KASULTANAN YOGYAKARTA
Tugas Makalah Hukum Waris Adat
Magister Kenotariatan
Ajeng Laraswati
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PANCASILA
DEPOK
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yogyakarta dapat dilihat melalui hukum yang mereka gunakan dan yang dilaksanakan.
Oleh karena itu, hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat, 1 sistem religi,
dan bahkan dalam khasanah antropologi, hukum merupakan bagian yang tidak bisa
dilepaskan dari sistem kebudayaan. Islam sebagai sebuah sistem religi memiliki hukum
sebagai salah satu aspek ajarannya. Hukum dalam terminologi Islam sering disebut
dengan Fiqh, dan fiqh menjadi salah satu sumber hukum islam. 2 Di samping itu, hukum
islam memiliki berbagai cabang, dan cabang-cabang hukum islam tersebut mengatur
berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya ialah hukum keluarga, yang di
Islam, Kraton, dan Jawa diyakini banyak pihak sebagai "syntum" tata-nilai
kebudayaan Indonesia. Salah satu "syntum" tata-nilai yang dianggap "sakral" dalam
Kraton-Jawa, sebenarnya bisa dilihat dalam konteks pewarisan ini. Dengan demikian,
buku ini masuk pada relung terdalam dialog Islam dan Kraton melalui optik sistem
Hukum kewarisan merupakan salah satu ajaran islam, sebuah ajaran keberagaman
yang dipeluk dan diterapkan di Kesultanan Yogyakarta. Dan, para swargi Sultan
Hamengku Buwono IX beserta para Putera dalem menerapkan ajaran ini. Hukum
kewarisan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran islam juga digunakan dan
mengalami perubahan sistem yang dipengaruhi oleh sistem hukum asing.3 Salah satu
kewarisan Islam.
kuat dan waktu yang panjang untuk menerapkan aturan hukum kewarisan Islam dan
hukum kewarisan adat Jawa sehingga melahirkan titik singgung dalam pelaksanaan
kewarisan. Titik singgung tersebut dalam terminologi lain disebut konvergensi hukum
kewarisan. Konvergensi hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Jawa
B. Rumusan Masalah
3
B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hlm. 232
1. Bagaimanakah wujud pewarisan adat ditinjau dari pembagian harta sultan maupun
Dalem Yogyakarta?
C. Tinjauan Pustaka
Sistem kewarisan sangat tergantung pada pola kekerabatan yang dianut oleh
masyarakat. Sejak awal, manusia telah mengembangkan pranata dan lembaga yang
bentuk sangat mendasar dan kecil (primordial small group), yakni keluarga dan
atas baik melalui garis keturunan bapak maupun ibu. Sistem kekerabatan jenis
ini dianut oleh masyarakat Jawa, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan, dan
Sulawesi.
setiap laki-laki maupun perempuan berhak menarik garis keturunan hanya dari
garis darah ayahnya. Sistem kekerabatan patrilineal ini dianut oleh masyarakat
Batak, Gayo, Alas, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, dan Papua.
4
M.A Rumawi Eswe, Ngarsa Dalem Dundum Warisan, Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara
Yogyakarta, 2008, hlm. 6
5
S. Budhisantoso, “Pengantar”, dalam M. Yahya Mansyur, Dkk., Sistem Kekerabatan dan Pola
Kewarisan, Jakarta: PT. Pusaka Grafika Kita, 1988, hlm. 2
c. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem kekerabatan dimana setiap laki-
laki maupun perempuan berhak menarik garis keturunannya hanya melalui garis
darah ibunya, dan sistem kekerabatan matrilineal ini dianut oleh masyarakat
menentukan sistem waris yang dipilih oleh masyarakat yang bersangkutan sehingga
tidak mengherankan selama ini proses kewarisan yang ada menggunakan sistem
dapat dibagikan dan dimiliki secara individual para ahli waris. Pembagian waris
secara individual ini dimungkinkan apabila seorang individu (ahli waris) tidak
memiliki hasrat untuk menguasai harta warisan tersebut. Misal, para ahli
warisnya tidak terikat dalam satu rumah kerabat (rumah gadang) atau rumah
orang tuanya.8
diwarisi oleh sekelompok ahli waris dalam bentuk persekutuan hak-hak, dan
harta peninggalan tersebut tidak dibagikan kepada ahli warisnya untuk dimiliki
parental di Minahasa, misalnya, kewarisan barang kalakeran atau tanah dati bagi
6
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976, hlm. 5
7
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, Yogyakarta:
BPFH UII, 1981, hlm. 10
8
Hilman Hadikusumo, Hukum…, hlm. 35, dalam M.A Rumawi Eswe., Op, Cit., hlm. 9
c. Sistem kewarisan mayorat adalah sistem kewarisan dimana anak tertua laki-laki
sejumah harta pokok dari harta peninggalan. Sistem kewarisan ini dianut oleh
dan suku Dayak. Masyarakat yang disebut pertama dan kedua, harta kewarisan
dimiliki oleh anak tertua laki-laki yang dinamakan dengan mayorat lelaki,
secara etimologis, faraidh berasal dari kata al-fara’idh, bentuk jamak dari kata
faridah. Kata faridah berasal dari kata farad, yang berarti ketetapan atau ketentuan
(at-taqdir) dari Allah. Sebagai khasanah hukum islam, yakni bagian yang
pengetahuan yang berkaitan dengan harta peninggalan (Harta pusaka), yakni cara
Pewarisan adalah sumber harta kekayaan. Apabila orang yang meninggal dunia
memiliki harta kekayaan, maka persoalan yang muncul adalah siapa yang berhak
9
Ibid., hlm 39
10
John L. Esposito, Ensiklopedia Dunia Islam modern, alih bahasa Eva Y.N. Femmy S., Jarot W.,
Poerwanto., Rofik S., Bandung: Mizan, 2001, hlm. 307
11
Ibid.
peristiwa hukum yang menjadi sebab beralihnya harta kekayaan pewaris
Harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia itu kepada
Adapun mengenai pengertian tentang hukum waris Islam ada beberapa pendapat
antara lain:12
1. Menurut Drs. Muslich Maruzi dalam bukunya pokok-pokok ilmu waris, bahwa
ilmu waris ialah ilmu yang menjelaskan tentang perpindahan berbagai hak dan
kewajiban tentang kejayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lian
2. Menurut Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni dalam bukunya hukum waris
menurut Al-Qur’an dan hadits, bahwa waris ialah warisnya yang masih hidup,
baik berupa harta benda, tanah maupun suatu hak dari hak-hak syara (M. Ali
bahwa hukum waris Islam adalah hukum yang menjelaskan bagian yang
Mawaris, bahwa ilmu mawaris ialah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak
menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang
12
Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam, (Studi Kasus Tentang
Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus, 2005, hlm. 25
diterima oleh tiap-tiap waris dan cara-cara pembagiannya (M. Hasbi Ash
Shiddieqy 1997:6)
5. Menurut KHI pasal 171: bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
Dari kelima pendapat tersebut dapatlah dipahami bahwa hukum waris Islam
berikutnya, tentang siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagiannya.
Proses peralihannya itu sendiri, sesungguhnya sudah dapat dimulai pada saat
pemilik harta kekayaan itu masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus
sendiri yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses
Namun demikian yang terjadi pada masyarakat kita proses peralihan tersebut
seringkali dilakukan pada waktu orang yang memiliki harta kekayaan itu meninggal
dunia.13
Di dalam hukum pewarisan Islam berdasar KHI pasal 71 mempunyai tiga unsur
pokok yaitu:
13
Ibid.
a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
b. Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak
c. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
Dengan demikian bahwa seseorang yang bisa menjadi ahli waris menurut KHI
Hukum waris menduduki tempat yang amat penting dalam hukum Islam. Hal ini
dapat dimengerti, sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali
bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu
14
Ibid., hlm. 26
1. Al-Muwaris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik haqiqi maupun mati
hukmi. Mati hukmi yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh hakim karena
2. Al-Waris atau Ahli Waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan di
mati.
3. Mauruts, yaitu harta peninggalan si mati yang sudah bersih setelah dikurangi
wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga. (Muslich Maruzi, 1981 : 11)
Asas ijbari ialah peralihan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal
dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Ketentuan ini berlaku dengan
pewaris maupun ahli waris. Seseorang yang menjadi ahli waris akan
dengan kadar yang telah ditentukan. Asas ijbari ini menyangkut berbagai
15
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984, hlm. 18-25
segi,16 yaitu (1) peralihan harta, (2) jumlah harta yang beralih, dan (3)
Asas bilateral ialah seseorang yang menerima hak kewarisan dari dua garis
dari kedua belah pihak baik baik dari garis keturunan laki-laki maupun garis
keturunan perempuan. Maka hak dan kedudukan yang sama juga berlaku
Asas Individual adalah harta warisan dibagi sesuai dengan ahli waris untuk
tertentu yang dibagikan kepada ahli waris menurut kadar bagian masing-
masing.
sesuai dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta asas kebutuhan
ini, esensi keadilan hukum kewarisan Islam terdapat di dalam dua aspek,
yaitu (1) laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama sebagai ahli
waris dan (2) pemenuhan hak dan kewajiban secara proporsional, dimana
16
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 18
laki-laki mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dan berhak atas harta
Asas akibat kematian ialah peralihan harta kepada ahli waris setelah pewaris
meninggal dunia. Peralihan harta warisan tidak akan terjadi jika seseorang yang
memiliki harta tidak meninggal dunia. Asas ini menetapkan bahwa peralihan harta
seseorang
BAB II
Kesultanan Yogyakarta secara asasi menganut beberapa asas. Asas-asas itu anatara lain:
asas individual-bilateral, asas keutamaan, asas perdamaian, asas penggantian ahli waris,
asas personalitas keislaman, asas kewarisan semata akibat kematian dan asas mayorat
laki-laki.
Pertama, asas bilateral adalah setiap ahli waris baik laki-laki maupun perempuan
berhak atas harta kewarisan dari kedua orang tua mereka. Artinya, ahli waris laki-laki
maupun perempuan memperoleh harta kewarisan dari lajur darah bapak maupun lajur
darah ibu.
Kedua, asas individual ialah sistem kewarisan individual adalah suatu sistem
kewarisan yang harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dan dimiliki secara individual
dengan pihak lain, dan selama pihak yang lebih berhak itu masih ada, maka pihak yang
Keempat, asas perdamaian yakni para ahli waris mengadakan rembug keluarga
untuk membuat kesepakatan mengenai pembagian harta warisan. Asal semua ahli waris
sepakat dengan suatu kesepakatan untuk membagi harta warisan cara yang mereka
sepakati. `
Kelima, asas penggantian ahli waris adalah ahli waris pokok yang meninggal
terlebih dahulu daripada pewaris maka kedudukan sebagai ahli waris dapat digantikan
anaknya. Keenam, asas kewarisan semata akibat kematian merupakan Proses pewarisan
atas peralihan harta warisan dari pewaris kepada generasi berikut sebagai ahli waris,
dilaksanakan setelah orang yang memiliki harta sudah meninggal dunia. Ketujuh, asas
personalitas keislaman adalah seluruh ahli waris dan pewaris beragama Islam. Agama
Islam merupakan agama resmi Kesultanan Yogyakarta. Kedelapan, asas mayorat laki-
laki adalah suatu sistem kewarisan yang anak tertua laki-laki maupun perempuan pada
saat wafatnya pewaris berhak tunggal untuk mewaris seluruh atau sejumlah harta pokok
dan mewarisi harta sultan sebagai kepala kraton, atau harta kesultanan harus anak
lelaki. Anak laki-laki berhak atas tahta trah kesultanan sebagai sultan sekaligus
dari sistem hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Jawa. Unsur-unsur yang
diadopsi dari sistem hukum kewarisan Islam meliputi: pertama, posisi istri/janda tidak
adat Jawa harta warisan tidak akan dibagikan kepada ahli waris (anak pewaris) selama
seorang janda/istri masih hidup. Kedua, pembagian harta warisan dengan perbandingan
dua banding satu, atau satu banding setengah, untuk ahli waris anak laki-laki dan anak
perempuan. Hukum kewarisan adat Jawa anak laki-laki dan anak perempuan
memperoleh hak yang sama dari harta warisan. Ketiga, istri/janda memperoleh bagian
tertentu yaitu seperdelapan dari harta warisan. Sedang, hukum kewarisan adat Jawa
seorang istri/janda berhak atas seluruh harta warisan peninggalan suaminya selama dia
hidup.
Unsur-unsur yang diambil dari sistem kewarisan adat Jawa adalah klasifikasi harta
berdasarkan harta Sultan dan harta kesultanan. Harta yang disebut pertama sebagai
harta biasa. Harta biasa itu di masyarakat Jawa dibagikan kepada seluruh ahli waris.
Sedang, harta kesultanan sebagai harta istimewa. Harta istimewa di masyarakat Jawa
sebagai harta tanah yang subur. Tanah subur itu diwariskan secara tunggal kepada salah
satu ahli waris yang biasanya anak tertua. Meski, diwariskan secara tuggal harta tanah
disesuai dengan unsur hukum kewarisan Islam maupun hukum kewarisan adat Jawa.
Unsur ini adalah adopsi ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti terjadi dalam
pelaksanaan kewarisan Kesultanan Yogyakarta. Di samping itu, ada unsur yang tidak
ada menganut pola hukum kewarisan Islam maupun kewarisan adat Jawa. Unsur ini
bersama dan harta bawaan) sebagaimana terjadi dalam hukum kewarisan Islam dan
hukum kewarisan adat Jawa. Ketiadaan harta warisan klasifikasi berdasarkan hubungan
perkawinan ini merupakan ciri khas dalam pelaksanaan pembagian harta warisan di
Kesultanan Yogyakarta.17
17
MA Rumawi Eswe, Ngarsa Dalem Dundum Warisan
BAB IV
ANALISA PROSES PEWARISAN
DALAM MASYARAKAT ADAT JAWA
Secara umum, sistem kewarisan yang biasa digunakan didalam masyarakat adat Jawa
banyak mempunyai kesamaandengan sistem kewarisan dalam hukum Islam di Indonesia
yangdalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam. Persamaan tersebutterutama terletak pada
sistem kekerabatan dan asas kewarisanyang digunakan dan melekat pada keduanya.
25
Sistem kewarisan adat Jawa dengan Kompilasi HukumIslam juga mempunyai
perbedaan-perbedaan yang cukupsignifikan. Perbedaan tersebut terutama terletak pada
prosespewarisanya, ahli waris, dan cara pembagian hartanya. Adapunsecara singkat akan
dijelaskan pada sub bab berikut.
Proses pewarisan dalam sistem adat Jawa dan KompilasiHukum Islam sangat berbeda.
Perbedaan ini akibat adanyaperbedaan salah satu asas kewarisannya. Selain asas
individual,dalam waris sistem KHI juga menganut asas kematian semata,sehingga ahli waris
baru bisa mendapatkan harta warisan ketikapewaris meninggal. Demikian juga pewaris, baru
bisamewariskan hartanya kepada para ahli warisnya ketika ia sudah meninggal.
menganut
asas
kematian
semata.
Sehingga
hal
inimengakibatka
n harta warisan bisa diwariskan ketika pewarismasih hidup. Dengan kata lain, pada kewarisan
adat Jawa, hartawarisan selain diwaris setelah pewaris meninggal, juga bisadiwariskan pada
saat pewaris masih hidup. Cara yang biasaditempuh ada tiga macam, yaitu dengan cara
penerusan ataupengalihan, penunjukan, danweling atauwekas (berpesan, berwasiat).
Dalam hal ahli waris kedua sistem tersebut jugamempunyai perbedaan yang sangat
mencolok. Yang pertama,mengenai ahli waris anak angkat. Dalam Kompilasi Hukum Islam,yang
menjadi ahli waris adalah orang-orang yang mempunya
c.Dalam adat Jawa terdapat ahli waris utama dan
menggunakan sistem pembagian bertingkat, sehinggaapabila ahli waris utama ada, maka ahli
waris lain akanterhalang. Sedangan dalam KHI tidak menganut adanyaahli waris utama. Semua
ahli waris yang memang tidakberhalangan mewaris mendapat kesempatan yangsama sesuai
dengan bagiannya.
d. Cara pembagian dalam kewarisan adat Jawa dilakukandengan cara pembagian yang sama
besar, sehingga ahliwaris perempuan mendapatkan bagian yang samadengan ahli waris laki-
laki. Sedangkan dalam KHI,pembagiannya sesuai dengan bagian masing-masingahli waris
yang telah ditentukan dengan formulasi duabanding satu, sehingga laki-laki mendapatkan dua
kalilipat dari pada perempuan.
Islam di Indonesia (KHI). Karena antara keduanyamempunyai perbedaan dalam hal-hal yang
sangatmendasar dan prinsipil.
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateren goederen) dari satu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya (Soepomo,
1982: 82).
Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam fikiran masyarakat tradisional dengan
bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal dan parental atau bilateral
Penerusan atau pengoperan harta kepada keturunannya di dalam pewarisan dimaksudkan agar
supaya dapat digunakan sebagai dasar materiil bagi setiap anak atau keturunannya. Bahkan bila
mungkin diperkembangkan untuk kesejahteraan hidupnya. Pada umumnya para ahli waris adalah
anak-anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir dalam keadaan hidup. Tetapi tidak
semua anak adalah ahli waris, ada golongan anak yang tidak termasuk ahli waris yaitu anak
angkat menurut sistem hukum waris islam dan anak tiri dalam sistem hukum waris manapun.
Dalam hukum waris adat anak-anak dari si pewaris merupakan golongan ahli waris yang
terpenting, karena pada hakikatnya anak kandung merupakan ahli waris yang utama dan pertama.
Artinya anggota kerabat yang lain tidak akan menjadi ahli waris apabila si pewaris mempunyai
anak kandung.