusnya hubungan atau tidak berkomunikasi dengan orang lain yang menyebabkan
kekosongan (sulit meluapkan emosi dan tidak ada yang diajak curhat). Dalam hal ini interviewee
menganggap penyebabnya dalah dari aspek budaya dan mempercayai magis karena hal tersebut
tidak bisa dipisahkan.
Pengobatan : menurut interviewee seseorang menderita gangguan jiwa sebaiknya dibawa ke medis
terlebih dahulu kemudian baru dibawa ke magis karena kedua hal tersebut harus berjalan seimbang.
menurut interviewee psikolog dan psikiater sudah maksimal menangani namun perlu ditingkatkan.
Jenis pengobatannya antara lain yaitu terjun ke lapangan langsung yang sering disebut dengan
penyuluhan. Dalam hal ini menurut interviewee tenaga medis mestinya bekerja secara
berkesinambungan.
1. Responden mengaku mempunyai teman yang pernah mengalami penyakit gangguan jiwa, responden
mengatakan sakit kehilangan kontrol, memiliki ciri-ciri kosong dan sering termenung.
2. Responden mengatakan orang yang mengalami penyakit gangguan kejiwaan berbahaya atau tidaknya
tergantung dari situasinya. Namun pada akhir pertanyaan responden berkesimpulan bahwa orang
yang mengalami penyakit gangguan jiwa mebahayakan bagi masyarakat, misalnya membawa senjata
tajam.
Umur : 23 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
1. Persepsi interviewee : responden mengetahui bahwa penderita gangguan jiwa adalah orang yang
memiliki gangguan mental yang disebabkan oleh depresi, dan ketidakmampuan mengatasi dirinya
sendiri.
2. Penyebab : bagi responden penyebab gangguan jiwa yaitu adanya tingkat stress yang berlebihan
ataupun faktor tekanan yang terjadi baik melalui internal yaitu keluarga atau bisa juga faktor
eksternal yaitu lingkungan sekitar berupa pergaulan, pertemanan bahkan pasangan.
Pengobatan : Seperti melakukan pendekatan kepada penderita gangguan jiwa yang diawali dari pihak
keluarga terlebih dahulu , mengingatkan penderita dan meluruskan untuk selalu mengingat agama
atau lebih religius, apabila pihak keluarga tidak bisa melakukan sendiri, perlu adanya koordinasi
dengan pihak-pihak yang ahli seperti membawa penderita ke Rumah Sakit Jiwa ataupun Psikiater.
1. Responden juga mengatakan bahwa secara pribadi responden percaya namun juga ada sisi
ketidapercayaan dari reseponden sendiri dengan adanya faktor magis yang menyebabkan gangguan
kejiwaan, responden percaya karena dalam agama yang dianut oleh responden, beliau percaya adanya jin
namun responden juga tidak percaya karena mengingat jaman sekarang yaitu tahun 2016 sudah sangat
jarang masyarakat yang mempercayai hal-hal tersebut, namun tidak dapat dipungkiri juga mungkin
terdapat beberapa masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan jaman dahulu ataupun mitos-
mitos yang sudah sangat melekat.
Umur : 20 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
1. Persepsi interviewee : menurut interviewee penderita gangguan jiwa tampak seperti tidak terurus,
suka marah-marah, suka mengganggu orang lain, tetapi tidak semua penderita gangguan jiwa seperti
itu.
2. Penyebab : penyebab gangguan jiwa menurut interviewee bisa berasal dari medis, magis, atau
budaya. Stres atau tekanan dari keluarga yang terlalu menuntut dapat menjadi faktor penyebab
gangguan jiwa. Selain itu factor magis yang disebabkan oleh orang yang tidak menyukai orang lain
dapat menggunakan magis untuk membuat orang tersebut tampak seperti penderita gangguan jiwa.
Pengobatan : Pengobatan bagi penderita gangguan jiwa ditentukan dari penyebabnya. Jika
pemyebabnya dari medis maka sebaiknya dikonsultasikan ke dokter atau kerumah sakit jiwa. Jika dari
factor magis yang belum tentu dapat sembuh bila dibawa ke dokter maka bisa dibawa ke “orang yang
lebih pintar”. Interviewee mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa harus dikonsultasikan ke
dokter yang menangani kejiwaan atau Rumah Sakit Jiwa seperti yang ada di Bangli. Dan tidak
selamanya penderita gangguan jiwa bisa dipasung atau dikurung.
1. Menurut interviewee masyarakat di desa perlu diberikan sosialisasi mengenai penderita gangguan jiwa
dan bagaimana pengobatan serta tindakan yang bisa dilakukan oleh keluarga pendeita gangguan jiwa.
RURAL
Persamaan :
Kedua subjek sama-sama tidak memiliki keluarga yang menderita gangguan
jiwa.
Kedua subjek sama-sama mempertimbangkan pengobatan jalur medis untuk
penyembuhan penderita gangguan jiwa.
Perbedaan :
Salah satu subjek mempersepsi penderita gangguan jiwa secara positif
sedangkan subjek lainnya mempersepsi penderita gangguan jiwa secara negatif
Salah satu subjek mengatakan penyebab dari gangguan jiwa tersebut adalah
karena kemampuan komunikasi yang kurang (dimana orang yang menderita
gangguan jiwa tersebut kurang bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dengan
masyarakat atau dunia luar dengan kata lain senang menyendiri) dan subjek
yang satunya mengatakan penyebab dari gangguan jiwa adalah karena faktor
ekonomi, dimana faktor ekonomi tersebut menyebabkan seseorang merasa
depresi kemudian depresi itulah yang mengakibatkan seseorang menderita
gangguan jiwa.
Dari segi pengobatan salah satu subjek mengatakan bahwa pengobatan yang
paling efektif adalah dengan langsung membawa penderita gangguan jiwa
tersebut ke psikiater sedangkan menurut subjek yang lainnya mengatakan
bahwa pengobatan yang paling efektif adalah dari keluarga, karena
menurutnya keluargalah yang mampu menangani kerabat yang terkena
gangguan jiwa, karena orang dengan gangguan jiwa harus ditangani dengan
halus tanpa menggunakan kekerasan , jika dengan kekerasan akan
mengakibatkan yang menderita gangguan jiwa kesulitan mengendalikan
emosinya sehingga tidak akan membuat suasana semakin baik malah
cenderung akan memperburuk keadaan.
URBAN
Persamaan :
Kedua subjek sama-sama tidak memiliki kerabat atau keluarga yang menderita
penyakit gangguan jiwa.
Kedua subjek sama-sama mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa
disebabkan karena faktor stres dan juga factor internal atau keluarga.
Kedua subjek sama-sama mengatakan bahwa penderita penyakit gangguan jiwa
seharusnya dikonsultasikan pada dokter kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
atau Psikiater.
Kedua responden tersebut juga percaya bahwa adanya factor magis yang dapat
menyebabkan seseorang menderita gangguan jiwa.
Perbedaan :
Responden 1 (Winda) mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa yang dipasung bukan
merupakan alternative atau cara yang efektif hal tersebut dapat menyebabkan
penderita gangguan jiwa merasa tertekan dan merasa semakin dikucilkan. Dalam hal ini
menurut responden 1 harus adannya pendekatan dari pihak keluarga terlebih dahulu
dengan cara berupaya mencari factor penyebab dari gangguan jiwa.
Sedangkan, Responden 2 (Yumi) mengatakan bahwa ada sisi positif dari penderita
gangguan jiwa yang dipasung karena jika penderita gangguan jiwa tersebut suka
mengganggu atau mengusik ketenangan orang lain maka saat penderita gangguan jiwa
dipasung atau dikurung ia tidak akan dapat mengganggu orang lain.
Responden 1 (Winda) mengatakan pengobatan atau langkah awal yang harus atau baik
dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan yang dimulai dari kehidupan
masyarakat yang paling sederhana yaitu keluarga terlebih dahulu. Sedangkan,
Responden 2 (Yumi) mengatakan bahwa langkah awal yang harus dilakukan adalah
membawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Responden 1 (Winda) mengatakan selain factor internal , ada juga factor eksternal yaitu
dari lingkungan sekitar seperti factor pergaulan dan pertemanan.
Sedangkan menurut responden 2 (Yumi) itu hanya dari faktor internal saja (keluarga dan
dirinya sendiri).
Perbedaan :
Responden yang berasal dari daerah urban percaya bahwa penyebab dari adanya
gangguan jiwa itu bisa disebabkan oleh faktor magis. Sedangkan subjek yang berada di
daerah rural tidak percaya bahwa penyebab dari adanya gangguan jiwa adalah dari
faktor magis.
Jika dilihat dari segi pengobatan, subjek yang berada di daerah rural sama-sama
mempertimbangkan pengobatan medis untuk penyembuhan penderita gangguan jiwa.
Sedangkan subjek yang berada di urban sama-sama mengatakan bahwa penderita
gangguan jiwa harusnya dikonsultasikan kepada dokter kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa
(RSJ) atau ke Psikiater.
Dari sanalah dapat kami jelaskan bahwa pandangan interviewee di daerah rural lebih
sederhana dan belum mengetahui sepenuhnya tentang pengobatan medis untuk
penderita gangguan jiwa, lalu interviewee di daerah urban memiliki pandangan yang
kompleks dan terstruktur mengenai pengobatan penyakit gangguan jiwa.
Persamaan :
Interviewee dari rural dan urban sama-sama tidak memiliki keluarga atau kerabat yang
menderita gangguan jiwa.
Interviewee baik di daerah rural maupun daerah urban mengatakan bahwa pengobatan
yang paling efektif adalah dari pihak keluarga dan juga bisa langsung dibawa ke rumah
sakit (RSUD/ RSUP)) atau Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
Masyarakat di daerah urban dan di daerah rural sama-sama ada yang menganggap
positif terhadap penderita gangguan jiwa dan juga ada yang menganggap hal tersebut
sebagai hal yang negative.
Kesimpulan Akhir :
Jadi pada perbedaan dan persamaan diatas baik masyarakat di daerah urban dan di
daerah rural sudah mengerti apa arti dari penderita gangguan jiwa ada yang bersifat
positif ada juga yang memandang hal tersebut sebagai hal yang bersifat negative.
Selain itu masyarakat Bali masih percaya adanya unsur magis karena hal tersebut
masih kental adanya di daerah Bali baik itu di rural ataupun di urban. Disamping itu
pada masyarakat Bali sendiri masih mempercayai adanya alam Sekala dan Niskala
(alam nyata dan alam roh). Kemudian masyarakat urban dan rural di Bali
menganggap pendekatan dari pihak keluarga dan membawa ke rumah sakit
merupakan pengobatan yang paling efektif pada penderita gangguan jiwa.
Dari hasil wawancara yang kami lakukan, baik dari responden di daerah rural
maupun di daerah urban tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari jawaban
yang mereka berikan mengenai penderita gangguan jiwa.
Dari hasil wawancara yang kami lakukan, tempat tinggal atau domisili tidak
menentukan sejauh mana orang tersebut paham atau tidak dengan isu-isu atau
pengetahuan tentang penderita gangguan jiwa. Hal tersebut tergantung pada
pendidikan dan motivasi ingin tahu dari interviewee mengenai penderita gangguan
jiwa.
Kelompok 6
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PERSEPSI MASYARAKAT DESA DAN
KOTA TENTANG PENDERITA ATAU PENYAKIT GANGGUAN JIWA
Persamaan persepsi masyarakat desa dan kota tentang penderita atau penyakit dengan
gangguan jiwa yaitu :
1. Sama-sama bersikap netral terhadap penderita dengan gangguan jiwa.
2. Persepsi masyarakat desa dan kota terkait faktor yang mempengaruhi orang bisa
terkena penyakit gangguan jiwa yaitu, sama-sama karena faktor stress dan
keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi.
3. Pengobatan yang efektif menurut persepsi masyarakat desa dan kota yaitu dari
pengobatan medis.
Perbedaan persepsi masyarakat desa dan kota tentang penderita atau penyakit dengan
gangguan jiwa yaitu :
1. Masyarakat desa dan kota memiliki pandangan yang berbeda terkait penderita atau
penyakit dengan gangguan jiwa. Responden dari kota tidak mendefinisikan secara
spesifik penyakit/penderita gangguan jiwa tersebut seperti apa tetapi perilaku
seperti selfie dan memotret makanan sebelum makan sudah termasuk orang dengan
gangguan jiwa. Responden yang dari desa mengatakan bahwa orang dengan
penyakit gangguan jiwa adalah orang yang tidak normal dan berperilaku secara tidak
sadar selain itu orang dengan penyakit gangguan jiwa yang membahayakan seperti
membawa senjata tajam akan dilaporkan ke polisi, tetapi orang “gila” yang bisa
diajak berkomunikasi dan tidak membahayakan akan di antar ke rumahnya atau
dirujuk kerumah sakit jiwa.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi orang berpotensi mengalami penyakit gangguan
jiwa menurut responden yang berasal dari kota yaitu media sosial, stress ditempat
kerja, depresi, kejadian traumatis, dan orang yang tinggal didesa cenderung
disebabkan oleh faktor non-medis.
YOHANES K. HERDIYANTO & DAVID H. TOBING 46
PERSEPSI ODGJ PROJECT
Menurut responden yang berasal dari desa berpersepsi bahwa faktor yang
mempengaruhi orang terkena penyakit gangguan jiwa yaitu permasalahan hidup
yang dihadapi, adanya keinginan yang tidak bisa dipenuhi, tidak bisa mengendalikan
diri, responden yang berasal dari desa tidak mengetahui apakah faktor medis dan
non medis menjadi faktor yang mempengaruhi orang dapat terkena penyakit
gangguan jiwa.
3. Responden yang berasal dari kota mengatakan bahwa pengobatan yang efektif yaitu
melalui pengobatan medis namun tidak menjelaskan pengobatan medis yang seperti
apa. Responden yang dari desa mengatakan bahwa pengobatan yang efektif dari
medis dan non medis. Dari medis seperti pemberian obat penenang, obat tidur, dan
dikarantina di rumah sakit jiwa. Subjek menambahkan bahwa penyakit gangguan
jiwa tersebut sulit disembuhkankan karena terkait dengan jiwa. Pengobatan non-
medis dapat efektif jika faktor penyebabnya karena non-medis.
Kelompok 7
LAPORAN HASIL WAWANCARA
Pada tanggal 1 maret 2016, tepatnya pada hari selasa, kelompok 7 sebagai observer
mempersiapkan dan membuat daftar pertanyaan untuk wawancara. Wawancara pertama
dilakukan pada hari rabu, tanggal 2 Maret 2016 di Peguyangan (Denpasar) dimana daerah
Peguyangan termasuk ke wilayah kota. Wawancara kedua dilakukan pada hari kamis,
tanggal 3 Maret 2016 di kampus UNUD yang bertempat di Sudirman tepatnya di Gedung
GDLN yang termasuk wilayah kota. Wawancara ketiga dilakukan pada hari jumat, tanggal 4
Maret 2016 bertempat di desa Blahbatuh, kabupaten Gianyar. Wawancara keempat
dilakukan pada hari minggu, tanggal 6 Maret 2016 yang bertempat di desa Nyitdah, Kediri,
Tabanan. Dalam wawancara keempat observer mewawancarai dua responden. Wawancara
kelima dilakukan pada hari sabtu, tanggal 12 Maret 2016 bertempat di MCD Sudirman,
Denpasar. Jumlah responden yang observer wawancarai di kota sebanyak tiga orang dan
responden dari desa sebanyak tiga orang. Jadi total responden yang observer wawancara
yaitu sebanyak enam orang.
RESPONDEN 1 URBAN
Responden urban pertama bernama Ketut Sukarmi yang bertempat tinggal di jalan
Antasura, Peguyangan, Denpasar. Responden merupakan pemilik warung sembako di depan
rumahnya dan merupakan seorang yang telah menempuh pendidikan Strata 1 di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana. Berdasarkan hasil wawancara, pendapat
responden mengenai gangguan jiwa adalah jika dilihat secara medis memiliki gangguan
mental, gangguan kejiwaan, orang yang berperilaku tidak lazim, tidak seperti orang
kebanyakan. Menurut responden, orang-orang dengan gangguan jiwa sebaiknya diberikan
pengertian, bersikap peduli, berusaha menyapa, disadari kondisinya dan diberikan perhatian
oleh keluarganya seperti dibawa ke tempat rehablitasi. Mungkin jika membahayakan
sebaiknya menghindari tetapi apabila tidak membahayakan sebaiknya kita rangkul mereka,
kita mencoba untuk memberi pengertian baik itu kepada orang gangguan jiwa dan kalau
bisa juga keluarganya. Menurut responden, upaya pemerintah melalui dinas sosial, dirasa
sudah cukup membantu dalam menangani orang yang mengalami gangguan jiwa.
RESPONDEN 2 URBAN
Responden kedua urban bernama I Kadek Ardika, bertempat tinggal di Padang Sambian,
Denpasar. Responden merupakan mahasiswa yang menempuh pendidikan di Program Studi
Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Berdasarkan hasil wawancara,
pendapat responden mengenai orang yang menderita gangguan jiwa adalah orang-orang
yang mempunyai banyak pikiran dan tidak bisa mencapai batas kemampuannya untuk
mengendalikan diri disebabkan oleh depresi yang berlebihan. Tanggapan responden
terhadap orang gangguan jiwa yaitu mengenggap seperti saudaranya sendiri yang
menderita depresi, mengajak berkomunikasi dan memberikan solusi untuk membawanya ke
Rumah Sakit Jiwa. Responden juga mengatakan bahwa pelayanan pemerintah sudah baik
dalam membangun RSJ sudah baik dalam menangani penderita gangguan jiwa. Menurut
responden, yang harus dilakukan keluarga dalam menanggapi orang yang menderita
gangguan jiwa adalah dengan tidak mengekangnya dan selalu ajak dia bergaul jika parah
maka bawa ke Rumah Sakit Jiwa. Responden menanggapi orang dengan gangguan jiwa
awalnya sedikit aneh dan takut.
RESPONDEN 3 URBAN
Responden ketiga urban bernama A.A Ratih Surya Prameswari yang bertempat tinggal di
Jalan Imam Bonjol Gang II No. 5, Denpasar. Responden sedang menempuh pendidikan di
Program Studi Ilmu kesehatan Masyarakat (IKM), Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.
Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa menurut responden orang dengan
gangguan jiwa yaitu berbeda dengan gangguan psikologi pada umumnya, mungkin yang
dimaksud dengan gangguan jiwa itu seperti yang mengalami depresi berat. Depresi berat
yang dimaksudkan responden terkait dengan gangguan jiwa yaitu contohnya mereka tidak
bisa berkomunikasi pada orang umumnya, pemikiran mereka lebih pendek daripada orang-
orang umumnya, dan melakukan tindakan yang cenderung tidak normal. Tidak normalnya
itu seperti depresi berat mungkin ada tekanan, suka berbicara sendiri. Cara menangani
orang dengan gangguan jiwa adalah memasukkan orang tersebut ke dalam rehabilitasi,
melakukan penyuluhan kepada masyarakat, ada perhatian dan pelayanan dari pemerintah
atau memberi tahu kepala dinas agar penderita gangguan jiwa dibawa ke pihak yang
berwenang atau Rumah Sakit Jiwa.
RESPONDEN 1 RURAL
RESPONDEN 2 RURAL
Responden kedua rural bernama Ayu bertempat tinggal di Banjar Panti, Kelurahan
Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Responden merupakan seorang pedagang
nasi babi guling di tepi jalan Banjar Panti, Kelurahan Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten
Tabanan. Responden menempuh pendidikan terakhir pada Sekolah Menengah Atas (SMA).
Berdasarkan hasil wawancara, pendapat responden mengenai orang dengan gangguan jiwa
yaitu disebabkan oleh stress dan masalah yang dipendam atau tidak diutarakan. Menurut
responden, dalam menghadapi orang-orang dengan gangguan jiwa ditanggapi dengan biasa
saja selama orang tersebut masih bertindak wajar. Sepantasnya, orang dengan gangguan
jiwa sebaiknya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ), bukan dipasung yang menurutnya
merupakan tindakan yang kejam.
RESPONDEN 3 RURAL
Responden ketiga rural bernama Nengah Upeksa yang bertempat tinggal di Banjar
Tegal, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Responden merupakan pemilik
warung dipinggir jalan Banjar Tegal, Desa Nyitdah, Keamatan Kediri, Kabupaten Tabanan
dan menempuh pendidikan terakhir pada Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan hasil
wawancara, pendapat responden mengenai orang dengan gangguan jiwa adalah hal itu
disebabkan oleh pikiran seperti stress, masalah ekonomi dan tidak tercapainya cita-cita.
Menurut responden, orang-orang dengan gangguan jiwa sebaiknya diarahkan ke hal-hal
positif seperti diajak bergaul layaknya orang normal, diberikan masukan yang baik atau
dibawa ke Rumah Sakit Jiwa. Menurut responden, seorang yang menderita gangguan jiwa
tidak pantas diperlakukan tidak manusiawi karena orang-orang tersebut tidak sadar atas
perbuatan yang dilakukan. Lebih baik diarahkan untuk menjadi lebih positif atau dibawa ke
rumah sakit jiwa Orang-orang dengan gangguan jiwa sebaiknya tidak dikucilkan apalagi
dipasung.
Dari hasil wawancara yang observer lakukan, observer membagi jawaban responden
menjadi dua kelompok, yaitu responden yang berasal dari kota dan responden yang berasal
dari desa.
berinteraksi secara langsung dengan orang yang mengalami gangguan jiwa, karena di
lingkungan sekitar tempat tinggalnya terdapat beberapa penderita gangguan jiwa.
2. Responden kedua dari kota, yaitu I Kadek Ardika memiliki pengetahuan yang kurang
mengenai orang dengan gangguan jiwa. Jawaban yang responden berikan kurang
begitu detail, karena saat wawancara berlangsung, responden hanya memberikan
sedikit penjelasan. Menurut responden orang gangguan jiwa adalah seseorang yang
mempunyai banyak pikiran dan tidak bisa mencapai batas kemampuannya untuk
mengendalikan diri. Responden pernah melihat orang dengan gangguan jiwa secara
langsung. Responden juga mengatakan bahwa pelayanan pemerintah sudah baik
dalam membangun RSJ sudah baik dalam menangani penderita gangguan jiwa.
3. Responden ketiga dari kota, yaitu A.A Ratih Surya Prameswari memiliki pengetahuan
yang cukup mengenai orang dengan gangguan jiwa. Hal tersebut dapat dilihat dari
jawaban yang responden berikan cukup banyak selama proses wawancara
berlangsung. Menurut responden orang yang menderita gangguan jiwa adalah orang
yang tida normal, memiliki gangguan depesi berat seperti banyak tekanan dan suka
berbicara sendiri. Responden juga pernah melihat orang dengan gangguan jiwa
secara langsung.
Responden pertama, kedua dan ketiga memiliki persamaan yaitu pernah berinteraksi
secara langsung dengan orang yang menderita gangguan jiwa. Responden kedua dan
ketiga memiliki persamaan yaitu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai orang
dengan gangguan jiwa. Persamaan ketiga responden yaitu sama-sama memiliki
pengetahuan tentang gangguan jiwa namun hanyalah kedalaman informasi yang
diperoleh berbeda-beda dikarenakan pengalaman mereka berinteraksi dengan orang
yang menderita gangguan jiwa berbeda-beda. Persamaan yang dimiliki antara
responden kedua dan ketiga adalah mengenai persepsi mereka tentang penyebab
timbulnya gangguan jiwa, diantara oleh karena gangguan atau bermasalah dalam
pola pikir seperti menderita stress yang berkepanjangan sehingga menyebabkan
depresi. Selain itu responden kedua dan ketiga sama-sama menekankan pengobatan
gangguan jiwa dengan membawa penderita ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk dirawat
oleh tenaga yang ahli dalam bidang tersebut.
Perbedaan secara umum antara pendapat/persepsi masyarakat kota dan masyarakat desa
melalui wawancara terhadap ke-6 responden adalah :
Perbedaan antara masyarakat kota dan desa berkaitan dengan pendapat mereka
mengenai peran pemerintah dalam memperhatikan orang dengan gangguan jiwa.
Responden kota lebih sadar akan upaya pemerintah menangani orang-orang yang
menderita gangguan jiwa. Sedangkan responden desa kurang memperhatikan upaya
pemerintah.
KESIMPULAN AKHIR :
bertambah parah. Seluruh responden yang observer wawancarai, tidak menyinggung hal-hal
non medis berkaitan dengan gangguan jiwa.
Kelompok 8
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENDERITA GANGGUAN JIWA
Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari manusia lain, seperti
layaknya manusia tidak dapat terpisah dari masyarakat. Maka dari itu manusia perlu
mempertahankan eksistensinya dengan berada bersama orang lain dan berinteraksi di
dalam kelompok sosialnya, seperti keluarga dan masyarakat. Dan masyarakat memiliki arti
luas yaitu kumpulan dari individu-individu yang saling berinteraksi, yang mempunyai tujuan
bersama dan yang cenderung memiliki kepercayaan, sikap dan perilaku yang sama.
(Sarwono, 2007).
Persepsi masyarakat terhadap kesehatan mental berbeda di setiap budaya. Dalam
budaya tertentu masyarakat berusaha mencari tenaga kesehatan profesional untuk
menangani para penderita gangguan jiwa, sedangkan di sisi lain masyarakat acuh tak acuh
atau penderita gangguan jiwa terkadang diabaikan. Hal ini disebabkan oleh pandangan yang
berbeda-beda pada setiap masyarakat mengenai penderita gangguan jiwa. Baik pada
umumnya masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan (urban) maupun masyarakat yang
tinggal di daerah pedesaan (rural).
World Health Organization tahun 2001 menyatakan bahwa sekitar 450 juta orang di
dunia memiliki gangguan mental. Fakta lainnya adalah 25% penduduk diperkirakan akan
mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai
13% dari penyakit di dunia, dibandingkan TBC (7,2%), kanker (5,8%), jantung (4,4%) maupun
malaria (2,6%). Masalah gangguan jiwa dapat terus meningkat jika tidak dilakukan
penanganan.
Gangguan jiwa tersebar hampir merata di seluruh dunia, termasuk di wilayah Asia
Tenggara. Berdasarkan data dari World Health Organization, hampir satu per tiga dari
penduduk di wilayah Asia Tenggara pernah mengalami gangguan neuropsikiatri (Yosep,
2011).
Berdasarkan konsep maupun teori para tokoh diatas apakah dapat mewakili
persepsi yang selaras pada masyarakat urban maupun rural terhadap “bagaimana persepsi
masyarakat Bali terhadap Penderita Gangguan Jiwa ?”. Yang kami lakukan adalah
wawancara kepada beberapa warga, baik yang tinggal di daerah pedesaan (rural) maupun
perkotaan (urban), dengan tujuan untuk mengetahui pendapat kedua sisi dalam masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa.
Pada masyarakat rural, secara umum pendapat mereka hampir serupa. Saat ditanya
mengenai apa itu penderita gangguan jiwa, mereka mengatakan bahwa penderita gangguan
jiwa dapat diidentifikasi melalui tampilan fisik mereka yang rata-rata lebih mencolok
dibandingkan dengan orang biasa. Contohnya saja mereka yang dianggap sebagai penderita
gangguan jiwa oleh masyarakat rural akan berpenampilan dengan memakai bunga-bungaan
di kepalanya. Selain itu, masyarakat rural juga menganggap keseharian penderita gangguan
jiwa ditunjukkan dengan aktivitas keseharian mereka seperti seringnya melamun sendiri,
berbicara sendiri, bernyanyi-nyanyi di jalanan bahkan berteriak di berbagai situasi dan
kondisi. Intinya, penderita gangguan jiwa memiliki tingkah laku yang tidak normal dan
berbeda dengan orang-orang kebanyakan.
Sedangkan pada masyarakat urban, jawaban yang diberikan sedikit lebih mendetail.
Masyarakat urban melihat bahwa pada penderita gangguan jiwa, terjadi sesuatu yang tidak
biasa pada kepribadian mereka sehingga menyebabkan mereka lebih sering menyendiri,
tidak mau bersosialisasi , tidak dapat mengontrol dirinya sendiri dan melakukan kegiatan
lain yang dilakukan oleh masyarakat normal lainnya. Hal-hal tersebut dikatakan disebabkan
oleh tekanan mental dan kehilangan ingatan.
Masyarakat urban juga mengatakan bahwa rata-rata dari mereka cukup merasa
aneh saat melihat tingkah laku aneh penderita gangguan jiwa, namun, mereka tidak pernah
sampai mengambil tindakan kepada penderita gangguan jiwa tersebut semasa mereka tidak
merasa dirugikan atau diganggu. Malahan, tak jarang masyarakat mengajak penderita
gangguan jiwa yang berada disekitar mereka untuk bersosialisasi. Tapi pada beberapa
masyarakat urban lainnya, mereka lebih acuh tak acuh dengan kehadiran penderita
gangguan jiwa. Meski begitu, rata-rata pada masyarakat urban tidak menyetujui
pengasingan atau pembuangan penderita gangguan jiwa karena, para penderita gangguan
jiwa ini sebenarnya masih bisa diberikan pelatihan kegiatan. Saat diajukan pertanyaan
mengenai peran keluarga terhadap penderita gangguan jiwa yang berkeliaran di tempat
umum, responden beranggapan bahwa keluarga telah jenuh di satu sisi jika mengurung PGJ
dianggap melanggar HAM dan di sisi lain terdapat faktor ekonomi yakni keluarga tidak
mampu membawa ke rumah sakit
Dari pernyataan di atas, adapun perbedaan pandangan antara masyarakat rural dan
masyarakat urban, selain itu pula tidak terlepas daripada perbedaan pandangan diantara
keduanya mengenai penyakit gangguan jiwa.
Perbedaan:
Rural
Urban
Persamaan:
Gangguan jiwa tidak serta merta ilham yang datang begitu saja pada individu.
Gangguan jiwa disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa
diantaranya, ada yang bersumber dari hubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan
seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan
seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan
jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan pada otak (Djamaludin,
2001).
Sigmund Freud dalam Maslim (2002) menegaskan bahwa gangguan jiwa terjadi
karena tidak dapat dimainkan tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual)
dengan tuntutan super ego (tuntutan normal social). Orang ingin berbuat sesuatu yang
dapat memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan
masyarakat. Konflik yang tidak terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan masyarakat
ini akhirnya akan mengantarkan orang pada gangguan jiwa.
Dari berbagai pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan jiwa seperti yang
dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh karena
ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya
kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah diri.
(Djamaludin dan Kartini, 2001).
Dibawah ini merupakan stigma masyarakat urban maupun rural terhadap “apa
penyebab gangguan jiwa?”
Responden pertama pada masyarakat rural mengatakan bahwa yang menjadi faktor
penyebab dari penderita gangguan jiwa adalah karena faktor keturunan yang dari orang tua,
gangguan-gangguan yang ada ketika penderita masih berada di dalam janin, dan akibat
merupakan dari pengasuhan yang tidak perhatian atau mengabaikan anaknya. Menurut
responden, orang tua yang lalai dan tidak memenuhi kebutuhan anak secara menyeluruh
dapat dikatakan dengan mengabaikan anak sehingga anak tersebut berkemungkinan untuk
menderita gangguan jiwa dikemudian hari.
Selain dari yang dikatakan responden pertama pada masyarakat rural, responden
kedua pada masyarakat rural mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa dapat
disebabkan oleh adanya hal-hal seperti musibah yang terjadi pada waktu lalu serta
kekerasan yang pernah dialami sebelumnya. Lalu, responden kedua juga mengatakan bahwa
mungkin saja penyebab dari penderita gangguan jiwa adalah cetik, atau ilmu hitam yang
biasa digunakan masyarakat Bali. Hal ini ia katakan, adalah suatu hal yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya dikarenakan adanya kepercayaan pada hal magis dalam
masyarakat Bali.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat pada masyarakat rural, masyarakat urban pun
berpendapat serupa dengan masyarakat rural. Responden pertama pada masyarakat urban
mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa disebabkan oleh faktor keturunan atau
bawaan dari orang tua, faktor medis seperti kecelakaan yang pernah dialami atau
memungkinkan adanya benturan di kepala, faktor sosial yaitu lingkungan yang dimana
mengabaikan atau tidak mendukung penderita gangguan jiwa serta adanya kendala
ekonomi. Berbeda dengan salah satu responden pada masyarakat rural, ia tidak
mempercayai adanya hal-hal yang bersifat magis yang dapat menyebabkan gangguan jiwa.
Ketidakpercayaan tersebut dikarenakan, responden tidak menemukan adanya bukti yang
bisa menguatkan adanya hal-hal magis seperti cetik dalam penyebab gangguan jiwa.
Dari pernyataan responden yang sudah dijelaskan diatas, adapun perbedaan pandangan
antara masyarakat rural dan masyarakat urban, selain itu pula tidak terlepas daripada
perbedaan pandangan diantara keduanya mengenai penyebab gangguan jiwa.
YOHANES K. HERDIYANTO & DAVID H. TOBING 63
PERSEPSI ODGJ PROJECT
Perbedaan:
Rural
Urban
Namun pada masyarakat urban sendiri, kedua responden memiliki stigma yang
berbeda, bahwa faktor magis atau cetik di Bali dapat atau tidak menjadi faktor
penyebab gangguan jiwa.
Persamaan:
Dari paparan jawaban responden di atas dapat diketahui bahwa stigma masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa sangatlah beragam, ada yang percaya atupun
tidak terhadap faktor magis atau lebih dikenal dengan cetik di Bali. Hal ini didasari
oleh keberadaan tempat tinggal responden baik urban maupun rural, yaitu di Bali,
dimana Bali sendiri memiliki kebudayaan yang kuat sehingga mampu mempengaruhi
kepercayaan masyarakat. Dan secara garis besar pula masyarakat urban dan rural
memiliki pendapat yang sama bahwa faktor orang tua yang mampu menurunkan
atau menjadi bawaan bagi penderita gangguan jiwa.
Pada responden urban pertama, jawaban yang diberikan adalah agar keluarga
sekiranya memberikan perhatian lebih kepada penderita gangguan jiwa dan memberikan
latihan-latihan yang dapat melatih otak para penderita. Responden juga menyarankan agar
pemerintah mendirikan lebih banyak rumah sakit agar para penderita mendapat
penanganan yang lebih baik serta memberikan pelatihan-pelatihan kepada para penderita
gangguan jiwa. Selain itu, menurut responden, penderita gangguan jiwa dapat diobati
YOHANES K. HERDIYANTO & DAVID H. TOBING 65
PERSEPSI ODGJ PROJECT
dengan cara menanamkan moral-moral yang baik dan juga keluarga dapat membawa
penderita ke psikiater atau psikolog. Responden juga menambahkan, jika penderita
gangguan jiwa tersebut adalah anak-anak, penangannya dapat dengan memberikan
perhatian lebih dari keluarga, sedangkan apabila penderita gangguan jiwa tersebut adalah
orang dewasa, lingkungan sekitar juga turut memberikan perhatian.
Sementara itu, responden urban kedua mengatakan bahwa untuk dapat mengobati
gangguan jwa diperlukan terapi rutin disertai dengan obat-obatan agar dapat
memaksmalkan pengobatannya. Sama halnya dengan responden-responden lain, responden
kedua juga menyatakan bahwa dukungan sosial dari keluarga serta lingkungan turut
diperlukan dalam pengobatan, dan lingkungan tidak boleh menekan penderita gangguan
jiwa karena hal tersebut dapat menimbulkan kecemasan dan menghambat kesembuhan.
Responden menambahkan bahwa memang, masyarakat tidak dapat berbuat banyak dalam
kesembuhan, namun semestinya dinas sosial yang ada dapat banyak membantu dengan
cara bersikap lebih proaktif dalam tindakan perawatan penderita gangguan jiwa, namun
masyarakat dapat mendukung kegiatan tersebut dengan melaporkan penderita dengan
gangguan jiwa dari lini terbawah pemerintahan yakni kelurahan yang nantinya akan
diserahkan kepada pemerintah Kota Denpasar, khususnya Dinas Sosial.
Perbedaan:
Rural
Masyarakat rural beranggapan bahwa pengobatan bagi para penderita gangguan
jiwa dapat dilakukan melalui pendekatan sosial melalui keluarga, dan pengobatan di
rumah sakit jiwa. Diantara kedua responden memiliki pendapat yang berbeda pula.
Responden pertama mengatakan faktor dukungan dari keluarga lebih efektif
daripada penanganan di rumah sakit, sebaliknya responden kedua menyatakan
bahwa pengobatan PGJ lebih efektif apabila mendapat penanganan pertama di
rumah sakit jiwa dan faktor keluarga menjadi faktor pendukung kesembuhan
penderita.
Urban
Masyarakat urban menambahkan bahwa pengobatan untuk PGJ dapat dilakukan
utamanya di rumah sakit jiwa, dengan pemberian obat-obatan beserta terapi. Dan
terapi ini dapat diberikan sebaiknya oleh para profesional seperti psikiater, psikolog
bahkan keluarga dapat membantu dalam proses terapi. Keluarga juga berperan pada
kesembuhan PGJ. Namun masyarakat urban memandang keefektifkan pengobatan
pada PGJ lebih baik ditangani dengan terapi atau pelatihan khusus bagi PGJ disertai
obat-obatan dan dilakukan oleh pihak profesional di rumah sakit jiwa khususnya.
Persamaan:
Refrensi
Yosep, Iyus. (2008). Faktor Penyebab dan Proses Terjadinya Gangguan Jiwa, [Online].
Tersedia: http://www.psikoterapis.com/files/penyebab-gangguan-jiwa.pdf. [ diakses pada
tanggal 11 Maret 2016]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/116/jtptunimus-gdl-kharisatun-5764-2-babii.pdf [
diakses pada tanggal 11 Maret 2016]