Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN HUKUM WARIS MENURUT ADAT

KASULTANAN YOGYAKARTA
Tugas Makalah Hukum Waris Adat
Magister Kenotariatan

Makalah ini disusun oleh:

Ajeng Laraswati

MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PANCASILA
DEPOK
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemahaman kebudayaan masyarakat nusantara, termasuk para priyayi Kesultanan

Yogyakarta dapat dilihat melalui hukum yang mereka gunakan dan yang dilaksanakan.

Oleh karena itu, hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat, 1 sistem religi,

dan bahkan dalam khasanah antropologi, hukum merupakan bagian yang tidak bisa

dilepaskan dari sistem kebudayaan. Islam sebagai sebuah sistem religi memiliki hukum

sebagai salah satu aspek ajarannya. Hukum dalam terminologi Islam sering disebut

dengan Fiqh, dan fiqh menjadi salah satu sumber hukum islam. 2 Di samping itu, hukum

islam memiliki berbagai cabang, dan cabang-cabang hukum islam tersebut mengatur

berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya ialah hukum keluarga, yang di

dalamnya mengatur tentang aspek perkawinan dan kewarisan.

Islam, Kraton, dan Jawa diyakini banyak pihak sebagai "syntum" tata-nilai

kebudayaan Indonesia. Salah satu "syntum" tata-nilai yang dianggap "sakral" dalam

kebudayaan Kraton Ngayogyakarta adalah sistem pewarisannya. Interaksi Islam dan

Kraton-Jawa, sebenarnya bisa dilihat dalam konteks pewarisan ini. Dengan demikian,

buku ini masuk pada relung terdalam dialog Islam dan Kraton melalui optik sistem

pewarisan. Penulis menunjukkan bahwa sistem pewarisan Kraton Ngayogyakarta


1
Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003, hlm. 43
2
Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan, dalam Eddi
Rudiana Arief, dkk., Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktiknya, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1991, hlm. 1.
manawarkan dialektika yang dinamis, yakni Islam yang "mengadat" dan Kraton yang

mengintrodusir nilai kewarisan Islam.

Hukum kewarisan merupakan salah satu ajaran islam, sebuah ajaran keberagaman

yang dipeluk dan diterapkan di Kesultanan Yogyakarta. Dan, para swargi Sultan

Hamengku Buwono IX beserta para Putera dalem menerapkan ajaran ini. Hukum

kewarisan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran islam juga digunakan dan

dipertahankan di dalam kehidupan mereka. Aturan-aturan hukum kewarisan tidak

hanya mengalami perubahan-perubahan pada sistem sosial, hukum waris juga

mengalami perubahan sistem yang dipengaruhi oleh sistem hukum asing.3 Salah satu

sistem yang mempengaruhi hukum Kesultanan Yogyakarta adalah sistem hukum

kewarisan Islam.

Kesultanan Yogyakarta tidak langsung menerapkan asas keislaman dalam

kehidupan sehari-hari bahkan untuk syari’at sekalipun. Pelaksanaan hukum kewarisan

di lingkungan Kesultanan Yogyakarta mengakomodasi khasanah local dan nilai-nilai

kebudayaan jawa. Hukum kewarisan Kesultanan Yogyakarta melahirkan pergumulan

kuat dan waktu yang panjang untuk menerapkan aturan hukum kewarisan Islam dan

hukum kewarisan adat Jawa sehingga melahirkan titik singgung dalam pelaksanaan

kewarisan. Titik singgung tersebut dalam terminologi lain disebut konvergensi hukum

kewarisan. Konvergensi hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Jawa

merupakan sestem hukum yang bijaksana dalam pelaksanaan kewarisan di Kesultanan

Yogyakarta. Konsep konvergensi dua sistem hukum kewarisan tersebut mempunyai

karakteristik dalam pelaksanaan kewarisan di Yogyakarta.4

B. Rumusan Masalah
3
B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hlm. 232
1. Bagaimanakah wujud pewarisan adat ditinjau dari pembagian harta sultan maupun

kasultanan di Kraton Dalem Yogyakarta?

2. Bagaimanakah Kedudukan Kompilasi Hukum Islam di dalam pewarisan adat Kraton

Dalem Yogyakarta?

C. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan dari Segi Adat

Sistem kewarisan sangat tergantung pada pola kekerabatan yang dianut oleh

masyarakat. Sejak awal, manusia telah mengembangkan pranata dan lembaga yang

mengatur dan mengelola persekutuan hidup. Persekutuan hidup yang mereka

bentuk sangat mendasar dan kecil (primordial small group), yakni keluarga dan

kekerabatan. Ada beberapa sistem kekerabatan di dalam masyarakat Indonesia,

yaitu sistem kekerabatan bilateral atau parental, patrilineal, dan matrilineal.5

a. Sistem kekerabatan bilateral atau parental adalah sistem kekerabatan dimana

setiap laki-laki maupun perempuan berhak untuk menarik garis keturunan ke

atas baik melalui garis keturunan bapak maupun ibu. Sistem kekerabatan jenis

ini dianut oleh masyarakat Jawa, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan, dan

Sulawesi.

b. Sedangkan sistem kekerabatan patrilinial adalah sistem kekerabatan dimana

setiap laki-laki maupun perempuan berhak menarik garis keturunan hanya dari

garis darah ayahnya. Sistem kekerabatan patrilineal ini dianut oleh masyarakat

Batak, Gayo, Alas, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, dan Papua.

4
M.A Rumawi Eswe, Ngarsa Dalem Dundum Warisan, Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara
Yogyakarta, 2008, hlm. 6
5
S. Budhisantoso, “Pengantar”, dalam M. Yahya Mansyur, Dkk., Sistem Kekerabatan dan Pola
Kewarisan, Jakarta: PT. Pusaka Grafika Kita, 1988, hlm. 2
c. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem kekerabatan dimana setiap laki-

laki maupun perempuan berhak menarik garis keturunannya hanya melalui garis

darah ibunya, dan sistem kekerabatan matrilineal ini dianut oleh masyarakat

Minangkabau, Enggano, dan Timor.6

Sistem kekerabatan baik patrilineal, matrilineal maupun bilateral sudah tentu

menentukan sistem waris yang dipilih oleh masyarakat yang bersangkutan sehingga

tidak mengherankan selama ini proses kewarisan yang ada menggunakan sistem

individual, sistem kolektif, dan sistem mayorat.7

a. Sistem kewarisan Individual adalah sistem kewarisan dimana harta peninggalan

dapat dibagikan dan dimiliki secara individual para ahli waris. Pembagian waris

secara individual ini dimungkinkan apabila seorang individu (ahli waris) tidak

memiliki hasrat untuk menguasai harta warisan tersebut. Misal, para ahli

warisnya tidak terikat dalam satu rumah kerabat (rumah gadang) atau rumah

orang tuanya.8

b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem kewarisan dimana harta peninggalan

diwarisi oleh sekelompok ahli waris dalam bentuk persekutuan hak-hak, dan

harta peninggalan tersebut tidak dibagikan kepada ahli warisnya untuk dimiliki

secara individu. Sistem kewarisan ini dianut oleh masyarakat matrilineal di

Minangkabau, juga berlaku dalam batas-batas tertentu dalam masyarakat

parental di Minahasa, misalnya, kewarisan barang kalakeran atau tanah dati bagi

masyarakat patrilineal di Ambon.

6
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976, hlm. 5
7
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, Yogyakarta:
BPFH UII, 1981, hlm. 10
8
Hilman Hadikusumo, Hukum…, hlm. 35, dalam M.A Rumawi Eswe., Op, Cit., hlm. 9
c. Sistem kewarisan mayorat adalah sistem kewarisan dimana anak tertua laki-laki

maupun perempuan memperoleh hak tunggal untuk mewarisi seluruh atau

sejumah harta pokok dari harta peninggalan. Sistem kewarisan ini dianut oleh

masyarakat Bali, Batak, Sumatera Selatan, Tanah Semendo, Kalimantan Barat,

dan suku Dayak. Masyarakat yang disebut pertama dan kedua, harta kewarisan

dimiliki oleh anak tertua laki-laki yang dinamakan dengan mayorat lelaki,

sedangkan untuk masyarakat yang disebut berikutnya, harta warisan dimiliki

oleh anak tertua perempuan atau biasa disebut mayorat perempuan.9

2. Tinjauan Dari Segi Hukum Waris Islam

a. Pengertian Kewarisan Islam

Dalam khasanah hukum islam, kewarisan disinonimkan dengan ilmu faraidh,

secara etimologis, faraidh berasal dari kata al-fara’idh, bentuk jamak dari kata

faridah. Kata faridah berasal dari kata farad, yang berarti ketetapan atau ketentuan

(at-taqdir) dari Allah. Sebagai khasanah hukum islam, yakni bagian yang

ditentukan kadar jumlahnya.10 Secara terminologis, Faraidh dimaknai sebagai

pengetahuan yang berkaitan dengan harta peninggalan (Harta pusaka), yakni cara

untuk menghitung pembagian dari masing-masing ahli waris.11

Pewarisan adalah sumber harta kekayaan. Apabila orang yang meninggal dunia

memiliki harta kekayaan, maka persoalan yang muncul adalah siapa yang berhak

mewaris dan memiliki harta kekayaan yang ditinggalkannya. Pewarisan merupakan

9
Ibid., hlm 39
10
John L. Esposito, Ensiklopedia Dunia Islam modern, alih bahasa Eva Y.N. Femmy S., Jarot W.,
Poerwanto., Rofik S., Bandung: Mizan, 2001, hlm. 307
11
Ibid.
peristiwa hukum yang menjadi sebab beralihnya harta kekayaan pewaris

(almarhum) kepada ahli waris.

Beralihnya harta kekayaan tersebut bukan karena perjanjian, melainkan karena

ketentuan-ketentuan undang-undang atau hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia itu kepada

keturunannya. Disinilah timbul pengertian tentang hukum waris.

Adapun mengenai pengertian tentang hukum waris Islam ada beberapa pendapat

antara lain:12

1. Menurut Drs. Muslich Maruzi dalam bukunya pokok-pokok ilmu waris, bahwa

ilmu waris ialah ilmu yang menjelaskan tentang perpindahan berbagai hak dan

kewajiban tentang kejayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lian

yang masih hidup.

2. Menurut Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni dalam bukunya hukum waris

menurut Al-Qur’an dan hadits, bahwa waris ialah warisnya yang masih hidup,

baik berupa harta benda, tanah maupun suatu hak dari hak-hak syara (M. Ali

Ash Shabuni 1995:40).

3. Menurut H. Muhammad Arief dalam bukunya hukum warisan dalam Islam,

bahwa hukum waris Islam adalah hukum yang menjelaskan bagian yang

diqadarkan / ditentukan bagi waris (Moh. Arief 1986:1).

4. Menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Fiqh

Mawaris, bahwa ilmu mawaris ialah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak

menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang

12
Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam, (Studi Kasus Tentang
Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus, 2005, hlm. 25
diterima oleh tiap-tiap waris dan cara-cara pembagiannya (M. Hasbi Ash

Shiddieqy 1997:6)

5. Menurut KHI pasal 171: bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur

tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

masing-masing.

Dari kelima pendapat tersebut dapatlah dipahami bahwa hukum waris Islam

adalah hukum yang mengatur cara pengalihan, perpindahan, penerusan dan

pengoperan harta kekayaan seseorang kepada keturunannya atau generasi

berikutnya, tentang siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagiannya.

Proses peralihannya itu sendiri, sesungguhnya sudah dapat dimulai pada saat

pemilik harta kekayaan itu masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus

hingga keturunannya mempunyai keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-

sendiri yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses

tersebut kepada generasi berikutnya.

Namun demikian yang terjadi pada masyarakat kita proses peralihan tersebut

seringkali dilakukan pada waktu orang yang memiliki harta kekayaan itu meninggal

dunia.13

Di dalam hukum pewarisan Islam berdasar KHI pasal 71 mempunyai tiga unsur

pokok yaitu:

13
Ibid.
a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan

meninggal berdasarkan putusan Pengadilan Agama Islam, meninggalkan ahli

waris dan harta peninggalan.

b. Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan

darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak

terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

c. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah

digunakan untuk keperluan pewaris selama sakitsampai meninggalnya, biaya

pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Dengan demikian bahwa seseorang yang bisa menjadi ahli waris menurut KHI

harus memenuhi kriteria antara lain:

1) Harus mempunyai hubungan darah / perkawinan dengan pewaris.

2) Harus beragama Islam.

3) Tidak terhalang menjadi ahli waris.

Hukum waris menduduki tempat yang amat penting dalam hukum Islam. Hal ini

dapat dimengerti, sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali

itu ketentuan-ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli

waris. Setiap terjadi perstiwa kematian seseorang segera timbul pertanyaan

bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu

dipindahkan serta bagaimana caranya.14

b. Rukun Kewarisan Islam

Rukun kewarisan ada tiga, yaitu:

14
Ibid., hlm. 26
1. Al-Muwaris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik haqiqi maupun mati

hukmi. Mati hukmi yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh hakim karena

adanya beberapa pertimbangan.

2. Al-Waris atau Ahli Waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan di

mati lantaran memiliki dasar/sebab kewarisan, seperti karena adanya

hubungan nasab atau perkawinan atau hak perwalian (al-wala’) dengan si

mati.

3. Mauruts, yaitu harta peninggalan si mati yang sudah bersih setelah dikurangi

untuk biaya perawatan jenazahnya, pembayaran hutangnya dan pelaksanaan

wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga. (Muslich Maruzi, 1981 : 11)

c. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam

hukum kewarisan Islam mengandung asas-asas sebagai prinsip dalam

menerapkan sistem pembagian kewarisan. Ada beberapa asas yang berlaku

dalam hukum kewarisan Islam,15 antara lain:

1). Asas Ijbari

Asas ijbari ialah peralihan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal

dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Ketentuan ini berlaku dengan

sendirinya menurut kehendak Allah tanpa bergantung pada kehendak

pewaris maupun ahli waris. Seseorang yang menjadi ahli waris akan

menerima kenyataan berpindahnya harta pewaris kepada ahli waris sesuai

dengan kadar yang telah ditentukan. Asas ijbari ini menyangkut berbagai

15
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984, hlm. 18-25
segi,16 yaitu (1) peralihan harta, (2) jumlah harta yang beralih, dan (3)

kepada siapa harta itu beralih.

2). Asas Bilateral

Asas bilateral ialah seseorang yang menerima hak kewarisan dari dua garis

keturunan kekerabatan, yakni garis darah laki-laki maupun pihak kerabat

dari garis darah perempuan. Artinya, seseorang berhak menerima warisan

dari kedua belah pihak baik baik dari garis keturunan laki-laki maupun garis

keturunan perempuan. Maka hak dan kedudukan yang sama juga berlaku

untuk saudara laki-laki dan perempuan agar saling mewarisi.

3). Asas Individual

Asas Individual adalah harta warisan dibagi sesuai dengan ahli waris untuk

dimiliki secara individu. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai

tertentu yang dibagikan kepada ahli waris menurut kadar bagian masing-

masing.

4). Asas Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang ialah seorang ahli waris menerima bagiannya

sesuai dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta asas kebutuhan

dan kegunaan. Keseimbangan ini didasarkan pada asas keadilan dalam

pembagian warisan sehingga perbedaan jenis kelamin tidak dapat

mempengaruhi hak kewarisan laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks

ini, esensi keadilan hukum kewarisan Islam terdapat di dalam dua aspek,

yaitu (1) laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama sebagai ahli

waris dan (2) pemenuhan hak dan kewajiban secara proporsional, dimana
16
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 18
laki-laki mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dan berhak atas harta

dua kali dari bagian perempuan.

5). Asas Kewarisan Akibat Kematian

Asas akibat kematian ialah peralihan harta kepada ahli waris setelah pewaris

meninggal dunia. Peralihan harta warisan tidak akan terjadi jika seseorang yang

memiliki harta tidak meninggal dunia. Asas ini menetapkan bahwa peralihan harta

seseorang
BAB II

HUKUM WARIS MENURUT ADAT KASULTANAN YOGYAKARTA

Studi ini secara antropologis menunjukkan bahwa pelaksanaan kewarisan di

Kesultanan Yogyakarta secara asasi menganut beberapa asas. Asas-asas itu anatara lain:

asas individual-bilateral, asas keutamaan, asas perdamaian, asas penggantian ahli waris,

asas personalitas keislaman, asas kewarisan semata akibat kematian dan asas mayorat

laki-laki.

Pertama, asas bilateral adalah setiap ahli waris baik laki-laki maupun perempuan

berhak atas harta kewarisan dari kedua orang tua mereka. Artinya, ahli waris laki-laki

maupun perempuan memperoleh harta kewarisan dari lajur darah bapak maupun lajur

darah ibu.

Kedua, asas individual ialah sistem kewarisan individual adalah suatu sistem

kewarisan yang harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dan dimiliki secara individual

di antara para ahli waris.

Ketiga, asas keutamaan merupakan penerimaan harta kewarisan, terdapat

tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan

dengan pihak lain, dan selama pihak yang lebih berhak itu masih ada, maka pihak yang

lain tidak menerimanya.

Keempat, asas perdamaian yakni para ahli waris mengadakan rembug keluarga

untuk membuat kesepakatan mengenai pembagian harta warisan. Asal semua ahli waris

sepakat dengan suatu kesepakatan untuk membagi harta warisan cara yang mereka

sepakati. `
Kelima, asas penggantian ahli waris adalah ahli waris pokok yang meninggal

terlebih dahulu daripada pewaris maka kedudukan sebagai ahli waris dapat digantikan

anaknya. Keenam, asas kewarisan semata akibat kematian merupakan Proses pewarisan

atas peralihan harta warisan dari pewaris kepada generasi berikut sebagai ahli waris,

dilaksanakan setelah orang yang memiliki harta sudah meninggal dunia. Ketujuh, asas

personalitas keislaman adalah seluruh ahli waris dan pewaris beragama Islam. Agama

Islam merupakan agama resmi Kesultanan Yogyakarta. Kedelapan, asas mayorat laki-

laki adalah suatu sistem kewarisan yang anak tertua laki-laki maupun perempuan pada

saat wafatnya pewaris berhak tunggal untuk mewaris seluruh atau sejumlah harta pokok

dari harta peninggalan. Di kraton Kesultanan Yogyakarta, seseorang dapat menguasai

dan mewarisi harta sultan sebagai kepala kraton, atau harta kesultanan harus anak

lelaki. Anak laki-laki berhak atas tahta trah kesultanan sebagai sultan sekaligus

menguasai serta mengelola harta kesultanan. Maka, di Kesultanan Yogyakarta berlaku

asas kewarisan atas dasar mayorat lelaki.

Hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan Kesultanan

Yogyakarta terjadi konvergensi unsur-unsur kewarisan. Artinya, hukum Kewarisan pada

pelaksanaan kewarisan swargi Sultan Hamengku Buwono IV menyatukan unsur-unsur

dari sistem hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Jawa. Unsur-unsur yang

diadopsi dari sistem hukum kewarisan Islam meliputi: pertama, posisi istri/janda tidak

mempengaruhi waktu pelaksanaan pembagian harta warisan. Artinya, pembagian harta

warisan diselenggarakan setelah pewaris meninggal dunia. Sedang, hukum kewarisan

adat Jawa harta warisan tidak akan dibagikan kepada ahli waris (anak pewaris) selama

seorang janda/istri masih hidup. Kedua, pembagian harta warisan dengan perbandingan
dua banding satu, atau satu banding setengah, untuk ahli waris anak laki-laki dan anak

perempuan. Hukum kewarisan adat Jawa anak laki-laki dan anak perempuan

memperoleh hak yang sama dari harta warisan. Ketiga, istri/janda memperoleh bagian

tertentu yaitu seperdelapan dari harta warisan. Sedang, hukum kewarisan adat Jawa

seorang istri/janda berhak atas seluruh harta warisan peninggalan suaminya selama dia

hidup.

Unsur-unsur yang diambil dari sistem kewarisan adat Jawa adalah klasifikasi harta

berdasarkan harta Sultan dan harta kesultanan. Harta yang disebut pertama sebagai

harta biasa. Harta biasa itu di masyarakat Jawa dibagikan kepada seluruh ahli waris.

Sedang, harta kesultanan sebagai harta istimewa. Harta istimewa di masyarakat Jawa

sebagai harta tanah yang subur. Tanah subur itu diwariskan secara tunggal kepada salah

satu ahli waris yang biasanya anak tertua. Meski, diwariskan secara tuggal harta tanah

subur digunakan untuk kepentingan keluarga.

Ada unsur-unsur dalam pelaksanaan kewarisan Kesultanan Yagyakarta yang

disesuai dengan unsur hukum kewarisan Islam maupun hukum kewarisan adat Jawa.

Unsur ini adalah adopsi ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti terjadi dalam

pelaksanaan kewarisan Kesultanan Yogyakarta. Di samping itu, ada unsur yang tidak

ada menganut pola hukum kewarisan Islam maupun kewarisan adat Jawa. Unsur ini

ialah harta warisan tidak dikategorisasi berdasarkan hubungan perkawinan (harta

bersama dan harta bawaan) sebagaimana terjadi dalam hukum kewarisan Islam dan

hukum kewarisan adat Jawa. Ketiadaan harta warisan klasifikasi berdasarkan hubungan

perkawinan ini merupakan ciri khas dalam pelaksanaan pembagian harta warisan di

Kesultanan Yogyakarta.17
17
MA Rumawi Eswe, Ngarsa Dalem Dundum Warisan
BAB IV
ANALISA PROSES PEWARISAN
DALAM MASYARAKAT ADAT JAWA

Secara umum, sistem kewarisan yang biasa digunakan didalam masyarakat adat Jawa
banyak mempunyai kesamaandengan sistem kewarisan dalam hukum Islam di Indonesia
yangdalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam. Persamaan tersebutterutama terletak pada
sistem kekerabatan dan asas kewarisanyang digunakan dan melekat pada keduanya.

Kewarisan adat Jawa maupun kewarisan dalam KompilasiHukum Islam sama-sama


menggunakan sistem kekerabatanbilateral atau parental, dimana pada sistem kekerabatan ini
tidakberlaku penarikan garis keturunan dari jalur ayah atau jalur ibu.Akan tetapi, penarikan garis
keturunan pada sistem bilateralatau parental diambil dari kedua orang tua (bapak dan ibu).
Halini berakibat dalam masalah kewarisan, dimana ahli waris tidakdidominasi oleh anggota
keluarga garis keturunan bapak atauibu, tetapi oleh kedua-duanya, perempuan
mempunyaikesempatan yang sama dengan laki-laki.

Mengenai asas kewarisannya pun, mempunyai kesamaan,yaitu sama-sama


menggunakan asas kewarisan individual.Artinya, harta warisan tidak dikuasi hanya oleh
anggota keluargatertentu dan tidak pula digunakan secara bersama-sama denganhanya
mengambil manfaatnya. Akan tetapi, harta warisantersebut dibagi-bagi kepada masing-masing
ahli waris menurutbagiannya masing-masing dan setiap ahli waris berhak memilikidan
menguasainya, karena hartapada asas kewarisan individualbersifat ‘bisa dibagi-bagi’.

25
Sistem kewarisan adat Jawa dengan Kompilasi HukumIslam juga mempunyai
perbedaan-perbedaan yang cukupsignifikan. Perbedaan tersebut terutama terletak pada
prosespewarisanya, ahli waris, dan cara pembagian hartanya. Adapunsecara singkat akan
dijelaskan pada sub bab berikut.

A.Mengenai Proses Pewarisan

Proses pewarisan dalam sistem adat Jawa dan KompilasiHukum Islam sangat berbeda.
Perbedaan ini akibat adanyaperbedaan salah satu asas kewarisannya. Selain asas
individual,dalam waris sistem KHI juga menganut asas kematian semata,sehingga ahli waris
baru bisa mendapatkan harta warisan ketikapewaris meninggal. Demikian juga pewaris, baru
bisamewariskan hartanya kepada para ahli warisnya ketika ia sudah meninggal.

Berbeda dengan sistem kewarisan adat Jawa yang tidak

menganut

asas

kematian

semata.

Sehingga

hal

inimengakibatka
n harta warisan bisa diwariskan ketika pewarismasih hidup. Dengan kata lain, pada kewarisan
adat Jawa, hartawarisan selain diwaris setelah pewaris meninggal, juga bisadiwariskan pada
saat pewaris masih hidup. Cara yang biasaditempuh ada tiga macam, yaitu dengan cara
penerusan ataupengalihan, penunjukan, danweling atauwekas (berpesan, berwasiat).

B.Mengenai Ahli Waris dan Cara Pembagian

Dalam hal ahli waris kedua sistem tersebut jugamempunyai perbedaan yang sangat
mencolok. Yang pertama,mengenai ahli waris anak angkat. Dalam Kompilasi Hukum Islam,yang
menjadi ahli waris adalah orang-orang yang mempunya
c.Dalam adat Jawa terdapat ahli waris utama dan

menggunakan sistem pembagian bertingkat, sehinggaapabila ahli waris utama ada, maka ahli
waris lain akanterhalang. Sedangan dalam KHI tidak menganut adanyaahli waris utama. Semua
ahli waris yang memang tidakberhalangan mewaris mendapat kesempatan yangsama sesuai
dengan bagiannya.

d. Cara pembagian dalam kewarisan adat Jawa dilakukandengan cara pembagian yang sama
besar, sehingga ahliwaris perempuan mendapatkan bagian yang samadengan ahli waris laki-
laki. Sedangkan dalam KHI,pembagiannya sesuai dengan bagian masing-masingahli waris
yang telah ditentukan dengan formulasi duabanding satu, sehingga laki-laki mendapatkan dua
kalilipat dari pada perempuan.

3.Sistem kewarisan adat Jawa tidak relevan dengan hukum

Islam di Indonesia (KHI). Karena antara keduanyamempunyai perbedaan dalam hal-hal yang
sangatmendasar dan prinsipil.

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta

mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda

(immateren goederen) dari satu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya (Soepomo,

1982: 82).

Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam fikiran masyarakat tradisional dengan

bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal dan parental atau bilateral

(Hazairin, 1981: 2).

Penerusan atau pengoperan harta kepada keturunannya di dalam pewarisan dimaksudkan agar

supaya dapat digunakan sebagai dasar materiil bagi setiap anak atau keturunannya. Bahkan bila

mungkin diperkembangkan untuk kesejahteraan hidupnya. Pada umumnya para ahli waris adalah

anak-anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir dalam keadaan hidup. Tetapi tidak
semua anak adalah ahli waris, ada golongan anak yang tidak termasuk ahli waris yaitu anak

angkat menurut sistem hukum waris islam dan anak tiri dalam sistem hukum waris manapun.

Dalam hukum waris adat anak-anak dari si pewaris merupakan golongan ahli waris yang

terpenting, karena pada hakikatnya anak kandung merupakan ahli waris yang utama dan pertama.

Artinya anggota kerabat yang lain tidak akan menjadi ahli waris apabila si pewaris mempunyai

anak kandung.

Anda mungkin juga menyukai